Jumat, 25 Januari 2013

Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin dingin (seperti gaung)
dikota itu. Angka-telah lama tahu
bayanganku akan hilang sebelum salju
Sementara kau tetap akan jalan
(sementara kenyataan). Sampai pada giliran
Mengaku pada setiap daun jatuh di rambutmu:
ternyata kenangan hanya perkara yang lucu
tentu. tidak apa. Kita tak memilih acara
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
aku terbiasa. Nasib telah begitu tertib
pada lupa kita juga akan jadi karib, GM.

waktu adalah mesin hitung gm begitu berhasil
mengangkat persoalaan jadi milik kita
dan segalanya jadi menarik untuk kita sikapi
agar ada ruang luang yang bisa kita apresiasikan
dan yang lebih penting gm sangat setia
gerak hidup dan dengan arif dia tuangkan
Barangkali kita harus bersabar dan jeli
menyikapi rasa kita agar terbebas dari
menang sendiri.

"Indramayu 2012"

puisiku

Kiser Pesisiran

Akulah wiralodra yang bersahabat dengan burung
burung. Menawarkan kesejukan jiwa bagi sunyi
menerjemahkan bagaimana matahari dan bulan
mengitari bumi. Aku tersekap dinding belantara
sebuah kuil. Di sini cahaya khatulistiwa melebarkan
sayap sebelum buldozer meratakan bumi moyangku
menidurkan segala impian. Gerbang cinta
yang dibangun runtuh bersama bar-bar jalanan
menyajikan tarian salsa membutakan orang-orang
dalam bayangan sinar lampu melahap segala catatan
sungai-sungai menghitung detik waktu. Selalu
digeluti kecemasan bersama yang menggumpalkan
kerinduan ombak adalah angin menyejukan
senyum. Pasir-pasir jadi saksi kita melaut
menjaring ikan yang sekarat bersama limbah
televisi menayangkannya dalam berita sore
gambar perahuku. Bias terseret tiupan topan
dari sisa-sisa sejarah

"Indramayu"

puisiku

ekstase malam

tak ada yang bisa kupahami
juga kersik daun. Berbagi malam
dan kerlip bintang. Udara memadat
dalam ruang memucat
aku pahatkan sunyi. Menekan
jiwa-jiwa diterbangkan malam
purnama. Lembar sajadah
sujudkan angin melayari
sunyi muara sungai-sungai
dan keabadian

"Indramayu"

puisiku

monolog malam

di sini hari akan menjadi gelap
menghitung ddetik waktu. Langit melepas
ruang menunggu percakapan yang kau dengar
pada langkah-langkah terhenti ditikungan
tidak ada pertemuan yang menyisakan pagi
hanya malam. bersiap kecewa membiarkan
subuh menjemputmu dan getar angin tersudut
dahan-dahan mati. Sebelum tangis
menahan kejatuhan hujan membias bunga-bunga
sebelum mmuusim menggugurkan kenangan
menjelma tanda-tanda jaman. Di sini
musim jadi senyap hanya dingin meratapi
sisa embun dan sepasang rama-rama
tersesat di belantara suara

"Indramayu"

puisiku

memorial

lidah yang dijulurkan ular itu masih membekas
di sekujur tubuh. Bangkitkan aroma kembang setaman
aku gemetar dalam keberangkatan menuju gerbangmu
inikah pergeseran yang kau janjikan pada sejarah
di malam-malam sehabis gerimis tuntaskan nyanyian
romantisme masa kanak-kanak hingga kurasa
ada yang tertinggal di ruas hati. ladang itu menguning
sungguh tak ada tempat bagi pengembaraan abadi
ingin kucoba mengeja hari, bulan dan tahun
agar sajadahmu mampu membungkus impian suci
yang dimulyakan nenek moyangku. Orang pelaut itu
berdiri di atas mimbar dan melambaikan tangan
sambil tersenyum bagi orang-orang yang gemetar
oleh teror, peperangan,kecurangan
dan kemunafikan

ular itu kembali menjulurkan lidah bercabang
menjilati jalan-jalan dan taman kota yang merintih
menahan beban kibaran warna-warni bendera
memaksaku bengong di persimpangan. Aku mabuk
mengeja slogan dari pengeras suara yang dicorongkan
membingungkan sudut-sudut perkampungan. Di sini
dunia kau cipta adalah dunia tanpa pintu dan jendela
semua terbuka untuk pagi


"Indramayu"

puisiku

seperti selendang mengiringi ombak
bagaimana aku menangkap isyarat
jika sujud dan tangisan batin
mencairkan doa'a-do'a sepanjang
pantai. Angin senantiasa menderukan
jutaan impian hingga pasir-pasir
bergerak menterjemahkan sajak
sajak bisu aku terus mencari dan
berlari mengejar rahasia yang kau
bawa. bersama aroma garam yang
mengejar kebohongan air mata

"Indramayu"

puisiku

suaramu mengantarkan impian tentang perjalanan
dengan tongkatnya. Menciptakan surau-surau jiwa
pada bentangan sawah ladang dijanjikan dingin subuh
membelah laut dan ikan-ikan sekarat menahan terik
matahari. Bersama gelombang membawa rahasia batu
karang
tersekat ribuan pabrik berjajar sepanjang pantai
inikah laut yang membakar amarah kanak-kanak
dan bau busuk. Aku ingin tidur sepanjang malam
lalu kuingat wewangian di sudut kantormu
maka bisa kupahami tentang janji-janji. Di sini
limbahmu menutupi segala keindahan laut

"Indramayu"

puisiku

r.i.p

aku menari-nari di atas kubur moyangku
sambil membaca sejarah. Membakar keinginan
kanak-kanak mengairi sungai-sungai keabadian
dan aku pun kembali mengeja yaa siin
di surau-surau jiwa yang menyimpan harapan
terpendam jutaan tahun.

puisiku

ruang tunggu

ada yang kita lupakan. Sebaris kata
merayap dinding-dinding purba. Mengalirkan
irama keterasingan. Rintik hujan
putarkan beribu kenangan yang diendapkan
bianglala. Luka menganga
menerangi gelisah 25 watt
kursi-meja-asbak-vas bungga
tersudutkan di serambi muka. Dalam hening
menyeruak percakapan

"Indramayu"

puisiku

interlude

di antara kelengangan yang kau tangkap
rumah. Lorong itu semakin senyap
hanya daun menyisik kaca jendela
rindupun hanyut dalam dingin malam
menggugurkan cuaca rintik hujan
seperti ceritamu padang-padang pasir
menggenapkan mimpi. Begitu saja terkubur
bagi adam yang menangis dengan buah khuldi
di tangan kiri dan tangan kanan menggenggam
matahari yang membakar rambutmu. Tergerai
menyela bulan purnama atas fatamorgana
jadi prasasti perselingkuhan. Jaman telah
mensejarahkan cinta ibu yang terkapar
seperti eros memanjat bibir-bibir gunung
sementara airmata. Tersalib mengusung
kegetiran sepanjang undukan supermarket
mengirim gambar romantisme telenovela
menterjemahkan kerinduan yang terlantar
di antara masjid-gereja-wihara-candi
membentangkan kesucian para utusan untuk
meredam amarah peperangan. Musim
telah menggugurkannya

puisiku

mimpiku dan sawah ladang

telah kita ungsikan mimpi bagi batu-batu
mengubur sawah ladang menjadi mesin-mesin
melindas kegetiran cangkul bagi parangmu
adalah fenomena masa lalu melengkapi
ilalang terbakar cerobong pabrik
masihkah kau bertanya padi menguning
disuarakan lecutan jerami anak gembala

kita adalah lokan terseret gelombang
dan angka-angka tak lagi membuka rahasia
kanak-kanak terlelap menulisi nasibnya
betapa jauh menyusuri jalan-jalan
sampai tangis batin yang kau ajarkan
hanyut terbawa karaoke pada bar-bar
mencari kesadaran dunia kekasih
sujudku melandasi kegamangan buih ombak
adalah cerminan kerinduan laut

kita adalah domba di pasir pantai
mencari impian dan mabukku tercecer
di antara limbah pabrik melayari panggung
masres menterjemahkan kerinduan dewi sri

puisiku

panorama hujan

di beranda ini tak kukenali lagi senyummu
garis-garis hujan telah menghapus segala
keinginan untuk merindukanmu di antara
nyanyian. Angsa menangisi bayi
yang disuling dari peradaban masa silam
menjadi sepotong senja menghubungkan
darah cintaku pada sungai-sungai. Kubaca
kembali catatan mendung yang memanggil aroma
hujan di sini telah menggali segala kenangan
yang bergerak-gerak setiap detik dan akan meledak
karena isyarat telah kau kirim pada alamat
tercatat di kantor pos. Tergantung segala
salam bagi dunia yang menterjemahkan darah
seperti airmata menetes di jalan-jalan

"Indramayu"

puisiku

jagat alit

telah kau ziarahi kesepianmu di antara kilatan
lampu pada aroma kemenyan. Menggusur kelaparan
nurani yang resah memandang gedung-gedung
dalam cawan darah dan airmata membungkus salam
kepada jagat. Dibentangkan kain mertuamu
sedang aku memunguti masa lalu dengan menyobek
almanak yang sekarat dimakan waktu
seperti pohon-pohon sepanjang pantai. Kita
mesti istirah meluruskan badan mengencangkan
segala impian kanak-kanak untuk kita jual
televisi menayangkannya pada kesia-siaan sajak
membias wajah memar di jalan-jalan menuju
pendopo. Tergantung keasingan menuliskan angka
angka yang membakar cerobong pabrik-pabrik
seperti doa diapungkan gelombang. Terbaca
kesengsaraanmu pada pucuk daun kering luruh
mengkristalkan kebohongan peradaban
masihkah kau menunggu suluk ki dalang
yang menidurkan segala impian dan angan-angan
terbuang. seribu gunungan menutupi kecemasan
kita pun terlahir dari rahim yang sama
dan bumi ini akan menangis menyaksikan segala
hujatan. Bulan lengser bersama jerit tangis
dan darah membusuk jadi tumbal sejarah

puisiku

membaca cahaya matamu

cahaya yang memancar dari bola matamu
membakar keinginan untuk memiliki kenangan
percintaan. Menggelepar diantara persimpangan
jalan menuju lautan kata-kata selalu melupakan
harum tubuhmu yang membangkitkan romantisme
yuliet yang memancar di film-film. Menjegal
hidup hanyalah menunda kematian bisik romeo
ketika senja mulai mempersempit jarak
yang sempat tertunda bagi mimpi-mimpi. Malam
memancarkan diskotik membuat petak umpet
disini kematian telah menjadi komoditi bagi
penghuni. Kantor yang gelisah menunggu surat
bagi kematian alamat sepanjang pantai
kita harus mencari aroma seribu bulan tempat
mengadu pengakuan cinta dari bentangan sepi

"Indramayu"


puisiku

kenduri anak jaman

wajahku memerah mendengar orasi menembus dinding
gedung. Telanjangi mimpi kanak-kanak masuk layar
televisi dari jadi dragon ball atau power ranger
menjaga kesejukan dunia. Tiba-tiba hurufmu
berloncatan memasuki pori-pori dan aku terkapar
atas tumpukan sampah sisa kenduri digelar
bagi kemiskinan. Telah menjadi zombi menutup airmata
menjerat retorika burung-burung memutar gelombang
lautan orang-orang menisbikan dunia semua jadi pudar
di matamu hanya daun-daun gugur tertutup gedung
gedung birokrasi sulit membaca arah tujuannya
di sini. Gerimis telah menjadi momok hidup
bagi pengunjuk rasa atas ketertindasan akar rumput
akulah burung> Tak bisa terbang karena sayapnya
kau ikat diantara tembok kekuasaan yang kau cipta
tuhan. Jangan kau biarkan kutangisi sisa hidup
dan membakar kemenyan dan sejuta kembang
atas kubur moyangku. Sarat memikul beban sejarah
yang diisyaratkan kepedihan batu-batu karang
dalam auratku. tergambar sabang sampai maroke
deberangus amarah dan kabarkan pada juru peta
bahwa kita bbutuh ratu adil untuk ibu pertiwi
sedang orang-orang hanya memperjelas warna lembayung
jadi mitos. Meninabobokan sejarah bercampur warna
darah saudara-saudara kita yang dibungkus fanatisme
dan menghantarkannya ke gelanggang kurusetra
bagaspati pun menjelma di wajahnnya

"Indramayu"

puisiku

pisau waktu

narasi yang ada pada goresanmu menggambarkan
ricik air kran itu membisu saksikan tubuh
menahan beban gelombang. Darahnya menyergap
sudut kanvas menjadikanmu kelimpungan
mengeja hari-hari penuh kenangan pada kaca
menterjemahkan seberapa panjang doa lucan capulet
menyisir padang perburuan 'inilah panen raya itu'
teriak jeihan sambil menutup mata chairil anwar
terbaring diantara perempuan kehilangan matanya
dan hardi membentak-bentak menempelkan wajah persiden
tapi kekuasaan jatuh pada perempuan 'akulah reformasi'
sambil tersenyum surya paloh menjelaskan persatuan dan
kesatuan yang membingungkan impian kanak-kanak

narasi yang kau gelar kini jadi bunga bakung
meliarkan mimpi wergul w. darkum yang meragukan
tepung kanji atas tubuhnya dan kita pun sempoyongan
mendengarkan suling dermayon mewarnai percintaan
atas genangan sampah tanggul sungai cimanuk
akutersekap ketika kau taburi wajahku dengan lumpur
kehidupan yang menjegal jalanku. bersama fujail
aku bawa keranda yah-ibu melewati kesunyian waktu
maka kunyanyikan reqium aeternam deo sambil membangun
surau-surau di dalam tubuh kami dan matamu nanar
menelanjangi kemiskinan di antara lautan matahari

narasi yang kau buat kini telah menjadi monster
melintasi lautan dan membuat pulau-pulau kecil
tempat kanak-kanak membangun romantisme
tanah moyangnya yang tergusur
seribu buldozer

"Indramayu"

puisiku

opera malam

ku baca seluruh luka pada perburuan
sampai geliat tidur panjang. Membias
antara lorong-lorong tak habis
dimakan waktu. Di sini gairah memuncah
bersama romantisme masa kanak-kanak
kau pun mengobarkan salsa dalam genangan
birahi bagi cinta yang tergadai sepanjang
jalan-jalan perkantoran
aku membaca sorot matamu penuh
amarah bersama kilatan cahaya sejarah
yang belum kering menghantarkan mimpi
masa silam dikobarkan aroma cinta dalam
pertunjukan teater semalam suntuk
sementara di luar gedung. Orang-orang
meneriakan slogan anti kekerasan
sedang aroma tubuhmu mengobarkan
peperangan seperti narasoma menggadaikan
istri-istrinya. Berloncatan di antara
dinding rumah kontrakan
aku mendengar suara yang direkam
atas kabut kecemasan dan bunga-bunga
berserakan di atas pentas. Waska pun
menjelma dalam tidur

"Indramayu"

puisiku

hujan

sisa hujan yang menghantarkan dingin malam
pada tepian sungai. Memagut percakapan
di sini ada yang kukenali dari kerlipan
bintang-bintang menebarkan kembang soka
dan kemana perginya gema adzan
disuarakan sebuah masjid dan kau tanyakan
semilir angin tidurkan mimpi kanak-kanak
memperpanjang terik siang dan kau pun
bercerita tentang fosil-fosil yang menuliskan
nasibnya sendiri-sendiri. Pada wajah memar
lewat telepon sujudmu menghiasi peradaban
jaman dan sepasang kupu-kupu bercinta
dengan bayangan sendiri. Diruang tamu
ada yang kau tangisi tentang kota-kota
yang kehilangan penghuninya

"Indramayu"

puisiku

kenduri cinta

sejarah yang menganga di hadapan kita
telah menjadi peradaban mampu menafikan
gelisah jiwa katamu. Bulan tersenyum atas
kenduri cinta sambil menjelaskan kembali airmata
sepanjang trotoar dan merasakan anggur
bagi bibirmu yang mengajarkan mimpi malam
tentang orang-orang berlarian dikejar-kejar
para serdadu atas suara-suara pembenaran
kekuasaan memitoskan masa silam
padahal baru saja kita nikmati kemerdekaan
tapi tidak dengan berteriak dijalan-jalan
yang menyuguhkan kejanggalan pada malam
ketika rindu berkaca di antara lekuk tubuh
menterjemahkan kembali masa kanak-kanak
inilah awal percumbuan kita. Katamu sambil
menghembuskan cairan demokrasi baridin
dan ratmina menangkapi isyarat lolongan anjing
bersama gugurnya batas-batas kesucian
bermekaran sepanjang waktu

"Indramayu"

puisiku

nyanyian malam

aku seperti ingin mencium bibirmu. Merah
mengabarkan perburuan hutan belantara
dan menghitung seberapa jauh perjalanan
untuk mengerti tentang cinta di malam purnama
padahal baru saja kita melahirkan kesepakatan
bahwa perkawinan. Hanya untuk melahirkan
dan tidak untuk membebani dengan harapan baru
dengan dunia rekaan yang kita mimpikan
dari hidup. Kita hanya wajib menterjemahkan
tentang hak dan kewajiban yang menghilang
di antara rapat-rapat akbar dan diskusi jalanan
kita butuh merenung agar terbebas dari dendam
sejarah. Sulaiman yang kehilangan istrinya
beberapa menit lalu dadaku terasa terbakar
oleh rasa rindu yang kau ciptakan dalam hatiku
kini menjadi pemberontak

"Indramayu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar