BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Usaha utama untuk
melestarikan Sunnah bermacam-macam dan sesuai dengan tuntutan zamannya.
Walaupun demikian, ada beberapa usaha yang terus berkembang dari generasi
kegenerasi, yakni mempelajari, meneliti, memahami dan menyebarkan pengetahuan
yang berkaitan dengan Sunnah.[1]
Agama Islam
sebagai agama produk Ilahi adalah agama yang benar dan sempurna dimana
Allah telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama ini.[2]
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala
waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia. “صالح لكل زمان ومكان”
Sudah menjadi sunnatullah
bahwa alam senantiasa mengalami perkembangan, manusia sebagai bagian dari alam
pun mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman
itu, ditandai dengan kemajuan peradaban dunia sebagai wujud kecenderungan
manusia yang senantiasa memikirkan fenomena yang terjadi dalam diri dan
sekitarnya. Kecenderungan manusia itu, lalu kemudian diabstraksikan dengan
berbagai cara dan metode sehingga melahirkan berbagai disiplin ilmu yang lebih
dikenal dengan istilah sains.
Di tengah maraknya
penemuan dan bidang sains dewasa ini tampaknya umat Islam pun semakin
tanggap dan bersikap positif terhadap dinamika perkembangan itu, dengan
berupaya mengkaji sumber ajaran Islam melalui berbagai disiplin ilmu, upaya ini
dimaksudkan agar ajaran Islam tetap eksis di tengah pesatnya perkembangan sains
dan teknologi modern.
Pendekatan sains
dalam pengkajian hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua dipandang sangat
penting, sebab mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara
tersurat (tektual), sedangkan ada hadis tertentu lainnya lebih tepat jika
dipahami secara tersirat (kontekstual).[3]
Hadis pada awal
pertumbuhannya, uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah saw.,
sebagai sumber hadis[4] dan
konsekuensinya para sahabat menerima dan menjalankan apa yang dikatakan,
diperbuat, dan di-taqrir-kan oleh Rasulullah saw., sebagai wujud dari
pada keimanan dan ketaatan mereka.
Kondisi tersebut
mewarnai kehidupan sosial para sahabat, sehingga dapat dikatakan bahwa sahabat
dalam menerima hadis, selain mengikuti dalam bentuk penampilan pribadi
Rasulullah saw., juga dalam bentuk melihat dan mendengarkan secara langsung
dari Nabi. Akhirnya, apa yang dilihat dan didengarkan bukanlah sesuatu yang
meragukan, bahkan suatu kebenaran mutlak.
Kecenderungan ini
membawa sahabat untuk tidak merasa berkewajiban memikirkan, apakah yang telah
diucapkan oleh Rasulullah saw. saat itu sesuai dengan kondisi yang akan datang,
dan dapat dikaji secara ilmiah.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, pada makalah ini akan dipaparkan, sejauh manakah
ketepatan/kebenarannya matan-matan hadis-hadis Nabi ditinjau
dari sains modern
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
II. PEGERTIAN
Pendekatan sains dalam pengkajian kontekstual
hadis, pada dasarnya judul ini terdiri dari beberapa variabel yang perlu
diuraian arti katanya masing-masing, sebagai langkah awal memahami pembahasan
selanjutnya.
Kata pendekatan berasal dari akar kata “dekat”, yang
berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan
perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai
pengertian tentang penelitian.[5]
Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti mendekati.
Kata sains berasal dari bahasa Inggris (Science)
adalah Knowledge acquired by study or sistimatized knowledge of any one
department of the study of mind or metter, as, the science of phisics.[6]
Yang berarti pengetahuan yang diakui oleh study atau
pengetahuan yang sistimatis dari sesuatu departemen yang mempelajari suatu
masalah seperti ilmu pengetahuan pisik.
Adapun menurut istilah, William J. Goode dan Paul K.
Hatt guru besar pada jurusan Sosiologi dari Colombia University dan
Northwestern University, mendefinisikan ilum (science) sebagai
kumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistimatik.[7]
Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara
tertib oleh manusia.[8]
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa sains adalah
ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis sehingga mempu melahirkan
pengetahuan baru dengan jalan observasi dan eksperimen yang memenuhi standar
ilmiah.
Secara etimologi kata “kajian” berarti belajar,
mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan sesuatu.[9]
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “study” yang berarti
penyelidikan dan mengamati tentang susuatu keadaan, memeriksa dengan teliti.[10]
Selanjutnya, kata “Kontekstual” berasal dari kata
“konteks” yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti: Bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang
ada hubungannya dengan suatu kejadian, dalam pengertian ia melihat sesuatu
secara keseluruhan sehingga meliputi seluruh makna, baik secara tekstual maupun
secara kontekstual.[11]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensi
Pendekatan Sains
Ilmu pengetahuan
atau sains dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang
terdokumentasi dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan
karyanya yang sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan,
kualitas pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti
proses bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu
lebih banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran
dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang
lebih pesat lagi.[12]
Dengan pendekatan
melalui ilmu pengetahun (sains) dapat membentuk nalar ilmiah yang
berbeda dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini
tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk
kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan
dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis
diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk
memahaminya.[13]
B. Sains
adalah Salah Satu Pendekatan dalam Memahami Hadis secara Kontekstual
Sekali saja Nabi
bersabda, dibutuhkan penelitian dalam bermacam ilmu,[14]
karena setiap sabda Nabi selalu menjadi pengasuh dan mendorong kepada umatnya
agar memanjatkan pikiran ke arah ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karena setiap ayat Alquran dan sabda Nabi, bila tanpa dianalisa dari
segi ilmu pengetahuan baik yang eksak ataupun yang abstrak tentu akan dijumpai
keburukan dan akan menyimpang dari tujuan hakiki.
Diketahui bahwa di
tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains, menuntut pemahaman
yang lebih komprehensip terhadap hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Hal
ini dipandang semakin penting, mengingat hadis-hadis yang dikemukakan oleh
beliau terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu, sehingga dalam konteks
sekarang ini, terdapat hadis yang kelihatan kurang relevan lagi, jika hanya
dilihat secara tekstual. Karena itu, dibutuhkan pemahaman secara kontekstual.
Pengkajian konterkstual sebuah matan hadis dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai disiplin ilmu.
Al-Sibāiy
mengemukakan bahwa ada tiga bentuk memperoleh pengetahuan dalam Islam yaitu: pertama,
adakalanya berupa berita yang valid dan diyakini oleh penerimanya, seperti
pekabaran-pekabaran dari Allah yang tercantum dalam kitab-Nya; kedua,
adakalanya dengan hasil eksperimentasi ataupun observasi yang benar; dan ketiga,
adakalanya hukum akal atas masalah yang tidak ada penjelasannya, baik melalui
pekabaran yang valid maupun hasil eksperimentasi atau observasi.[15]
Melihat banyaknya
temuan di bidang sains dan teknologi dewasa ini, akan sangat
memungkinkan untuk menggunakan teori-teori atau fakta-fakta ilmiah dalam kajian
kontekstual hadis. Hal ini diharapkan berlangsung bukan hanya sekarang, tetapi
juga masa-masa yang akan datang. Kajian konterkstual hadis semacam ini haruslah
dilakukan seobyektif mungkin dalam rangka pelestarian hadis yang telah
diakui keabsahannya oleh para ulama, baik sanad maupun matan-nya
tidak mungkin dibatalkan oleh temuan-temuan sains modern. Dalam arti
purlu adanya kehati-hatian serta menggunakan multi approach untuk
memahami hadis secara kontekstual.
Dalam kaitan
dengan pengkajian kontekstual hadis, ulama telah merumuskan suatu standarsebagai
borometer dalam menentukan validitas sebuah matan hadis, sekaligus
dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaan pendekatan sains. Adapun
standar atau tolak ukur dimaksud, sebagai berikut: a) Hadis tidak bertentangan
dengan petunjuk Alquran, b) Hadis tidak bertentangan dengan kebenaran rasional
yang aksiomatis, c) Hadis tidak bertentangan dengan realitas indrawi, d) Hadis
tidak bertentangan dengan fakta sejarah, dan e) Hadis tidak bertentangan dengan
sunnatullah pada alam dan manusia.[16]
Berikut ini
dikemukakan beberapa contoh hadis yang membutuhkan pendekatan disiplin ilmu dan
pemahaman secara kontekstual sebagai berikut:
- a. Hadis tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
لا يزال هذا الامر في قريش ما بقي منهم اثنان ( رواه
البخاري ومسلم وغيرهما )[17]
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara)
ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada
walaupun tinggal dua orang”.
الا ئمة من قريش ( رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزه )[18]
“Pemimpin itu dari suku Quraisy”.
Ibnu Hajar
al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari
kalangan Mu’tazilah dan Khawārij yang membolehkan jabatan
kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy.
Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara
disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang
bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala
negara.[19]
Pemahaman secara
tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam sejarah
telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para penguasa
dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut
dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan tentunya
benar berlaku secara universal.
Apabila kandungan
hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk
yang terdapat dalam Alquran yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu
sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[20]
Dengan demikian
maka diperlukanlah pemahaman secara kontekstual bahwa hak kepemimpinan bukan
pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa
Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat
yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa ada
orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk
memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai
pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali
dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[21]
- b. Hadis tentang Wanita Menjadi Pemimpin
لا يفلح قوم ولوا امرهم امراة ( رواه البخاري وترمذي
والنساءي عن ابي بكر )[22]
“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang
menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.
Jumhur ulama
memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa
berdasarkan petunjuk hadis tersebut, maka pengangkatan wanita menjadi kepala
negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang.
Mereka mengatakan bahwa wanita menurut petunjuk syara’ hanya diberi
tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya.[23]
Untuk memahami
hadis tersebut, perlu dikaji lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada
saat hadis itu disabdakan oleh Nabi. Di mana diketahui bahwa hadis itu
disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan
wanita menjadi ratu di Persia. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia, yang
diangkat menjadi kepala negara adalah seorang laki-laki. Yang terjadi pada
tahun 9 H. itu menyalahi tradisi tersebut, yang diangkat menjadi kepala negara
bukan laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin
Kisrah bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia
setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara.
Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya yakni saudara laki-laki
Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan, karenanya
lalu Buwaran dinobatkan sebagai ratu (Kisra).[24]
Pada waktu itu
derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki.
Wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan
masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-lakilah
yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Bahkan keadaan
seperti itu tidak hanya terjadi di Persia, bahkan jazirah Arab pada umumnya.
Dalam kondisi
kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi memiliki kearifan tinggi
meyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kenegaraan dan kemasyarakatan kepada
kaum wanita tidak akan sukses (menang atau beruntung) sebab bagaimana mungkin
akan sukses, kalau orang yang memimpin adalah makhluk yang sama sekali tidak
dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan wanita pada saat iu
sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Dengan demikian
dalam perjalanan sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin
meningkat, akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan yang sama
dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum
wanita untuk melakukan berbagai aktivitas dan amal kebajikan.
Dalam keadaan
wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka hadis di
atas harus dipahami secara kontekstual, maka dalam situasi seperti sekarang
ini, tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat menjadi pemimpin.
c. Hadis tentang Lalat
اذا وقع الذباب في شراب احدكم فليغمسه ثم لينزعه فان في
احدي جناحيه داء والاخري شفاء ( رواه البخاري )[25]
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang di
antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah satu
sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd
al-Waris al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena
lazimnya lalat itu pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis
ini telah dinilai shahih oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai
sekarang.[26]
Namun sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan
kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah saw. ini, kini termasuk di
antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan
sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada anggota badannya. Di dalam
tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena
itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut
menyerupai obat anti biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada
saat lalat masuk ke dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel
pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu
diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat penawar (toxine) yang
membunuh kuman-kuman tersebut.[27]
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf
Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi,
khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami
kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang makanan yang telah terhinggapi
lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk
hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[28]
- d. Hadis tentang Larangan Senggama Waktu Haid
حدثنا عبد الله عن ابيه قال حدثني عفان قال حدثنا
حماد بن سلمة قال حدثنا حكيم الاثرام عن ابي تميمة الههجيمي عن ابي هريرة ان رسول
الله صهم قال من اتي حائضا او امراة في دبرها او كاهنا فصدقه فقد برئ مما انزل
الله علي محمد صلي الله عليه و سلم[29]
“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari
Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy
dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli
istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau mempercayai
tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang diturunkan
kepadanya (Islam)”.
Menghentikan persetubuhan selama haid buat segala
bangsa, buat banyak pengikut agama sudah menjadi adat kesusilaan, dari zaman
purba sampai dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu cemar selama ia dalam haid.
Dalam dunia wanita sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa
adonan kue yang diselenggarakan oleh perempuan haid tidak mau naik, bahwa
asinan atau acar yang dibuatnya jadi busuk. Akan dapatkan “kecemaran” perempuan
haid itu dibuktikan oleh pemeriksaan ilmu pengetahuan yang exact ?
Dr. Med. Ahmad Ramali seorang yang telah mendapatkan
gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah
Mada mengemukakan bahwa:
Dalam benda cair haid itu Coccus Neisser
itu mungkin virulent (bersifat membangkitkan penyakit) kembali dan
karena itu jadi menyebabkan penyakit., sehingga ada kemungkinan pula, bahwa dia
bersama-sama dengan sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra
(aliran kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang
aliran kandung kemih) yang mendadak pada laki-laki.[30]
Dengan jalan demikian infeksi penyakit sabun yang
beberapa tahun sudah sebagai hilang kelihatannya, tiba-tiba muncul kembali
karena senggama waktu dalam haid.
Pada perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan
sukma yang goncang selama haid itu, ada pula keadaan-keadaan badan seperti yang
berikut ini:[31]
Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan, yang
dirasa oleh perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio
(darah berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia
maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia
peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat
dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia
jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada
kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid
itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu
jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal
ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita
bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi
kesimpulan, karena matn hadis dapat dipahami dan didekati dari
berbagai pendekatan. Pendapat pertama mendekati dengan pendekatan sains
kedikteran dan pendapat kedua memahaminya dengan pendekatan historis dan
sosiologis. Dengan demikian untuk menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi
rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi paradigma sains
moderen tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan penguasaan sains
modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas
dan mendalam tentang ajaran Islam.
Secara prinsip bahwa pemahaman agama tidak mungkin
dapat dilakukan dengan sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup
manusia.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad untuk memahami matn hadis dengan
pendekatan sains dengan pengkajian kontekstual sangat dibutuhkan
dengan tetap berpegang pada prinsip kebenaran menjamin validitas hadis itu
sendiri, karena Islam tidak bertentangan dengan empiris.
Penemuan-penemuan sains telah terbukti banyak
membantu dalam penyelesaian problematika pemahaman matn hadis, namun
perlu dicatat bahwa tingkat akurasi pemakaian pendekatan sains dalam
pengkajian hadis masih perlu ditingkatkan dan diuji lebih lanjut, karena ciri
khas dari ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak pernah mengenal kata
kekal. Apa yang dianggap salah pada masa lalu, dapat diakui kebenarannya di
abad modern, demikian pula sebaliknya.
Hadis shahih sebagai suatu teks yang
mengandung nilai-nilai kesucian perlu ditekankan bahwa ia memiliki khazanah
yang kaya dengan makna dan penafsiran, sehingga hadis tidak selamanya dipahami
secara tekstual, melainkan ada hadis yang harus dipahami secara kontekstual.
-o 0 o-
DAFTAR PUSTAKA
Abdun, Abdullah. Sanggahan atas Tulisan
Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw.(Cet II; Bondowoso; A.A., 1980.
al-Asqalāniy, Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar. Fath
al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy. t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.
al-Bukhariy, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Al-Jāmi’
al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy) Juz IV. Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Hambal, Abu Abdullah Ahmad ibn. Musnad Ahmad ibn
Hambal (Musnad Ahmad). Jilid II. Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978
M.
Ismail, H. M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontestual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_______. Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan
Pemalsunya. Cet. 1; Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
al-Kulaib, Abdul Malik Ali. ‘Alāmah al-Nubuwwah.
Diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian).
Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Study Islam; dalam
Teori dan Praktek. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi
II. Cet. VIII; Yogyakarta: Bayu Indah Grafika, 1998.
Nata, Abudin. Metodologi Study Islam. Cet I;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Qardawi, Yusuf. As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan
Peradaban. Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998.
_______. Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw. Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994.
al-Quraisy, Abu Husain Muslim bin. Al-Jāmi’
al-Shahīh (Shahīh Muslim). Juz III. t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa
Syurakah, 1375 H/1955 M
Ramli, Ahmad. Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan
dalam Hukum Syara’ Islam. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955.
Reason, H.A. The Road Modern Science. Cet.
III; London; G. Bell and Science, 1959.
Saifuddin. “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan
Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998.
al-Sibāiy, Mustafa. al-Sunnah wa Makānatuha fī
Tasyri’iy al-Islāmīy. t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th.
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis.
Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Taylor, C. Ralph A.M. Webster’s World University
Dictionary. Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965.
Velde, TH. H. Van De. Het Volkomen Huwelijk.
Leiden: t. p., 1929.
Willy, I. Markus. Kamus 950 Juta. Surabaya:
PT. Arkola, 1996.
al-Zindani, Abdul Madjid bin Azis Azis. Mukjizat
al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
-o 0 o-
[1]H. M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut
Pembela Peningkar dan Pemalsunya (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press,
1995), h. 38.
[2]Lihat Q.S. al- Maidah :3
[3]Lihat H. M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontestual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
[4]Lihat Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadis (Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 58.
[5]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 218.
[6]C. Ralph Taylor, A.M., Webster’s World
University Dictionary (Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965),
h. 885.
[7]Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut
dapat dikatakan memadai hanya kalau kata-kata “pengetahuan” (Knowledge)
dan sistimatik (systematic) didefenisikan lagi secara benar, sebab
kalau tidak demikian, pengetahuan Teologis yang disusun secara sistematik dapat
dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural science),
untuk lebih jelasnya dapat dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam;
dalam Teori dan Praktek (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.
34.
[8]Lihat H.A. Reason, The Road Modern Science
(Cet. III; London: G. Bell and Science, 1959), h. 1-2.
[9]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.
cit., h. 431.
[10]I.
Markus Willy, Kamus 950 Juta (Surabaya: PT. Arkola, 1996), h. 454.
[11]Lihat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 522. Bandingkan
dengan Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi II
(Cet. VIII; Yogyakarta: Bayu Indah Grafika, 1998), h. 178.
[12]Abdul Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat
al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1997), h. 192.
[13]Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK
dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), h. 221.
[14]Bahwa Nabi saw. dibekali oleh Allah swt. dengan
salah satu keistimewaan “Jawāmi’ al-Kalīm” yaitu kata-kata singkat
tetapi mengandung makna-makna yang tinggi dan luas, lihat Abdullah Abdun,
Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw. (Cet II;
Bondowoso: A.A., 1980), h. 8.
[15]Lihat Mustafa al-Sibāiy, al-Sunnah wa
Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy (t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa
al-Nasyr, t.th), h. 41. Lihat juga Abudin Nata dalam Metodologi Study Islam
(Cet I; Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1998), h. 196.
[16] Lihat H.M. Syuhudi Ismail, op. cit., h.
79.
[17]Lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’
al-Shahīh (Shahīh Muslim), juz III (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa
Syurakah, 1375 H/1955 M), h. 1452; dan Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), juz IV (Beirut: Dār
al-Fikr, t. th.), h. 234; dan Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad
ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978
M.), h. 29.
[18]Lihat Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, juz III, ibid.,
h. 129.
[19]Lihat Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath
al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.),
h. 114-118.
[20]Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
[21]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h.
40.
[22]Lihat al-Bukhariy, juz IV, op. cit.,
h. 228; dan Ahmad ibn Hambal, jilid V, op. cit., h.
38.
[23]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h.
65.
[24]Lihat Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalānīy, op.
cit., h. 128.
[25]Lihat al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit.,
h. 443.
[26]Lihat Saifuddin, “Pendekatan Sains Dalam Kritik
Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998), h. 135-137.
[27]Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alāmah al-Nubuwwah,
diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian)
(Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 124.
[28]Lihat Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan
judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw (Cet. III;
Bandung: Kharisma, 1994), h. 23.
[29]Lihat Ahmad ibn Hambal, juz XVIII, op. cit., h.
56.
[30]Ahmad Ramali, Peraturan Untuk Memelihara
Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka,
1955), h. 206.
[31]Yang berikut ini adalah ringkasan yang dipungut
dari karangan Dr. TH. H. Van De Velde, Het Volkomen Huwelijk (Leiden:
t. p., 1929), h. 288-293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar