DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM
Asumsi sementara kita mengatakan bahwa fenomena pendidikan agama islam di
berbagai perguruan tinggi umum telah mengalami nasib serupa, baik mulai dari
respon mahasiswa, dosen hingga pada bentuk apresiasi dan perilaku mereka
terhadap PAI tersebut. Seringkali kita menduga bahwa sikap mereka pada PAI itu
kurang dialogis, komunikatif dan apresiatif.
Asumsi ini sedikit mendekati kebenaran ketika kita mengamati fakta di
lapangan. Lebih dari itu nampak sangat memprihatinkan peran PAI itu ketika kita
melihat pola perilaku komunikasi dan interaksi mahasiswa dengan lawan
jenisnya, cara berpakaian mereka hingga pada gaya hidupnya. Hampir bisa kita
simpulkan bahwa semuanya tidak menunjukkan perilaku yang agamis,
lebih-lebih pada perilaku muslim.
Mengapa perilaku itu semua bisa terjadi? Sejauh mana sosialisasi PAI di PTU
tersebut? Bagaimana respon mahasiswa terhadap PAI tersebut? Secara umum bentuk
respon mereka pada PAI itu terjadi ketika mereka mengambil matakuliah tersebut.
Adapun bentuk respon mereka pada PAI itu bukan semata-mata karena dorongan dari
diri mereka sendiri, tetapi karena adanya pembebanan 2 SKS dari PTU tertentu
yang diwajibkan kepada semua mahasiswa. Secara formal sosialisasi PAI oleh PTU
yang bersangkutan hanya terbatas pada 2 SKS itu. Selebihnya banyak diserahkan
kepada kreatifitas mahasiswa dan kebutuhan mereka masing-masing.
Sementara itu, mereka yang tertarik dan memiliki kreatifitas untuk
melakukan pendalaman-pendalaman keagamaan sekaligus bagaimana
mengaplikasikannya sangat terbatas sekali dan seringkali terkesan eksklusif.
Kenyataan inilah yang melatarbelakangi Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohaniaahan
Islam (UKMKI) khususnya di UBAYA sengaja tampil beda, tidak sebagaimana UKMKI
di PTU lainnya. Para aktifis UKMKI di Ubaya ini tidak jarang mengemas berbagai
kegiatan yang ada melebur sesuai dengan keinginan mahasiswa secara umum..
Memang secara formal UKMKI di Ubaya ini belum banyak memiliki peran, utamnya
sebagai penyambung misi dan visi lembaga. Sehingga kegiatannya lebih banyak
bersikap otonomi, seluruh kegiatan dan agenda kegiatan di programkan dari UKMKI
sendiri. Hanya dalam prakteknya UKMKI selalu bermusyawarah dengan sebagian
dosen-dosen agama dalam hal format kegiatan dan PR I kaitannya dengan pendanaan
kegiatan tersebut.
Dengan demikian motivasi belajar mereka terhadap PAI bukan atas dorongan
mereka sendiri, tetapi lebih merupakan dorongan suatu system lembaga yang
bersangkutan. Sejauhmana keberhasilan PAI di PTU masing-masing? Untuk menjawab
keberhasilan PAI di lingkungan PTU tersebut tidaklah mudah, semuanya tergantung
pada bagaimana visi dan misi PTU hubungannya dengan pembentukan perilaku
keagamaan di kalangan mahasiswa.
Kalau keberhasilan perilaku keagamaan itu kita lihat dari perilaku komunikasi mereka terhadap lawan jenis serta trend cara berpakaian mereka, seakan-akan tidak ada indikasi keberhasilan pada aspek keagamaan itu. Namun jika yang kita amati dari cara belajar mereka, mulai dari kedisiplinan hingga pada kesungguhan mereka untuk mendapatkan predikat yang memuaskan, di sana telah terbangun suatu tradisi dan system yang sangat agamis. Penilaian atas keberhasilan PAI itu tergantung sekali pada bagaimana cara pandang subjek pada objek. Tentu penilaian keberhasilan PAI di PTU cara pandangnya harus berbeda jauh dengan cara pandang keberhasilan PAI di lingkungan perguruan tingi Islam baik negeri maupun swasta.
Untuk melihat berbagai indikasi keberhasilan PAI di PTU itu, setidaknya kita mengetahui berbagai aktifitas mahasiswa setelah selesai menempuh pendidikan agama. Sebagaimana layaknya diperguruan tinggi umum yang lainnya bahwa mayoritas mereka belajar agama disebuah perguruan tingggi umum itu karena formalitas, karena diwajibkan untuk mengambilmnya. Seandainya PAI itu tidak diwajibkan lembaga bagi setiap mahasiswa, kemungkinan besar mereka tidak akan mengambil materi itu. Karena landasan berpikir mereka senantiasa dihadapkan pada kebutuhan riil yang akan mereka hadapi. Secara tidak disadari cara berpikir seperti ini telah meniadakan dimensi-dimensi imaterinya, termasuk kebutuhan akan nilai-nilai keagamaannya. Dengan demikian aktifitas keagamaan mereka pasca mempelajari PAI satu semester di PTU itu tidak berpengaruh apa-apa bagi perilaku kehidupan di dunia kampus mereka, kecuali sebagian mahasiswa tertentu.
Menurut pandangan sebagian mahasiswa bahwa tidak adanya motivasi untuk mengembangkan PAI tersebut bukan semata-mata karena minimnya sebuah media? Bagi mereka media atau wadah itu selalu ada di masing-masing PTU, tetapi mayoritas di antara mereka senantiasa memperhitungkan waktu dan masa belajarnya. Hampir sejumlah besar diantara mereka sangat memprioritaskan perkuliahannya. Karena seringkali kegiatan-kegiatan keagamaan yang berusaha mewadai pengembangan agama itu diadakan pada waktu yang bersamaan dengan perkuliahan berlangsung.
Kalau keberhasilan perilaku keagamaan itu kita lihat dari perilaku komunikasi mereka terhadap lawan jenis serta trend cara berpakaian mereka, seakan-akan tidak ada indikasi keberhasilan pada aspek keagamaan itu. Namun jika yang kita amati dari cara belajar mereka, mulai dari kedisiplinan hingga pada kesungguhan mereka untuk mendapatkan predikat yang memuaskan, di sana telah terbangun suatu tradisi dan system yang sangat agamis. Penilaian atas keberhasilan PAI itu tergantung sekali pada bagaimana cara pandang subjek pada objek. Tentu penilaian keberhasilan PAI di PTU cara pandangnya harus berbeda jauh dengan cara pandang keberhasilan PAI di lingkungan perguruan tingi Islam baik negeri maupun swasta.
Untuk melihat berbagai indikasi keberhasilan PAI di PTU itu, setidaknya kita mengetahui berbagai aktifitas mahasiswa setelah selesai menempuh pendidikan agama. Sebagaimana layaknya diperguruan tinggi umum yang lainnya bahwa mayoritas mereka belajar agama disebuah perguruan tingggi umum itu karena formalitas, karena diwajibkan untuk mengambilmnya. Seandainya PAI itu tidak diwajibkan lembaga bagi setiap mahasiswa, kemungkinan besar mereka tidak akan mengambil materi itu. Karena landasan berpikir mereka senantiasa dihadapkan pada kebutuhan riil yang akan mereka hadapi. Secara tidak disadari cara berpikir seperti ini telah meniadakan dimensi-dimensi imaterinya, termasuk kebutuhan akan nilai-nilai keagamaannya. Dengan demikian aktifitas keagamaan mereka pasca mempelajari PAI satu semester di PTU itu tidak berpengaruh apa-apa bagi perilaku kehidupan di dunia kampus mereka, kecuali sebagian mahasiswa tertentu.
Menurut pandangan sebagian mahasiswa bahwa tidak adanya motivasi untuk mengembangkan PAI tersebut bukan semata-mata karena minimnya sebuah media? Bagi mereka media atau wadah itu selalu ada di masing-masing PTU, tetapi mayoritas di antara mereka senantiasa memperhitungkan waktu dan masa belajarnya. Hampir sejumlah besar diantara mereka sangat memprioritaskan perkuliahannya. Karena seringkali kegiatan-kegiatan keagamaan yang berusaha mewadai pengembangan agama itu diadakan pada waktu yang bersamaan dengan perkuliahan berlangsung.
Landasan berpikir mahasiswa yang meterialis di lingkungan PTU itu telah
berdampak besar bagi masa depan PAI di PTU. PAI di PTU pada perkembangannya
tidak cukup hanya dijadwalkan secara formal dalam bentuk SKS, Lebih-lebih
dengan jumlah SKS yang sangat terbatas. PAI di PTU yang hanya diberikan 2 SKS
selama mereka studi, tentu kurang memiliki dampak yang berarti. Lebih-lebih
jika dilihat dari komunitas mahasiswanya, yang sangat didominanasi oleh China.
Tidak sedikit diantara mahasiswa muslim yang gaya hidupnya identik dengan
China, mulai dari cara berpakaian, mode rambut yang agak-agak kemerahan serta
cara bwergaulnya yang sangat bebas antara laki-laki dan wanita. Tidak aneh jika
imade masyarakat yang berkembang bahwa di Ubaya itu terkenal dengan ayam
kampusnya, demikian pengakuan dari sebagian informan.
Bagaimana jika dikaitkan dengan pengaruh PAI itu bagi pembentukan
kepribadian mahasiswa? Secara objektif pengaruh PAI bagi pembentukan
kepribadian mahasiswa di PTU UBAYA tersebut sangat pesimis. Sikap pesimistis itu
tidak saja karena terbatasnya pembebanan SKS pada bidang studi PAI, melainkan
pada lingkungan kampus Ubaya yang sudah mendekati gaya hidup hidunis dan
materialis, semuanya serba diukur dari materi.
Pandangan informan tentang sikap dan gaya hidup mereka yang hedunis dan materialistis itu terbukti ketika pengamatan lebih detail telah dilakukan. Dalam kenyataan di lapangan hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepribadian mahasiswa dengan PAI. Bahkan menurut pengamatan aktifis UKMKI pengaruh pendidikan agama tersebut bagi mahasiswa sangat wajar-wajar aja, karena materi yang diajarkan tersebut adalah sangat dasar sekali, yaitu menulis beberapa ayat tertentu selanjutnya dibaca dan belum sampai pada tahap pemahaman pada teks tersebut.
Pandangan informan tentang sikap dan gaya hidup mereka yang hedunis dan materialistis itu terbukti ketika pengamatan lebih detail telah dilakukan. Dalam kenyataan di lapangan hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepribadian mahasiswa dengan PAI. Bahkan menurut pengamatan aktifis UKMKI pengaruh pendidikan agama tersebut bagi mahasiswa sangat wajar-wajar aja, karena materi yang diajarkan tersebut adalah sangat dasar sekali, yaitu menulis beberapa ayat tertentu selanjutnya dibaca dan belum sampai pada tahap pemahaman pada teks tersebut.
Sebagian mahasiswa tertentu memang ada yang menunjukkan sikapnya yang
sangat islami, mulai dari gaya hidup maupun akhlaqnya. Namun setelah diamati
lebih jauh ternyata mahasiswa yang bersangkutan memiliki latar keagamaan yang
kuat. Sejak kecilnya ia banyak dibekali dengan materi-materi keagamaan,
sehingga kepribadian yang tampak bukan bentukan dari system SKS dari lembaga,
tetapi merupakan tradisi keagamaan yang telah terbangun sebelumnya, lebih-lebih
mahasiswa yang bersangkutan dari latar belakang keagamaan yang panatis berasal
dari al-Irsyad.
Apa yang diajarkan oleh keluarganya, sebenarnya masih jauh jika
dibandingkan dengan apa yang disampaikan di kampus, demikian pengakuan
informan. Meski demikian kuatnya penghayatan mahasiswa tersebut terhadap agama,
namun dalam kenyataannya ia masih menemukan berbagai kesulitan untuk menanamkan
nilai-nilai keagamaan pada lingkungannya. Bahkan ia mengatakan bahwa misi
pengembangan keagamaan dari pemahaman yang selama ini ia kuasai, lagi-lagi
dihadapkan pada kebutuhan personal mahasiswa yang selalu mengejar keberhasilan
perkuliahannnya.
Tuntutan mereka ini karena didorong oleh landasan awal berpikir mereka yang
sangat akademis di sisi yang lain. Bahkan karena ancaman DO bagi mereka yang
tidak bisa lulus pada waktunya. Sehingga wajar jika kemudian mayoritas diantara
mereka hanya mengejar IP maksimal dan lolos dari DO.
Sementara dari pandangan sebagian mahasiswa yang berlatar belakang berbeda
mengatakan bahwa respon mahasiswa terhadap PAI wajar-wajar aja khususnya di
UBAYA ini. Dia sendiri, mahasiswa Asal plores ini Latarbelakangnya dari SMA
Muhammadiyah. Menurutnya pendidikan agama yang ia peroleh Di lembaga SMA
Muhammadiyah relatif lebih mendalam, demikian pengakuan mahasiswa asal Plores
tersebut. Meski demikian komitmen tentang misi pengembangan keagamaannya
telah kehilangan idealitas, lagi-lagi karena lingkungannya yang kurang
kondsif bagi pengembangan agama. Sehingga agama di sana terkesan sangat
indidulistik, menjadi milik masing-masing individu yang tidak perlu
ditampilkan. Dengan demikian nilai syiar dari agama itu sendiri telah
tereduksi. Agama bukan untuk diinstitusionalkan, tidak disimbolkan , tetapi
agama menjadi kebutuhan yang sangat private sekali.
Akibat dari sikap seperti ini, telah membentuk karakter mahasiswa yang
sama-sama tidak peduli pada lingkunnya. Terlepas lingkungannya berbuat yang
negatif, tidak sesuai dengan ajaran moral, yang penting dirinya selamat dan
tujuan belajarnya sukses. Dengan kata lain di PTU UBAYA telah muncul tradisi
cuekisme. Semuanya ini merupakan akibat dari system pendidikan yang ada.
Dari data yang berhasil ditemukan bahwa proses pembelajaran antara dosen
yang satu dengan yang lainnya itu sangat beragam. Dari pengakuan mahasiswa
bahwa sebagian dosen ada yang mengajarkan agama diseputar masalah-masalah yang
sangat normative, mulai bagaimana cara membaca ayat, menghafalnya dan
menghayatinya, namun sebagian dosen ayang lain ada yang system pengajarannya
sangat kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman dan disesuaikan dengan
disiplin ilmu mahasiswa masing-masing.
Dosen tidak lagi berbicara tentang bagaimana membaca dan menghafal ayat, tetapi dosen sudah mulai mengarah pada pandangan-pandangan dan konsep serta paradigma agama dalam konteks masyarakat. Iawali dari keberadaan agama itu sendiri, yaitu bisakah agama itu tetap eksis dalam masyarakat? Bagaimana agama mampu berdialog terhadap komunitas secara makro? Bagaimana agama mampu menjawap tantangan zaman kontemporer? Dari sini menurut pengakuannya mereka selanjutnya bisa memahami apa sebenarnya agama itu, baik Islam maupun agama-gama yang lain.
Dosen tidak lagi berbicara tentang bagaimana membaca dan menghafal ayat, tetapi dosen sudah mulai mengarah pada pandangan-pandangan dan konsep serta paradigma agama dalam konteks masyarakat. Iawali dari keberadaan agama itu sendiri, yaitu bisakah agama itu tetap eksis dalam masyarakat? Bagaimana agama mampu berdialog terhadap komunitas secara makro? Bagaimana agama mampu menjawap tantangan zaman kontemporer? Dari sini menurut pengakuannya mereka selanjutnya bisa memahami apa sebenarnya agama itu, baik Islam maupun agama-gama yang lain.
Bahkan mahasiswa tersebut mengatakan bahwa materi pendidikan agama yang
diajarkan di kampus ini tidak hanya berkutat tentang bagaimana cara wudlu, cara
shalat puasa dan rukun islam yang lainnya. Sama sekali tidak menyinggung
masalah itu, karena materi tersebut menurut mayoritas mahasiswa telah
dipelajari ketika di bangku SMP dan SMA. Sementara materi pelajaran Pendidikan
agama islam di Kampus Ubaya ini lebih mengarah pada wawasan dan pemahaman agama
dilihat dari kacamata sosial.
Wawancara dengan Ketua UKMKI (Anang)
Ia berasal dari Kediri, latarbelakang pendidikannya adalah SMA, kini ia
masuk di jurusan Psikologi Ubaya. Kegiatan-kegiatan keagamaan di PTU ini sangat
marak, apakah kegiatan itu muncul atas inisiatif mahasiswa atau terkait dengan
lembaga? secara objektif kegiatan itu utamanya di Ubaya ada hubungan secara
tidak formal dengan ekademik kampus. Apakah semua kegiatan yang di rancang oleh
mnahasiswa itu ada hubungannya dengan dosen-dosen agama?
Kalau keterlibatan secara langsung dengan dosen-dosen agama saya rasa
tidak. Tetapi kita secara intens terus bersilaturrahmi dan menawarkan beberapa
agenda kegiatan tersebut, selanjutnya kita serahkan kepada mereka sebagai
sarana untuk dibicarakan ke PR I. Karena sistem kepemimpinan di sini tidak ada
PR III, tapi hanya PR I dan II. Kegiatan yang mas Anang lakukan disini
kira-kira yang memiliki kontribusi terhadap mata kuliah Pendidikan agama ada
gak? Selama ini tidak ada. Tapi misalnya kita akan mengadakan sebuah acara
kerjasama dengan para dosen-dosen agama. Misalnya kita akan mengadakan acara
israk mikraj, hanya sebatas itu. Sementara di UNAIR dan PTU lain banyak yang
telah menjalin kerjasama ini dengan lembaga formal termasuk PBQ dan mentoring.
Kita harus melihat kenyataan pak, di sini terus terang saja SDMnya yang sangat terbatas menyangkut tentang tenaga pembinaan keagamaan. Mulai dari program-program yang dicanangkan di sini sangat lemah saya akui, apalagi proses pembinaan-pembinaan. Hanya secara internal mahasiswa yang berkecimpung secara langsung terhadap organisasi UKMKI ini selalu mengadakan upaya –upaya pemahaman keagaman secara internal. Ada namanya dakwah syiar, yaitu suatu acara yang bersifat gebyar, bermaksud melakukan pembinaan terhadap mahasiswa baru. Dan kegiatan sejenis ini belum mampu secara formal melakukan kerjasama dengan para dosen agamanya.
Kita harus melihat kenyataan pak, di sini terus terang saja SDMnya yang sangat terbatas menyangkut tentang tenaga pembinaan keagamaan. Mulai dari program-program yang dicanangkan di sini sangat lemah saya akui, apalagi proses pembinaan-pembinaan. Hanya secara internal mahasiswa yang berkecimpung secara langsung terhadap organisasi UKMKI ini selalu mengadakan upaya –upaya pemahaman keagaman secara internal. Ada namanya dakwah syiar, yaitu suatu acara yang bersifat gebyar, bermaksud melakukan pembinaan terhadap mahasiswa baru. Dan kegiatan sejenis ini belum mampu secara formal melakukan kerjasama dengan para dosen agamanya.
Bagaimana respon mahasiswa secara umum terhadap Kegiatan-kegiatan yang anda
laksanakan itu? Menurut saya minim sekali yang tertarik pada acara tersebut.
Mengapa menurut saya ini memang sebagai sebuah fenomena atau tradisi mahasiswa
Ubaya selalu menjadikan kampus sebagai rumah keduannya. Bisa bapak amati
sendiri mereka itu punya hobi untuk cangkruk atau nongkrong. Dan tidak tertarik
sama sekali terhadap kegiatan keagamaan. Mereka punya anggapan atau imade tidak
positif dan kurang minat. Mereka ini punya imade bahwa islam itu identik dengan
kekerasan, dan berbagai pretensi negatif lain yang melekat pada islam tersebut.
Ketika mereka diajak mengikuti acara-acara keagamaan, mereka punya anggapan
bahwa ujung-ujungnya adalah pengajian, dan intinya kalau datang adalah neraka ,
surga , dosa, boleh dan tidak boleh.
Dengan demikian kalau kita mau mengadakan acara selalu berbipikir bagaimana
acara tersebut menjadi objek yang banyak menarik minat dan sesuai dengan konteks
kebutuhanh mahasiswa saat ini. Misalnya dalam acara isrok mikraj, sebelum acara
itu kita laksanakan lebih awal kita kaji lebih dahulu apa sih hikmah israk dan
mikraj itu, dikaitkan dengan kondisi mahasiswa di Ubaya ini. Terus terang saja
di Ubaya ini ayam kampus banyak sekali pak. Nah ketika diantara kita
berbincang-bincang tentang ayam kampus tersebut kita kaitkan dengan hikmat
shalat tersebut.
Apa hubungannya, yang jelas dalam ajaran agama pun juga mengatakan bahwa
shalat itu pada hakekatnya adalah solusi. Selanjutnaya pengurus ketika itu
telah bermusyawarah dan kita koling penulis seks in the kost. Berawal dari
pembicaraan kecil itu akhirnya banyak diantara pengurus yang sepakat untuk
membedah buku tersebut dengan menghadirkan penulisnya.
Kemasan kegiatan inilah yang ternyata banyak mengundang minat mahasiswa
Ubaya tersebut. Nah bagi saya kegiatan semacam ini tanpa terasa sangat penting,
karena sekian banyak peserta tersebut secara jelas telah mendengarkan secara
detail melalui proses dialog panjang tentang mengapa terjadi perilaku seperti
itu dikaitkan dengan peran dan hakekat shalat bagi perilaku masyarakat muslim.
Dan yang paling menggembirakan menurut saya bahwa penjelasan tersebut tidak
saja didengar oleh kalangan muslim sendiri tetapi juga mayoritas non muslim.
Dengan penjelasan tersebut nampaknya kebenaran universal yang terkandung
dalam ajaran islam itu betul-betul bisa dirasakan dan dihayati oleh komunitas
non muslim. Dengan demikian nilai rahmatan lilalamin dalam islam itu tetap
tampak. Nah bagaimana konteks seperti ini bisa kita lakukan. Bagi kami sebagai
pengugurus langkah-langkah seperti ini bisa kita kembangkan Misalnya dalam
suasana romadhan, apa sih yang kita inginkan ndari ramadhan?kita sadari bersama
bahwa merubah kultur bukanlah hal yang mudah bagi siapapun? Katakanlah
kalau ramadhan kita kerjasama dengan karyawan, okelah apa yang diinginkan oleh
karyawan. Kalau mereka ingin mengadakan baksos misalkan , ya kita Bantu baksos,
sehingga kagiatan apapun juga terkait dan berdampak maslahah kepada karyawan
juga. Kalau ada kekuatan moral yang tergabung kita akan menemukan
kemudahan-kemudahannya nanti. Kita yakin bahwa dakwah itu jangka panjang , kita
mungkin sekarang mengadakan acara hanya diikuti oleh 5 orang mahasiswa, bisa
jadi tahun yang akan datang hanya diikuti oleh satu orang dan bisa jadi seratus
orang. Dan ini menurut saya Allah sudah melihat kita sebagai sebuah upaya
berjuang menegakkan agama.
Saya yakin model dakwak syiar yang hanya kita kemas dengan model
tradisional tidak akan mengundang minat para mahasiswa, karena kita mengetahui
bahwa kultur akademik di Ubaya ini sangat ketat sekali, kita ditekan sedemikian
rupa dengan didorong IP kita harus tinggi, kita harus tepat waktu dan terancam
DO, kalau sampai menyimpang dari aturannya. Disamping juga kita sangat padat
waktu perkuliahan mereka yang sarat dengan tugas-tugasnya.
Kita gak mau tahu para aktifis UKMKI ini, yang jelas diantara mereka pun
tidak mau kalah bersaing dengan mahasiswa yang tekun dan kutu buku tanpa
mengenal kegiatan-keguatan lain. Haql ini karena proses rekruitmennya pun juga
membutuhkan IP yang tinggi bagi aktifis UKMKI tersebut. Sehingga meskipun
mereka aktif disana tetap saja IP mereka tinggi tidak kalah dengan yang tekun
sekalipun.
Apa hubungannya dengan IP? Jawaban goblok-goblokkan saja siapa yang tidak
senang dengan mereka yang cerdas tapi bermoral, beretika dan tidak
sombong, nah ini tanpa terasa juga bisa mengangkat citra islam itu sendiri.
Sehingga saya secara pribadi tidak sepakat jika ada aktifis UKMKI itu lulusnya
molor, nilai jelek dan lain-lain. Menurut pengakuan Anang pendidikan agama di
Ubaya itu ada 2 SKS dilaksanakan ketika semeter satu kadang juga semester dua.
Respon mahasiswa secara umum terhadap PAI itu biasa-biasa saja, apakah sikap
meraka pada PAI seperti ini ada hubungannya dengan latarbelakang keluarga ?
saya secara pribadi bukan berasal dari keturunan yang baik-baik, tapi dari
keluarga biasa. Bagi saya semuanya terpulang kepada komitmen kita masing-masing
pada agama tersebut.
Kemadirian dalam menyelenggarakan kegiatan ini menurut saya lebih baik,
katrena dengan system seperti ini kita masih bisa mengkondisikan bentuk
kegiatan apa yang hendak kita tawarkan. Kalau misalkan kerjasama kita sudah
sejauh pada tingkat pengembilan keputusan pada format kegiatan, saya malah
khawatir kegiatan itu tidak mengundang minat banyak mahasiswa. Kami cukup
kerjasamma non formal saja dengan para dosen, mungkin membutuhkan nara sumber.
Tetapi model kemasan acara ini tetap berada dibawak pengkondosian kami.
Menurut sampaian bagaimana proses pembelajarn PAI Di Ubaya ini? Menurut
saya tidak menarik sama sekali, ada kata sama sekali, karena masak agama hanya
berhenti pada wilayah penyampaian saja dan kurang diaplikasikan.
Bagaimana idealnya proses PAI menurut anda? Menurut saya proses PAI itu
harus dipraktekkan oleh mahasiswa baik melalui penugasan-penugasan maupun kerja
riil di lapangan. Bagaimana agama itu disamping kita pahami juga kita hayati
dan kita amalkan.
Wawancara dengan
Pak satar (Dosen Agama)
Sebenarnya dosen agama di sini ada tiga, yaitu saya sendiri, Pak Haji
Ismail dan Bu Haji Zubaidah. Kurikulum inti itu menurut saya merupakan
perpaduan dari Depag dan Diknas. Sebelumnya para dosen itu harus
diarahkan melalui proses pelatihan-pelatihan agar arahnya jelas. Misalnya
isi kurikulum dalam agama itu kita harus memahami sepuluh hal. Pertama tentang
konsep alam itu apa. Konsep alam itu apa menurut ilmu pengetahuan . sementara
konsep alam itu apa menurut agama. Baru kita kaitkan konsep alam secara
integral.
Pesan-pesan yang akan disampaikan oleh dosen nuansanya harus disesuaikan
dengan disiplin ilmu masinga-masing. Kalau disiplinnya diseputar masalah
Farmasi bagaimana konsep alam itu dalam perspektif farmasi? Paling tidak banyak
yang bersinggungan dengan kefarmasian. Demikian juga masalah Fisika, biologi,
psikologi dan beberapa disiplin ilmu yang lainnya. Kalau semua pandangan sama
ini berati tidak kontekstual. Kedua : manusia, manusia menurut ilmu pengetahuan
itu apa, manusia menurut agama itu kaya apa, waktu Nabi adam kaya apa dan
setelah Adam seperti apa. demikian juga masalah agama. Apa agama itu? Jangan
bicara bagaimana mengamalkannya dulu. Karena kita masih bicara secara makro
tentang agama. Bagaimana proses orang membentuk keyakinan? Pertama dengan akal,
kedua ilmu. Sejak kecil mestinya anak harus dikenalkan seperti ini. Anak kecil
itu punya akal tapi belum punya ilmu. Agar kita kenyang maka kita harus makan,
jika kita ingin pandai maka kita harus belajar.
Apa tujuan bapak mengajarkan PAI seperti itu idealnya? Untuk menciptakan
manusia-manusia yang sempurna, manusia yang berilmu dan taat kepada agama. Beda
dengan orang ngaji. Konsep pengembangan kurikulum, melalui workshop, dan
pelatihan-pelatihan, hingga dari sana dibutuhkan adanya sertifikasi seorang guru
agama.
Bagaimana melendingkan konsep-konsep yang ideal seperti apa yang bapak tawarkan tersebut dikalangan mahasiswa? Mengalami kesulitan gak pak. Kalau saya secara pribadi tidak karena saya selalu berkomunikasi kepada mereka, dekat dengan mereka. Sekali lagi dalam melendingkan konsep PAI itu harus sesuai dengan konteknya. Kalau di jurusan hukum misalnya, saya juga dengan pendekatan hukum. Hukum agama tentu sangat berbeda dengan hukum negara. Kalau hukum negara itu bisa terjadi sangsi, tapi kalau hukum agama itu siapa yang memberi sangsi? Karena sepihak. Orang tidak mau shalat itu berdosa dan gak bisa ditawar.
Bagaimana melendingkan konsep-konsep yang ideal seperti apa yang bapak tawarkan tersebut dikalangan mahasiswa? Mengalami kesulitan gak pak. Kalau saya secara pribadi tidak karena saya selalu berkomunikasi kepada mereka, dekat dengan mereka. Sekali lagi dalam melendingkan konsep PAI itu harus sesuai dengan konteknya. Kalau di jurusan hukum misalnya, saya juga dengan pendekatan hukum. Hukum agama tentu sangat berbeda dengan hukum negara. Kalau hukum negara itu bisa terjadi sangsi, tapi kalau hukum agama itu siapa yang memberi sangsi? Karena sepihak. Orang tidak mau shalat itu berdosa dan gak bisa ditawar.
Bagaimana untuk melihat konsep-konsep tersebut itu sudah dianggap
tepat oleh mahasiswa? Kita lihat saja gejolak-gejolak mahasiswa mulai dari
kelas I-V. Kalau ada gejolak sosial berkaitan dengan agama berarti konsep agama
yang kita tawarkan tidak tepat, misalnya aktifitas mahasiswa terhadap aturan
mahasiswanya tertolak gak.
Bagaimana dengan kurikulum lokalnya? Saya berusaha untuk menarik ke latar belakang disiplin keilmuan masing-masing jurusan. Bagaimana respon mahasiswa secara umum terhadap PAI? Baik, saya ini memperoleh urutan 5 besar MKU, sementara urutan agama saya masuk urutan no 1.
Bagaimana dengan kurikulum lokalnya? Saya berusaha untuk menarik ke latar belakang disiplin keilmuan masing-masing jurusan. Bagaimana respon mahasiswa secara umum terhadap PAI? Baik, saya ini memperoleh urutan 5 besar MKU, sementara urutan agama saya masuk urutan no 1.
Apa ada hubungan mata kuliah PAI ini dengan mata kuliah yang lain, sebagai
prasarat? Tidak ada. Pernah gak misalnya tidak lulus agama lalu tidak
bisa mengikuti wisuda? Pernah. Pernah gak Pak Satral memberi nilai E atau D?
Orang mengajar agama ini kan mengharapkan mereka itu baik, persoalannya jika
ada diantara mereka yang memperoleh nilai E berarti materi yang kita sampaikan
itu tidak bisa sampai atau mungkin apa yang kita jelaskan itu tidak dipahami
oleh mahasiswa.
Apa kira-kira kendala dalam pengajaran PAI? Kendalanya adalah bagaimana
pengembangan agama dan pengembangan ilmu agama itu sendiri. Karena berbicara
masalah agama itu tidak hanya kita bicarakan saja tapi juga harus bisa kita
amalkan.
Bagaimana kurikulum PAI yang ideal itu ? menurut saya al-qur’an itu sudah ideal, hanya bagaimana kita bisa menjelaskan ayat-ayat itu sesuai dengan kebutuhan global. Bagaimana al-qur’an bisa berbicara sesuai dengan konteksnya.
Bagaimana kurikulum PAI yang ideal itu ? menurut saya al-qur’an itu sudah ideal, hanya bagaimana kita bisa menjelaskan ayat-ayat itu sesuai dengan kebutuhan global. Bagaimana al-qur’an bisa berbicara sesuai dengan konteksnya.
Apa sarana prasarana hingga masyarakat tertarik? Kita mestinya harus mampu
menjalin komunikasi antar dosen umum untuk secara kolektif menciptakan iklim yang
agamis. Menyediakan buku-buku agama yang sesuai dengan disiplin mereka.
Sementara sarana dan prasarana lain dalam matakuliah PAI saya rasa tidak begitu
penting. Sebab PAI itu yang digarap adalah dimensi akhlaqnya. Sementara akhlaq
itu harus bisa diterapkan di mana-mana dan tidak satu tempat. Nah yang lebih
penting adalah penyadaran akan penghayatan nilai-nilai agama ini ke dalam
kepribadian mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar