BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu pilar
pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan
dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya
tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang
memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai
golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender,
geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan
dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk
Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya
saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian
madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan
yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil
untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak
pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan
yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun
2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata
kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang
terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan
akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk
usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah
seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210
peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah
penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs,
dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada
masing-masing tingkatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau
wahana untuk mengenyam proses pembelajaran[1]. Dalam
bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau
lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[2]. Karenanya,
istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga
bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan
lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula[3]. sementara
Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah, dia
beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri yang berbeda[4]. Meskipun
demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk menyamakan arti madrah dan
sekolah.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah
adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan
keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
B. Latar
Belakang Berdirinya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5
H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah
berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan
berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan
tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan
hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu
tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika
dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan[5].
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan
tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha
mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah
madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah
sebabnya sebagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan
nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah,
Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
Berdasarkan dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa
penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai
aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul
setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga
terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai
macam aliran dan mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis
lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan
cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada
anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid
dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti
oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar
yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah
timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan,
yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah[6]. Kegiatan
para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Islam
maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin
meningkat.
Untuk menampung kegiatan khalaqah yang semakin banyak,
sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajaran dan bidang ilmu pengetahuan yang
diajarkan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk
kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut di sekitar masjid. Di
samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan pelajar, sebagai tempat
tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang
disebut dengan zawiyah atau madrasah yang pada mulanya hanya dibangun
di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya banyak dibangun secara
sendiri[7].
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia
Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar
mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap
tahun ajaran.
C.
Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia; kajian historis dan visioner
Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai
fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang
kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20[8]. Namun
dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya
keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali
menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Usaha ke arah penyatuan dan
penyeragaman sistem tersebut, baru dirintis sekitar tahun 1950 setelah
Indonesia merdeka. Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam
jenjang-jenjang pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah.
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan
dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses
pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan
dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama
bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka
ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan
intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar
sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai
pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi
masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen
moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan
madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang.
Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah
dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih
dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah
pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan
pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang
menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta
madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun
Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah
pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA.
Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada
masing-masing tingkatan.[9]
Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan
pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar
(wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI)
dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555
peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik.
Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun
terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0%
peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar
mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat
dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti
pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru
mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun
2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun
hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan
tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50
juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa
dianggap selesai.
Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk
Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka
partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat
atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari
sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan
andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang
cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan
program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out
pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk
MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun
2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK
pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.[10]
Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat
dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta
didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7%
orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA
dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan
dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per
bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa
madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan
latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga
tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender
mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya
yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik
bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis
tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung
diskriminatif terhadap perempuan.
D. Isu- isu
eksistensi dan implikasinya
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam
madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem
pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah
mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan
pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi
menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen
barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk
proses belajar mengajar[11].
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan
sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi
dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem
pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang
begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan
peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah
yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang
pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu
sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara
signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an,
madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi
Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah
mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk
mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah
tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932.
Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan
jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah
secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak
2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan
madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan
pembinaan akhlak bangsa[12].
Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen
agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini
untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan
dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen
pendidikan. Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai
sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang
dinilainya mempunyai prestige yang lebih baik daripada madrasah /
sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah
umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau
sekolah Islam.
Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang
menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan
lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi
seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk
ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan
lapangan pekerjaan yang pasti.
Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah
Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang
hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah
diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah
ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang
sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah
atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam
al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School,
dan lain sebagainya.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini,
madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat
sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas
yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau
sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas
menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan
dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa
dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Seperti
Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam
Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa
contoh diantaranya.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi
seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah
dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris
saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut
diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang,
Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam
menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak
lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan
memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum
pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.[13]
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir
ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para
siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan
pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan
ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau
kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau
mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur
dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan
berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali
dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan
sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka
siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah
tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting
bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab,
dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari
madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara
profesional. Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam
atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia
global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan
terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak
kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Mohammad Ali
mengatakan, berdasarkan alokasi di APBN 2009, pembangunan madrasah
internasional dianggarkan Rp150 miliar. Hingga saat ini seluruh persyaratan,
termasuk kesiapan pemerintah daerah dalam menyediakan lahan, sudah selesai.
”Penyediaan lokasi tanah di 12 provinsi sudah selesai.
Termasuk kesepakatan pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah sudah ditandatangani. Mudah-mudahan tahun ini pembangunan
tahap awal sudah bisa dimulai,” kata Ali di Jakarta kemarin.
Lokasi 12 madrasah internasional itu berada di Kota
Dumai (Riau), Kota Batam (Kepulauan Riau), Sumatera Utara, Kota Padang Pariaman
(Sumatera Barat), Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), Maluku, dan
Kaltim. Lainnya akan dibangun di Indramayu (Jawa Barat), Kota Pekalongan (Jawa
Tengah), Kabupaten Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Tanah Laut
(Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan). [14]
E. Kualitasnya diakui di dunia internasional
Madrasah Bertaraf Internasional adalah madrasah yang
memenuhi delapan komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki
keunggulan pelayanan dan lulusan yang kualitasnya diakui secara internasional.
Lulusannya dapat diterima di sekolah mana pun di dunia
internasional yang kualitasnya sama, tanpa harus dites terlebih dahulu. Dengan
kata lain mampu berdaya saing secara internasional.
Program MBI merupakan rintisan Direktorat Pendidikan
Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag menggunakan sistem
pendidikan yang terpadu dengan pondok pesantren yang diharapkan dapat menjadi
pusat keunggulan pendidikan Islam di masa mendatang.
Penyeleksian siswa yang diterima di MBI harus memenuhi
kriteria di antaranya lulus tes potensi akademik dan memiliki nilai Ujian
Nasional rata-rata minimal delapan dan memiliki bakat lainnya minimal satu
bidang.
Departemen Agama juga menyediakan tenaga guru dengan
kualitas terbaik yakni minimal guru harus bisa menguasai dua bahasa yakni
Inggris dan Arab dengan program pendidikan kurikulum nasional yang
mengembangkan jati diri siswa.
Depag menginginkan selain ke-12 provinsi yang akan
dibangun Madrasah Bertaraf Internasional, bagi provinsi lainnya yang sudah
miliki madrasah bertaraf nasional seperti madrasah model dengan ketentuan yang
ditetapkan Departemen Agama bisa naik menjadi bertaraf internasional.
Program ini merupakan langkah maju guna menjawab
tuntutan globalisasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang
bermutu serta untuk membangun citra madrasah yang semakin bergengsi.
Peluang ini tentunya merupakan angin segar bagi
kalangan madrasah di tanah air. Sayang, bila dilewatkan begitu saja. Dukungan
dari berbagai pihak yang terkait sangat diperlukan, khususnya pemda setempat
dalam menyokong terbentuknya MBI.
Selamat datang dan berkiprah MBI, mudah-mudahan tidak
terkontaminasi paham liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Karena
pendidikan adalah basis kaum liberal untuk menyusupkan paham rusak kepada kaum
terdidik.
F. Tantangan Madrasah
Dari background baik
sejarah sampai keperkembangannya, jelas pada prinsip idealnya madrasah sudah
seharusnya lebih maju dan lebih mudah berkembang dikarenakan social power
yang dimiliki oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan yang keberadaanya di
tengah wilayah yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Walaupun pemikiran tersebut tidak terlalu mendasar,
tetapi paling tidak memiliki hubungan yang vertikal terutama sebagai tempat
untuk mewriskan dan melestarikan eksistensi keyakinan dan nilai-nilai Islam
diantara generasi Muslim. Namun kenyataanya madrasah semakin jauh dari harapan
tersebut, karena “berdasarkan kepada kenyataan, bahwa madrasah pada seluruh
levelnya adalah equivalen dengan sekolah-sekolah umum”.
[15] Ini berarti motivasi orang tua murid tentang
pendidikan madrasah yang cukup memadai pengetahuan agamanya mungkin harus
bersiap-siap untuk kecewa. Hal ini adalah konsekwensi dari ketentuan UUSPN
1989, dimana madrasah harus mengadopsi dan menerapkan kurikulum yang
dikeluarkan oleh Diknas.
Bagaimanapun hebatnya suatu lembaga, untuk tetap eksis dan berkualitas
tetap akan menghadapi permasalahan dan tantangan diantaranya adalah lembaga
pedidikan. Hal ini logis karena zaman yang berubah dengan tuntutan kebutuhan
pun berubah dan semakin berkualitas serta memiliki daya kompetitif yang kian
ketat. Madrasah yang memiliki segudang permasalahan baik secara eksternal
maupun internal terus menurus tiada henti untuk eksis dan berupaya guna
mencapai puncak kualitas yang diharapkan. Tentulah madrasah tidak akan lepas
dari bidikan tantangan setiap langkah dan geraknya, mulai dari zaman,
kebijakan, kurikulum, manajemen, sumberdaya baik dana maupun manusia, kualitas
produk pembelajaran, dan sebagainya jelas menunjukan dinimika positif atau pun
negatif sebagai salah satu lembaga pendidikan. Tegasnya masalah madrasah tidak
dapat dipisahkan dari permasalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh
lembaga-lembaga pendidikan nasional, walaupun dalam kapasitas yang berbeda.
Adapun tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam
khususnya madrasah adalah sebagai berikut :
a. Tantangan
Eksternal
Menurut Mastuhu (2003) pada dinamika kehidupan abad 21 ini berjalan sangat
cepat dan semakin cepat sebagai dunia tanpa batas, adapun tantangan eksternal
bagi penddikan dapat dilihat dari unsur-unsur; globalisasi, kompleksitas,
turbelence, dinamika, akselerasi, keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern,
koneksitas, konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan
kekuatan pemikiran. Sedangkan menurut Husni Rahim (2002) bahwa secara eksternal
masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi,
demokratisasi, dan liberalisme Islam. Atas pendapat tersebut dalam tulisan ini,
akan dipaparkan beberapa tantangan bagi madrasah saat ini dan yang akan datang,
sebagai berikut:
1. Tantangan
globalisasi
Dalam membangun sector pendidikan tidak akan pernah mencapai tujuan akhir
yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu
dinamis, berubah, dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat,
ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih-lebih dalam era global (Suyanto :
2002). Dalam era global ini terjadi proses globalisasi yang bersifat universal
dan internasionalitas.
Menurut H.A.R Tilaar, bahwa era global itu ditandai dengan “Dunia tanpa
batas (borderless world), kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan
aplikasinya di dalam kehidupan manusia, kesadaran terhadap hak dan kewajiban
asasi manusia (human rights and obligations), dan kerjasama serta kompetisi antar
bangsa (mega competition society)”. [16] Era global merupakan sebagai tanda perubahan zaman
pada abad 21, dan globalisasi adalah sebuah proses yang menciptakan perubahan
yang sangat revolusioner yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style)
yang dilandasi persaingan sehingga menuntut pembenahan dan penyesuaian diri.
Perubahan ini memberikan tekanan-tekanan kepada suatu organisasi untuk
mempertahankan keberadaannya, termasuklah lembaga pendidikan. Tekanan tersebut
mengarah pada permasalahan produktivitas, efisiensi, tingkat kompetisi, yang
menuntut peningkatan kinerja dan kualitas. Pada era ini menuntut manusia unggul
dan hasil karya yang unggul, sebagai akibat terbentuknya masyarakat yang
terbuka yang memberikan berbagai jenis kemungkinan pilihan. Globalisasi dapat
pula dibaca sebagai hegemoni kekuatan ekonomi, politik, dan cultural
negara-negara industri maju terhadap negara-negara yang belum
terindustrialisasikan sepenuhnya.
2. Tantangan
Demokratisasi
Samuel Huntington (1984) pernah mempertanyakan teori-teori yang optimis
terhadap masa depan demokrasi, menurutnya “dengan beberapa pengecualian, batas
perkembangan demokrasi di dunia telah tercapai”. Tetapi, munculnya
negara-negara demokrasi baru di bekas Uni Sovyet dan Eropa Timur khususnya,
kembali menyulut perhatian publik dunia dan optimisme akademik akan masa depan
demokrasi. [17]
Demokratisasi merupakan isu lain yang mempengaruhi masa depan pendidikan
Islam Indonesia. Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem
politik negara sebagai ‘perlawanan’ terhadap sistem politik yang otoriter.
Dalam perkembangannya tuntutan ini mengarah kepada sistem pengelolaan berbagai
bidang termasuklah pendidikan. Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang
menghargai akan potensi individu yaitu individu yang berbeda dari individu yang
mau hidup bersama, artinya bahwa setiap bentuk homogenisasi masyarakat adalah
bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.
[18] Sehingga dalam bidang pendidikan semua warga negara
memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan , juga memiliki kewajiban
yang sama dalam membangun pendidikan nasional yang berkualitas (education
for all).
Tantangan bagi madrasah yang memiliki sistem pendidikan yang bersifat
sentralistik, seragam, dan dependen, maka tuntutan dari tantangan ini, madrasah
harus mengembangkan sistem pendidikan yang lebih otonom dan beragam.
3. Tantangan
Otonomisasi
Sejak tanggal 1 Januari 2001, otonomi daerah resmi diberlakukan di tanah
air kita. Melalui UU. 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah yaitu kewenangan
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan undang-undang. Lebih tegas lagi pada pasal 7 ayat 1 tentang kewenagan
pemerintah pusat dan daerah, seluruh bidang (kecuali politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan moneter dan fiscal, serta agama ) diserahkan
kepada daerah (Kabupaten/kota). Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa
pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu kewenangan yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Jelas kebijakan ini berimplikasi
terhadap lembaga-lembaga pendidikan keagamaan khususnya madrasah yang selama
ini bernaung pada Kementerian agama.
Muncul wacana baru untuk mempertimbangkan secara mendalam terhadap
kebijakan yang berkaitan dengan madrasah. Apakah tetap dikeklola pemerintah
pusat ataukah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota seperti halnya
sekolah umum. “Hal yang patut menjadi pertimbangan adalah jumlah lembaga pendidikan
dilingkungan Depag mencapai 72.650 buah dari seluruh level yang ada termasuk
pesantren”. [19] Dengan dampak penyerahan terhadap pencapaian tujuan
pendidikan agama serta kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin
berkurang karena adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
berdasarkan UU No. 25/1999. Yang jelas apapun pilihannya, kebijakan Depag akan
berdampak lebih jauh di masa mendatang terhadap keberadaan madrsah sebagai
institusi. Karena salah satu tugas penting Depag pada era otonomi daerah adalah
bagaimana mengoptimalkan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama, baik
pada sekolah umum yang berciri khas agama Islam (madrasah) maupun pada sekolah
umum.
Bagi madrasah ini
merupakan kesempatan luas untuk menuju kemandriannya dan keberdayaannya dalam
bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Tetapi, semua ini mesti menuntut
tanggungjawab bersama. Oleh karena itu keputusan yang tepat untuk menempatkan
posisi madrasah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan nasional pada era
otonomi ini, merupakan salah satu aspek penting yang ikut menentukan perjalanan
lembaga tersebut di masa-masa yang akan datang. Menurut Mudjahid paling tidak ada tiga opsi alternatif
untuk posisi madrasah dalam proses otonomi pendidikan, sebagai berikut :
a. Tetap menyerahkan penyelenggaraan
madarsah kepada pemerintah pusat (Depag) dengan sistem sentralistik, dengan
konsekwensi madarsah akan sulit berinovasi, terciptanya pola ketergantungan
dengan pusat, terisolasi dari pemerintah daerah, adanya penyeragaman kurikulum
sehingga tidak bisa menjawab need assessment keagamaan masyarakat dan kebutuhan
pembanganan daerah. “ Bahkan dengan
pendekatan ini madrasah akan menanggung beban dari program-program penting
pusat atau wilayah.”
b. Menyerahkan penyelenggaraan
pendidikan madrasah kepada pemerintah daerah, dimana pemerintah pusat hanya
memberikan kebijakan umum, seperti standarisasi kelayakan madrasah, ketenagaan,
dan sistem evaluasi. Konsekuwensinya, madrasah akan menjadi tanggungjawab dan
perhatian sepenuhnya dari pemerintah daerah, madrasah dapat mengembangkan diri
sesuai dengan tuntutan daerah dan kebutuhan masyarakat, dan mudah untuk kembali
pada identitas kulturalnya yang berorientasi pada masyarakat disekitarnya.
c. Menyerahkan seluruh lembaga pendidikan
agama yang berstatus sebagai pendidikan umum berciri khas Islam seperti; MI,
MTs, MA kepada pemerintah daerah, tetapi untuk lembaga pendidikan keagamaan
seperti Madrasah Diniyah(MD), MAK, TPA, pesantren, dan majelis ta’lim tetap
dikelola oleh pemerintah pusat. Dengan pembagian ini memungkinkan pemerintah daerah untuk memfokuskan
pengembangan Madrasah umum sedang pemerintah pusat terkonsentrasi pada lembaga
pendidikan keagamaan”. [20]
4. Tantangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan, karena
pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. “Menurut Naisbit
(1995) ada 10 kecendrungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21
yaitu, (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari
teknoilogi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke
ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek keperencanaan jangka panjang,
(5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke
bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8)
dari herarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari
satu ke pilihan majemuk.”
Kecendrungan di atas jelas berdampak terhadap dunia pendidikan yang
meliputi aspek kurikulum, manajemen, tenaga pendidik, strategi dan metoda
pendidikan. Selanjutnya Naisbiti (1995) mengemukan ada 8 kecendrungan besar
Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu ; (1) dari negara bangsa ke jaringan,
(2) dari tuntutan eksport ke konsumen, (3) dari pengaruh barat ke asia, (4)
dari kontrol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6)
dari padat karya ke tekno;ogi canggih, (7) dari dominasi pria ke munculnya kaum
wanita, (8) dari Barat ke Timur. Hal ini akan mempengaruhi pergeseran tata
nilai dalam berbagai kehidupan, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa
maupun di kota. Akhirnya semua itu akan mempengaruhi juga pola-pola pendidikan
yang lebih disukai dengan tuntutan kecendrungan tersebut. Dalam hubungan ini
pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan
kecendrungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.
Tantangan ini juga merupakan bagian yang sedang dihadapi oleh madrasah sebagai
lembaga pendidikan.
5. Tantangan
Sosial, politik, dan budaya
Tantangan politik terutama politik kenegaraan banyak berkaitan dengan
masalah bagaimana lembaga itu membimbing, mengarahkan, dan mengembangkan
kehidupan bangsa dalam jangka panjang, yang disesuaikan atas falsafah negara
yang mengikat semua sektor perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan
nasional. Dengan kata lain pendidikan adalah bagian dari sektor perkembangan
kehidupan budaya bangsa yang terikat pada tujuan nasional.
[21]
Efeknya mau tidak mau lembaga pendidikan harus mau mengikuti politik
negara, kalau tidak akan menjadi tekanan (pressure) terhadap cita lembaga
tersebut. “ Karena hal tersebut menyangkut kepentingan perkembangan bangsa di
masa depan dalam pemeliharaan watak dan kepribadian, kreatifitas, dan disiplin
bangsa itu sendiri.
b. Tantangan
Internal
Secara internal, dunia pendidikan Islam mengahadapi problem pokok yang
cukup mendasar, yang sangat sering didengar masalah kualitas SDM, kelengkapan
sarana-prasarana, pendanaan, kurikulum, proses belajar mengajar, menajemen
pengelolaan, dan kebijakan pendidikan terhadapnya.
1. Kualitas Sumber
daya Manusia
Kualitas sumber daya manusia yang dihadapi oleh madrasah sebagai lembaga
pendidikan adalah “rendahnya kualitas SDM pengelola pendidikan. Hal ini terkait
dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah,
dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Namun demikian, trend
dari waktu ke waktu menunjukan bahwa penyelesaian atas masalah sumberdaya
manusia itu mengalami penangan yang semakin baik, disamping adanya usaha
perbaikan pada lembaga-lembaga pendidik kependidikan..juga diselenggarakan
program-program pelatihan dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan”.
[22] Masih seputar SDM, adanya penyakit klise berupa
tenaga pendidik (guru) yang mismatch, dimana satu guru menangani materi mata
pelajaran yang banyak. “hal ini biasanya mempengaruhi dalam persoalan
kompetensi yang tidak mempuni sehingga out put yang dihasilkan pun rendah”.
[23] Ini menunjukan adanya problematic rendahnya kualitas
guru yang dimiliki madarsah.
2. Sarana
Prasarana Pendidikan
Kelengkapan sarana dan prasarana juga menjadi problema yang dihadapi oleh
madrasah. Dan bukan menjadi rahasia umum bahwa pendidikan madrasah
diselenggarakan dengan berbagai keterbatasan saran prasaran, termasuk juga
dalam segi pendanaan. Keterbatasan ini jelas menunjukan tidak lengkapnya
ketersediaan sarana prasarana pendidikan, yang menjadikan rendahnya kualitas
penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Kerena problema ini menjadikan proses
pembelajaran yang apa adanya. Namun sekarang sudah mulai bergeser, “banyak
madrasah diberbagai tempat, apakah itu di wilayah urban maupun di pedesaan,
mulai mempunyai gedung-gedung atau bangunan yang megah, dan lebih penting lagi
sehat dan kondusif sebagai tempat berlangsunganya proses pendidikan yang baik”.
[24] Dengan demikian, citra yang pernah disandang madrasah
yang memiliki bangunan seadanya, atau bahkan reot dan tidak higienis semakin
memudar khususnya untuk madrasah negeri. Namun tetap saja keterbatasan sarana
prasarana dalam hal ini pada saat proses pembelajaran masih melilit erat pada
tubuh madrasah.
3. Kebijakan Pemerintah
a. Kurikulum
Kurikulum merupakan
pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi
pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan kerangka (frame-work)
pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Singkatnya kurikulum sebagai pengeja-wantahan dari
tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Berhubungan dengan ini Menurut
Mastuhu, kelemahan sistem pendidikan madrasah pada dasarnya sama dengan
kelemahan umum yang disandang oleh pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut
meliputi ; a) memetingkan materi di atas metodologi, b) mementingkan m,emori di
atas analisis dan dialog, c) mementingkan pikiran vertical di atas literal, d)
mementingkan penguatan pada otak kiri di atas otak kanan, e) materi pelajaran
agama yang diberikan masih bersifat tradisional, belum menyentuh aspek
rasional, f) penekanan yang berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan
pada proses metodologinya, g) mementingkan orientasi “memiliki” di atas
“menjadi”. [25]
b. Pendanaan
Madrasah
Salah satu bentuk tantangan yang dihadapi oleh madrasah hingga saat ini
adalah pendanaan madarsah, yang hingga saat ini pula dirasakan perlakuan yang
diskriminatif, walaupun dalam praktek sekarang adanya dana BOS (Bantuan
Oprasional Sekolah) secara nasional ada pemerataan, tapi dampak dari
otonominisasi daerah, dengan status tanggungjawab terhadap madrasah oleh
pemerintah pusat (Kemenag), otomatis menjadi lemahnya perhatian dan
tanggungjawab pemerintah daerah terhdap madrasah. Apalagi adanya kemampuan
pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena adanya perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan UU No. 25/1999.
Ketidak keseimbangan pendanan antara pendidikan agama dan umum ini sudah
terjadi sejak lama. Hal ini terlihat pada data pembiayan pendidikan pada tahun
1999/2000 , biaya pendidikan untuk IAIN sebesar Rp. 50. 000,- per mahasiswa
setiap tahun, sedangkan universitas negeri sebesar Rp 150. 000,-. MAN sebesar
Rp 51. 000,- per siswa, sedang SMU sebesar Rp 67. 000,-. MTsN sebesar Rp 33.
000,- per siswa sedangkan SLTPN sebesar Rp 49. 000,- per siswa, sedangkan SDN
sebesar Rp 100. 000,- per anak setiap tahunnya (Perta, No. 2, Vol. III/2000 :
1). Dengan gambaran ini jelas menjadi tantangan sendiri bagi madrasah, apalagi
anak-anak yang bersekolah di madrasah memiliki latar belakang sosial ekonomi
yang rendah, yang seharusnya memperoleh subsidi anggaran lebih besar
dibandingkan sekolah umum.
4. Manajemen
Madrasah
Suatu sistem hanya
produktif dan efisien apabila dikelola secara tepat. Begitu pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebagai suatu sistem haruslah dikelola secara profesional.
Selama ini menajemen yang berlansung pada pada pendidikan di madrasah masih
bersifat sentralistik dan berjalan secara top-down, tetapi dengan
semakin baiknya tingkat intelektual masyarakat, maka manajemen secara top-down
tidak memadai lagi. “Dewasa ini dunia yang semakin terbuka, dan semakin
tingginya partisipasi masyarakat termasuk dalam bidang pembangunan pendidikan,
maka perencanan dari bawa (bottom-up) dan mengikut sertakan partisipasi
masyarakat akan membuahkan hasil yang lebih efisien”.
Ini berarti
sudah saatnya madrasah mengubah sistem manajemennya sesuai dengan tuntutan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
Solusi yang
ditawarkan
Almuhafadhoh ala qodimis sholeh, wal akhdu bijadidil
ashlah, ini adalah sebuah solusi yang mungkin bisa memecahkan permasalahan yang
mengakar ditubuh madrasah sekarang ini, seperti yang telah di paparkan diatas
bahwa softskil atau keterampilan siswa itu sangatlah urgen dalam
perkembangan pendidikan siswa.
Kita tahu bahwa image yang ada tentang madrasah
cenderung mengarah ke sesuatu yang bersifat agamis saja, berbeda dengan Sekolah
Umum yang masyhur dengan sainsnya. Semua itu bisa kita rubah dengan tetep mempertahankan
dasar madrasah sebagai wadah pendidikan yang bersifat agamis, tanpa
mengenyampingkan ilmu pengetahuan umum atau dalam hal ini adalah sains dan
keterampilan.
Solusi yang kedua adalah dengan mempertimbagkan
kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu
adanya pendapat yang menginginkan “pendidikan satu atap” di negeri ini.
Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah
sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan
di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah
dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak
kembali dipertimbangkan.
Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan
menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah
seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah
yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan
kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang.
Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan
yang sudah diotnomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi
Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, maka akibatnya jadilah
madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.
Saya beranggapan bahwa pendidikan satu atap, dimana
pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan
madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa
madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum
sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap
ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.
Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir
memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja
satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus
mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih
mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi
keinginan itu? wacana tentang "pendidikan satu atap ini" sangat debatable,
karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan
dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar
madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa
"dipangku ibu pertiwi" dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar
Refrensi
Direktorat
Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam
Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen
Agama.
Hasbullah,
2001, cet. 4 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada,
Mustofa.A,
aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas
Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. VII; Jakarta:
Balai Pustaka, 1984.
Prof. Dr.
suwito, sejarah sosial pendidikan islam, Kencana, Jakarta 2005. Hlm :
214
Mahmud
yunus, sejarah pendidikan islam, Hidakarya agung, Jakarta 1985.
Depag, Rekronstruk
sisejarah pendidikan islam di Indonesia, depag 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar