BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Al-Ghazali
adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan
secara umum. Dia juga salah seorang yang berotak cemerlang yang memiliki
berbagai keunggulan dan jasa dalam berbagai aspek. Salah seorang tokoh di
masanya yang sangat menguasai ilmu agama. Ilmu pengetahuan yang dikuasainya
mencakup Fiqih, Ushul, Ilmu Kalam, Logika (Mantiq), Filsafat, Tasawuf, Akhlak
dan yang lain. Dia telah menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah
diakui kedalamannya, orisinalitas, ketinggian dan memiliki jangkauan yang
panjang.
Yusuf
Qardhawi mengatakan bahwa pada sisi lain, dia adalah seorang kutub tasawuf,
pejuang spiritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah kepada Allah swt. Dia
adalah seorang ilmuwan dan sekaligus ahli ibadat, da’i, pembaharu, juga insan rabbani
yang berilmu, beramal dan juga sebagai pengajar.[1]
Al-Ghazali
seperti yang diketahui dari beberapa literatur adalah sosok yang banyak
melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Dia telah menggeluti
dan mengkaji pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat dan teologi, mistisisme
atau sufi, dan ajaran-ajaran mistik gereja Kristen. Oleh karena itu, dia adalah
seorang sarjana, filosof, dan ahli kalam.[2]
Sosok
al-Ghazali merupakan seorang tokoh kontroversial yang sering mengundang
berbagai polemik mengenai ajaran-ajaran, pemikiran dan karyanya. Ada yang
menyanjungnya setinggi langit dan ada pula yang merendahkannya sampai dasar
lautan. Mayoritas umat Islam hingga dewasa ini menyanjungnya bahkan secara
berlebihan, beberapa karyanya masih banyak menghiasi dunia pemikiran Islam dewasa
ini, dan juga sangat banyak para pencari ilmu yang
akademi
tradisional dan mengalahkan akademi rasional. Bahkan dia bertanggung jawab atas
hancurnya istana keilmuan dan peradaban Islam secara menyeluruh.[3]
Oleh karena
itu sangat menarik untuk membahas lebih dalam lagi mengenai sosok al-Ghazali
sebenarnya dan bagaimana perjalanan hidupnya, kontroversial pemikirannya dan
karya-karyanya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
- Bagaimana biografi Imam al-Ghazali?
- Bagaimana kritik Imam al-Ghazali terhadap para filosof?
- Bagaimana pengembaraan intelektual dan pergolakan batin al-Ghazali menuju kehidupan sufistik?
- Bagaimana konsep al-Ghazali tentang makrifat?
- Bagaimana al-Ghazali mendamaikan syari’ah dan tasawuf?
- Bagaimana Pengaruh al-Ghazali di dunia Islam?
PEMBAHASAN
- A. Biografi Al-Ghazāli
Nama lengkap
Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan
pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota
di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul
Islam.[4] Orang
tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari
hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.[5]
Ayahnya
seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan
seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada
mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan
berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia
meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia
meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat
karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat
malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan
saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah
sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[6]
Akan tetapi
hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak
itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat
sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan
adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang
guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan
intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal
di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[7]
Dia mulai
memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad
al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki
pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang
lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia
kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil
belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar
pada gurunya tersebut selama 20 tahun.[8]
Setelah dua
atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke
Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar
Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga
melanjutkan pelajaran tasawwuf kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu
Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia
juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M,
al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di
sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak
bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum
perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan
menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang
lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.[9] Paham ini
kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[10]
Setelah Imam
al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke
Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan
intelektual.
Pada tahun
483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad,
tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama
di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.[11]
Para
mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh
karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa
yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang
disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan
pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur
dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali
mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja,
tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian
yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan
ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam
uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di
kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya
keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan
perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.[12]
Pada tahun
488 H/1095 M ia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik tak
dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan Baghdad
dengan dalih untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya itu hanya dalih untuk
meninggalkan status guru besarnya dan karirnya secara keseluruhan selaku ahli
hukum dan teolog.[13]
Perjalanannya setelah meninggalkan Baghdad dan pergolakan batinnya menuju
sufistik, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Akhir
kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadis dan berkumpul
dengan ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahābi, “Pada akhir kehidupannya, beliau
tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahīh Bukhāri dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”[14]
Abul Faraj
Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats-Tsābat
‘Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya). Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain
kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di
kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat
Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau
meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh
Adz-Dzahābi dalam Siyār A’lam Nubāla 6/34). Beliau wafat di kota Thusi,
pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di
pekuburan Ath Thabaran (Thabaqāt Asy Syafī’iyah 6/201).
Dalam
muqaddimah kitab “Ihyā ‘Ulūmuddīn” Dr. Badawi Thabana menulis
hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab.[15] 21 kitab
kategori Kitab Filsafat dan Ilmu Kalam, 7 kitab kategori Kitab Ilmu Fiqh dan
Ushulul Fiqh, 17 kitab kategori Kitab Ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan 2 kitab
kategori Kitab Ilmu Tafsir. Dari sini terlihat bahwa al-Ghazali adalah seorang
ulama’ yang lintas disiplin ilmu. Sehingga tidaklah berlebihan jika dia
dijuluki sebagai Hujjatu al-Islam, karena keluasan dan kedalaman ilmunya
serta semangatnya yang berkobar dalam membela Islam.
B. Kritik
al-Ghazali terhadap para Filosof
Kritik
al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya terhadap Islamic
Aristotelianism (pemikiran filosof Muslim yang dipengaruhi oleh
Aristoteles), yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan metafisika
Aristoteles. Karena teologi ini bersifat rasional, maka asumsi dasarnya ialah
bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-persoalan
teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh al-Ghazali. Dan
penolakan ini sebagaimana terjadi melibatkan pembuktian kesalahan-kesalahan
asumsi tersebut secara rasional. [16]
Dalam kitab Munqiz
min al-Dhalāl, al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga golongan.[17]
- Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka
adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
- Filosof Naturalis (Thabi’iyun)
Mereka
adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka merasa cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan
hari berbangkit.
- Filosof Ketuhanan
Mereka
adalah filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun
ia sendiri tidak dapat membebaskan dirinya dari sisa-sisa kekafiran dan
keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Menurut
al-Ghazali, filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan al-Farabi dan
Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok:[18]
- Filsafatnya yang harus dikafirkan (orang yang menganut pendapat ini dianggap kafir)
- Filsafat yang dianggap bid’ah (penganutnya berarti telah berbuat bid’ah)
- Filsafat yang tidak harus diingkari sama sekali.
Untuk lebih
jelasnya, pengelompokan filsafat di atas dapat dilihat dari pembagian ilmu
filsafat yang dikemukakan al-Ghazali. Ia membaginya menjadi enam bidang:
ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika dan metafisika (ketuhanan).
Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut dapat
diterima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam kendatipun ada hal
negatif yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut.
Adapun
bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut al-Falasifah,
al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahlul bid’ah dan kafir. Kesalahan
para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu:[19] Tiga dari
dua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir
yaitu:
- Alam dan semua substansi qadim.
- Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam.
- Pembangkitan jasmani tidak ada.
Untuk lebih jelasnya
akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai ketiga hal tersebut oleh al-Ghazali:
- 1. Masalah qadimnya alam
Persoalan
ini mendapatkan porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut
al-Falasifah, hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan
keqadiman alam.[20] Qadim
mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh
karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan.[21] Dengan
demikian dapat dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Para filosof
berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan wujud
Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty)
dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab
dari akibat seperti cahaya dari matahari.[22] Jika
dirunut pemikiran filosof lebih rumit di mengerti daripada pemikiran
al-Ghazali.
- 2. Masalah Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (parsial)
Para filosof
muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan
tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa
Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para
filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini
selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan
tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek
ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang).
Ini mustahil terjadi pada Allah.[23]
Menurut
al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut
al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada
ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan
dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti
keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut al-Ghazali
mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda lalu
berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang
berubah adalah dia bukan anda. Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui
segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah
meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan.[24] Untuk
memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di
antaranya:
- a. QS Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
- QS Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan
pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah
ini wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa
perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu
tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan
perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret,
sedangkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.[25]
- 3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para
filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja,
sedangkan jasmani akan hancur, sehingga yang akan merasakan kebahagiaan atau
kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi
di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore)
untuk memudahkan pemahaman orang awam.[26]
Al-Ghazali
pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang
lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak pula menolak
kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui
berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat
memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).[27]
Al-Ghazali
dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti
tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya
kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah
berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan
untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata”
Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang
tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores
dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan di
antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti
mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.[28]
Para filosof
muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula.
Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah
berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru
yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti
mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi,
jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit
dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan adanya manusia
yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada sifat
kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di
surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi proses yang
panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Pertentangan
antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan interpretasi karena
bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ary, ia aktif
mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizamiyah
Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan
kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran
rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun,
antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[29]
C. Pengembaraan
Intelektual dan Pergolakan Batin menuju kehidupan Sufistik
Sebagaimana
telah dijelaskan pada pembahasan pertama dalam riwayat hidup al-Ghazali, bahwa
pada tahun 484 H, saat al-Ghazali berada di puncak kejayaan karirnya, banyak
mahasiswa yang mengagumi dan mengikuti kuliahnya, begitu pula para ulama dan
masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya. Pada saat itu
pula al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga
akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah
(fisioterapi).[30] Akhirnya ia
meninggalkan pekerjaanya dan meminta saudaranya Ahmad untuk menggantikan
posisinya sebagai pengajar dan ia sendiri melakukan perjalanan (pengembaraan)
untuk mencari jawaban atas keragu-raguannya yang nanti akhirnya akan membawa
beliau menuju kehidupan sufistik.
Keputusan
al-Ghazali meninggalkan karir dan menolak semua pengetahuan yang telah
dicapainya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan setiap orang yang
mendengarnya. Al-Ghazali menuangkan semua alasan-alasan keputusannya itu dalam
kita Al-Munqîdh min-al-Dhalāl.[31] Di dalam kitab
itu, al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan mempelajari sufisme ditemukan jalan
menuju Tuhan, yaitu jalan yang tidak sama dengan yang dialaminya selama ini.
Dengan
merenungkan kedudukannya di Baghdad, al-Ghazali merasakan adanya belenggu
tangannya; Ia menganggap karya terbaiknya yang memuat kajian dan ajarannya
tidak mempunyai arti penting ataupun membantu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebab motif yang mendorong di belakang penulisan karyanya itu hanya karena
ambisi demi popularitas untuk memperoleh keuntungan sendiri.
Perjalanan
pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M (menurut
versi lain 489 H/1096 M). Al-Ghazali memasuki kota tersebut dengan berpakaian
orang miskin, duduk di depan pintu Khanqah Samisatiyah,[32] akhirnya
seorang fakir yang tak dikenal memperkenankan ia masuk. Kemudian al-Ghazali
menyibukkan diri dengan membersihkan halaman yang diperuntukkan bagi pengunjung
Khanqah tersebut, dan bekerja sebagai pembantu di sana. Di Masjid Umawi
ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah Barat sepanjang hari
dengan makan dan minum yang terbatas. Menara tersebut sekarang dikenal dengan
menara al-Ghazali (Minaret of al-Ghazali). Ia memasuki suluk sufi dengan
riyadhah dan mujahadah terus-menerus selama dua tahun di Damaskus. Al-Ghazali
hidup dengan menjalani hidup asketik menggunakan pakaian yang kasar dan
mengurangi makan dan minum, mempergunakan waktunya untuk beribadah. Sedangkan
waktu luangnya digunakan untuk berkarya, di sinilah ia menulis karya terbesarnya
Ihyā Ulūm al-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).[33]
Setelah itu
ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini
setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya untuk beruzlah
dan berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke
maqam Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat
menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke maqam
Rasulullah di Madinah. Menurut beberapa penulis, setelah ia melaksanakan ibadah
haji, ia berangkat menuju Mesir dan tinggal di Iskandariyah beberapa lama.[34]
Setelah itu
al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi
padepokan-pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan
makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal
serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa
melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh. Penulis biografinya
menulis,”sampai-sampai al-Ghazali menjadi poros (Quthb al-Wujud), suatu
anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap makhluk dan sebagai petunjuk guna
menggapi kepuasan terhadap Allah SWT.[35]
Pada saat Fakhr
al-Muluk Jamal as-Shuhada menjdi wazir, dan menempati istananya, ia
mendengar sosok al-Ghazali dan reputasi ilmunya, khususnya kehandalan dalam
penyucian jiwa dan perilaku hidupnya. Maka Fakhr al-Muluk meminta restu,
mengunjunginya, mendengar ceramahnya dan akhirnya meminta agar dia tidak
menyia-nyiakan keistimewaannya tanpa meninggalkan buah bagi yang lainnya, dan
tidak memberikan sinar bagi mereka. Wazir terus mendesak dan memohon al-Ghazali
sampai ia menyetujuinya. Akhirnya al-Ghazali dibawa ke Nishapur, dan
diangkat menjadi professor di Akademi Maymuna Nizamiyah, setelah tidak
dapat mengelak dari permintaan pemerintah.
Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 499/1067-7. Al-Ghazali sendiri sadar bahwa hal ini
kehendak Allah yang telah membangkitkan hasrat Fakhr al-Muluk agar
al-Ghazali kembali membenahi keimanan umat Islam. Dia merasa keinginan mencari
kedamaian dan menjauhi hidup keduniaan tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan
mengasingkan diri. Lagi pula ia telah berkonsultasi dengan teman sejawat sufi
yang memiliki pandangan ke depan, mereka menganjurkan agar keluar dari hidup
menyendiri dan membenahi aqidah umat Islam. Ditambah lagi mimpi dari rekan
sufinya yang merestui keputusannya. Sebab Tuhan telah menetapkan awal abad ini
sebagai momen yang tepat (500 H). Karena Allah SWT telah menjanjikan
kebangkitan agama pada tiap awal abad, dan al-Ghazali berharap bahwa inilah
tugas yang dibebankan Allah padanya, dengan tekad inilah dia pergi ke Nishapur.[36]
Al-Ghazali
memberikan seluruh petunjuk yang ia peroleh bagi orang lain, serta memberikan
hasil-hasil selama hidup menyendiri. Al-Ghazali biasa bertukar pikiran dengan
muridnya pada malam hari. Ia menceritakan tentang apa yang telah menimpanya
mulai sejak ia memutuskan untuk mengembara menuju Tuhan, hingga ia pergi belajar
tentang sufisme di bawah asuhan al-Farmadhi. Setelah Fakhr al-Muluk
meninggal, al-Ghazali kembali ke Tus, dan mendirikan
akademi teologi dekat kampung sufi. Pada masa ini sekali lagi ia diminta oleh
wazir al-Said untuk mengajar lagi di Akademi Nizamiyah di Baghdad, tetapi
al-Ghazali menolaknya.[37]
Selama di
Tus, al-Ghazali mempergunakan waktunya untuk melayani orang yang memerlukan di
sekelilingnya, mendalami Alquran, mempelajari hadis lagi, bergaul dengan orang
shaleh, mengajar dan beribadah. Sehingga tidak ada waktu sedikitpun yang
tersisa dalam menunggu “cinta” kematiannya. Sampai akhirnya al-Ghazali
meninggal pada hari Senin, 14 Jumada al-Tsani 505 H bertepatan dengan 18
Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun.[38]
D. Konsep
Makrifat al-Ghazali
Menurut
al-Ghazali, perjalanan tasawuf pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan
pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena
itu al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penerapan moral
atau akhlak yang terpuji baik di sisi manusia maupun di sisi Tuhan.
Keistimewaan
yang luar biasa dari al-Ghazali, bahwa dia adalah seorang pengarang yang
produktif.[39] Di samping
itu, keistimewaan al-Ghazali yang lain adalah uraiannya yang berhubungan dengan
makrifat sebagai jalan mengenal Allah. Secara jelas al-Ghazali menguraikan
makrifat sufi dari segi cara-cara pencapaian, metode, obyek dan tujuan yang
jelas dan gamblang sehingga teorinya tentang makrifat dapat dipandang sebagai
teori lengkap dan kompherensif dibanding dengan teori sufi sebelumnya.
Tingkat
makrifat yang terdapat dalam tasawuf, menurut al-Ghazali, adalah jalan yang
membawa kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini. Makrifat dalam
istilah tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab atau tabir, hilang dari
depan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat
Tuhan dan hal-hal yang tak dapat dilihat manusia biasa.[40] Makrifat
menurut konsep al-Ghazali adalah pembangunan konsep para sufi sebelumnya.
Al-Ghazali tidak hanya memberikan makrifat (pengenalan) langsung terhadap Allah
sebagaimana pandangan sebagian para sufi, tetapi termasuk dalam pengertian
makrifat adalah pengenalan terhadap semesta ini.
Menurut
al-Ghazali makrifat bukan hanya sekedar pengenalan biasa tetapi berupa ilmu
yang tidak diragukan kebenarannya atau al-Ilmu al-Yakin. Tersingkap
secara jelas, tidak hanya terdapat keraguan, tidak salah dan keliru. Dikatakan
pula makrifat adalah qalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi. Qalbu
menurutnya ada dua macam, yaitu qalbu jasmani dan qalbu rohani. Menurutnya,
qalbu adalah cermin, ilmu adalah pantulan gambar realitas yang ada di dalamnya.
Jika cermin tidak bening, maka dia tidak dapat memantulkan realitas ilmu.
Cermin qalbu kelabu karena hawa nafsu, ketaatan kepada Allah harus berpaling
dari tuntutan hawa nafsu. Dengan berpaling, keinginan hawa nafsu, qalbu akan
cerah dan cemerlang.[41]Harun
Nasution juga berpendapat bahwa makrifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dan
mengetahui secara sistematis yang meliputi aspek keilahian (peratutan Tuhan)
yang meliputi segala yang ada.[42]
Adapun
kesimpulan tasawuf menurut ajaran tasawuf al-Ghazali, bahwa maqam mahabbah akan
dapat dicapai dengan tingkat makrifat yang merupakan tujuan akhir dari
seseorang sufi karena itu jalan yang harus ditempuh seorang sufi bermula dari
pembersihan batin secara keseluruhan dan segala sesuatu selain Allah, lalu
tenggelam secara keseluruhan dalam zikir Allah. Menurut al-Ghazali, makrifat
dan Mahabbah lah setinggi-tinggi tingkat yang dicapai seorang sufi. Dan
pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan
yang diperoleh dengan akal.
E. Mendamaikan
antara Syari’ah dan Tasawwuf
Menurut
pemahaman kebanyakan umat Islam, agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia,[43] Islam
merupakan ajaran aqidah dan syari’ah, kalau aqidah mengenai kepercayaan dan
keyakinan, sedangkan syari’ah mengenai selainnya dalam artian mencakup ibadah,
mu’amalah dan akhlak. Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas
waktu dan tempat tertentu, bahkan Alquran menyatakan lingkup keberlakukan
ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adalah untuk seluruh umat
manusia di manapun mereka berada dan bahkan kepada seluruh alam semesta.[44]
Dalam aqidah
Islam memberikan kategorisasi antara dua bagian yang sempurna yaitu lahir dan
batin, yang dimaksud dalam hal ini ialah syari’ah dan haqiqah (tasawuf).
Yang pertama disebut zahir sedangkan yang kedua disebut batin yaitu bagian
dalam diri manusia. Antara syari’ah dan tasawuf bagaikan kulit dan isi atau
seperti lingkaran dan titik pusatnya.
Al-Ghazali
sebagai seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara syari’ah dan
tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari
kalangan penganut syari’ah maupun kalangan sufi. Al-Ghazali mengikat tasawuf
dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul karyanya yang paling
monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Nampak betapa besar jasa al-Ghazali
yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan umat Islam
mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan dengan penuh ketekunan.[45]
Apa yang
dicita-citakan al-Ghazali tercapai, yaitu menghidupkan dan memperdalam kualitas
keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan
mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan
keterikatan yang ketat dalam pengamalan tasawufnya dengan syari’ah dan
ayat-ayat Alquran dan hadis, tasawuf mulai mendapat simpati dari kalangan ulama
ahli syari’ah dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
paling kaya kerohanian dan tuntunan moral. Tasawuf bisa berfungsi sebagai obat
yang paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekakuan dan kekeringan
nasionalisme fiqhiyyah dan penyakit spritualisme ilmu kalam.[46]
Al-Ghazali
secara tegas mengatakan bahwa antara syari’ah dan tasawuf mempunyai hubungan
yang sangat erat. Ia membantah pendapat sebagian kalangan yang mengatakan
adanya pertentangan antara syari’ah dan tasawuf. Al-Ghazali mengatakan “ Barang
siapa yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan syari’ah bertentangan atau yang
batin bertolak belakang (bertentangan) dengan yang lahir, maka kekufuran lebih
dekat padanya daripada keimanan”.[47]
Bahkan
ketika al-Ghazali menjelaskan tentang jalan untuk menuju kebahagiaan, baik di
dunia maupun di akhirat maka satu-satunya jalan ialah ilmu dengan amal
(ibadah): “ Kaum Sufis dan Filosof yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat secara keseluruhan, walaupun mereka berbeda dalam tatacara pemahaman
secara garis besar mereka seluruhnya sepakat bahwa sesungguhnya kebahagiaan
adalah dalam ilmu dan ibadah. Sedangkan pemikiran mereka berada dalam perincian
ilmu dan amal.”[48]
Dari
serangkaian keterangan-keterangan tersebut di atas jelas kiranya bahwa
penyelarasan antara hubungan syari’ah dan tasawuf haruslah dipadukan, berjalan
beriringan, tidak mengambil (mengamalkan) salah satunya lalu meninggalkan yang
lainnya, sama sekali tidak, jalan kebahagiaan adalah perpaduan antara ilmu dan
amal, atau antara syari’ah dan tasawuf.
Dalam
konteks ini al-Ghazali secara konkrit telah berhasil merumuskan bangunan
ajarannya yaitu konsepsinya yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat
antara pengamalan sufisme dan syari’ah seperti yang tersusun dalam karya
monumentalnya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Contoh kompromi itu misalnya dalam
kasus shalat, bagaimana gambaran praktis hubungan syari’ah dan tasawuf
(tatacara amal lahir dan batin shalat. Dalam melakukan ibadah khusunya sholat,
di mana seseorang hanya dapat mencapai kesempurnaan dan dapat diterima
sholatnya jika memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang dikemukakan oleh ahli
syari’ah maupun para sufi. Dalam menegakkan shalat seorang sebelumnya harus
membersihkan diri (thaharah). Menurut ahli fiqh membersihkan diri (thaharah)
ialah menyucikan badan atau anggota tubuh dari najis, tempat shalat, sedangkan
menurut ahli tasawuf, membersihkan diri berarti bersih selain di atas harus
bersih pula pakaian yang dipakai dalam arti harus diperoleh dari sumber yang
halal. Sebelum berwudhu’ menurut ahli fiqh seseorang harus membaca bismillah,
sedangkan menurut sufi selain melakukan hal-hal di atas seseorang haruslah
istighfar dalam rangka pembersihan jiwa.
Kompromi
yang dicetuskan al-Ghazali mampu memberikan pemahaman keagamaan dalam beribadah
kepada Allah, pada satu sisi peribadatan ahli fiqh yang telah cenderung hanya
mementingkan segi formalitas belaka telah mendapat reaksi dari kaum yang ingin
menghayati agama dengan lebih mendalam dalam beribadah. Beribadah kepada Allah
yang formal adalah menurut tatanan syari’ah Islam, tetapi hati sufi tidak hadir
lagi dalam beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam melainkan dengan
kekhusyu’an jiwa. Selain dengan perasaan khusyu’, keikhlasan beribadah mendapat
perhatian yang serius dari kalangan sufi.
F. Pengaruh
Al-Ghazali di Dunia Islam
Pengaruh
al-Ghazali sangat luas, kuliah-kuliah dan karya-karyanya diterima secara luas.
Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal di kalangan komunitas
muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat. Meskipun sudah hampir
seribu tahun al-Ghazali meninggal, namun ilmunya, dan tetesan kalam buah
penanya mengekal abadi. Karya-karyanya berpengaruh karena diperlukan dan
ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.[49]
Tokoh
al-Ghazali menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran
Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan kebenaran
pengaruhnya di kalangan Islam. Dia ahli agama, pendidikan dan hukum Islam,
selain itu juga memiliki ilmu yang luas tentang filsafat, tasawuf, akhlak, dan
masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia Islam ia
amat berpengaruh bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam
memimpin mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil. Sampai
sekarang pengaruh al-Ghazali masih terus ada di seluruh dunia Islam.[50]
Di Timur
al-Ghazali mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan spiritual umat,
sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam. Bukunya
Ihyā ‘Ulūm al-Dîn adanya bukti dari adanya usaha tersebut. Pada waktu
itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh
negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam, dan aliran kebatinan. Melalui
pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari
pemujaan akal atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah swt., yaitu dalam arti
hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan dapat
dicapai.
Di belahan
barat dunia Islam, tulisan al-Ghazali tidak saja mempengaruhi pemikir Islam
seperti Ibn Rusyd, tetapi juga mempengaruhi para pemikir Kristen dan
Yahudi seperti Thomas Aquinas dan Blaise Puscal,[51] dan
filsuf-filsuf Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, yang
memiliki banyak persamaan pendirian dengan al-Ghazali, bahwa
pengetahuan-pengetahuan agama tidak diperoleh dari akal pikiran tetapi harus
hati dan rasa.[52]
Ketidakgentarannya
dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf
banyak pula mendatangkan kritikan dan pertentangan di kalangan Mutakallimin,
baik ketika al-Ghazali masih hidup maupun setelah meninggal. Di Andalusia,
seorang Qadhi dari Cordoba, Abu Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan
karangan-karangan al-Ghazali. Para Qadhi di Spanyol pada umumnya menerima
pengutukan itu, hasilnya seluruh karya-karya al-Ghazali dibakar. Masyarakat
dilarang memiliki karya-karya al-Ghazali dengan ancaman sangsi hukuman mati.
Termasuk di dalamnya kitab Ihyā ‘Ulūm al-Dîn.[53]
Karya-karya
al-Ghazali pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash,
Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin pada daerah tersebut adalah seorang yang
berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah
agama.
Ia menerima saran dari ulama ortodoks yang
memiliki otoritas pada masa itu. Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan
menganggap bahwa filsafat dan teologi keduanya dapat merusak keyakinan, aqidah
yang benar. Oleh karena itu, ia melarang beredarnya buku-buku al-Ghazali dan
mengeluarkan perintah agar membakar seluruh karya al-Ghazali.[54]
Pengeritik
lainnya adalah Ibnu Rusyd, salah seorang filosof Spanyol. Ia menganggap
al-Ghazali tidak konsisten dalam doktrin emanasi, ia juga mengeritik
karya-karya al-Ghazali khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan
mengarang kitab Tahāfut al- Tahāfut. Dia menganggap bahwa ajaran
al-Ghazali kadang-kadang merusak syari’ah, terkadang merusak filsafat,
terkadang merusak keduanya, namun juga menguntungkan keduanya.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas penulis dapat menyimpulkan dalam beberapa kesimpulan berikut ini
:
a)
Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy.
Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghāzalah,
Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mulai memasuki pendidikan di daerahnya
yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Kemudian ia
kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil
belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj selama 20 tahun. Selanjutnya
berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al
al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, selanjutnya al-Ghazali
pergi ke kampus Nizam al-Mulk. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi
Guru Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad.
b)
Kritikan al-Ghazali pada para filosof muslim yang menganut paham
Aristotelenianism yakni terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dituangkannya
dalam kitab Tāhafut al-Falāsifah terfokus pada tiga pembahasan yaitu
tentang keqadiman alam, ketidaktahuan Tuhan akan yang juz’iyyat, dan
tidak adanya kebangkitan jasad setelah mati.
c)
Pengembaraan intelektual Al-Ghazali dimulai sesaat setelah dia melepaskan
tugas-tugasya sebagai Guru Besar di Kampus Nidzamiyyah Baghdad. Perjalanan
pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M. Setelah
itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di
sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya uzlah dan
berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam
Nabi Ibrahim as Setelah itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai
pengembara mengunjungi padepokan–pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup
zuhud, asketis, dengan makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil
berisi sedikit bekal serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk
membersihkan jiwa melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh.
d)
Menurut al-Ghazali makrifat bukan hanya sekedar pengenalan biasa tetapi berupa
ilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-Ilmu al-Yakin. Tersingkap
secara jelas, tidak hanya terdapat keraguan, tidak salah dan keliru. Dikatakan
pula makrifat adalah qalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi.
e)
Al-Ghazali sebagai seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara
syari’ah dan tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah
pihak, baik dari kalangan penganut syari’ah maupun kalangan sufi. Al-Ghazali
mengikat tasawuf dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul karyanya yang
paling monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Nampak betapa besar jasa
al-Ghazali yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan
umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan dengan penuh ketekunan.
f)
Pengaruh al-Ghazali sangat luas, kuliah-kuliah dan karya-karyanya diterima
secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal, di kalangan
komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur maupun di Barat. Beberapa
kalangan sangat menyanjung hasil karya al-Ghazali dan sebaliknya banyak juga di
kalangan pemikir Islam yang menolak karyanya bahkan berusaha menghancurkan
karya-karya al-Ghazali. Satu yang tetap dicatat oleh sejarah bahwa
pemikiran-pemikiran al-Ghazali hingga saat ini masih hidup dan sangat kental
dalam komunitas Islam Sunni.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M.
Amin. Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam. Cet.II; Bandung:
Mizan, 2002.
Al-Ghazali,
Abu Hamid. Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Hamdi, Ahmad
Zainul. Tujuh Filsuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; . Jakarta: PT Bulan Bintang,
1991.
Isa, H.
Ahmadi. Tokoh-tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh. Cet. I; PT Raja
Grafindo, 2000.
Jaya, Yahya.
Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental.
Cet. I; Jakarta: Rahama, 1994.
Kholid
Syamhudi. Imam al-Ghazali. www.muslim.or.id (19 November 2010).
Mubarak,
Zaky. Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli. Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy
al-Taba’at al-Nasyr, 1968.
el-Muhammady,
Uthman, Muhammad. Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali.
www/Scribd/com/doc/2917072/ (19 November 2010).
An-Nadawi,
Abul Hasan Ali. Rijālul fikri wad Da’wati fil Islām. Darul Qalam.
Nasution,
Harun. Islam Rasional. Cet. III; Bandung: Mizan, 1995.
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet.III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Poerwantama,
dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam. Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994.
Qardhawi,
Yusuf. Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali. Cet.II; Surabaya: Risalah Gusti,
1997.
Simuh. Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam. Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.
Smith,
Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. terj.
Amrouni, Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Sudarsono. Filsafat
Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Zar, H.
Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Cet.I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2004.
___________, Al-Munqîz min al-Dhalāl. terj. Abdullah bin Nuh, Cet.I;
Jakarta: Tinta Mas, 1996.
___________,
Tahāfut al-Falāsifah. Sulaiman Dunya. (ed) Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
___________,
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
___________, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Ibn Rusyd Dalam Tiga
Metafisika. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981.
___________,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
[1]Yusuf
Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali (Cet. II; Surabaya: Risalah
Gusti, 1997), h. 9.
[2]Margareth
Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, terj. Amrouni
(Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 259.
[3]Yusuf
Qardhawi, op. cit., h. 174.
[4]Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
h. 77.
[5]Zaky
Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy
al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.
[6]Ibid.
[7]Abu Hamid
al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 3.
[9]M. Amin
Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam (Cet.II;
Bandung: Mizan, 2002), h. 28-29.
[10]Hasyimsyah
Nasution, op.cit., h. 78.
[11]A. Hanafi, Filsafat
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 197.
[12]Muhammad
Uthman el-Muhammady, Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali, www/Scribd/com/doc/2917072/
(19 November 2010).
[13]M. Amin
Abdullah, loc. cit.
[14]Kholid
Syamhudi, Imam al-Ghazali, www.muslim.or.id (19 November 2010).
[15]Zainuddin
dkk, Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Cet.I; Jakarta: Bumi
Aksara, t.th.), h. 19-21.
[16]M. Amin
Abdullah, op.cit, h. 58.
[17]Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali, Munqiz min al-Dhalāl, terj. Abdullah bin Nuh, (Cet.
I; Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 14-24.
[18]Yusuf
Qardhawi, op.cit., h. 27.
[19]Al-Ghazali, Tahāfut
al-Falāsifah, Sulaiman Dunya (ed) (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), h. 85,
sebagaimana dikutip oleh Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Cet.III;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 83-84.
[20]M. Amin
Abdullah, op.cit., h. 62.
[21]Harun
Nasution, Islam Rasional (Cet.III; Bandung: Mizan, 1995), h. 47.
[22]Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar-al-Ma’arif, 1962),
h. 86-87.
[23]Al-Ghazali, Tahafut,
op.cit., h. 206-207.
[25]Sirajuddin
Zar, op. cit., h. 171.
[26]Al-Ghazali, Tahafut,
op. cit., h. 284.
[29]Sirajuddin
Zar, op, cit., h. 173.
[30]Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet.V; Jakarta: PT Bulan Bintang,
1991), h. 135.
[31]Margareth
Smith, op.cit, h. 17.
[32]Sebuah Biara
milik golongan samisat di tepi sungai Euprat, lihat Ibid., h. 18.
[33]Margareth
Smith, op.cit., h. 21.
[34]Ibid.
[39]H. Ahmadi
Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh (Cet. I; [t.t]: PT
Raja Grafindo, 2000), h. 190.
[40]Harun
Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Cet.I;
Jakarta: UI Press, 1986), h. 53.
[41]H. Ahmadi
Isa, op.cit. h. 196.
[42]Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 78.
[43]Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, menyebutkan
bahwa Islam terdiri dari aspek ibadah, aspek sejarah dan kebudayaan, aspek
politik, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme dan aspek
pembaharuan (Cet.VI; Jakarta: Rajawali, 1987).
[44]Lihat
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS.
Al-Anbiya (21): 107, QS. Saba (34): 28, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), h.
461 dan 611.
[45]Disadur dari
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Cet.II; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 159.
[47]Al-Ghazali, Ihyā
‘Ulūm al-Dîn , op.cit., h. 100.
[48]Al-Ghazali, Mizan
al-Amal, ([t.t.], Maktabah wa Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subhy wa Auladuh,
1328 H/1976 M), h. 12.
[49]Margareth
Smith, op.cit., h. 225.
[50]Yahya Jaya, Spritualisasi
Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Cet. I;
Jakarta: Rahama, 1994), h. 12-13.
[52]Poerwantama,
dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam (Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), h. 168.
[53]Margareth
Smith, op.cit., h. 226.
[54]Ibid.
Assalam-o-Alykum, my name is Muhammad Qasim I am from Pakistan. Sorry my English is not good.
BalasHapusIts happened with me, from last 26+ years Allah and Muhammad s.a.w keep coming into my dreams, over 460+ times Allah comes in my dreams and 250+ times Mohammad s.a.w comes in my dreams, when I was about 12 years old I saw first time Allah and Mohammad s.a.w both in dream, after that in 93 when I was 17 years old Allah and Mohammad s.a.w starts coming continuously in my dreams and still Allah and Muhammad s.a.w coming into my dreams.
Muhammad s.a.w is the last Messenger of Allah and its my Imaan Mohammad s.a.w is the last Prophet of Allah and I am the Ummati of Muhammad s.a.w
In 2007 Allah and Mohammad s.a.w starts teaching me in dreams what u have to do and what u have not to do, Mostly Allah and Muhammad s.a.w told me to avoid from all type of form of shirk and in april-2014 Allah and Mohammad s.a.w start to telling me in dreams qasim share your dreams to everyone than I started to share my dreams to my family members, friends and some other people, I also share my dreams through email to Pak Army official sites, Pak Govt sites.
Dec-2014 Mohammad s.a.w comes twice time in dream in a night and told me "qasim you should have to share ur dreams to everyone to save Pakistan to save Islam" I got confused I talked my self I share my dreams to many people and they are not believing on it what should I do more? and then Peshawar school got attacked and then I think and decided to share my dreams on Internet forums, but still people not believing on me and my dreams.
In 1994 Allah talked to me in dream from the sky I still remember those words I try to translate it in English "qasim which promises I make with you one day I will full fill my promises and if I cant full fill my promises I will not the Lord of the whole universe"
From that day I start waiting for the Allah and I didnot lose my hope but whenever I about to lose my hope Allah or Mohammad s.a.w comes into my dreams and told me like that "Sabbrun Jameel qasim" , "qasim only Non-Muslim loses their hope" , "qasim Muslim cant be lose his hope".
In many dreams Allah told me qasim go and turns the world into light as the world in the darkness.
Many dreams related to my personal life many dreams related to Pakistan/Muslim world and the whole world but its start from Pakistan and many dreams related to Qiammah(the judgment day).
Allah and Muhammad s.a.w told me many times in dreams qasim one day you will get out the Whole Muslim Ummah from the darkness and then even the whole world and one day the whole world will become peaceful. but its starts from Pakistan.
In few dreams i saw when whole world will become peaceful a man coming from somewhere else and try to destroy the world peace.
In few dreams I saw Esa A.S(Jesus a.s) coming from the sky and Yajooj Majooj (gog magog) come out and spread the whole world and I with very few people join the Esa A.S(Jesus a.s) and then we live with Esa A.S .....
In Feb 2015 Allah told me in dream qasim u will be the last Ummati of Muhammad s.a.w who will die on this earth. means after my death there will b no Muslim left on the earth but only bad people, and Qiyamah will establish on them.
In another dream Allah told me qasim I(Allah) will full fill my all promises within next 13 years which I (Allah) makes with you.
my fb page My Dreams about Signs of Qiyamah, End of Times
my blog My Dreams about Signs of Qiyamah, End of Times
Regards,
Qasim