BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah atau hadits bermakna jalan yang terang atau jalan yang ditempuh, juga digunakan untuk menyatakan prektek yang bersifat normatik atau perilaku yang mapan. Ia bisa berarti teladan yang baik atau bisa juga berarti contoh yang buruk yang diperlihatkan baik oleh individu, kelompok ataupun masyarakat. Pada zaman arab pra-islam orang-orang arab menggunakan kata “Hadits” untuk menyebut praktek kuno dan berlaku terus-menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku arab pra-islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari indentitas mereka. Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara Al-qur’an dan Sunnah atau Hadits. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu haru diikuti dan diberikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan Al-qur’n.Untuk lebih jelasnya maka kami akan membahas hadits secara terperinci. B. Rumusan masalah 1. Apa pengertian hadits? 2. Bagaimana kedudukan hadits dalam sumber hukum? 3. Apa saja macam-macam hadits? 4. Apa saja macam-macam sanad dalam hadits? 5. Bagaimana Sunnah dari segi wurud dan dilaalanya ? 6. Bagaimana Sejarah singkat dari sunnah lilalahnya ? C. Tujuan Penulisan Makalah Tujuan Dalam penulisan makalh ini adalah untuk memperoleh data tentang : 1. Pengertian hadits 2. Kedudukan hadits dalam sumber hukum 3. Macam-macam hadits 4. Macam-macam sanad dalam hadits 5. Sunnah dari segi wurud dan dilaalanya 6. Sejarah singkat dari sunnah lilalahnya BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hadits “Hadits menurut istilah syara’ ialah apa-apa yang berasal dari Rosulullah SAW berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan Lafadz “As-sunnah” dalam ilmu fiqih dipakai untuk : 1. Sesuatu yang diperintahkan, tetapi bukan wajib. 2. Sesuatu yang bukan bid’ah apabila dikatakan “perbuatan itu meniru-niru sunnah”. Artinya ia sesuai dengan perbuatan Nabi SAW. Apabila dikatakan “ Perbuatan itu bid’ah”. Artinya ia menyalahi perbuatan Nabi SAW. atau tidak pernah dikerjakan oleh beliau. B. Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua dalam islam sesudah Al-qur’an. Semua ulama sependapat bahwa sunnah Rasulullah SAW. menjadi hujjah (adil) dalam soal-soal agama. Dan merupakan salah satu dalil hukum disampin Al-qur’an dan dalil-dalil hukum lainnya yang akan kita pelajari. Hal ini berdasarkan firman Allahyang artinya :“Apa-apa yang diberikan rasul kepada maka terimalah ia dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…. ” (Surat Al-Hasyr. Ayat 7) Jadi sunnah dilihat dari segi untuk berhujjah berada pada kedudukan sesudah Al-qur’an. Artinya seorang mujtahid tidak kembali kepada sunnah dalam membahas hukum sesuatu kejadian, kecuali setelah dia tidak memperoleh hukum kejadian tersebut dalam Al-qur’an. Adapun dilihat dari segi hukum-hukum yang ada dalam sunnah dalam hubungannya dengan Al-qur’an maka sunnah tidak melampaui tiga keadaan : 1. Mengakui dan menguatkan suatu hukum yang tersebut dalam Al-qur’an sehingga hukum itu mempunyai dua sumber yaitu ayat yang menetapkannya dan sunnah yang menguatkannya. Misalnya perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa bulan ramadlan, menunaikan ibadah haji. Dari larangan mempersekutukan Allah, memberi kesaksian palsu, menyakiti ibu bapak, membunuh tanpa hak dan sebagainya. 2. Menjelaskan Al-qur’an, yaitu menafsirkan yang mujmal, mengaitkan yang mutlak atau mengkhususkan yang umum. Allah SWT berfirman :“Dan kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka ….” (Surat An-nahl ayat 44) 3. Misalnya Al-qur’an memperintahkan mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, menunaikan zakat, menunaikan haji dan tidak memerincikan rakaat, kadar zakat dan manasik haji. Sunnah amaliyah (perbuatan nabi) dan sunnah qauliyah (sabda nabi) yang memerincikan perintah yang mujmal (global) itu. 4. Menerapkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam Al-qur’an. Maka hukum ini ditetapkan dengan sunnah dan tidak ada dalilnya dalam Al-qur’an. Misalnya diharamkan mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya menjadi istri seseorang dan apa yang tersebut dalam hadits.“Haram karena hubungan persusuan apa-apa yang haram karena keturunan” C. Macam-macam sunnah Sunnah terjadi kedalam beberapa macam diantaranya : 1. Sunnah Qauliyah ( ) yaitu sunnah yang menrupakan ucapan Nabi tentang suatu hukum atau keadaan. Seperti sabdanya :“sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan Akhlak yang mulia” 2. Sunnah Fi’liyah ( ), yaitu sunnah yang merupakan perbuatan sholatl, haji dan sebagainya. 3. Sunnah Taqririyah ( ), yaitu persetujuan Nabi baik dengan lisan atau diam terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan orang dihadapannya. Persetujuan Nabi itu, menunjukkan perbuatan itu boleh dilakukan. Misalnya orang yang makan biawak (dobbun) dihadapan Nabi, sedang beliau diam melihatnya. 4. Sunnah Hammiyah ( ), yaitu cita-cita nabi untuk mengerjakan sesuatu tetap belum sempat mengerjakannya sampai beliau wafat. Misalnya, tak akan seorang yang berkata kepada Nabi tentang puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram) bahwa hari itu yang diagungkan oleh orang yahudi, beliau bersabda :“Demi jika aku sampai hidup tahun depan, sungguh aku akan berpuasa tanggal sembilan, artinya beserta hari Asyura”. (H. R. Ahmad dan Muslim) Selain itu isyarat beliau dengan jari-jarinya, tentang jumlah bulan ramadhan dan surat beliau kepada petugas-petugasnya tentang perincian kadar zakat. D. Sanad dari sunnah Yang dimaksud dengan sanad ialah ururat orang-orang yang menerima sunnah, angkatan demi angkatan, sampai kepada Rasulullah. Misalnya : dari si A, dari si B, dari C, dari si D. bawha Rasulullah bersabda … Melihat kepada sanadnya, sunnah dibagi ke dalam 3 bagian. Yaitu : sunnah mutawatir, sunnah masyhur, dan sunnah ahad. 1. Sunnah Mutawatir Sunnah mutawatir ialah :“apa-apa yang dari Rasulullah oleh sekelompok orang yang menurut adat tidak mungkin anggota-anggotanya bersepakat untuk berdusta. Karena banyaknya amanah. Berbeda pandangannya da lingkungannya. Kemudian dari kelompok ini diriwayatkan pula oleh kelompok, diriwayatkan pula oleh kelompok lain yang sama keadaannya. Begitulah seterusnya sehigga sampai kepada kita” Yang termasuk bagian ini ialah sunnah-sunnah amaliyah, seperti praktek Nabi dalam mengerjakan shalat, puasa, haji, azan dan sebagainya yang diterima dari Nabi oleh khalayak ramai dengan menyaksikannya atau mendengarkannya. Adapun sunnah Qauliyah sedikit sekali yang mutawatir, diantara sunnah Qauliyah yang mutawatir ialah :”Barang siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah dia mengambil tempatnya dalam neraka” 2. Sunnah Masyhur Sunnah masyhur ialah :“apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sejumlah sahabat yang tidak sampai batas mutawatir kemudian dari perawi atau perawi-perawi ini diriwayatkan oleh kelompok mutawatir dan dari kelompok ini oleh kelompok mutawatir pula, demikian sehingga sampai kepada kita” Sedangkan Perbedaan sunnah mutawatir dan sunnah masyhur ialah : Sunnah muawatir : setiap angkatan dari silsilah sanadnya terdiri dari kelompok mutawatir. Sunnah masyhur : angkatan pertama dari silsilah sanadnya bukan kelompok dari mutawatir tetapi angkatan-angkatan selanjutnya terdiri dari kelompok mutawatir. 4. Sunnah Ahad Sunnah ahad ialah : “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh pribadi-pribadi yang tidak sampai jumlah mutawatir, kemudian diriwayatkan dari perawi ini oleh (perawi) seperti itu pula. Demikianlah seterusnyan sehingga sampai kepada kita”. Sebagian besar hadits-hadits yang dibukukan oleh kitab-kitab hadits termasuk bagian ini dan dinamakan khobar wahid atau khabar ahad. E. Sunnah dari segi wurud dan dlilalahnya Dilihat dari wurud atau datang dari nabi, sunnah dapat dibagi tiga pula yaitu : 1. Qath’iyatul wurud dari nabi artinya secara yakin dapat di pastikan bahwa sunnah betul-betul dari Rasulullah, yang termasuk dalam kelompok ini adalah sunnah mutawatir. 2. Qath’iyatul wurud dari sahabat yang termasuk kelompok ini adalah sunnah masyhur, ia tidak qath’iyatul wurud dari nabi karena angkatan pertama dari sanadnya tidak sampai batas jumlah muatawari. Ulama’ hanafiyah berpendapat sunnah masyhur sama derajatnya dengan sunnah mutawatir karena itu sunnah masyhur menurut mereka dapat menghususkan ayat al-qur’an yang umum dan mengaitkan ayatnya yang mutlak. Karena itu menurut madzhab mereka sunnah masyhur kedudukannya antara sunnah mutawatir dan khabar wahid. 3. Zhanniyatul wurud dari nabi karena sanadnya tidak meyakinkan bahwa ia datang dari nabi, yang termasuk kelompok ini adalah sunnah ahad. Adapun dilihat dari segi dlilalahnya, maka setiap sunnah dari ketiga bagian diatas mempunyai kemungkinan. a. Mempunyai dlilalah yang qath’I apabila nashnya tiak mungkin dita’wilkan. b. Mempunyai dlilalah yang zhanni apabila nashnya mungkin c. ditakwilkan. F. Sejarah singkat dari sunnah Sejarah secara ringkas in kami bagi ke dalam beberapa masa, agar lebih mudah memahminya dan mengingatnya masa-masa itu adalah sebagai berikut : 1) . Masa Rasulullah SAW Di atas telah diketahui, bahwa kedudukan sunnah adalah menguatkan apa-apa yang telah tersebut dalam Al-qur’an, menjelaskan dan menetapkan hukum yang belum (tidak) tersebut dalam Al-qur’an. Semua sunnah ini diterima diingat dan dihafalkan oleh para sahabat nabi, hanya perhatian mereka untuk menghafal sunnah qauliyah (hadits) itu kurang dibandingkan dengan perhatian untuk menghafalkan Al-qur’an. Demikianlah keadaannya sampai nabi Muhammad berpulan ke rahmatullah. 2). Masa pembesar-pembesar sahabat Pada masa pembesar-pembesar sahabat atau masa khulafa’urrasyidin, keadaan sunnah qauliyah (hadits) masih kurang perhatian untuk menghafalnya dan meriwayatkannya. Kadang-kadang disana sini timbul perhatian dan keinginan untuk meriwayatkan sunnah, tetapi hal semacam itu dicegah bahkan khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda dan Abu Ma’ud al-anshari. Seraya berkata kepada mereka; kemu terlalu banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Dalam marasil Ibnu Malikah diterangkan bahwa khalifah Abu Bakar melarang orang meriwayatkan hadits dari Rasulullah dan berkata “kamu meriwayatkan hadits yang kamu berselisih lagi oleh sebab itu janganlah kamu riwayatkan satupun dari hadits Rasulullah. Itu jika seseorang mengatakan : untuk menyelesaikan sesuatu hukum masalah diantara kita ada kitabullah (al-qur’an), maka halalkanlah apa yang dihalalkannya dan haramkanlah apa yang diharamkannya.” Menurut riwayat Kurazhah bin Ka’ab, ketika khalifah Umar melepaskannya beserta rombongan untuk bertugas ke irak. Beliau berpesan “kamu akan mendatangi penduduk negeri yang amat besar perhatiannya terhadapt Al-qur’an, maka janganlah kamu alihkan perhatian mereka kepada hadits. Pentingkanlah al-qur’an dan kurangilah meriwayatkan hadits Rasulullah dan saya tetap berkenan kepadamu.” Sesampainya Kurazhah beserta rombongannya ke irak mereka dihujani dengan permintaan; “Riwayatkanlah hadits kepada kami”, Kurazhah menjawab; “khalifah Umar melarang kami meriyatkan hadits.” Pernah terpikirkan oleh khalifah Umar untuk membukukan hadits-hadits Rasulullah SAW. beliau bermusyawarah dengan sahabat-sahabat lain untuk maksud itu dan memohon petunjuk kepada Allah. Sampai berada suatu hari beliau berkata kepada sahabat lainnya : sebagaimana kamu telah ketahui saya bermaksud membukukan sunnah Rasulullah SAW. Kemudian saya teringat kepada ahli kitab, mereka menulis beberapa kita disampin kitabullah lalu perhatian mereka tertumpah kepada kitab-kitab itu dan meninggalkan kitabullah. Demi Allah saya tidak mencampur kitabullah dengan sesuatu hadits Rasulullah SAW. Khalifah Ali bin Abi Thalib baru menerima hadits yang diriwayatkan orang setelah beliau menyumpahkan perawinya atas kebenaran riwayatnya. Khalifah Abu Bakar baru menerima sebuah hadits, apabila riwayatnya disaksikan kebenarannya. Larangan yang keras untuk meriwayatkan hadits dan ketelitian yang tinggi dalam menerima sebuah hadits yang diriwayatkan orang pada masa khulafaurrasyidin adalah untuk menjaga : a. Jangan sampai perhatian kaum muslimin tetumpah kepada hadits sehingga mereka mengabaikan al-qur’an. b. Jangan sampai tercampur adukkan antara ayat-ayat al-qur’an dengan hadits Rasulullah. c. Jangan sampai mulut-mulut usil membuat hadits-hadits palsu, lalu dikatakannya dari Rasulullah. Keadaan tersebut di atas menyebabkan sedikitknya riwayat hadits kecuali bila ada suatu kejadian yang menghendaki penjelasan hadits, itu pun baru diterima setelah ada dua orang saksi yang mengakui kepastian riwayatnya dari Rasulullah. Penyampaian hadits nabi Hadits, penampung sunnah nabi, memuat kebutuhan dasar kaum muslimin individu dan komunitas. Dalam bab ini, kita akan mencoba membuat sketsa kegiatan penyampian hadits, meluskiskan cara-cara yang digunakan untuk mengajarkan, mempelajari dan memeliharanya, serta faktor yang membantu sahabat dalam tugas mereka. Pengajaran hadits oleh Nabi SAW Metode yang digunakan Nabi untuk mengajarkan haditsnya dapat dibagi 3 kategori : Lisan Tulisan Peragaan praktis a. Metode lisan Nabi SAW adalah guru bagi sunnahnya, untuk memudahkan hafalan dan pengertian. Beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. b. Metode tulisan Seluruh surat Rasulullah kepada raja, penguasa, kepala suku dan gubernur muslim dapat dimasukkan katagori ini. c. Metode peragaan praktis Sepanjang menyangkut peragaan praktis, Nabi mengajari metode wudhu’, shalat, puasa, haji dan sebagainya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hadits adalah apa-apa yang berasal dari Rasulullah baik perkataan ataupun perbuatan dan taqrirnya. Hadits merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-qur’an karena hadits dapat menguatkan suatu hukum yang tersebut dalam al-qur’an sehingga hukum itu ada dua yaitu ayat yang menetapkan dan sunah yang menguatkan, menjelaskan al-qur’an dan dapat menetapkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-qur’an. Sunah ada 4 macam yaitu : Sunnah qauliyah merupakan ucapan Nabi Sunnah Fi’liyah merupakan perbuatan Nabi berupa ketetapan Nabi Sunnah Taqririyah Sunnah Hammiyah berupa cita-cita nabi. B. Saran Dengan dibuatnya makalah ini maka diharapkan agar kita sebagai mahasiswa lebih memahami tentang hadits sebaga metodologi sumber hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA
Kamali Hasyim, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar & Circle For The Holy Qurran And Humanity Studies. Yogyakarta, 1996 Azami Musthafa Muhammad, Memahami Ilmu Hadits, Lentera. 1977 Al-Khatib, Buku Ajar Usul Hadits Dan Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama Jakarta, 1997 Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar