Rabu, 30 Januari 2013

PENDEKATAN SAINS DALAM PENGKAJIAN KONTEKSTUAL HADITS





BAB I
PENDAHULUAN


A.      PENDAHULUAN

Usaha utama untuk melestarikan Sunnah bermacam-macam dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Walaupun demikian, ada beberapa usaha yang terus berkembang dari generasi  kegenerasi, yakni mempelajari, meneliti, memahami dan menyebarkan pengetahuan yang berkaitan dengan Sunnah.[1]
Agama Islam sebagai agama produk Ilahi adalah agama yang benar dan sempurna dimana Allah telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama ini.[2] Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia. “صالح لكل زمان ومكان”
Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam senantiasa mengalami perkembangan, manusia sebagai bagian dari alam pun mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman itu, ditandai dengan kemajuan peradaban dunia sebagai wujud kecenderungan manusia yang senantiasa memikirkan fenomena yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Kecenderungan manusia itu, lalu kemudian diabstraksikan dengan berbagai cara dan metode sehingga melahirkan berbagai disiplin ilmu yang lebih dikenal dengan istilah sains.
Di tengah maraknya penemuan dan bidang sains dewasa ini tampaknya umat Islam pun semakin tanggap dan bersikap positif terhadap dinamika perkembangan itu, dengan berupaya mengkaji sumber ajaran Islam melalui berbagai disiplin ilmu, upaya ini dimaksudkan agar ajaran Islam tetap eksis di tengah pesatnya perkembangan sains dan teknologi modern.
Pendekatan sains dalam pengkajian hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua dipandang sangat penting, sebab mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tektual), sedangkan ada hadis tertentu lainnya lebih tepat jika dipahami secara tersirat (kontekstual).[3]
Hadis pada awal pertumbuhannya, uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah saw., sebagai sumber hadis[4] dan konsekuensinya para sahabat menerima dan menjalankan apa yang dikatakan, diperbuat, dan di-taqrir-kan oleh Rasulullah saw., sebagai wujud dari pada keimanan dan ketaatan mereka.
Kondisi tersebut mewarnai kehidupan sosial para sahabat, sehingga dapat dikatakan bahwa sahabat dalam menerima hadis, selain mengikuti dalam bentuk penampilan pribadi Rasulullah saw., juga dalam bentuk melihat dan mendengarkan secara langsung dari Nabi. Akhirnya, apa yang dilihat dan didengarkan bukanlah sesuatu yang meragukan, bahkan suatu kebenaran mutlak.
Kecenderungan ini membawa sahabat untuk tidak merasa berkewajiban memikirkan, apakah yang telah diucapkan oleh Rasulullah saw. saat itu sesuai dengan kondisi yang akan datang, dan dapat dikaji secara ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada makalah ini akan dipaparkan, sejauh manakah ketepatan/kebenarannya matan-matan hadis-hadis Nabi ditinjau dari sains modern
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian

II.  PEGERTIAN

Pendekatan sains dalam pengkajian kontekstual hadis, pada dasarnya judul ini terdiri dari beberapa variabel yang perlu diuraian arti katanya masing-masing, sebagai langkah awal memahami pembahasan selanjutnya.
Kata pendekatan berasal dari akar kata “dekat”, yang berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai pengertian tentang penelitian.[5] Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti mendekati.
Kata sains berasal dari bahasa Inggris (Science) adalah Knowledge acquired by study or sistimatized knowledge of any one department of the study of mind or metter, as, the science of phisics.[6]
Yang berarti pengetahuan yang diakui oleh study atau pengetahuan yang sistimatis dari sesuatu departemen yang mempelajari suatu masalah seperti ilmu pengetahuan pisik.
Adapun menurut istilah, William J. Goode dan Paul K. Hatt guru besar pada jurusan Sosiologi dari Colombia University dan Northwestern University, mendefinisikan ilum (science) sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistimatik.[7] Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara tertib oleh manusia.[8] Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa sains adalah ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis sehingga mempu melahirkan pengetahuan baru dengan jalan observasi dan eksperimen yang memenuhi standar ilmiah.
Secara etimologi kata “kajian” berarti belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan sesuatu.[9] Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “study” yang berarti penyelidikan dan mengamati tentang susuatu keadaan, memeriksa dengan teliti.[10]
Selanjutnya, kata “Kontekstual” berasal dari kata “konteks” yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti: Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, dalam pengertian ia melihat sesuatu secara keseluruhan sehingga meliputi seluruh makna, baik secara tekstual maupun secara kontekstual.[11]


BAB II
PEMBAHASAN


A. Urgensi Pendekatan Sains

Ilmu pengetahuan atau sains dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[12]
Dengan pendekatan melalui ilmu pengetahun (sains) dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[13]

B.  Sains adalah Salah Satu Pendekatan dalam Memahami Hadis secara Kontekstual

Sekali saja Nabi bersabda, dibutuhkan penelitian dalam bermacam ilmu,[14] karena setiap sabda Nabi selalu menjadi pengasuh dan mendorong kepada umatnya agar memanjatkan pikiran ke arah ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena setiap ayat Alquran dan sabda Nabi, bila tanpa dianalisa dari segi ilmu pengetahuan baik yang eksak ataupun yang abstrak tentu akan dijumpai keburukan dan akan menyimpang dari tujuan hakiki.
Diketahui bahwa di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains, menuntut pemahaman yang lebih komprehensip terhadap hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini dipandang semakin penting, mengingat hadis-hadis yang dikemukakan oleh beliau terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu, sehingga dalam konteks sekarang ini, terdapat hadis yang kelihatan kurang relevan lagi, jika hanya dilihat secara tekstual. Karena itu, dibutuhkan pemahaman secara kontekstual. Pengkajian konterkstual sebuah matan hadis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu.
Al-Sibāiy mengemukakan bahwa ada tiga bentuk memperoleh pengetahuan dalam Islam yaitu: pertama, adakalanya berupa berita yang valid dan diyakini oleh penerimanya, seperti pekabaran-pekabaran dari Allah yang tercantum dalam kitab-Nya; kedua, adakalanya dengan hasil eksperimentasi ataupun observasi yang benar; dan ketiga, adakalanya hukum akal atas masalah yang tidak ada penjelasannya, baik melalui pekabaran yang valid maupun hasil eksperimentasi atau observasi.[15]
Melihat banyaknya temuan di bidang sains dan teknologi dewasa ini, akan sangat memungkinkan untuk menggunakan teori-teori atau fakta-fakta ilmiah dalam kajian kontekstual hadis. Hal ini diharapkan berlangsung bukan hanya sekarang, tetapi juga masa-masa yang akan datang. Kajian konterkstual hadis semacam ini haruslah dilakukan seobyektif  mungkin dalam rangka pelestarian hadis yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama, baik sanad maupun matan-nya tidak mungkin dibatalkan oleh temuan-temuan sains modern. Dalam arti purlu adanya kehati-hatian serta menggunakan multi approach untuk memahami hadis secara kontekstual.
Dalam kaitan dengan pengkajian kontekstual hadis, ulama telah merumuskan suatu standarsebagai borometer dalam menentukan validitas sebuah matan hadis, sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaan pendekatan sains. Adapun standar atau tolak ukur dimaksud, sebagai berikut: a) Hadis tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran, b) Hadis tidak bertentangan dengan kebenaran rasional yang aksiomatis, c) Hadis tidak bertentangan dengan realitas indrawi, d) Hadis tidak bertentangan dengan fakta sejarah, dan e) Hadis tidak bertentangan dengan sunnatullah pada alam dan manusia.[16]
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh hadis yang membutuhkan pendekatan disiplin ilmu dan pemahaman secara kontekstual sebagai berikut:
  1. a. Hadis tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
لا يزال هذا الامر في قريش ما بقي منهم اثنان ( رواه البخاري ومسلم وغيرهما )[17]
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang”.
الا ئمة من قريش ( رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزه )[18]
“Pemimpin itu dari suku Quraisy”.
Ibnu Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan Khawārij yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[19]
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan tentunya benar berlaku secara universal.
Apabila kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam Alquran yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[20]
Dengan demikian maka diperlukanlah pemahaman secara kontekstual bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila  suatu masa ada orang bukan  suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[21]
  1. b. Hadis tentang Wanita Menjadi Pemimpin
لا يفلح قوم ولوا امرهم امراة ( رواه البخاري وترمذي والنساءي عن ابي بكر )[22]
“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.
Jumhur ulama memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, maka pengangkatan wanita menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka mengatakan bahwa wanita menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya.[23]
Untuk memahami hadis tersebut, perlu dikaji lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan oleh Nabi. Di mana diketahui bahwa hadis itu disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia, yang diangkat menjadi kepala negara adalah seorang laki-laki. Yang terjadi pada tahun 9 H. itu menyalahi tradisi tersebut, yang diangkat menjadi kepala negara bukan laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisrah bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya yakni saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan, karenanya lalu Buwaran dinobatkan sebagai ratu (Kisra).[24]
Pada waktu itu derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Bahkan keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia, bahkan jazirah Arab pada umumnya.
Dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi memiliki kearifan tinggi meyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kenegaraan dan kemasyarakatan kepada kaum wanita tidak akan sukses (menang atau beruntung) sebab bagaimana mungkin akan sukses, kalau orang yang memimpin adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan wanita pada saat iu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Dengan demikian dalam perjalanan sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin meningkat, akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum wanita untuk melakukan berbagai aktivitas dan amal kebajikan.
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, maka dalam situasi seperti sekarang ini, tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat menjadi pemimpin.
c.  Hadis tentang Lalat
اذا وقع الذباب في شراب احدكم فليغمسه ثم لينزعه فان في احدي جناحيه داء والاخري شفاء ( رواه البخاري )[25]
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.[26]
Namun sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah saw. ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[27]
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[28]
  1. d. Hadis tentang Larangan Senggama Waktu Haid
حدثنا عبد الله عن ابيه قال  حدثني عفان قال حدثنا حماد بن سلمة قال حدثنا حكيم الاثرام عن ابي تميمة الههجيمي عن ابي هريرة ان رسول الله صهم قال من اتي حائضا او امراة في دبرها او كاهنا فصدقه فقد برئ مما انزل الله علي محمد صلي الله عليه و سلم[29]
“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan persetubuhan selama haid buat segala bangsa, buat banyak pengikut agama sudah menjadi adat kesusilaan, dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu cemar selama ia dalam haid. Dalam dunia wanita sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang diselenggarakan oleh perempuan haid tidak mau naik, bahwa asinan atau acar yang dibuatnya jadi busuk. Akan dapatkan “kecemaran” perempuan haid itu dibuktikan oleh pemeriksaan ilmu pengetahuan yang exact ?
Dr. Med. Ahmad Ramali seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa:
Dalam benda cair haid itu Coccus Neisser itu mungkin virulent (bersifat membangkitkan penyakit) kembali dan karena itu jadi menyebabkan penyakit., sehingga ada kemungkinan pula, bahwa dia bersama-sama dengan sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung kemih) yang mendadak pada laki-laki.[30]
Dengan jalan demikian infeksi penyakit sabun yang beberapa tahun sudah sebagai hilang kelihatannya, tiba-tiba muncul kembali karena senggama waktu dalam haid.
Pada perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan sukma yang goncang selama haid itu, ada pula keadaan-keadaan badan seperti yang berikut ini:[31]
Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio (darah berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matn hadis dapat dipahami dan didekati dari berbagai pendekatan. Pendapat pertama mendekati dengan pendekatan sains kedikteran dan pendapat kedua memahaminya dengan pendekatan historis dan sosiologis. Dengan demikian untuk menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi paradigma sains moderen tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.
Secara prinsip bahwa pemahaman agama tidak mungkin dapat dilakukan dengan sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup manusia.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad untuk memahami matn hadis dengan pendekatan sains dengan pengkajian kontekstual sangat dibutuhkan dengan tetap berpegang pada prinsip kebenaran menjamin validitas hadis itu sendiri, karena Islam tidak bertentangan dengan empiris.
Penemuan-penemuan sains telah terbukti banyak membantu dalam penyelesaian problematika pemahaman matn hadis, namun perlu dicatat bahwa tingkat akurasi pemakaian pendekatan sains dalam pengkajian hadis masih perlu ditingkatkan dan diuji lebih lanjut, karena ciri khas dari ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak pernah mengenal kata kekal. Apa yang dianggap salah pada masa lalu, dapat diakui kebenarannya di abad modern, demikian pula sebaliknya.
Hadis shahih sebagai suatu teks yang mengandung nilai-nilai kesucian perlu ditekankan bahwa ia memiliki khazanah yang kaya dengan makna dan penafsiran, sehingga hadis tidak selamanya dipahami secara tekstual, melainkan ada hadis yang harus dipahami secara kontekstual.
-o 0 o-


DAFTAR  PUSTAKA

Abdun, Abdullah. Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw.(Cet II; Bondowoso; A.A., 1980.
al-Asqalāniy, Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar. Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy. t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.
al-Bukhariy, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy) Juz IV. Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Hambal, Abu Abdullah Ahmad ibn. Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad). Jilid II. Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.
Ismail, H. M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_______. Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya. Cet. 1; Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
al-Kulaib, Abdul Malik Ali. ‘Alāmah al-Nubuwwah. Diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian). Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi II. Cet. VIII; Yogyakarta:  Bayu Indah Grafika, 1998.
Nata, Abudin. Metodologi Study Islam. Cet I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Qardawi, Yusuf. As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban. Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998.
_______. Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw. Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994.
al-Quraisy, Abu Husain Muslim bin. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim). Juz III. t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M
Ramli, Ahmad. Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955.
Reason, H.A. The Road Modern Science. Cet. III; London; G. Bell and Science, 1959.
Saifuddin. “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998.
al-Sibāiy, Mustafa. al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy. t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th.
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Taylor, C. Ralph A.M. Webster’s World University Dictionary. Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965.
Velde, TH. H. Van De. Het Volkomen Huwelijk. Leiden: t. p., 1929.
Willy, I. Markus. Kamus 950 Juta. Surabaya: PT. Arkola, 1996.
al-Zindani, Abdul Madjid bin Azis Azis. Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
-o 0 o-

[1]H. M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 38.
[2]Lihat Q.S. al- Maidah :3
[3]Lihat H. M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
[4]Lihat Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 58.
[5]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 218.
[6]C. Ralph Taylor, A.M., Webster’s World University Dictionary (Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965), h. 885.
[7]Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau kata-kata “pengetahuan” (Knowledge) dan sistimatik (systematic) didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan Teologis yang disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 34.
[8]Lihat H.A. Reason, The Road Modern Science (Cet. III; London: G. Bell and Science, 1959), h. 1-2.
[9]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 431.
[10]I. Markus Willy, Kamus 950 Juta (Surabaya: PT. Arkola, 1996), h. 454.
[11]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 522. Bandingkan dengan Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi II (Cet. VIII; Yogyakarta:  Bayu Indah Grafika, 1998), h. 178.
[12]Abdul Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 192.
[13]Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), h. 221.
[14]Bahwa Nabi saw. dibekali oleh Allah swt. dengan salah satu keistimewaan “Jawāmi’ al-Kalīm” yaitu kata-kata singkat tetapi mengandung makna-makna yang tinggi dan luas, lihat Abdullah Abdun, Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw. (Cet II; Bondowoso: A.A., 1980), h. 8.
[15]Lihat Mustafa al-Sibāiy, al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy (t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th), h. 41. Lihat juga Abudin Nata dalam Metodologi Study Islam (Cet I; Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1998), h. 196.
[16] Lihat H.M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 79.
[17]Lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim), juz III (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), h. 1452; dan Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), h. 234; dan Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.), h. 29.
[18]Lihat Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, juz III, ibid., h. 129.
[19]Lihat Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.), h. 114-118.
[20]Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
[21]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 40.
[22]Lihat al-Bukhariy, juz IV,  op. cit., h. 228;   dan  Ahmad ibn Hambal, jilid V, op. cit., h. 38.
[23]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 65.
[24]Lihat Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalānīy, op. cit., h. 128.
[25]Lihat al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit., h. 443.
[26]Lihat Saifuddin, “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998), h. 135-137.
[27]Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alāmah al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian) (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 124.
[28]Lihat Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw (Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994), h. 23.
[29]Lihat Ahmad ibn Hambal, juz XVIII, op. cit., h. 56.
[30]Ahmad Ramali, Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 206.
[31]Yang berikut ini adalah ringkasan yang dipungut dari karangan Dr. TH. H. Van De Velde, Het Volkomen Huwelijk (Leiden: t. p., 1929), h. 288-293.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar