PENDAHULUAN
Islam sebagai
agama Allah memiliki 2 sumber utama sebagai pedoman, yaitu Al-Qur’an dan
Hadits. Sumber yang kedua, yaitu Hadits merupakan penjabaran dari sumber yang
pertama yang maksudnya masih belum jelas (tersirat), khususnya yang berkaitan
dengan masalah kehidupan umat.
Seiring dengan perkembangan kehidupan umat, ternyata posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja dipalsukan, tetapi diingkari oleh kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian lebih mendalam mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits yang sahih atau tidak.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai cara mengkaji hadits sahih.
Seiring dengan perkembangan kehidupan umat, ternyata posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja dipalsukan, tetapi diingkari oleh kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian lebih mendalam mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits yang sahih atau tidak.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai cara mengkaji hadits sahih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Pada garis
besarnya, pengertian hadits dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu
pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologi).
Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut bisa berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qodim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Selanjutnya kata hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadits juga dapat berarti al-khabar yang berarti mutahaddats bih wa yungal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut bisa berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qodim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Selanjutnya kata hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadits juga dapat berarti al-khabar yang berarti mutahaddats bih wa yungal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti
kata hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang
ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar
dalam surat Al-Atur ayat 34:
Artinya: Maka hendaklah mereka
mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Surat Al-Dhuha
ayat 11:
Artinya: Dan terhadap nikmat
Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
Dilihat dari pendekatan istilah, para ahli memberikan ta’rif yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
Dilihat dari pendekatan istilah, para ahli memberikan ta’rif yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
Seperti
pengertian hadits menurut ahli usul akan berbeda dengan pengertian yang
diberikan oleh ahli hadits.
Menurut ahli hadits, pengertian
hadits ialah:
ﻪﻟﺍﻭﺣﺍﻭ ﻪﻟﺎﻌﻓﺍﻭ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ
ﻝﺍﻭﻗﺍ
Artinya: Segala perkataan Nabi,
perbuatan dan hal ihwalnya.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian:
ﺔﻓﺻﻭﺍ ﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭﺃ ﻼﻌﻓﻭﺃ ﻻﻭﻗ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ
ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ
Artinya: Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, takrir maupun sifat beliau.
Sebagian
muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian
yang sempit. Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’)
saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadits
mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’), sebagaimana yang disebutkan oleh
Al-Tirmisi:
ﻑﻭﻗﻭﻣﻟﺎﺑ ﺀﺎﺟ ﻝﺑ ﻡﻟﺳﻭ
ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻪﻳﻟﺇ ﻉﻭﻓﺭﻣﻟﺎﺑ ﺹﺗﺧﻳﻻ ﺙﻳﺩﺣﻟﺍ ﻥﺃ ﻰﻌﺑﺎﺗﻟﻟ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ ﻭﻫﻭ ﻉﻭﻁﻗﻣﻟﺍﻭ ﻰﺑﺎﺣﺻﻟﺍ ﻰﻟﺇ
ﻑﻳﺿﺃ ﺎﻣ ﻭﻫﻭ
Artinya: Bahwasanya hadits itu
bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW. Melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan
kepada sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.
Sementara usul memberikan
pengertian hadits adalah:
ﺎﻫﺭﺭﻗﺗﻭ ﻡﺎﻛﺣﻷﺍ ﺕﺑﺛﺗ ﻰﺗﻟﺍ ﻪﺗﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭ ﻪﻟﺎﻌﻓﺃﻭ
ﻪﻟﺍﻭﻗﺃ
Artinya: Segala perkataan Nabi SAW,
perbuatan, dan takrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
Dari beberapa
pengertian hadits tersebut di atas, mempunyai perbedaan pemikiran dalam
mendefinisikan hadits, disebabkan karena dalam memandang pribadi Rasulullah SAW
mereka itu berbeda.
Apabila ulama
hadits melihat bahwa Rasulullah adalah sebagai Uswatun Khasanah, maka semua
yang berasal dari Nabi dapat dijadikan suatu hadits, sedangkan ulama Ahli Ushul
memandang semua perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW dapat
diterima sebagai hadits dengan syarat kandungan hadits tersebut berkaitan
dengan hukum. Begitu juga dengan ulama Ahli Fiqih yang memandang perkataan,
perbuatan dan ketetapan yang menunjukkan hukum syara’, maka Ulama Ahli Fiqih
menempatkan hadits dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh,
mubah dan sunah.
B. Posisi Hadits Terhadap Al-Qur’an
B. Posisi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Untuk memahami
posisi hadits terhadap AL-Qur’an, maka tidak bisa lepas dari posisi Nabi
(sebagai sumber munculnya hadits) terhadap Al-Qur’an. Berikut ini merupakan
informasi Al-Qur’an sendiri tentang kedudukan Nabi terhadap Al-Qur’an serta kewajiban
umat manusia menaatinya.
1. Nabi berfungsi sebagai penjelas
Al-Qur’an.
Artinya: Kami telah menurunkan
Al-Qur’an kepadamu secara berkala agar kamu terangkan kepada mereka apa-apa
yang telah diturunkan kepada mereka, dan semoga mereka memikirkannya. (QS.
An-Nahl [16]: 44)
Ayat ini menunjukkan
posisi Nabi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an seperti tentang kewajiban
shalat dalam Al-Qur’an tidak memerinci pelaksanaannya, kemudian rincian
pelaksanaan shalat inilah yang datang dari Nabi.
2. Nabi sebagai pembuat hokum “Nabi
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan yang buruk serta
membuang atau meninggalkan beban yang melilit mereka” (QS. Al-A’raaf [7]: 157).
Ayat ini menunjukkan hak legislasi Nabi terhadap masalah hukum-hukum yang terkait
dengan kebaikan manusia.
3. Nabi sebagai teladan masyarakat
muslim.
Artinya: Sesungguhnya Telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa pribadi Rasul merupakan tauladan umat yang sepatutnya diteladani khususnya yang terkait dengan apa-apa yang telah diwajibkan Allah melalui penjelasan dan prakteknya.
Ayat ini menunjukkan bahwa pribadi Rasul merupakan tauladan umat yang sepatutnya diteladani khususnya yang terkait dengan apa-apa yang telah diwajibkan Allah melalui penjelasan dan prakteknya.
4. Nabi wajib dipatuhi masyarakat.
Artinya: Katakanlah: "Taatilah
Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali Imron [3]: 32)
Artinya: Barang siapa yang menaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah menaati Allah. dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 80)
Dari beberapa ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi memiliki otoritas yang kuat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, semua perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Rasul sebagai sunnah menjadi sumber hukum yang kedua sesudah al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman.
Artinya: Barang siapa yang menaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah menaati Allah. dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 80)
Dari beberapa ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi memiliki otoritas yang kuat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, semua perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Rasul sebagai sunnah menjadi sumber hukum yang kedua sesudah al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman.
C. Unsur-Unsur Pokok Hadits
Di dalam hadits terdapat dua unsur,
yaitu sanad dan matan.
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah
“sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena
hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al - Thiby mengatakan bahwa sanad adalah: ﻥﺗﻣﻟﺍ
ﻕﻳﺭﻁ ﻥﻋ ﺭﺎﺑﺧﻷﺍ
Artinya: Berita tentang jalan
matan.
Yang lain menyebutkan: ﻥﺗﻣﻟﻟ ﺔﻟﺻﻭﻣﻟﺍ
ﻝﺎﺟﺭﻟﺍ ﺔﻟﺳﻟﺳ
Artinya: Sisilah orang-orang (yang
meriwayatkan hadits) yang menyampaikannya kepada matan hadits.
Ada juga yang menyebutkan:
ﻝﻭﻷﺍ ﺭﺩﺻﻣ ﻥﻋ ﻥﺗﻣﻟﺍ ﻭﻟﻗﻓ ﻥﻳﺫﻟﺍ ﺓﺍﻭﺭﻟﺍ
ﺔﻟﺳﻟﺳ
Artinya: silsilah para perawi yang
menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
2. Matan
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut
bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut
istilah:
ﻡﻼﻛﻟﺍ ﻥﻣ ﺩﻧﺳﻟﺍ ﻪﻳﻟﺍ ﻰﻬﺗﻧﻳ ﺎﻣ
Artinya: Suatu kalimat tempat
berakhirnya sanad.
atau dengan redaksi lain ialah:
lafal-lafal hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
3. Rawi
Rawi berasal dari kata “rawi” atau
“al-rawi” yang berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil
al-hadits)
D. Penelitian Hadits (Studi)
1.
Perlunya meneliti
hadits.
Hadits
sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah
satu salah satu sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian
hadits dimaksudkan agar mengetahui kualitas hadits karena banyaknya hadits yang
tidak sahih. Hal tersebut dikarenakan pada masa Nabi, kebanyakan hadits
berkembang secara hafalan sedangkan hanya sedikit yang menulis hadits,
akibatnya dokumen hadits Nabi yang berkembang secara tertulis belum mencakup
semua hadits yang ada, sehingga perlu adanya suatu penelitian hadist.
Banyak hal yang dapat dijadikan alasan dan pertimbangan dalam melakukan penelitian hadits, di antaranya yaitu:
Banyak hal yang dapat dijadikan alasan dan pertimbangan dalam melakukan penelitian hadits, di antaranya yaitu:
a. Banyaknya hadits palsu yang timbul
karena kepentingan politik.
b.
Adanya kemungkinan bahwa sebagian hadits yang tertulis pada masa Nabi
mengalami kesalahan dalam periwayatan.
c. Banyak sekali kitab hadits yang
muncul tetapi dengan metode yang berbeda.
d. Hadits diriwayatkan secara makna sehingga muncul beragam versi matan hadits.
d. Hadits diriwayatkan secara makna sehingga muncul beragam versi matan hadits.
e. Selain itu penghimpunan hadits
dilakukan, tetapi waktu yang lama setelah Rasulullah wafat.
Dari
alasan-alasan tersebut, maka penelitian dan pengkajian hadits sangat diperlukan
agar hadits yang diturunkan Nabi itu memiliki otentitas tinggi dan akurat
sebelum hadits tersebut dijadikan pedoman setelah al-Qur’an dan diamalkan oleh
umat Islam.
2. Obyek penelitian hadits.
Telah diterangkan bahwa hadits
mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian hadits
merujuk pada keduanya. Dalam melakukan penelitian hadits, banyak hal penting
yang perlu dikaji dalam sanad dan matan hadits sebagai berikut:
a.
Sanad Hadits
Menurut
ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila
suatu berita tidak memiliki sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak
bisa disebut dengan hadits tetapi dapat disebut hadits palsu atau hadits
maudlu’, walaupun seseorang menyatakannya sebagai hadits.
Abdullah
bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari
agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam
menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya
sanad dalam kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi
sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits
tersebut harus ditinggalkan. Imam Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits
dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.
Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Adapun tanda-tanda sanad yang palsu yaitu:
Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Adapun tanda-tanda sanad yang palsu yaitu:
- Perawi hadits yang diketahui banyak
orang adalah seorang pembohong.
- Seorang perawi mengakui bahwa hadits
yang diriwayatkan adalah palsu.
- Seorang perawi mengaku bahwa hadits
yang diriwayatkan dari seorang syekh, tetapi tidak dapat dipastikan pernah
menemui syekh tersebut.
- Kepalsuan hadits yang diketahui
dari keadaan perawi dan dorongan psikologisnya.
Kritik ekstern (Kritik Sanad)
Dalam penelitian
sanad hadits dikenal dengan istilah kritik ekstern yaitu kritik terhadap
rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan hadits. Dalam meneliti
sanad, agar lebih mudah untuk menilai sanad apakah sanad itu dapat dijadikan
sahih atau tidak. Ada bagian-bagian tertentu yang dapat diteliti yaitu:
- Nama-nama seorang rawi yang meriwayatkan hadits.
- Nama-nama seorang rawi yang meriwayatkan hadits.
- Lambang-lambang yang digunakan
para rawi dalam meriwayatkan hadits seperti sami’tu, akhbaroni, an dan anna,
dan lain-lain.
Dari uraian
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadits tergantung pada kualitas
sanad. Selain itu adanya unsur sanad dalam hadits sangat penting karena sanad
dijadikan sandaran.
Unsur-unsur kaidah kritik sanad
• Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad
bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor: mutthasil (bersambung), marfu’
(bersandar pada Nabi SAW), mahfuz (terhindar dari syudzudz) dan bukan mu’all
(bercacat).
• Unsur kaidah mayor kedua, perawi
bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor: beragama Islam, mukalaf
(balig dan berakal), melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru’ah
(adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya
kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
• Unsur kaidah mayor yang ketiga, perawi
bersifat dhabith dan atau adhbath, mengandung unsur-unsur kaidah minor: hafal
dengan baik hadits yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat
hadits yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan
terhindar dari ‘illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadits dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadits dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
b. Matan Hadits
Obyek penelitian
yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena keadaan matan
tidak bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan hadits
diriwayatkan dalam makna (Riwayah bil Ma’na) karena semua rawi belum tentu
memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna.
Penelitian matan hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan yang digunakan, masih sulit meneliti keadaan matan hadits.
Penelitian matan hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan yang digunakan, masih sulit meneliti keadaan matan hadits.
Kesulitan tersebut disebabkan:
Adanya periwayatan secara makna.
Pendekatan yang dijadikan acuan
bermacam-macam.
Latar belakang timbulnya petunjuk
hadits sulit diketahui.
Kandungan
petunjuk hadits yang bersangkutan dengan hal yang supra rasional.
Kitab-kitab yang
membahas kritik matan masih langka.
Dari uraian tersebut, dapat dilihat
bahwa meneliti matan itu sangatlah sulit. Maka dari itu untuk melakukan
penelitian matan, seorang perawi harus jeli dan memerlukan kecerdasan dalam
memetakkan masalah, dan pendekatan mana yang relevan dengan masalah yang akan
diteliti tersebut.
Kritik intern (Kritik Matan)
Dalam penelitian
matan hadits dikenal istilah kritik intern adalah mengkritiki materi yang
bersandar pada Nabi berkaitan dengan nilai-nilai konteks. Maka untuk memahami
hadits Nabi harus memperhatikan konteks informasi.
Unsur-unsur kaidah kritik matan
Unsur-unsur kaidah kritik matan
-
Matan itu tidak boleh
mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorik atau
penulur bahasa yang baik.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang
sekitarnya tidak mungkin ditakwilkan.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan indera dan kenyataan.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
-
Tidak mengandung
hal-hal yang hina, yang tentunya agama tidak membenarkannya.
-
Tidak bertentangan
dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam prinsip-prinsip kepercayaan
(aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
-
Tidak bertentangan
dengan Sunnatullah dalam alam dan manusia.
-
Tidak mengandung
hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh manusia yang berpikir.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang mantap, atau yang sudah
terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui agama secara pasti, yang sekiranya
tidak mengandung kemungkinan ta’wil.
-
Tidak boleh
bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi
SAW.
-
Tidak boleh bersesuaian
dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri.
-
Tidak boleh berupa berita
tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian
seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.
-
Tidak boleh timbul dari
dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya.
-
Tidak boleh mengandung
janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam
ancaman yang keras untuk perkara sepele.
Dengan adanya
unsur-unsur matan tersebut dapat mempengaruhi kualitas hadits. Oleh karena itu,
harus adanya penelitian tentang matan hadits agar dapat diketahui kesahihan
hadits.
3. Tujuan penelitian hadits.
Dalam penelitian
tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian
hadits mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas
dari hadits yang diteliti, karena kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan
hadits. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai hujjah.
Hadits yang dijadikan hujjah hendaknya harus memenuhi syarat, karena hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
E. Metode Studi Hadits
E. Metode Studi Hadits
Metode studi
hadits merupakan cara dalam mengkaji meneliti suatu hadits tentang
kesahihannya. Dalam mengadakan penelitian dan pengkajian kualitas hadits
diperlukan adanya metode agar lebih mudah melakukan penelitian.
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
1. Takhrijul Hadits
a.
Pengertian takhrij
hadits dan tujuannya
Secara
etimologi, at-Takhrij sering diartikan juga dengan al-Istinbat (mengeluarkan),
al-Tadrib (melatih), dan al-Tawjih (memperhadapkan). Secara terminologi yaitu
menyebutkan suatu hadits dengan sanadnya sendiri.
Dari
penjelasan tersebut, secara umum takhrij hadits mempunyai tujuan untuk
menunjukkan sumber hadits-hadits sekaligus menerangkan hadits tersebut diterima
atau ditolak (kesahihannya).
Dalam kegiatan
takhrij hadits tersebut maksudnya adalah untuk melakukan pencarian dan
penelusuran hadits pada berbagai kitab utama hadits, untuk mengetahui asal-usul
riwayat hadits, mengetahui semua riwayat hadits, selain itu juga untuk
mengetahui adanya syahid atau muttabi’ dalam sanad.
b. Metode takhrij hadits
Metode yang digunakan untuk
mentakhrij hadits ada lima, yaitu:
-
Matla’ al-Hadits
Yaitu menelusuri hadits berdasarkan
pada awal lafaz matan. Kitab yang dapat dijadikan acuan dalam metode ini adalah
al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir karya al-Suyuthi.
-
Lafaz al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan lafaz
dari semua lafaz yang ada dalam matan hadits. Kitab yang membantu yaitu Mu’jam
al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck.
-
Rawi al-A’la
Menelusuri hadits berdasarkan pada
rawi pertama. Kitab yang membantu di antaranya kitab al-Athraf karya al-Mizi.
-
Maudlu’ al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan pada
topik tertentu. Kitab yang membantu yaitu Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J.
Wensinck.
-
Shifah al-Dhahirah
Menelusuri hadits berdasarkan pada
sifat-sifat yang tampak atau kualifikasi jenis hadits. Kitab yang membantu
kegiatan ini adalah al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar fi al-Mutawatirah,
karya al-Suyuthi.
2. Penelitian Sanad
Langkah-langkah dalam penelitian
sanad yaitu:
a.
Al-I’tibar
Al-I’tibar (penyertaan) keseluruhan
sanad-sanad hadits untuk suatu hadits tertentu serta metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing perawi hadits agar dapat memperoleh gambaran
tentang adanya syahid dan muttabi’ dalam sanad hadits. Setelah itu, membuat
bagan atau skema sanad dari masing-masing mukharij.
b.
Meneliti pribadi
seorang periwayat metode yang digunakan dalam meriwayatkan hadits.
Pada penelitian ini harus
menggunakan acuan kesahihan sanad hadits tentang sanad yang bersambung,
ke-adil-an, ke-dhabit-an para perawi. Selain itu juga terhindar dari syudzudz
dan illat.
Dalam memudahkan
untuk meneliti seorang rawi, para ulama memberikan teori-teori al-Jaih wa
al-Ta’dil sebagai instrumen untuk membantu penelitian agar mencapai konklusi
penelitian pada perawi hadits. Di antaranya yaitu:
a.
Al-Ta’dil Muqaddam ala
al-Jarh
Penelitian ini men-ta’dil-kan rawi
dulu, baru mencelakan dengan alasan sifat perawi adalah terpuji.
b.
Al-Jaih Muqaddam ala
al-Ta’dil
Terlebih dahulu mencela, kemudian
lalu men-ta’dil-kan kecacatan perawi.
c. Idza Ta’fudl al-Jarih wa al-Mu’adil fa al-Hukm li al-Mua’ddil illa izda
c. Idza Ta’fudl al-Jarih wa al-Mu’adil fa al-Hukm li al-Mua’ddil illa izda
Tatasbbut al-Jaih al-Mufassar
Yaitu jika terjadi pertentangan
antara pne-ta’dil-an dengan pen-jarh-an, yang didahulukan adalah pen-ra’dil-an.
d. Idza Kana al-Jarh Dha’ifan fala
Yuqbal Jarhuhu li al-Tsiqah
Yaitu apabila orang yang
mengemukakan keterselaan tergolong orang yang dha’if, maka kritikannya terhadap
orang yang tsiqah tidak diterima.
e. La Yuqbal al-Jarh illa Ba’da
al-Tassabbut Khasyyah al-Asybah
Yaitu pen-jarh-an tidak diterima
kecuali setelah ditetapkan kesamaran-kesamaran orang yang dicela.
f. Al-Jarh al-Nasyi ‘an ‘adawah
dunyawiyyah la yu’tadu bihi
Yaitu al-Jarh yang dikemukakan oleh
orang yang bermusuhan tentang masalah dunia, tidak perlu diperhatikan.
Sedangkan untuk meneliti merode
yang digunakan perawi untuk meriwayatkan hadits ada 8 metode (metode tahhmul
ada’ al-Hadits) yaitu:
a. Al-Sama’
b. Al-Qira’ah aw al-‘Aradl
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Mukatabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyyah
h. Al-Wiyadah
3. Penelitian Matan
Langkah-langkah dalam melakukan
penelitian matan hadits adalah sebagai berikut:
a. Melihat kualitas sanad hadits
a. Melihat kualitas sanad hadits
Sanad dan matan memiliki kedudukan
yang sama penting dalam kaitannya dengan hujjah. Sanad tanpa adanya matan itu
tidak dapat disebut dengan hadits, begitu juga sebaliknya matan hadits tidak
dapat dikatakan sebagai hadits Rasulullah apabila tidak ada sanadnya.
Kemudian apabila sanadnya lemah,
maka matannya pun dapat dikatakan lemah pula. Untuk itu, mengetahui kualitas sanad
hadits menjadi langkah awal penelitian matan hadits.
b. Melihat susunan matan hadits
yang semakna
Matan suatu hadits memiliki ragam
yang banyak, hal ini dikarenakan kesalahpahaman dalam periwayatan atau pun
perbedaan pemahaman. Akibatnya timbul berbagai macam lafaz matan hadits yang
semakna, maka perlu dilakukan langkah muqarabah (perbandingan) terhadap
matan-matan hadits yang memiliki kandungan makna yang sama, dan juga
membandingkan sanad-sanadnya.
c. Meneliti kandungan matan hadits
c. Meneliti kandungan matan hadits
Untuk melakukan penelitian terhadap
kandungan matan hadits ini perlu dilakukan perbandingan kandungan matan hadits
yang sejalan. Oleh karenanya mempertautkan dengan dalil-dalil lain yang
mempunyai topik masalah yang sama sangat membantu dalam memahami kandungan ini.
III. KESIMPULAN
Hadits dari segi bahasa banyak
sekali maknanya, tetapi yang banyak digunakan yaitu sesuatu yang
diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar. Sebagian muhaditsin
berpendapat bahwa pengertian hadits dari segi istilah itu mempunyai cakupan
yang luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits
marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat
(hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’).
Posisi hadits
terhadap AL-Qur’an itu tidak bisa lepas dari posisi Nabi (sebagai sumber
munculnya hadits) terhadap Al-Qur’an. Berikut ini tentang kedudukan Nabi
terhadap Al-Qur’an:
- Nabi berfungsi sebagai penjelas
Al-Qur’an.
- Nabi sebagai pembuat hukum
- Nabi sebagai teladan masyarakat
muslim.
- Nabi wajib dipatuhi masyarakat.
Perlunya meneliti hadits yaitu:
Hadits sangat penting kehidupannya
untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah satu salah satu sumber ajaran
Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar
mengetahui kualitas hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih.
Obyek penelitian hadits adalah:
Telah diterangkan bahwa hadits
mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian hadits
merujuk pada keduanya.
Dalam penelitian tentunya mempunyai
tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian hadits mempunyai
tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas dari hadits yang
diteliti, karena kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan hadits. Hadits
yang kualitasnya tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai hujjah.
Langkah-langkah dalam meneliti
hadits adalah sebagai berikut:
- Takhrijul Hadits
- Takhrijul Hadits
- Penelitian Sanad
- Penelitian Matan
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
sampaikan. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan.
Dan akhir kata, pemakalah meminta maaf apabila terdapat kesalahan baik berupa
sistematika penulisan, maupun isi dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syiba’i, Musthafa, DR., Sunnah
dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah DR. Nur Cholis Majid,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela dan Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela dan Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003).
Syukur, M. Amin, Prof. DR. H., MA., dkk, Metodologi Studi Islam, (Semarang: CV, Gunung Jati).
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003).
Syukur, M. Amin, Prof. DR. H., MA., dkk, Metodologi Studi Islam, (Semarang: CV, Gunung Jati).
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari, M.Ag,
Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits Nabi dari Manual Hingga
Digital, (Semarang: RaSail, 2006).
PENDEKATAN SAINS DALAM PENGKAJIAN KONTEKSTUAL HADIS
1.
PENDAHULUAN
Usaha utama untuk melestarikan Sunnah bermacam-macam dan sesuai
dengan tuntutan zamannya. Walaupun demikian, ada beberapa usaha yang terus
berkembang dari generasi kegenerasi, yakni mempelajari, meneliti,
memahami dan menyebarkan pengetahuan yang berkaitan dengan Sunnah.[1]
Agama Islam sebagai agama produk Ilahi adalah agama yang
benar dan sempurna dimana Allah telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara
tuntas ke dalam agama ini.[2]
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Islam selalu sesuai dengan
segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia. “صالح لكل زمان ومكان”
Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam senantiasa mengalami
perkembangan, manusia sebagai bagian dari alam pun mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman itu, ditandai dengan kemajuan
peradaban dunia sebagai wujud kecenderungan manusia yang senantiasa memikirkan
fenomena yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Kecenderungan manusia itu,
lalu kemudian diabstraksikan dengan berbagai cara dan metode sehingga
melahirkan berbagai disiplin ilmu yang lebih dikenal dengan istilah sains.
Di tengah maraknya penemuan dan bidang sains dewasa ini
tampaknya umat Islam pun semakin tanggap dan bersikap positif terhadap dinamika
perkembangan itu, dengan berupaya mengkaji sumber ajaran Islam melalui berbagai
disiplin ilmu, upaya ini dimaksudkan agar ajaran Islam tetap eksis di tengah
pesatnya perkembangan sains dan teknologi modern.
Pendekatan sains dalam pengkajian hadis sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua dipandang sangat penting, sebab mungkin saja suatu
hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tektual), sedangkan ada
hadis tertentu lainnya lebih tepat jika dipahami secara tersirat (kontekstual).[3]
Hadis pada awal pertumbuhannya, uraiannya akan terkait langsung
dengan pribadi Rasulullah saw., sebagai sumber hadis[4]
dan konsekuensinya para sahabat menerima dan menjalankan apa yang dikatakan,
diperbuat, dan di-taqrir-kan oleh Rasulullah saw., sebagai wujud dari
pada keimanan dan ketaatan mereka.
Kondisi tersebut mewarnai kehidupan sosial para sahabat, sehingga
dapat dikatakan bahwa sahabat dalam menerima hadis, selain mengikuti dalam
bentuk penampilan pribadi Rasulullah saw., juga dalam bentuk melihat dan
mendengarkan secara langsung dari Nabi. Akhirnya, apa yang dilihat dan
didengarkan bukanlah sesuatu yang meragukan, bahkan suatu kebenaran mutlak.
Kecenderungan ini membawa sahabat untuk tidak merasa berkewajiban
memikirkan, apakah yang telah diucapkan oleh Rasulullah saw. saat itu sesuai
dengan kondisi yang akan datang, dan dapat dikaji secara ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada makalah ini akan
dipaparkan, sejauh manakah ketepatan/kebenarannya matan-matan
hadis-hadis Nabi ditinjau dari sains modern
II.
PEGERTIAN
Pendekatan sains dalam pengkajian kontekstual hadis, pada
dasarnya judul ini terdiri dari beberapa variabel yang perlu diuraian arti
katanya masing-masing, sebagai langkah awal memahami pembahasan selanjutnya.
Kata pendekatan berasal dari akar kata “dekat”, yang berarti proses,
perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan perdamaian atau
persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan
dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai pengertian tentang
penelitian.[5]
Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti mendekati.
Kata sains berasal dari bahasa Inggris (Science)
adalah Knowledge acquired by study or sistimatized knowledge of any one
department of the study of mind or metter, as, the science of phisics.[6]
Yang berarti pengetahuan yang diakui oleh study atau pengetahuan
yang sistimatis dari sesuatu departemen yang mempelajari suatu masalah seperti
ilmu pengetahuan pisik.
Adapun menurut istilah, William J. Goode dan Paul K. Hatt guru besar
pada jurusan Sosiologi dari Colombia University dan Northwestern University,
mendefinisikan ilum (science) sebagai kumpulan pengetahuan yang
diorganisir secara sistimatik.[7]
Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara
tertib oleh manusia.[8]
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa sains adalah
ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis sehingga mempu melahirkan
pengetahuan baru dengan jalan observasi dan eksperimen yang memenuhi standar
ilmiah.
Secara etimologi kata “kajian” berarti belajar, mempelajari,
memeriksa, menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan sesuatu.[9]
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “study” yang berarti
penyelidikan dan mengamati tentang susuatu keadaan, memeriksa dengan teliti.[10]
Selanjutnya, kata “Kontekstual” berasal dari kata “konteks” yang
dalam bahasa Indonesia dapat berarti: Bagian suatu uraian atau kalimat yang
dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian, dalam pengertian ia melihat sesuatu secara
keseluruhan sehingga meliputi seluruh makna, baik secara tekstual maupun secara
kontekstual.[11]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Urgensi Pendekatan Sains
Ilmu pengetahuan atau sains dapat didefinisikan sebagai sunatullah
yang terdokumentasi dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran
dan karyanya yang sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti
kemajuan, kualitas pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu
pengetahuan seperti proses bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam semesta ini yang
selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu
pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[12]
Dengan pendekatan melalui ilmu pengetahun (sains) dapat
membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat
(mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji
premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak
sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam
memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi
kekeliruan untuk memahaminya.[13]
B.
Sains adalah Salah Satu Pendekatan
dalam Memahami Hadis secara Kontekstual
Sekali saja Nabi bersabda, dibutuhkan penelitian dalam bermacam
ilmu,[14]
karena setiap sabda Nabi selalu menjadi pengasuh dan mendorong kepada umatnya
agar memanjatkan pikiran ke arah ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karena setiap ayat Alquran dan sabda Nabi, bila tanpa dianalisa dari
segi ilmu pengetahuan baik yang eksak ataupun yang abstrak tentu akan dijumpai
keburukan dan akan menyimpang dari tujuan hakiki.
Diketahui bahwa di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains,
menuntut pemahaman yang lebih komprehensip terhadap hadis Nabi sebagai sumber
ajaran Islam. Hal ini dipandang semakin penting, mengingat hadis-hadis yang dikemukakan
oleh beliau terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu, sehingga dalam
konteks sekarang ini, terdapat hadis yang kelihatan kurang relevan lagi, jika
hanya dilihat secara tekstual. Karena itu, dibutuhkan pemahaman secara
kontekstual. Pengkajian konterkstual sebuah matan hadis dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu.
Al-Sibāiy mengemukakan bahwa ada tiga bentuk memperoleh pengetahuan
dalam Islam yaitu: pertama, adakalanya berupa berita yang valid dan
diyakini oleh penerimanya, seperti pekabaran-pekabaran dari Allah yang
tercantum dalam kitab-Nya; kedua, adakalanya dengan hasil
eksperimentasi ataupun observasi yang benar; dan ketiga, adakalanya
hukum akal atas masalah yang tidak ada penjelasannya, baik melalui pekabaran
yang valid maupun hasil eksperimentasi atau observasi.[15]
Melihat banyaknya temuan di bidang sains dan teknologi
dewasa ini, akan sangat memungkinkan untuk menggunakan teori-teori atau
fakta-fakta ilmiah dalam kajian kontekstual hadis. Hal ini diharapkan
berlangsung bukan hanya sekarang, tetapi juga masa-masa yang akan datang.
Kajian konterkstual hadis semacam ini haruslah dilakukan seobyektif
mungkin dalam rangka pelestarian hadis yang telah diakui keabsahannya oleh para
ulama, baik sanad maupun matan-nya tidak mungkin dibatalkan
oleh temuan-temuan sains modern. Dalam arti purlu adanya kehati-hatian
serta menggunakan multi approach untuk memahami hadis secara
kontekstual.
Dalam kaitan dengan pengkajian kontekstual hadis, ulama telah
merumuskan suatu standar sebagai borometer dalam menentukan validitas sebuah matan
hadis, sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaan pendekatan sains.
Adapun standar atau tolak ukur dimaksud, sebagai berikut: a) Hadis tidak
bertentangan dengan petunjuk Alquran, b) Hadis tidak bertentangan dengan
kebenaran rasional yang aksiomatis, c) Hadis tidak bertentangan dengan realitas
indrawi, d) Hadis tidak bertentangan dengan fakta sejarah, dan e) Hadis tidak
bertentangan dengan sunnatullah pada alam dan manusia.[16]
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh hadis yang membutuhkan
pendekatan disiplin ilmu dan pemahaman secara kontekstual sebagai berikut:
- a. Hadis tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
لا يزال هذا
الامر في قريش ما بقي منهم اثنان ( رواه البخاري ومسلم وغيرهما )[17]
“Dalam urusan
(beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang”.
الا ئمة من قريش
( رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزه )[18]
“Pemimpin itu
dari suku Quraisy”.
Ibnu Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama
pun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan Khawārij yang
membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari
suku Quraisy. Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy,
kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat
orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak
menjadi kepala negara.[19]
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang
semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya
menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka
memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas
beliau sebagai Rasulullah dan tentunya benar berlaku secara universal.
Apabila kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu
tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam Alquran yang menyatakan bahwa
pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan
ketaqwaannya.[20]
Dengan demikian maka diperlukanlah pemahaman secara kontekstual
bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan
dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin
dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy.
Apabila suatu masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan
dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat
ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam
ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[21]
- b. Hadis tentang Wanita Menjadi Pemimpin
لا يفلح قوم
ولوا امرهم امراة ( رواه البخاري وترمذي والنساءي عن ابي بكر )[22]
“Tidak akan
sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka
kepada wanita”.
Jumhur ulama memahami hadis tersebut
secara tekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis
tersebut, maka pengangkatan wanita menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan
berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka mengatakan bahwa wanita
menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta
suaminya.[23]
Untuk memahami hadis tersebut, perlu dikaji lebih dahulu keadaan
yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan oleh Nabi. Di mana
diketahui bahwa hadis itu disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari
sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Menurut
tradisi yang berlangsung di Persia, yang diangkat menjadi kepala negara adalah
seorang laki-laki. Yang terjadi pada tahun 9 H. itu menyalahi tradisi tersebut,
yang diangkat menjadi kepala negara bukan laki-laki, melainkan seorang wanita,
yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisrah bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi
ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam
rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak
laki-lakinya yakni saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala
melakukan perebutan kekuasaan, karenanya lalu Buwaran dinobatkan sebagai ratu (Kisra).[24]
Pada waktu itu derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah
derajat kaum laki-laki. Wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta
mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan.
Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan
negara. Bahkan keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia, bahkan
jazirah Arab pada umumnya.
Dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi
memiliki kearifan tinggi meyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kenegaraan dan
kemasyarakatan kepada kaum wanita tidak akan sukses (menang atau beruntung)
sebab bagaimana mungkin akan sukses, kalau orang yang memimpin adalah makhluk
yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu
syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan
wanita pada saat iu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi
pemimpin.
Dengan demikian dalam perjalanan sejarah, penghargaan masyarakat
kepada kaum wanita semakin meningkat, akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita
diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi
peluang yang sama kepada kaum wanita untuk melakukan berbagai aktivitas dan
amal kebajikan.
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk
memimpin, maka hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, maka dalam
situasi seperti sekarang ini, tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat
menjadi pemimpin.
c.
Hadis tentang Lalat
اذا وقع الذباب
في شراب احدكم فليغمسه ثم لينزعه فان في احدي جناحيه داء والاخري شفاء ( رواه
البخاري )[25]
“Apabila lalat
jatuh dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian
buanglah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya
yang lain terdapat obat”.
Hadis ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris
al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya
lalat itu pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini
telah dinilai shahih oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai
sekarang.[26]
Namun sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis
tersebut. Penjelasan Rasulullah saw. ini, kini termasuk di antara ilmu baru
yang ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa ketika lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan
sebagiannya lagi menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat
mengandung imunitas terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah
kuman-kuman yang dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut
menyerupai obat anti biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada
saat lalat masuk ke dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel
pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu
diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat penawar (toxine) yang
membunuh kuman-kuman tersebut.[27]
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa
hadis tersebut berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam
kondisi krisis ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan
pangan, agar tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis
ini memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan
bersikap tidak boros.[28]
- d. Hadis tentang Larangan Senggama Waktu Haid
حدثنا عبد الله
عن ابيه قال حدثني عفان قال حدثنا حماد بن سلمة قال حدثنا حكيم الاثرام عن
ابي تميمة الههجيمي عن ابي هريرة ان رسول الله صهم قال من اتي حائضا او امراة في
دبرها او كاهنا فصدقه فقد برئ مما انزل الله علي محمد صلي الله عليه و سلم[29]
“Kami
diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah
dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya
Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau
pada dubur-nya atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah
keluar dari agama Muhammad yang diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan persetubuhan selama haid buat segala bangsa, buat
banyak pengikut agama sudah menjadi adat kesusilaan, dari zaman purba sampai
dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu cemar selama ia dalam haid. Dalam dunia
wanita sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang
diselenggarakan oleh perempuan haid tidak mau naik, bahwa asinan atau acar yang
dibuatnya jadi busuk. Akan dapatkan “kecemaran” perempuan haid itu dibuktikan
oleh pemeriksaan ilmu pengetahuan yang exact ?
Dr. Med. Ahmad Ramali seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya
dalam bidang kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan
bahwa:
Dalam benda cair haid itu Coccus Neisser itu
mungkin virulent (bersifat membangkitkan penyakit) kembali dan karena
itu jadi menyebabkan penyakit., sehingga ada kemungkinan pula, bahwa dia
bersama-sama dengan sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra
(aliran kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang
aliran kandung kemih) yang mendadak pada laki-laki.[30]
Dengan jalan demikian infeksi penyakit sabun yang beberapa tahun
sudah sebagai hilang kelihatannya, tiba-tiba muncul kembali karena senggama
waktu dalam haid.
Pada perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan sukma yang
goncang selama haid itu, ada pula keadaan-keadaan badan seperti yang berikut
ini:[31]
Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh
perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio (darah
berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia
maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia
peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat
dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia
jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada
kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid
itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu
jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal
ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam
melihat sebuah hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matn
hadis dapat dipahami dan didekati dari berbagai pendekatan. Pendapat pertama
mendekati dengan pendekatan sains kedikteran dan pendapat kedua
memahaminya dengan pendekatan historis dan sosiologis. Dengan demikian untuk
menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur
terpenting bagi paradigma sains moderen tidaklah mudah dilakukan,
sebab selain diperlukan penguasaan sains modern, juga dibutuhkan
keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
ajaran Islam.
Secara prinsip bahwa pemahaman agama tidak mungkin dapat dilakukan
dengan sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup manusia.
IV.
KESIMPULAN
Ijtihad untuk memahami matn hadis dengan pendekatan sains
dengan pengkajian kontekstual sangat dibutuhkan dengan tetap berpegang pada
prinsip kebenaran menjamin validitas hadis itu sendiri, karena Islam tidak
bertentangan dengan empiris.
Penemuan-penemuan sains telah terbukti banyak membantu
dalam penyelesaian problematika pemahaman matn hadis, namun perlu
dicatat bahwa tingkat akurasi pemakaian pendekatan sains dalam
pengkajian hadis masih perlu ditingkatkan dan diuji lebih lanjut, karena ciri
khas dari ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak pernah mengenal kata kekal.
Apa yang dianggap salah pada masa lalu, dapat diakui kebenarannya di abad
modern, demikian pula sebaliknya.
Hadis shahih sebagai suatu teks yang mengandung nilai-nilai
kesucian perlu ditekankan bahwa ia memiliki khazanah yang kaya dengan makna dan
penafsiran, sehingga hadis tidak selamanya dipahami secara tekstual, melainkan
ada hadis yang harus dipahami secara kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Abdun, Abdullah.
Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw.(Cet
II; Bondowoso; A.A., 1980.
al-Asqalāniy,
Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar. Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy.
t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.
al-Bukhariy,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy)
Juz IV. Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.
Hambal, Abu
Abdullah Ahmad ibn. Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad). Jilid II.
Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.
Ismail, H. M.
Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
_______.
Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya. Cet. 1; Jakarta :
Gema Insani Press, 1995.
al-Kulaib,
Abdul Malik Ali. ‘Alāmah al-Nubuwwah. Diterjemahkan oleh Abu Fahmi
dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian). Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1992.
Mudzhar, M.
Atho. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Muhajir, Noeng.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi II. Cet. VIII; Yogyakarta:
Bayu Indah Grafika, 1998.
Nata, Abudin. Metodologi
Study Islam. Cet I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Qardawi, Yusuf.
As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban. Cet. I; Jakarta: Pustaka
Kautsar, 1998.
_______. Kaifa
Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. Cet.
III; Bandung: Kharisma, 1994.
al-Quraisy, Abu
Husain Muslim bin. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim). Juz III. t.
tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M
Ramli, Ahmad. Peraturan
Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam. Cet. II; Jakarta:
Balai Pustaka, 1955.
Reason, H.A. The
Road Modern Science. Cet. III; London; G. Bell and Science, 1959.
Saifuddin. “Pendekatan
Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998.
al-Sibāiy,
Mustafa. al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy. t.tp: Dār
al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th.
Suparta,
Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Cet. II: Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
Taylor, C.
Ralph A.M. Webster’s World University Dictionary. Washington D.C.:
Publishers Company, Inc., 1965.
Velde, TH. H.
Van De. Het Volkomen Huwelijk. Leiden: t. p., 1929.
Willy, I.
Markus. Kamus 950 Juta. Surabaya: PT. Arkola, 1996.
al-Zindani,
Abdul Madjid bin Azis Azis. Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK.
Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
-o 0 o-
[1]H. M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya
(Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 38.
[2]Lihat Q.S.
al- Maidah :3
[3]Lihat H. M.
Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 6.
[4]Lihat
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. II: Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 58.
[5]Lihat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 218.
[6]C. Ralph
Taylor, A.M., Webster’s World University Dictionary (Washington D.C.:
Publishers Company, Inc., 1965), h. 885.
[7]Lebih lanjut
dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau
kata-kata “pengetahuan” (Knowledge) dan sistimatik (systematic)
didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan
Teologis yang disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan
ilmu pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat
dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 34.
[8]Lihat H.A.
Reason, The Road Modern Science (Cet. III; London: G. Bell and
Science, 1959), h. 1-2.
[9]Lihat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 431.
[10]I.
Markus Willy, Kamus 950 Juta (Surabaya: PT. Arkola, 1996), h. 454.
[11]Lihat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 522. Bandingkan
dengan Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi II
(Cet. VIII; Yogyakarta: Bayu Indah Grafika, 1998), h. 178.
[12]Abdul
Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang
IPTEK (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 192.
[13]Yusuf
Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), h. 221.
[14]Bahwa Nabi
saw. dibekali oleh Allah swt. dengan salah satu keistimewaan “Jawāmi’
al-Kalīm” yaitu kata-kata singkat tetapi mengandung makna-makna yang
tinggi dan luas, lihat Abdullah Abdun, Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran
Nur Nabi Besar Muhammad saw. (Cet II; Bondowoso: A.A., 1980), h. 8.
[15]Lihat
Mustafa al-Sibāiy, al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy (t.tp:
Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th), h. 41. Lihat juga Abudin Nata
dalam Metodologi Study Islam (Cet I; Jakarta: Raja Grapindo Persada,
1998), h. 196.
[16] Lihat H.M.
Syuhudi Ismail, op. cit., h. 79.
[17]Lihat Abu
Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim),
juz III (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), h. 1452;
dan Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh
(Shahīh Bukhārīy), juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), h. 234; dan Abu
Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad),
jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.), h. 29.
[18]Lihat Abu
Abdullah Ahmad ibn Hambal, juz III, ibid., h. 129.
[19]Lihat Ali
Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh
al-Bukhāriy (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.), h. 114-118.
[20]Lihat Q.S.
al-Hujurat: 13.
[21]Lihat H. M.
Syuhudi Ismail, op. cit., h. 40.
[22]Lihat
al-Bukhariy, juz IV, op. cit., h. 228; dan
Ahmad ibn Hambal, jilid V, op. cit., h. 38.
[23]Lihat H. M.
Syuhudi Ismail, op. cit., h. 65.
[24]Lihat Ahmad
bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalānīy, op. cit., h. 128.
[25]Lihat
al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit., h. 443.
[26]Lihat
Saifuddin, “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang:
PPS IAIN UP, 1998), h. 135-137.
[27]Abdul Malik
Ali al-Kulaib, ‘Alāmah al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi
dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian) (Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 1992), h. 124.
[28]Lihat Yusuf
Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan
oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Bagaimana Memahami Hadis
Nabi saw (Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994), h. 23.
[29]Lihat Ahmad
ibn Hambal, juz XVIII, op. cit., h. 56.
[30]Ahmad
Ramali, Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam
(Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 206.
[31]Yang
berikut ini adalah ringkasan yang dipungut dari karangan Dr. TH. H. Van De
Velde, Het Volkomen Huwelijk (Leiden: t. p., 1929), h. 288-293.
Quo Vadis Studi Hadis ? (Merefleksikan Perkembangan dan Masa depan Studi Hadis)
Pengantar
Tidak dapat diragukan lagi bahwa hadis mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran kedua setelah
al-Qur’an, hadis menjadi rujukan dari berbagai problem sosial keagamaan yang
dihadapi oleh umat muslim karena hadis tidak hanya sebagai bayan dan tafsir
dari al-Qur’an tetapi juga mencakup semua kegiatan hidup Nabi Saw yang umum dan
luas meliputi semua informasi, bahkan pesan, kesan dan sifat yang semuanya
bersumber dari Nabi.
Meskipun diyakini sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an,
hadis mempunyai problem yang cukup rumit terkait dengan proses kodifikasinya
yang memakan waktu cukup panjang yakni setelah hampir seratus tahun tinggal
dalam hafalan para sahabat dan tabi’in yang banyak berpindah-pindah dari
hafalan seorang guru kepada hafalan muridnya. Sehingga setelah penulisan
dan pembukuan hadis itu berkembang dengan pesat muncul berbagai persoalan
apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang berasal
dari Nabi, atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk
maksud tertentu? Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu
redaksinya persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya
saja? kalau itu riwayah bil makna, apakah benar maksudnya sama seperti
yang dimaksud oleh Nabi?dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul
dan memerlukan berbagai penelitian lebih lanjut untuk melihat otentisitas hadis
sehingga memunculkan ilmu hadis dengan berbagai cabangnya[1].
Dalam ilmu-ilmu tersebut, para ahli hadis menyusun kriteria para
perawi hadis yang dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis, mulai dari
ketentuan akan adanya persambungan dan urutan pertalian hadis dari rawi sampai
kepada Nabi Saw, hingga meneliti cara dan waktu dalam meriwayatkan hadis bahkan
juga kepribadian para perawi yang dapat menghalangi dan mengurangi anggapan
kecurangan dan kebohongan dalam membawakan hadis. Selain ilmu yang terkait
dengan sanad, masih ada beberapa cabang ilmu lagi yang dikembangkan oleh para
ahli hadis meski masih belum sempurna[2].
Meski berbagai perangkat keilmuan hadis sudah dirintis oleh para
ulama hadis, namun dalam perkembangannya keilmuan hadis seolah berjalan
ditempat (stagnan). Hal ini sangat berbeda dengan perangkat keilmuan dalam
studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an yang terus berkembang
dengan cukup pesat. Kemandegan perkembangan keilmuan hadis ini menjadi
keprihatinan banyak pihak mengingat pentingnya ilmu hadis dalam kerangka studi
Islam secara umum. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha merefleksikan dan
memaparkan problem-problem ilmu hadis di dalam ranah Islamic studies
dan mencoba untuk menawarkan solusi untuk perkembangan keilmuan hadis kedepan.
Perkembangan Studi
Hadis
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan diatas, dalam sejarahnya
hadis memang terlambat untuk dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru
seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarakat
Islam dan umumnya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Setidaknya
dalam proses historiografinya, hadis mengalami beberapa periode, dari periode
keterpeliharaan dalam hafalan hingga periode dibukukannya hadis tersebut
(pentadwinan). Pertama adalah periode keterpeliharaan hadis dalam
hafalan yang berlangsung pada abad I hijriyah. Kedua, periode
pentadwinan hadis, yang masih bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat dan
tabi’in yang berlangsung pada abad ke 2 hijriyah. Ketiga, periode
pentadwinan dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan tabi’in, berlangsung
sejak abad ke 3 hijriyah. Keempat periode seleksi keshahihan hadis dan
kelima periode pentadwinan hadis tahdzib dengan sistematika
penggabungan dan penyarahan yang berlangsung semenjak abad ke 4 hijriyah[3].
Pada masa khalifah Umar bin Khattab sebenarnya sudah terpikir untuk
membukukan hadis, tetapi setelah sebulan beristikharah iapun membatalkan
niatnya dengan alasan kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan hadis[4].
Kemudian pada masa tabi’in banyak muncul hadis-hadis palsu dimana awal
kemunculannya dikaitkan dengan peristiwa politik yang sering disebut sebagai
fitnatul kubro yang diawali dengan terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan,
sehingga berimplikasi pada perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan,
seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan lain sebagainya. Dalan situasi yang
cukup “rumit” ini, setiap golongan menggunakan dalil-dalil yang dinisbatkan
kepada Nabi Saw untuk mendukung kelompoknya. Kondisi inilah yang menyebabkan
kebutuhan akan kodifikasi dan menyeleksi hadis semakin dirasakan, karena jika
tidak segera diambil tindakan kodifikasi hadis akan semakin banyak hadis palsu
bercampur dengan hadis asli.[5]
Berbeda dengan kodifikasi al-Qur’an, dimana para sahabat tidak
menemukan banyak kendala dalam pengerjaannya, karena tugas “panitia” kodifikasi
hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para
sahabat untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara
mutawathir mereka terima dari Nabi Saw dan secara ilmiyah dapat dipastikan
sebagai ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam kodifikasi hadis banyak menemui
berbagai macam kendala dan kerumitan terkait dengan hadis yang lebih banyak
terpelihara dalam ingatan daripada dalam catatan. Apalagi hadis dalam ingatan
para sahabat ini telah tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang
dikunjungi oleh para sahabat nabi. Rentang waktu yang cukup lama serta
munculnya perbedaan misi politik serta madzhab pada masa itu juga menambah
sulitnya “proyek” kodifikasi ini karena untuk menghimpun hadis-hadis yang cukup
banyak tersebut tentunya dibutuhkan ketelitian yang cukup tinggi baik dalam
kerangka ontologis[6],
epistemologis[7]
maupun aksiologis[8],
sehingga hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah[9].
Kodifikasi hadis secara resmi pertama kali digagas oleh khalifah
Umat ibn Abd Aziz memalui surat edarannya kepada para gubernur di daerah agar
menunjuk ulama ditempat masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis, dan salah
satu gubernur yang cukup tanggap dengan perintah khalifah adalah gubernur
Madinah Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang pelaksanaanya ditangani oleh
Ibn Syihab al-Zuhri. Pada abad ini juga para ulama mulai menyusun kitab hadis
dan meletakkan pula landasan epistemologisnya. Sejak dikeluarnya perintah tersebut,
kegiatan kodifikasi ini terus berlanjut sampai abad ke 4 dan ke 5 Hijriyah dan
mencapai puncaknya pada abad ke 3 H, karena pada abad ini banyak muncul para
pengumpul hadis seperti imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
al-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibn Majah, al-Damiri, dan lain sebagainya.
Pada abad-abad tersebut perkembangan ilmu hadis cukup dinamis,
disamping munculnya karya monumental di abad ke-3 H yang berupa kitab hadis
yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah juga banyak bermunculan
kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistematika dan metode pemilahan
hadis yang berbeda-beda[10].
Selain itu juga ada juga ulama yang melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang
dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik matan maupun kritik sanad, seperti
kritik matan yang dilakukan oleh ulama mu’tazilah seperti al-Nazhzham dan
kritik sanad yang dilakukan oleh al-Daruquthni terhadap Shahihayn[11].
Kemudian muncul lagi kalangan ulama kemudian yang merupakan anti tesis
terhadap kritik-kritik tersebut, sehingga membuat keilmuan hadis semakin
berkembang.
Dalam menyusun kitab hadis, para ulama tidak hanya mendasarkan pada
aspek-aspek ontologi[12]
tetapi juga meliputi aspek epitemologi yang berupa kritik sanad dan matan serta
aspek aksiologi yang berupa tujuan penyusunannya baik secara praktis maupun
teoritis. Penyusunan kitab-kitab hadis berdasarkan aspek-aspek tersebut disebut
ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu riwayah menekankan
pada ketepatan menghimpun segala yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, sedangkan
ilmu dirayah lebih menekankan pada faktor diterima dan tidaknya
sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi tersebut.[13]Kedua
ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam menentukan status
hadis. Tetapi dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan
rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu
hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis
dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis.
Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam
kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah[14].
Dalam perspektif keilmuan hadis, ada tiga hal penting yang perlu
mendapat perhatian, yaitu, sanad hadis, matan hadis dan kemunculan kritik
hadis, dimana ketiganya berkembang menjadi cabang-cabang dalam ilmu hadis yang
disusun para ulama masa itu dalam kitab-kitabnya diantaranya adalah: pertama
ilmu yang berkaitan dengan sanad yakni ilmu rijalil hadis[15],
ilmu jarh wa ta’dil[16],
kedua ilmu yang berkaitan dengan matan hadis yakni ilmu mukhtalaf
al-Hadis[17],
ilmu ilalul hadis[18],
ilmu gharibul hadis[19],
ilmu nasikh dan mansukh[20]
dan lain sebagainya.
Demikian dinamisnya para ulama hadis masa itu sehingga karya-karya
dalam bidang hadis terus berkembang dan menjadi rujukan ulama pada masa kini
dalam mengkaji dan mempelajari hadis-hadis Nabi Saw.
Perkembangan Islamic
Studies
Pembicaraan mengenai studi Islam memang tidak pernah selesai. Karena
studi Islam ini memang tidak pernah mengenal kata berhenti dan terus-menerus
berkembang sesuai dengan semangat zaman. Setidaknya ada empat fase perkembangan
yang dilalui dalam studi agama yakni fase lokal, kanonikal, kritikal dan global[21],
dimana empat tahapan ini berpengaruh juga terhadap perkembangan studi Islam. Pertama,
adalah tahapan Lokal. Semua agama pada era presejarah (Prehistorical
period) dapat dikategorikan sebagai lokal. Semua praktik tradisi, kultur,
adat istiadat, norma, bahkan agama adalah fenomena lokal. Kelokalan ini tidak
bisa dihindari sama sekali karena salah satu faktor utamanya adalah bahasa.
Bahasa yang digunakan oleh penganut tradisi dan adat istiadat setempat adalah
selalu bersifat lokal.
Fase kedua adalah fase Canonical atau
Propositional. Kehadiran agama-agama Ibrahimi (Abrahamic
Religions), dan juga agama-agama di Timur, yang pada umumnya menggunakan
panduan Kitab Suci (the Sacred Text) merupakan babak baru tahapan
sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric religions di
atas[22].).
Era ini disebut “canonical’ karena semuanya menerima adanya wahyu yang
kebenarannya dianggap final dan absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred
text). Panduan keagamaan yang didasarkan pada teks kitab suci
inilah yang berkembang pesat di abad tengah dan di kemudian hari nanti
akan mempunyai andil dalam membentuk corak keberagamaan yang
scripturalis-tekstualis, selain tradisi-tradisi lain yang lebih kontekstual
juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab suci.
Fase ketiga adalah fase Critical. Fase ini
dipicu oleh semangat Enlightenment dimana pada abad ke-16 dan 17,
kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal[23].
Meskipun ini adalah pengalaman Eropa, tetapi dalam perkembangannya juga
merambah ke seluruh tradisi agama-agama dunia. Hal ini menimbulkan
pergesekan sehingga tidak dapat diingkari sama sekali bahwa antar pengikut dan
pendukung keberagamaan yang bersifat Canonical-texstual sendiri
seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak terhindarkan[24].
Sejarah perkembangan studi terhadap fenomena agama, ibarat gerak jarum jam,
tidak bisa diputar kembali. Ketiga tradisi tersebut berjalan bersama. Kadang
bersenggolan, kadang berjalan bersama lalu pisah dipersimpangan jalan, bahkan
kadang bertubrukan juga. Dalam kondisi seperti itu muncul fase keempat
yaitu fase Global.
Dalam fase global, Era
teknologi informasi mempercepat terwujudkannya impian borderless society
ini. Dalam era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi
lokal dibawa ke arena global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa,
gerakan transnasionalisme menempati salah satu bagian dari kompleksitas
kehidupan agama di era global ini.
Keempat fase dalam studi agama ini tentunya sangat berpengaruh
terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam -merujuk pada tulisan Prof. Dr Amin
Abdullah- dalam perspektif keilmuan Islam empat fase tersebut dapat
dikerucutkan menjadi, fase Ulum al-Diin, fase al-Fikr al-Islamiy (Islamic
thought) dan fase Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies). Dalam Ulum
al-Diin[25]
muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam, Fikih,
Tafsir, Hadis, Qur’an, Faraidl, Aqidah,
Akhlaq, Ibadah dan begitu seterusnya dengan
ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’, ‘Arudl).
Ulum al-Diin ini kemudian berkembang menjadi al-Fikr al-Islamiy[26]
yang isinya secara komprehensif meliputi Studi al-Qur’an dan
al-Sunnah, pemikiran Hukum (Legal thought), pemikiran
Kalamiyyah (Theological thought), pemikiran Mistik (Mystical
thought atau Sufism), Ekspresi Artistik,
pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran
politik (Political thought), dan pemikiran Modern
dalam Islam. Disini al-Fikr al-Islamiy mempunyai
struktur ilmu dan the body of knowledge yang kokoh
dan komprehensif-utuh tentang Islam. Kemudian Ketika pergumulan dan
silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy
belum selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang
dan kemudian muncul Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies)[27].
Dalam Dirasat Islamiyyah ini dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam
tentang isu-isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia, gender (partisipasi
wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan), pluralitas agama,
hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan
campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat
islamiyyah menjadikan keilmuan dalam Islam mengalami progress yang cukup
cepat dan tentunya dengan tantangan yang semakin berat. Lalu pertanyaannya
kemudian adalah dimana posisi studi hadis selama ini? Apakah masih bertahan
dalam ranah Ulum al-Diin ataukah sudah beranjak kearah al-Fikr
al-Islamiy atau bahkan sudah memasuki fase Dirasat Islamiyyah?
Mengenai hal ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya dibawah ini.
Kedudukan Hadis dalam
Islamic Studies
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, masa keemasan dalam
studi hadis terjadi pada masa abad ke-2 hingga abad ke-5, dimana para ulama
cukup kreatif dan sangat produktif tidak hanya dalam rangka kodifikasi hadis
tetapi juga meletakkan dasar-dasar dalam keilmuan hadis. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya ternyata tidaklah demikian. Ilmu hadis seolah hanya
berjalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Ilmu hadis yang
pernah digagas oleh para ulama seolah telah final. Sehingga hadis yang
merupakan “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim sebagai
produk jadi yang sudah tidak perlu lagi dikritik dan dikembangkan. Sampai
disini kemudian teks-teks hadis menjadi teks yang sakral yang seolah sulit
untuk dijangkau dan dilakukan berbagai pengembangan. Sangat berbeda dengan
studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an. Dinamika dalam studi terhadap
al-Qur’an begitu terasa, sehingga perkembangan dalam studi al-Qur’an begitu
cepat. Berbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan terkait dengan
kajian atas al-Qur’an. Sebut saja misalnya dalam khazanah pemikiran Islam
kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Al-Jabiri dan lain
sebagainya. Tawaran-tawaran baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus
bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik,
sejarah, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Sehingga dengan
demikian diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak
pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah salih li kulli
zaman wa makan[28].
Sementara dalam kajian hadis, para intelektual muslim sedikit enggan
untuk melakukan kritik ataupun mengkajinya dengan berbagai pendekatan dan lebih
suka menggunakan hadis sebagai produk yang sudah jadi. Ada beberapa hal menurut
penulis yang menjadi penyebab atas stagnansi keilmuan hadis, diantaranya
adalah:
1.
Problem otentisitas hadis
Problem otentisitas hadis ini memang menyita banyak perhatian para
ulama, baik para ulama hadis pada masa lalu hingga saat ini. Perpecahan umat
Islam menjadi berbagai golongan dan persoalan politik menjadi salah satu sumber
dari problem otentisitas hadis. Menurut Imam Muhammad bin Sirin, beliau
menyatakan bahwa “pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad
dalam menerima suatu hadis tetapi semenjak terjadi fitnah (terbunuhnya Usman
bin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis
itu diperoleh[29].
Sehingga kritik sanad dan matan menjadi kunci untuk menyelesaikan problem ini.
Sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis, hal ini karena sanad
terkait dengan mata rantai dari periwayat hadis, sehingga kritik sanad sangat
berperan dalam menyelamatkan hadis dari segala pemalsuan. Sedangkan dalam
persoalan matan, hal ini terkait dengan redaksi matan yang diriwayatkan baik
secara lafal (riwayah bil lafz) maupun secara makna (riwayah bil
ma’na)[30].
Setidaknnya ada lima syarat yang disepakai oleh para ulama untuk menetapkan
kesahihan hadis yang terkait dengan sanad dan matan, yakni hadis yang
tersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dabit serta
terhindar dari syaz dan illat.
Karena problem otensitisa hadis ini merupakan problem utama dalam
hadis karena terkait dengan diterima dan ditolaknya suatu hadis maka banyaknya
perhatian pada wilayah ini akhirnya agak mengenyampingkan persoalan-persoalan
lain yang sebenarnya juga penting tekait dengan kontekstualisasi dan
pengembangan keilmuan hadis yang lain.
2.
Persoalan terkait dengan rijalil hadis
Masih terkait dengan problem dalam sanad hadis. Studi kritis
terhadap para periwayat hadis ini memakai metode-metode yang sudah baku
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu melalui kitab-kitab
rijalil hadis yang juga ditulis oleh para ulama terdahulu. Sehingga metode
dalam kritik sanad ini tidak banyak mengalami perkembangan. Padahal selain
menggunakan metode dan kitab rujukan yang telah dibuat oleh para ulama abad ke
3 sampai abad ke 5 tersebut, ada banyak celah dan cara yang bisa dilakukan
kritik terhadap rijalil hadis, yakni melalui pendekatan-pendekatan baru
misalnya pendekatan historis kritis, pendekatan sosio antropologis dan lain
sebagainya yang bisa melihat kondisi makro dari periwayat hadis. Menurut
penulis sangat penting sekali upaya melihat kondisi makro para periwayat hadis,
karena dengan memperhatikan kondisi makro dari periwayat yang meliputi kondisi
sosial, politik dari periwayat hadis akan bisa terlihat bagaimana corak hadis
yang dihasilkan, bagaimana teks-teks yang tertulis dalam matan dan lain
sebagainya. Bagaimanapun juga hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai
dengan persoalan politik masa itu. Dengan melihat suasana politik masa itu,
kita dapat melihat inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sehingga ilmu sejarah
akan sangat membantu kita dalam meneliti rijal hadis disamping kitab-kitab
rijalil hadis yang telah ada[31].
3.
Penilaian terhadap keadilan sahabat
Definisi yang diberikan ulama mengenai sahabat memang berbeda-beda.
Namun secara umum para ulama hadis mengatakan bahwa yang dikatakan sahabat itu
adalah umat Islam yang pernah melihat Rasul Allah[32].
Beberapa ulama menyatakan bahwa semua sahabat Nabi adalah orang yang adil dan
tidak satupun dari mereka yang tercela. Baik al-Qur’an maupun hadis Nabi yang
menyatakan hal tersebut menjadi dalil dan alasan yang kuat, dan karena para
sahabat Nabi ini sudah bersifat adil maka tidak perlu lagi dilakukan kritik
sanad terhadap mereka.
4.
Stigma inkar sunnah
Berbeda dengan al-Qur’an, tidak ada stigma inkar al-Qur’an bagi para
ulama sekritis apapun ia memahami al-Qur’an. Stigma inkar sunnah ini membuat
para ulama mengendalikan diri dan segan dalam melakukan telaah dan
mengembangkan pemikiran terhadap hadis. Para ulama lebih suka menerima hadis
berikut keilmuan hadis dalam bentuk jadi tanpa berusaha untuk mengembangkannya.
Sehingga yang terjadi adalah pemahaman hadis secata tekstual tanpa bersusah
payah memperdulikan proses panjang sejarah terkumulnya hadis dan proses
pembentukan ajaran ortodoksi.
Keempat hal diatas membuat studi hadis jalan di tempat tanpa adanya
perkembangan yang berarti. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran Islam, studi
hadis masih berada dalam fase ulum al-Diin dan masih mulai beranjak
pada al-Fikr al-Islamiy. Sehingga bisa dilihat pengajaran dalam ilmu
hadis ini cenderung tidak mendalam dan mengulang-ulang masih terus terkutat
dengan kritik sanad dan matan dengan metode yang seolah sudah baku tersebut.
Sebenarnya ketiga kluster tersebut sebenarnya bersaudara, hanya saja cara atau
sudut pandang, keluasan horison pengamatan (Approaches) dan
metode (Process dan Procedure) pengambilan dan pengumpulan data serta
aneka ragam sumber data yang diperoleh dari berbagai bahasa (termasuk bahasa
asing) berbeda antar ketiga tradisi kelimuan keislaman tersebut sehingga
hasilnya pun berbeda[33].
Perbedaan itu muncul karena perkembangan intelektual manusia itu sendiri.
Dengan berbagai pendekatan diharapkan studi hadis ini menjadi lebih
konstekstual dan tidak lagi menjadi teks-teks yang sakral yang sulit untuk
“dijamah”.
Menuju arah baru dalam
Studi Hadis
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, studi hadis menjadi
bidang yang sangat rigit, kaku dan sensitif. Kaku karena selama ini menjadi
bidang yang monodisipliner, yakni pendekatan yang dianggap sah adalah kritik
sanad dan kritik matan, itupun dengan aturan-aturan yang sudah baku. Seharusnya
fase ini sudah dianggap selesai, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, studi
hadis lebih menekankan pada pengulangan pengulangan daripada pengembangan. Dari
sini kemudian tanpa disadari teks hadis menjadi lebih suci dibanding dengan
al-Qur’an. Menurut penulis, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam rangka
mengembangkan studi hadis, yang pertama terkait dengan kajian terhadap
teks hadis dan yang kedua terkait dengan persoalan tehnis pengajaran
hadis.
Pertama adalah kajian (Istiqro’) terhadap
hadis. Setidaknya ada tiga level utama dalam kajian hadis[34].
(1) Kajian terhadap hadis dalam hubungannya dengan Nabi. Dalam hal ini
menggunakan kritik sanad yang menguji kredibilitas periwayat dengan melihat
tidak hanya pada unsur mikro tetapi juga pada unsur makro[35]
melalui berbagai pendekatan. Selain itu penting juga mempertimbangkan analisis
terhadap aspek-aspek psikologis Nabi ketika menyampaikan hadis baik secara qaqli,
fi’li maupun taqriri. (2) Kajian terhadap teks hadis itu sendiri.
Dalam mengkaji teks hadis sangat penting kiranya untuk mengembangkan berbagai
pendekatan dalam mengkaji teks hadis misalnya dengan mengembangkan hermeneutika
hadis, yakni teori dan metodologi interpretasi teks hadis dengan
mempertimbangkan hubungan antara Nabi Saw, teks hadis dan pembaca serta
pendekatan-pendekatan lainnya seperti pendekatan historis, antropologi,
pendekatan sastra dan lain sebagainya. (3) Kajian terhadap teks hadis dalam
kaitannya dengan masyarakat pembaca/penafsirnya. Hal ini mulai dikembangkan
dalam studi hadis meski masih dalam level yang terbatas seperti kajian tentang
studi living sunnah/hadis[36].
Kedua adalah terkait dengan tehnis
pengajaran hadis. Menurut penulis sangat penting kiranya untuk memisahkan
jurusan tafsir dengan jurusan hadis dalam pengajaran tafsir hadis di perguruan
tinggi. Jika sebelumnya telah terjadi perpindahan jurusan tafsir hadis dari
fakultas Syari’ah ke fakultas Ushuluddin yang menandai pergeseran sebuah
paradigma legal formalistik ke paradigma yang –katakanlah-lebih substantif dan
membebaskan. Maka saat ini penting kiranya untuk segera mungkin memisahkan
studi hadis dan studi al-Qur’an dengan harapan akan lebih mengembangkan kedua
bidang tersebut. Setidaknya pemisahan ini bertujuan untuk (1) Mendorong
dinamisasi dan kegairahan dalam studi hadis, (2) Agar perhatian akademik
terhadap studi hadis menjadi ;lebih besar daripada ketika studi hadis itu masih
digabungkan dengan studi al-Qur’an. (3) ini yang lebih bersifat akademis,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam studi hadis dalam Islamic studies
diatas bahwa studi hadis ternyata memiliki karateristik yang berbeda dengan
studi al-Qur’an baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi maupun dari
pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan.
Penutup
Demikianlah makalah ini dibuat tidak hanya dalam rangka memenuhi
tugas kuliah tetapi juga merupakan refleksi atas kegelisahan penulis terhadap
studi hadis selama ini. Melihat posisi hadis/sunnah yang berada di urutan kedua
setelah al-Qur’an dalam sumber hukum, moral, etika dan keseluruhan kehidupan
umat Islam, maka sudah selayaknyalah studi hadis ini mendapatkan perhatian yang
tidak sedikit dari umat islam. Namun nampaknya sependek yang penulis lihat,
setidaknya dalam makalah ini, studi hadis selama ini masih menempati posisi
yang peripheral dalam dinamika studi keislaman dan keagaman secara umum.
Kondisi seperti inilah yang kemudian, di antaranya, mengakibatkan kurang
dinamisnya studi hadis dari pada studi-studi dalam ranah Islamic studies yang lain
seperti tafsir, fiqh, tashawwuf, dlsb. Oleh karena itu, penulis berharap semoga
makalah singkat ini dapat memberikan sedikit inspirasi bagi pengembangan studi
hadis kedepan. Amin.
Daftar
Pustaka
Abdullah,
M.Amin, dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
Abdurrahman, M,
Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, Jakarta:
Paramadina, 2000
Al-Khatib,
Ajjaj, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh Beirut: Darul Fikr, 1979
As-Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Assa’idi,
Sa’dullah, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Hadi, Pardodo,
Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Ilyas, Yunahar
dan M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta:
LPPI UMY, 1996
Ikhwan, Nur,
Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas
Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika
al-Qur’an Madzhab Yogya Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003
Khaeruman,
Badri Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung:
ROSDA, 2004
Mansyur, M,
Dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta :
Teras, 2007
Rahmat, Jalaluddin,
Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan
Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Suriasumantri,
Yuyun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Sinar
Harapan, 1988
Syamsuddin,
Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta:
Forstudia dan Islamika, 2003
Yaqub, Ali
Mustafa Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka firdaus, 2000
Zuhri, Muh,
Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997
[1]
Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran
terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
[2]
Ibid., hlm 101
[3]
Drs. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis
Kontemporer, (Bandung: ROSDA, 2004), hlm 44
[4]
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh (Beirut: Darul Fikr,
1979), hlm 154
[5]
Sebagaimana pernyataan al-Zuhri: Sekiranya tidak ada hadis yang datang dari
arah timur yang asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis dan tidak
pula mengizinkan orang menulis. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi: Telaah
Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm 52-53
[6]
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan
dan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology tersebut, hadis
dalam wilayah ontologis disini adalah kandungan hadis, seperti aqidah, syariah,
muamalah akhlak, sejarah dan lain – lain.
[7]
Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan
disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Dalam kerangka ini secara
epistemologis, dalam keilmuan hadis dititikberatkan kepada cara-cara menentukan
derajat hadis yang berkaitan dengan kandungannya.
[8]
Aksiologis merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan, dalam kerangka ini
hadis disini berkaitan dengan tujuan ulama yang mengumpulkan hadis.
[9]
Pertanggungjawaban secara ilmiyah karena memang setiap pengetahuan harus
mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga batang tubuh pengetahuan
yang disusunnya, yakni dari segi epistemologis, ontologis serta aksiologis.
Ketiga istilah ini dikutip dari filsafat ilmu. Penjelasan istilah ini dapat
dilihat dalam Yuyun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet ke-5 hlm 10. Lihat juga Dr.
Pardodo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994)
[10]
Ada kitab-kitab yang disusun dengan menggunakan sistematika yang digunakan
ulama pada abad sebelumnya, ada juga yang ulama yang menyusun kitab al-Mustakhraj
seperti kitab al-Mustakhraj terhadap shalih Bukhari yang
disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin ibrahim al-Isma’ili dan Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-Burqani, kitab al-Mustakhraj terhadap shahih Muslim yang
disusun oleh Abu Ja’far Ahmad al-Naysaburi, dan Abu Bakr Muhammad bin Muhammad
bin Raja’ al-Naysaburi, ada juga ulama yang menambahkan yang belum terhimpun
dalam shahihayn dengan menyusun kitab al-Mustadrak.
[11]
Abu Hasan ‘Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daruquthni, selanjutnya disebut
al-Daruquthni. Ia mengarang kitab al-Istidrakat wa al-Tatabbu’ sebagai
kritikan terhadap 218 sanad hadis yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim.
Kritikan tersebut selanjutnya dijawab oleh al-Asqalani dalam Hadyu
al-Sariy: Muqaddimah Fath al-Bari, Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran
Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm 6-7
[12]
Seperti munculnya kitab-kitab musnad dan mushannaf
[13]
Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), hlm 101
[14]
Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis
dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu
peristilahan hadis) atau ‘ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
[15]
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para perawi itu layak diterima menjadi
perawi hadis, diantara ulama yang menyusun kitab tentang tokoh-tokoh hadis ini
adalah al-Bukhari , Ibn Sa’ad dalam kitabnya Thabaqat, Ibn
Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.Ibid., 104
[16]
Ilmu Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi yang membuat
mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Ibid.,
hlm 102
[17]
Ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang secara lahiriyah bertentangan namun ada
kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ibid.,
[18]
Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan
suatu hadis seperti memarfu’kan hadis mauquf, dan lain sebagainya sehingga
dengan ilmu ini dapat menentukan apakah suatu hadis termasuk hadis dhaif atau
dapat melemahkan suatu hadis yang secara lahiriyah luput dari segala illat.
Ibid.,
[19]
Ilmu yang membahas dan menjelaskan hadis Rosulullah Saw yang sukar diketahui
dan dipahami orang banyak karena telah bercampur dengan bahasa lisan atau bahasa
arab pasar. Ibid., hlm 105
[20]
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin diambil
jalan tengah. Hukum hadis yang satu menasikh hokum hadis yang lain mansukh. Ibid.,
[21]
Empat fase ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah dalam tulisannya Mempertautkan
Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan
Islam untuk Peradaban Global dalam
http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
[22]
Budaya baca tulis (Literacy) dengan menggunakan huruf, sudah mulai
dikenal dalam kehidupan umat manusia. Tradisi yang dulunya “oral”
(lesan) berubah menjadi “written” (tulisan)
[23]
Pandangan keagamaan yang mewakili “insider” dan “outsider”mulai
muncul di sini. Objektif dan subjektif, fideistic subjectivism dan
scientific objectivism, believer dan spectator mulai dikenal.
Belakang para ilmuan membedakan antara “faith” dan “tradition”;
antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama.
[24]
Pengalaman hubungan disharmonis dan penuh ketegangan dan kekerasan antara
Katolik dan Protestan di Barat pada abad tengah, antara kelompok Sunni dan
Syi’iy di Timur Tengah pada abad-abad sebelumnya bahkan hingga sekarang,
Mahayana dan Hinayana di lingkungan tradisi keagamaan Buddha, Brahmaisme,
Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan Hindu dan masih banyak lagi yang lain,
yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt” seperti telah
diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya tradisi baru
dalam sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research.
Tradisi keilmuan baru dalam mempelajari agama-agama dunia ini, selain didorong
rasa ingin tahu tentang hakekat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga
didorong oleh cara berpikir Kritis atau Critical dalam beragama.
[25]
Disini Ulum al-Diin sebagai representasi “tradisi lokal”
keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash
keagamaan
[26]
Disini al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan
humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”,
[27]
Dirasat Islamiyyah atau Islamic
Studies merupakan kluster keilmuan baru yang berbasis pada
paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh
“pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris
yang amat sangat beranekaragam.
[28]
Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta:
Forstudia dan Islamika, 2003), hlm xvii
[29]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta : Pustaka firdaus, 2000),
hlm 4
[30]
Drs. Sa’dullah Assa’idi, Hadis-hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm 27
[31]
Jalaluddin Rahmat, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan
Pemikiran terhadap Hadis, Op,Cit., hlm 144
[32]
Diantara para ulama yang mendefinisikan sahabat adalah:
1. Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa
orang
[33]
Amin Abdullah., Op.Cit
[34]
Nur Ikhwan, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis
(Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku
Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya, Op.Cit., hlm 240-241
[35]
Unsur mikro dan makro di sini penulis adaptasi dari konsep asbabun nuzul yang
melihat latar belakang turunnya ayat yang spesifik (mikro) dan global (makro).
Sedangkan konsep mikro dalam studi hadisi disini, menurut hemat penulis, adalah
meliputi analisis terhadap kepribadian (personality) periwayat, sedangkan
unsure makro meliputi kondisi sosial politik yang ada “di sekitar” kehidupan
periwayat masa itu.
[36]
Tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis, Metodologi
Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar