Minggu, 27 Januari 2013

DESKRIPSI HASIL PENELITIAN EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM



DESKRIPSI HASIL PENELITIAN EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM 

Asumsi sementara kita mengatakan bahwa fenomena pendidikan agama islam di berbagai perguruan tinggi umum telah mengalami nasib serupa, baik mulai dari respon mahasiswa, dosen hingga pada bentuk apresiasi dan perilaku mereka terhadap PAI tersebut. Seringkali kita menduga bahwa sikap mereka pada PAI itu kurang dialogis, komunikatif dan apresiatif.
Asumsi ini sedikit mendekati kebenaran ketika kita mengamati fakta di lapangan. Lebih dari itu nampak sangat memprihatinkan peran PAI itu ketika kita melihat  pola perilaku komunikasi dan interaksi mahasiswa dengan lawan jenisnya, cara berpakaian mereka hingga pada gaya hidupnya. Hampir bisa kita simpulkan bahwa semuanya tidak menunjukkan  perilaku yang agamis, lebih-lebih pada perilaku muslim.
Mengapa perilaku itu semua bisa terjadi? Sejauh mana sosialisasi PAI di PTU tersebut? Bagaimana respon mahasiswa terhadap PAI tersebut? Secara umum bentuk respon mereka pada PAI itu terjadi ketika mereka mengambil matakuliah tersebut. Adapun bentuk respon mereka pada PAI itu bukan semata-mata karena dorongan dari diri mereka sendiri, tetapi karena adanya pembebanan 2 SKS dari PTU tertentu yang diwajibkan kepada semua mahasiswa. Secara formal sosialisasi PAI oleh PTU yang bersangkutan hanya terbatas pada 2 SKS itu. Selebihnya banyak diserahkan kepada kreatifitas mahasiswa dan kebutuhan mereka masing-masing.
Sementara itu, mereka yang tertarik dan memiliki kreatifitas untuk melakukan pendalaman-pendalaman keagamaan sekaligus bagaimana mengaplikasikannya sangat terbatas sekali dan seringkali terkesan eksklusif. Kenyataan inilah yang melatarbelakangi Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohaniaahan Islam (UKMKI) khususnya di UBAYA sengaja tampil beda, tidak sebagaimana UKMKI di PTU lainnya. Para aktifis UKMKI di Ubaya ini tidak jarang mengemas berbagai kegiatan yang ada melebur sesuai dengan keinginan mahasiswa secara umum.. Memang secara formal UKMKI di Ubaya ini belum banyak memiliki peran, utamnya sebagai penyambung misi dan visi lembaga. Sehingga kegiatannya lebih banyak bersikap otonomi, seluruh kegiatan dan agenda kegiatan di programkan dari UKMKI sendiri. Hanya dalam prakteknya UKMKI selalu bermusyawarah dengan sebagian dosen-dosen agama dalam hal format kegiatan dan PR I kaitannya dengan pendanaan kegiatan tersebut.
Dengan demikian motivasi belajar mereka terhadap PAI bukan atas dorongan mereka sendiri, tetapi lebih merupakan dorongan suatu system lembaga yang bersangkutan. Sejauhmana keberhasilan PAI di PTU masing-masing? Untuk menjawab keberhasilan PAI di lingkungan PTU tersebut tidaklah mudah, semuanya tergantung pada bagaimana visi dan misi PTU hubungannya dengan pembentukan perilaku keagamaan di kalangan mahasiswa.
Kalau keberhasilan perilaku keagamaan itu kita lihat dari perilaku komunikasi mereka terhadap lawan jenis serta trend cara berpakaian mereka, seakan-akan tidak ada indikasi keberhasilan pada aspek keagamaan itu. Namun jika yang kita amati dari cara belajar mereka, mulai dari kedisiplinan hingga pada kesungguhan mereka untuk mendapatkan predikat yang memuaskan, di sana telah terbangun suatu tradisi dan system yang sangat agamis. Penilaian atas keberhasilan PAI itu tergantung sekali pada bagaimana cara pandang  subjek pada objek. Tentu penilaian keberhasilan PAI di PTU cara pandangnya harus berbeda jauh dengan cara pandang keberhasilan PAI di lingkungan perguruan tingi Islam baik negeri maupun swasta.
Untuk melihat berbagai indikasi keberhasilan PAI di PTU itu, setidaknya kita mengetahui berbagai aktifitas mahasiswa setelah selesai menempuh pendidikan agama. Sebagaimana layaknya diperguruan tinggi umum yang lainnya bahwa mayoritas mereka belajar agama disebuah perguruan tingggi umum itu karena formalitas, karena diwajibkan untuk mengambilmnya. Seandainya PAI itu tidak diwajibkan lembaga bagi setiap mahasiswa, kemungkinan besar mereka tidak akan mengambil materi itu. Karena landasan berpikir mereka senantiasa dihadapkan pada kebutuhan riil yang akan mereka hadapi. Secara tidak disadari cara berpikir seperti ini telah meniadakan dimensi-dimensi imaterinya, termasuk kebutuhan akan nilai-nilai keagamaannya. Dengan demikian aktifitas keagamaan mereka pasca mempelajari PAI satu semester di PTU itu tidak berpengaruh apa-apa bagi perilaku kehidupan di dunia kampus mereka, kecuali sebagian mahasiswa tertentu.
Menurut pandangan sebagian mahasiswa bahwa tidak adanya motivasi untuk mengembangkan PAI tersebut bukan semata-mata karena minimnya sebuah media? Bagi mereka media atau wadah itu selalu ada  di masing-masing PTU, tetapi mayoritas di antara mereka senantiasa memperhitungkan waktu dan masa belajarnya. Hampir sejumlah besar diantara mereka sangat memprioritaskan perkuliahannya. Karena seringkali kegiatan-kegiatan keagamaan yang berusaha mewadai pengembangan agama itu diadakan pada waktu yang bersamaan dengan perkuliahan berlangsung.
Landasan berpikir mahasiswa yang meterialis di lingkungan PTU itu telah berdampak besar bagi masa depan PAI di PTU. PAI di PTU pada perkembangannya tidak cukup hanya dijadwalkan secara formal dalam bentuk SKS, Lebih-lebih dengan jumlah SKS yang sangat terbatas. PAI di PTU yang hanya diberikan 2 SKS selama mereka studi, tentu kurang memiliki dampak yang berarti. Lebih-lebih jika dilihat dari komunitas mahasiswanya, yang sangat didominanasi oleh China. Tidak sedikit diantara mahasiswa muslim yang gaya hidupnya identik dengan China, mulai dari cara berpakaian, mode rambut yang agak-agak kemerahan serta cara bwergaulnya yang sangat bebas antara laki-laki dan wanita. Tidak aneh jika imade masyarakat yang berkembang bahwa di Ubaya itu terkenal dengan ayam kampusnya, demikian pengakuan dari sebagian informan.
Bagaimana jika dikaitkan dengan pengaruh PAI itu bagi pembentukan kepribadian mahasiswa? Secara objektif pengaruh PAI bagi pembentukan kepribadian mahasiswa di PTU UBAYA tersebut sangat pesimis. Sikap pesimistis itu tidak saja karena terbatasnya pembebanan SKS pada bidang studi PAI, melainkan pada lingkungan kampus Ubaya yang sudah mendekati gaya hidup hidunis dan materialis, semuanya serba diukur dari materi.
Pandangan informan tentang sikap dan gaya hidup mereka yang hedunis dan materialistis itu terbukti ketika pengamatan lebih detail telah dilakukan. Dalam kenyataan di lapangan hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepribadian mahasiswa dengan PAI. Bahkan menurut pengamatan aktifis UKMKI  pengaruh pendidikan agama tersebut bagi mahasiswa sangat wajar-wajar aja, karena materi yang diajarkan tersebut adalah sangat dasar sekali, yaitu  menulis beberapa ayat tertentu selanjutnya dibaca dan belum sampai pada tahap pemahaman pada teks tersebut.
Sebagian mahasiswa tertentu memang ada yang menunjukkan sikapnya yang sangat islami, mulai dari gaya hidup maupun akhlaqnya. Namun setelah diamati lebih jauh ternyata mahasiswa yang bersangkutan memiliki latar keagamaan yang kuat. Sejak kecilnya ia  banyak dibekali dengan materi-materi keagamaan, sehingga kepribadian yang tampak bukan bentukan dari system SKS dari lembaga, tetapi merupakan tradisi keagamaan yang telah terbangun sebelumnya, lebih-lebih mahasiswa yang bersangkutan dari latar belakang keagamaan yang panatis berasal dari al-Irsyad.
Apa yang diajarkan oleh keluarganya, sebenarnya masih jauh jika dibandingkan dengan apa yang disampaikan di kampus, demikian pengakuan informan. Meski demikian kuatnya penghayatan mahasiswa tersebut terhadap agama, namun dalam kenyataannya ia masih menemukan berbagai kesulitan untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada lingkungannya. Bahkan ia mengatakan bahwa misi pengembangan keagamaan dari pemahaman yang selama ini ia kuasai, lagi-lagi dihadapkan pada kebutuhan personal mahasiswa yang selalu mengejar keberhasilan perkuliahannnya.
Tuntutan mereka ini karena didorong oleh landasan awal berpikir mereka yang sangat akademis di sisi yang lain. Bahkan karena ancaman DO bagi mereka yang tidak bisa lulus pada waktunya. Sehingga wajar jika kemudian mayoritas diantara mereka hanya mengejar  IP maksimal dan lolos dari DO.
Sementara dari pandangan sebagian mahasiswa yang berlatar belakang berbeda mengatakan bahwa respon mahasiswa terhadap PAI wajar-wajar aja khususnya di UBAYA ini. Dia sendiri, mahasiswa Asal plores ini Latarbelakangnya dari SMA Muhammadiyah. Menurutnya pendidikan agama yang ia peroleh Di lembaga SMA Muhammadiyah relatif lebih mendalam, demikian pengakuan mahasiswa asal Plores tersebut.  Meski demikian komitmen tentang misi pengembangan keagamaannya telah  kehilangan idealitas, lagi-lagi karena lingkungannya yang kurang kondsif bagi pengembangan agama. Sehingga agama di sana terkesan sangat indidulistik, menjadi milik masing-masing individu yang tidak perlu ditampilkan. Dengan demikian nilai syiar dari agama itu sendiri telah tereduksi. Agama bukan untuk diinstitusionalkan, tidak disimbolkan , tetapi agama menjadi kebutuhan yang sangat private sekali.
Akibat dari sikap seperti ini, telah membentuk karakter mahasiswa yang sama-sama tidak peduli pada lingkunnya. Terlepas lingkungannya berbuat yang negatif, tidak sesuai dengan ajaran moral, yang penting dirinya selamat dan tujuan belajarnya sukses. Dengan kata lain di PTU UBAYA telah muncul tradisi cuekisme. Semuanya ini merupakan akibat dari system pendidikan yang ada.
Dari data yang berhasil ditemukan bahwa proses pembelajaran antara dosen yang satu dengan yang lainnya itu sangat beragam. Dari pengakuan mahasiswa bahwa sebagian dosen ada yang mengajarkan agama diseputar masalah-masalah yang sangat normative, mulai bagaimana cara membaca ayat, menghafalnya dan menghayatinya, namun sebagian dosen ayang lain ada yang system pengajarannya sangat kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman dan disesuaikan dengan disiplin ilmu mahasiswa masing-masing.
Dosen tidak lagi berbicara tentang bagaimana membaca dan menghafal ayat, tetapi dosen sudah mulai mengarah pada pandangan-pandangan dan konsep serta paradigma agama dalam konteks masyarakat. Iawali dari keberadaan agama itu sendiri, yaitu bisakah agama itu tetap eksis dalam masyarakat? Bagaimana agama mampu berdialog terhadap komunitas secara makro? Bagaimana agama mampu menjawap tantangan zaman kontemporer? Dari sini menurut pengakuannya mereka selanjutnya  bisa memahami apa sebenarnya agama itu, baik Islam maupun agama-gama yang lain.
Bahkan mahasiswa tersebut mengatakan bahwa materi pendidikan agama yang diajarkan di kampus ini tidak hanya berkutat tentang bagaimana cara wudlu, cara shalat puasa dan rukun islam yang lainnya. Sama sekali tidak menyinggung masalah itu, karena materi tersebut menurut mayoritas mahasiswa telah dipelajari ketika di bangku SMP dan SMA. Sementara materi pelajaran Pendidikan agama islam di Kampus Ubaya ini lebih mengarah pada wawasan dan pemahaman agama dilihat dari kacamata sosial.
Wawancara dengan Ketua UKMKI (Anang)  Ia berasal dari Kediri, latarbelakang pendidikannya adalah SMA, kini ia masuk di jurusan Psikologi Ubaya. Kegiatan-kegiatan keagamaan di PTU ini sangat marak, apakah kegiatan itu muncul atas inisiatif mahasiswa atau terkait dengan lembaga? secara objektif kegiatan itu utamanya di Ubaya ada hubungan secara tidak formal dengan ekademik kampus. Apakah semua kegiatan yang di rancang oleh mnahasiswa itu ada hubungannya dengan dosen-dosen agama?
Kalau keterlibatan secara langsung dengan dosen-dosen agama saya rasa tidak. Tetapi kita secara intens terus bersilaturrahmi dan menawarkan beberapa agenda kegiatan tersebut, selanjutnya kita serahkan kepada mereka sebagai sarana untuk dibicarakan ke PR I. Karena sistem kepemimpinan di sini tidak ada PR III, tapi hanya PR I dan II. Kegiatan yang mas Anang lakukan disini kira-kira yang memiliki kontribusi terhadap mata kuliah Pendidikan agama ada gak? Selama ini tidak ada. Tapi misalnya kita akan mengadakan sebuah acara kerjasama dengan para dosen-dosen agama. Misalnya kita akan mengadakan acara israk mikraj, hanya sebatas itu. Sementara di UNAIR dan PTU lain banyak yang telah menjalin kerjasama ini dengan lembaga formal termasuk PBQ dan mentoring.
Kita harus melihat kenyataan pak, di sini terus terang saja SDMnya yang sangat terbatas menyangkut tentang tenaga pembinaan keagamaan. Mulai dari program-program yang dicanangkan di sini sangat lemah saya akui, apalagi proses pembinaan-pembinaan. Hanya secara internal mahasiswa yang berkecimpung secara langsung terhadap organisasi UKMKI ini  selalu mengadakan upaya –upaya pemahaman keagaman secara internal. Ada namanya dakwah syiar, yaitu suatu acara yang bersifat gebyar, bermaksud melakukan pembinaan terhadap mahasiswa baru. Dan kegiatan sejenis ini belum mampu secara formal melakukan kerjasama dengan para dosen agamanya.
Bagaimana respon mahasiswa secara umum terhadap Kegiatan-kegiatan yang anda laksanakan itu? Menurut saya minim sekali yang tertarik pada acara tersebut. Mengapa menurut saya ini memang sebagai sebuah fenomena atau tradisi mahasiswa Ubaya selalu menjadikan kampus sebagai rumah keduannya. Bisa bapak amati sendiri mereka itu punya hobi untuk cangkruk atau nongkrong. Dan tidak tertarik sama sekali terhadap kegiatan keagamaan. Mereka punya anggapan atau imade tidak positif dan kurang minat. Mereka ini punya imade bahwa islam itu identik dengan kekerasan, dan berbagai pretensi negatif lain yang melekat pada islam tersebut. Ketika mereka diajak mengikuti acara-acara keagamaan, mereka punya anggapan bahwa ujung-ujungnya adalah pengajian, dan intinya kalau datang adalah neraka , surga , dosa, boleh dan tidak boleh.
Dengan demikian kalau kita mau mengadakan acara selalu berbipikir bagaimana acara tersebut menjadi objek yang banyak menarik minat dan sesuai dengan konteks kebutuhanh mahasiswa saat ini. Misalnya dalam acara isrok mikraj, sebelum acara itu kita laksanakan lebih awal kita kaji lebih dahulu apa sih hikmah israk dan mikraj itu, dikaitkan dengan kondisi mahasiswa di Ubaya ini. Terus terang saja di Ubaya ini ayam kampus banyak sekali pak. Nah ketika diantara kita berbincang-bincang tentang ayam kampus tersebut kita kaitkan dengan hikmat shalat tersebut.
Apa hubungannya, yang jelas dalam ajaran agama pun juga mengatakan bahwa shalat itu pada hakekatnya adalah solusi. Selanjutnaya pengurus ketika itu telah bermusyawarah dan kita koling penulis seks in the kost. Berawal dari pembicaraan kecil itu akhirnya banyak diantara pengurus yang sepakat untuk membedah buku tersebut dengan menghadirkan penulisnya.
Kemasan kegiatan inilah yang ternyata banyak mengundang minat mahasiswa Ubaya tersebut. Nah bagi saya kegiatan semacam ini tanpa terasa sangat penting, karena sekian banyak peserta tersebut secara jelas telah mendengarkan secara detail melalui proses dialog panjang tentang mengapa terjadi perilaku seperti itu dikaitkan dengan peran dan hakekat shalat bagi perilaku masyarakat muslim. Dan yang paling menggembirakan menurut saya bahwa penjelasan tersebut tidak saja didengar oleh kalangan muslim sendiri tetapi juga mayoritas non muslim.
Dengan penjelasan tersebut nampaknya kebenaran universal yang terkandung dalam ajaran islam itu betul-betul bisa dirasakan dan dihayati oleh komunitas non muslim. Dengan demikian nilai rahmatan lilalamin dalam islam itu tetap tampak. Nah bagaimana konteks seperti ini bisa kita lakukan. Bagi kami sebagai pengugurus langkah-langkah seperti ini bisa kita kembangkan Misalnya dalam suasana romadhan, apa sih yang kita inginkan ndari ramadhan?kita sadari bersama bahwa merubah kultur bukanlah hal yang mudah bagi siapapun?  Katakanlah kalau ramadhan kita kerjasama dengan karyawan, okelah apa yang diinginkan oleh karyawan. Kalau mereka ingin mengadakan baksos misalkan , ya kita Bantu baksos, sehingga kagiatan apapun juga terkait dan berdampak maslahah kepada karyawan juga. Kalau ada kekuatan moral yang tergabung kita akan menemukan kemudahan-kemudahannya nanti. Kita yakin bahwa dakwah itu jangka panjang , kita mungkin sekarang mengadakan acara hanya diikuti oleh 5 orang mahasiswa, bisa jadi tahun yang akan datang hanya diikuti oleh satu orang dan bisa jadi seratus orang. Dan ini menurut saya Allah sudah melihat kita sebagai sebuah upaya berjuang menegakkan agama.
Saya yakin model dakwak syiar yang hanya kita kemas dengan model tradisional tidak akan mengundang minat para mahasiswa, karena kita mengetahui bahwa kultur akademik di Ubaya ini sangat ketat sekali, kita ditekan sedemikian rupa dengan didorong IP kita harus tinggi, kita harus tepat waktu dan terancam DO, kalau sampai menyimpang dari aturannya. Disamping juga kita sangat padat waktu perkuliahan mereka yang sarat dengan tugas-tugasnya.
Kita gak mau tahu para aktifis UKMKI ini, yang jelas diantara mereka pun tidak mau kalah bersaing dengan mahasiswa yang tekun dan kutu buku tanpa mengenal kegiatan-keguatan lain. Haql ini karena proses rekruitmennya pun juga membutuhkan IP yang tinggi bagi aktifis UKMKI tersebut. Sehingga meskipun mereka aktif disana tetap saja IP mereka tinggi tidak kalah dengan yang tekun sekalipun.
Apa hubungannya dengan IP? Jawaban goblok-goblokkan saja siapa yang tidak senang dengan mereka yang  cerdas tapi bermoral, beretika dan tidak sombong, nah ini tanpa terasa juga bisa mengangkat citra islam itu sendiri. Sehingga saya secara pribadi tidak sepakat jika ada aktifis UKMKI itu lulusnya molor, nilai jelek dan lain-lain. Menurut pengakuan Anang pendidikan agama di Ubaya itu ada 2 SKS dilaksanakan ketika semeter satu kadang juga semester dua. Respon mahasiswa secara umum terhadap PAI itu biasa-biasa saja, apakah sikap meraka pada PAI seperti ini ada hubungannya dengan latarbelakang keluarga ? saya secara pribadi bukan berasal dari keturunan yang baik-baik, tapi dari keluarga biasa. Bagi saya semuanya terpulang kepada komitmen kita masing-masing pada agama tersebut.   
Kemadirian dalam menyelenggarakan kegiatan ini menurut saya lebih baik, katrena dengan system seperti ini kita masih bisa mengkondisikan bentuk kegiatan apa yang hendak kita tawarkan. Kalau misalkan kerjasama kita sudah sejauh pada tingkat pengembilan keputusan pada format kegiatan, saya malah khawatir kegiatan itu tidak mengundang minat banyak mahasiswa. Kami cukup kerjasamma non formal saja dengan para dosen, mungkin membutuhkan nara sumber. Tetapi model kemasan acara ini tetap berada dibawak pengkondosian kami.
Menurut sampaian bagaimana proses pembelajarn PAI Di Ubaya ini? Menurut saya tidak menarik sama sekali, ada kata sama sekali, karena masak agama hanya berhenti pada wilayah penyampaian saja dan kurang diaplikasikan.
Bagaimana idealnya proses PAI menurut anda? Menurut saya proses PAI itu harus dipraktekkan oleh mahasiswa baik melalui penugasan-penugasan maupun kerja riil di lapangan. Bagaimana agama itu disamping kita pahami juga kita hayati dan kita amalkan.
Wawancara dengan Pak satar (Dosen Agama)
Sebenarnya dosen agama di sini ada tiga, yaitu saya sendiri, Pak Haji Ismail dan Bu Haji Zubaidah. Kurikulum inti itu menurut saya merupakan perpaduan dari Depag dan Diknas. Sebelumnya para dosen itu harus diarahkan  melalui proses pelatihan-pelatihan agar arahnya jelas. Misalnya isi kurikulum dalam agama itu kita harus memahami sepuluh hal. Pertama tentang konsep alam itu apa. Konsep alam itu apa menurut ilmu pengetahuan . sementara konsep alam itu apa menurut agama. Baru kita kaitkan konsep alam secara integral.
Pesan-pesan yang akan disampaikan oleh dosen nuansanya harus disesuaikan dengan disiplin ilmu masinga-masing. Kalau disiplinnya diseputar masalah Farmasi bagaimana konsep alam itu dalam perspektif farmasi? Paling tidak banyak yang bersinggungan dengan kefarmasian. Demikian juga masalah Fisika, biologi, psikologi dan beberapa disiplin ilmu yang lainnya. Kalau semua pandangan sama ini berati tidak kontekstual. Kedua : manusia, manusia menurut ilmu pengetahuan itu apa, manusia menurut agama itu kaya apa, waktu Nabi adam kaya apa dan setelah Adam seperti apa. demikian juga masalah agama. Apa agama itu? Jangan bicara bagaimana mengamalkannya dulu. Karena kita masih bicara secara makro tentang agama. Bagaimana proses orang membentuk keyakinan? Pertama dengan akal, kedua ilmu. Sejak kecil mestinya anak harus dikenalkan seperti ini. Anak kecil itu punya akal tapi belum punya ilmu. Agar kita kenyang maka kita harus makan, jika kita ingin pandai maka kita harus belajar.
Apa tujuan bapak mengajarkan PAI seperti itu idealnya? Untuk menciptakan manusia-manusia yang sempurna, manusia yang berilmu dan taat kepada agama. Beda dengan orang ngaji. Konsep pengembangan kurikulum, melalui workshop, dan pelatihan-pelatihan, hingga dari sana dibutuhkan adanya sertifikasi seorang guru agama.
Bagaimana melendingkan konsep-konsep yang ideal seperti apa yang bapak tawarkan tersebut dikalangan mahasiswa? Mengalami kesulitan gak pak. Kalau saya secara pribadi tidak karena saya selalu berkomunikasi kepada mereka, dekat dengan mereka. Sekali lagi dalam melendingkan konsep PAI itu harus sesuai dengan konteknya. Kalau di jurusan hukum misalnya, saya juga dengan pendekatan hukum. Hukum agama tentu sangat berbeda dengan hukum negara. Kalau hukum negara itu bisa terjadi sangsi, tapi kalau hukum agama itu siapa yang memberi sangsi? Karena sepihak. Orang tidak mau shalat itu berdosa dan gak bisa ditawar.
Bagaimana  untuk melihat konsep-konsep tersebut itu sudah dianggap tepat oleh mahasiswa? Kita lihat saja gejolak-gejolak mahasiswa mulai dari kelas I-V. Kalau ada gejolak sosial berkaitan dengan agama berarti konsep agama yang kita tawarkan tidak tepat, misalnya aktifitas mahasiswa terhadap aturan mahasiswanya tertolak gak.
Bagaimana dengan kurikulum lokalnya? Saya berusaha untuk menarik ke latar belakang disiplin keilmuan masing-masing jurusan. Bagaimana respon mahasiswa secara umum terhadap PAI? Baik, saya ini memperoleh urutan 5 besar MKU, sementara urutan agama saya masuk urutan no 1.
Apa ada hubungan mata kuliah PAI ini dengan mata kuliah yang lain, sebagai prasarat? Tidak ada.  Pernah gak misalnya tidak lulus agama lalu tidak bisa mengikuti wisuda? Pernah. Pernah gak Pak Satral memberi nilai E atau D? Orang mengajar agama ini kan mengharapkan mereka itu baik, persoalannya jika ada diantara mereka yang memperoleh nilai E berarti materi yang kita sampaikan itu tidak bisa sampai atau mungkin apa yang kita jelaskan itu tidak dipahami oleh mahasiswa.
Apa kira-kira kendala dalam pengajaran PAI? Kendalanya adalah bagaimana pengembangan agama dan pengembangan ilmu agama itu sendiri. Karena berbicara masalah agama itu tidak hanya kita bicarakan saja tapi juga harus bisa kita amalkan.
Bagaimana kurikulum PAI yang ideal itu ? menurut saya al-qur’an itu sudah ideal, hanya bagaimana kita bisa menjelaskan ayat-ayat itu sesuai dengan kebutuhan global. Bagaimana al-qur’an bisa berbicara sesuai dengan konteksnya.
Apa sarana prasarana hingga masyarakat tertarik? Kita mestinya harus mampu menjalin komunikasi antar dosen umum untuk secara kolektif menciptakan iklim yang agamis. Menyediakan buku-buku agama yang sesuai dengan disiplin mereka. Sementara sarana dan prasarana lain dalam matakuliah PAI saya rasa tidak begitu penting. Sebab PAI itu yang digarap adalah dimensi akhlaqnya. Sementara akhlaq itu harus bisa diterapkan di mana-mana dan tidak satu tempat. Nah yang lebih penting adalah penyadaran akan penghayatan nilai-nilai agama ini ke dalam kepribadian mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar