Senin, 28 Januari 2013

AL-QUR'AN DAN AL-HADITS


PENDAHULUAN

Islam sebagai agama Allah memiliki 2 sumber utama sebagai pedoman, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sumber yang kedua, yaitu Hadits merupakan penjabaran dari sumber yang pertama yang maksudnya masih belum jelas (tersirat), khususnya yang berkaitan dengan masalah kehidupan umat.
Seiring dengan perkembangan kehidupan umat, ternyata posisi dan fungsi Hadits ini tidak saja dipalsukan, tetapi diingkari oleh kalangan umat tertentu. Oleh sebab itu, perlu kiranya pengkajian lebih mendalam mengenai apa itu Hadits dan apakah Hadits yang kita jadikan pegangan itu hadits yang sahih atau tidak.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai cara mengkaji hadits sahih.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Pada garis besarnya, pengertian hadits dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologi).
Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut bisa berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qodim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Selanjutnya kata hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadits juga dapat berarti al-khabar yang berarti mutahaddats bih wa yungal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar dalam surat Al-Atur ayat 34:
Artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Surat Al-Dhuha ayat 11:
Artinya: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
Dilihat dari pendekatan istilah, para ahli memberikan ta’rif yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
Seperti pengertian hadits menurut ahli usul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadits.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah:
ﻪﻟﺍﻭﺣﺍﻭ ﻪﻟﺎﻌﻓﺍﻭ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ ﻝﺍﻭﻗﺍ
Artinya: Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian:
ﺔﻓﺻﻭﺍ ﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭﺃ ﻼﻌﻓﻭﺃ ﻻﻭﻗ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻰﺑﻧﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ
Artinya: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, takrir maupun sifat beliau.
Sebagian muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’), sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Tirmisi:
ﻑﻭﻗﻭﻣﻟﺎﺑ ﺀﺎﺟ ﻝﺑ ﻡﻟﺳﻭ ﻪﻳﻟﻋ ﷲﺍ ﻰﻟﺻ ﻪﻳﻟﺇ ﻉﻭﻓﺭﻣﻟﺎﺑ ﺹﺗﺧﻳﻻ ﺙﻳﺩﺣﻟﺍ ﻥﺃ ﻰﻌﺑﺎﺗﻟﻟ ﻑﻳﺿﺃﺎﻣ ﻭﻫﻭ ﻉﻭﻁﻗﻣﻟﺍﻭ ﻰﺑﺎﺣﺻﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻑﻳﺿﺃ ﺎﻣ ﻭﻫﻭ
Artinya: Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.
Sementara usul memberikan pengertian hadits adalah:
ﺎﻫﺭﺭﻗﺗﻭ ﻡﺎﻛﺣﻷﺍ ﺕﺑﺛﺗ ﻰﺗﻟﺍ ﻪﺗﺍﺭﻳﺭﻗﺗﻭ ﻪﻟﺎﻌﻓﺃﻭ ﻪﻟﺍﻭﻗﺃ
Artinya: Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan takrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
Dari beberapa pengertian hadits tersebut di atas, mempunyai perbedaan pemikiran dalam mendefinisikan hadits, disebabkan karena dalam memandang pribadi Rasulullah SAW mereka itu berbeda.
Apabila ulama hadits melihat bahwa Rasulullah adalah sebagai Uswatun Khasanah, maka semua yang berasal dari Nabi dapat dijadikan suatu hadits, sedangkan ulama Ahli Ushul memandang semua perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW dapat diterima sebagai hadits dengan syarat kandungan hadits tersebut berkaitan dengan hukum. Begitu juga dengan ulama Ahli Fiqih yang memandang perkataan, perbuatan dan ketetapan yang menunjukkan hukum syara’, maka Ulama Ahli Fiqih menempatkan hadits dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunah.

B. Posisi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Untuk memahami posisi hadits terhadap AL-Qur’an, maka tidak bisa lepas dari posisi Nabi (sebagai sumber munculnya hadits) terhadap Al-Qur’an. Berikut ini merupakan informasi Al-Qur’an sendiri tentang kedudukan Nabi terhadap Al-Qur’an serta kewajiban umat manusia menaatinya.
1. Nabi berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
Artinya: Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu secara berkala agar kamu terangkan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan semoga mereka memikirkannya. (QS. An-Nahl [16]: 44)
Ayat ini menunjukkan posisi Nabi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an seperti tentang kewajiban shalat dalam Al-Qur’an tidak memerinci pelaksanaannya, kemudian rincian pelaksanaan shalat inilah yang datang dari Nabi.
2. Nabi sebagai pembuat hokum “Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan yang buruk serta membuang atau meninggalkan beban yang melilit mereka” (QS. Al-A’raaf [7]: 157). Ayat ini menunjukkan hak legislasi Nabi terhadap masalah hukum-hukum yang terkait dengan kebaikan manusia.

3. Nabi sebagai teladan masyarakat muslim.
Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa pribadi Rasul merupakan tauladan umat yang sepatutnya diteladani khususnya yang terkait dengan apa-apa yang telah diwajibkan Allah melalui penjelasan dan prakteknya.

4. Nabi wajib dipatuhi masyarakat.
Artinya: Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali Imron [3]: 32)
Artinya: Barang siapa yang menaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah menaati Allah. dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 80)
Dari beberapa ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi memiliki otoritas yang kuat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, semua perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Rasul sebagai sunnah menjadi sumber hukum yang kedua sesudah al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman.







C. Unsur-Unsur Pokok Hadits
Di dalam hadits terdapat dua unsur, yaitu sanad dan matan.
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al - Thiby mengatakan bahwa sanad adalah: ﻥﺗﻣﻟﺍ ﻕﻳﺭﻁ ﻥﻋ ﺭﺎﺑﺧﻷﺍ
Artinya: Berita tentang jalan matan.
Yang lain menyebutkan: ﻥﺗﻣﻟﻟ ﺔﻟﺻﻭﻣﻟﺍ ﻝﺎﺟﺭﻟﺍ ﺔﻟﺳﻟﺳ
Artinya: Sisilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang menyampaikannya kepada matan hadits.

Ada juga yang menyebutkan:
ﻝﻭﻷﺍ ﺭﺩﺻﻣ ﻥﻋ ﻥﺗﻣﻟﺍ ﻭﻟﻗﻓ ﻥﻳﺫﻟﺍ ﺓﺍﻭﺭﻟﺍ ﺔﻟﺳﻟﺳ
Artinya: silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah:
ﻡﻼﻛﻟﺍ ﻥﻣ ﺩﻧﺳﻟﺍ ﻪﻳﻟﺍ ﻰﻬﺗﻧﻳ ﺎﻣ
Artinya: Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.
atau dengan redaksi lain ialah: lafal-lafal hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
3. Rawi
Rawi berasal dari kata “rawi” atau “al-rawi” yang berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits)

D. Penelitian Hadits (Studi)
1.    Perlunya meneliti hadits.
Hadits sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah satu salah satu sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar mengetahui kualitas hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih. Hal tersebut dikarenakan pada masa Nabi, kebanyakan hadits berkembang secara hafalan sedangkan hanya sedikit yang menulis hadits, akibatnya dokumen hadits Nabi yang berkembang secara tertulis belum mencakup semua hadits yang ada, sehingga perlu adanya suatu penelitian hadist.
Banyak hal yang dapat dijadikan alasan dan pertimbangan dalam melakukan penelitian hadits, di antaranya yaitu:
a. Banyaknya hadits palsu yang timbul karena kepentingan politik.
b.  Adanya kemungkinan bahwa sebagian hadits yang tertulis pada masa Nabi mengalami kesalahan dalam periwayatan.
c. Banyak sekali kitab hadits yang muncul tetapi dengan metode yang berbeda.
d. Hadits diriwayatkan secara makna sehingga muncul beragam versi matan hadits.
e. Selain itu penghimpunan hadits dilakukan, tetapi waktu yang lama setelah Rasulullah wafat.

Dari alasan-alasan tersebut, maka penelitian dan pengkajian hadits sangat diperlukan agar hadits yang diturunkan Nabi itu memiliki otentitas tinggi dan akurat sebelum hadits tersebut dijadikan pedoman setelah al-Qur’an dan diamalkan oleh umat Islam.

2. Obyek penelitian hadits.
Telah diterangkan bahwa hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian hadits merujuk pada keduanya. Dalam melakukan penelitian hadits, banyak hal penting yang perlu dikaji dalam sanad dan matan hadits sebagai berikut:

a.    Sanad Hadits
Menurut ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat disebut hadits palsu atau hadits maudlu’, walaupun seseorang menyatakannya sebagai hadits.
Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Imam Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.
Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang palsu. Adapun tanda-tanda sanad yang palsu yaitu:
- Perawi hadits yang diketahui banyak orang adalah seorang pembohong.
- Seorang perawi mengakui bahwa hadits yang diriwayatkan adalah palsu.
- Seorang perawi mengaku bahwa hadits yang diriwayatkan dari seorang syekh, tetapi tidak dapat dipastikan pernah menemui syekh tersebut.
- Kepalsuan hadits yang diketahui dari keadaan perawi dan dorongan psikologisnya.

Kritik ekstern (Kritik Sanad)
Dalam penelitian sanad hadits dikenal dengan istilah kritik ekstern yaitu kritik terhadap rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan hadits. Dalam meneliti sanad, agar lebih mudah untuk menilai sanad apakah sanad itu dapat dijadikan sahih atau tidak. Ada bagian-bagian tertentu yang dapat diteliti yaitu:
- Nama-nama seorang rawi yang meriwayatkan hadits.
- Lambang-lambang yang digunakan para rawi dalam meriwayatkan hadits seperti sami’tu, akhbaroni, an dan anna, dan lain-lain.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadits tergantung pada kualitas sanad. Selain itu adanya unsur sanad dalam hadits sangat penting karena sanad dijadikan sandaran.

Unsur-unsur kaidah kritik sanad
• Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor: mutthasil (bersambung), marfu’ (bersandar pada Nabi SAW), mahfuz (terhindar dari syudzudz) dan bukan mu’all (bercacat).
• Unsur kaidah mayor kedua, perawi bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor: beragama Islam, mukalaf (balig dan berakal), melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
• Unsur kaidah mayor yang ketiga, perawi bersifat dhabith dan atau adhbath, mengandung unsur-unsur kaidah minor: hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan terhindar dari ‘illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadits dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.

b. Matan Hadits
Obyek penelitian yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena keadaan matan tidak bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan hadits diriwayatkan dalam makna (Riwayah bil Ma’na) karena semua rawi belum tentu memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna.
Penelitian matan hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan yang digunakan, masih sulit meneliti keadaan matan hadits.

Kesulitan tersebut disebabkan:
Adanya periwayatan secara makna.
Pendekatan yang dijadikan acuan bermacam-macam.
Latar belakang timbulnya petunjuk hadits sulit diketahui.
Kandungan petunjuk hadits yang bersangkutan dengan hal yang supra rasional.
Kitab-kitab yang membahas kritik matan masih langka.
Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa meneliti matan itu sangatlah sulit. Maka dari itu untuk melakukan penelitian matan, seorang perawi harus jeli dan memerlukan kecerdasan dalam memetakkan masalah, dan pendekatan mana yang relevan dengan masalah yang akan diteliti tersebut.

Kritik intern (Kritik Matan)
Dalam penelitian matan hadits dikenal istilah kritik intern adalah mengkritiki materi yang bersandar pada Nabi berkaitan dengan nilai-nilai konteks. Maka untuk memahami hadits Nabi harus memperhatikan konteks informasi.
Unsur-unsur kaidah kritik matan
-       Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorik atau penulur bahasa yang baik.
-       Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekitarnya tidak mungkin ditakwilkan.
-       Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
-       Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
-       Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan.
-       Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang tentunya agama tidak membenarkannya.
-       Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam prinsip-prinsip kepercayaan (aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
-       Tidak bertentangan dengan Sunnatullah dalam alam dan manusia.
-       Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh manusia yang berpikir.
-       Tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang mantap, atau yang sudah terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan ta’wil.
-       Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi SAW.
-       Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri.
-       Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.
-       Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya.
-       Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.
Dengan adanya unsur-unsur matan tersebut dapat mempengaruhi kualitas hadits. Oleh karena itu, harus adanya penelitian tentang matan hadits agar dapat diketahui kesahihan hadits.

3. Tujuan penelitian hadits.
Dalam penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian hadits mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas dari hadits yang diteliti, karena kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan hadits. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai hujjah. Hadits yang dijadikan hujjah hendaknya harus memenuhi syarat, karena hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam.

E. Metode Studi Hadits
Metode studi hadits merupakan cara dalam mengkaji meneliti suatu hadits tentang kesahihannya. Dalam mengadakan penelitian dan pengkajian kualitas hadits diperlukan adanya metode agar lebih mudah melakukan penelitian.
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
1. Takhrijul Hadits
a.    Pengertian takhrij hadits dan tujuannya
Secara etimologi, at-Takhrij sering diartikan juga dengan al-Istinbat (mengeluarkan), al-Tadrib (melatih), dan al-Tawjih (memperhadapkan). Secara terminologi yaitu menyebutkan suatu hadits dengan sanadnya sendiri.
Dari penjelasan tersebut, secara umum takhrij hadits mempunyai tujuan untuk menunjukkan sumber hadits-hadits sekaligus menerangkan hadits tersebut diterima atau ditolak (kesahihannya).
Dalam kegiatan takhrij hadits tersebut maksudnya adalah untuk melakukan pencarian dan penelusuran hadits pada berbagai kitab utama hadits, untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits, mengetahui semua riwayat hadits, selain itu juga untuk mengetahui adanya syahid atau muttabi’ dalam sanad.

b. Metode takhrij hadits
Metode yang digunakan untuk mentakhrij hadits ada lima, yaitu:
-       Matla’ al-Hadits
Yaitu menelusuri hadits berdasarkan pada awal lafaz matan. Kitab yang dapat dijadikan acuan dalam metode ini adalah al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir karya al-Suyuthi.
-       Lafaz al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan lafaz dari semua lafaz yang ada dalam matan hadits. Kitab yang membantu yaitu Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck.
-       Rawi al-A’la
Menelusuri hadits berdasarkan pada rawi pertama. Kitab yang membantu di antaranya kitab al-Athraf karya al-Mizi.
-       Maudlu’ al-Hadits
Menelusuri hadits berdasarkan pada topik tertentu. Kitab yang membantu yaitu Miftah Kunuz al-Sunnah karya A.J. Wensinck.


-       Shifah al-Dhahirah
Menelusuri hadits berdasarkan pada sifat-sifat yang tampak atau kualifikasi jenis hadits. Kitab yang membantu kegiatan ini adalah al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar fi al-Mutawatirah, karya al-Suyuthi.

2. Penelitian Sanad
Langkah-langkah dalam penelitian sanad yaitu:
a.    Al-I’tibar
Al-I’tibar (penyertaan) keseluruhan sanad-sanad hadits untuk suatu hadits tertentu serta metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing perawi hadits agar dapat memperoleh gambaran tentang adanya syahid dan muttabi’ dalam sanad hadits. Setelah itu, membuat bagan atau skema sanad dari masing-masing mukharij.
b.    Meneliti pribadi seorang periwayat metode yang digunakan dalam meriwayatkan hadits.
Pada penelitian ini harus menggunakan acuan kesahihan sanad hadits tentang sanad yang bersambung, ke-adil-an, ke-dhabit-an para perawi. Selain itu juga terhindar dari syudzudz dan illat.

Dalam memudahkan untuk meneliti seorang rawi, para ulama memberikan teori-teori al-Jaih wa al-Ta’dil sebagai instrumen untuk membantu penelitian agar mencapai konklusi penelitian pada perawi hadits. Di antaranya yaitu:
a.    Al-Ta’dil Muqaddam ala al-Jarh
Penelitian ini men-ta’dil-kan rawi dulu, baru mencelakan dengan alasan sifat perawi adalah terpuji.
b.    Al-Jaih Muqaddam ala al-Ta’dil
Terlebih dahulu mencela, kemudian lalu men-ta’dil-kan kecacatan perawi.
c. Idza Ta’fudl al-Jarih wa al-Mu’adil fa al-Hukm li al-Mua’ddil illa izda
Tatasbbut al-Jaih al-Mufassar
Yaitu jika terjadi pertentangan antara pne-ta’dil-an dengan pen-jarh-an, yang didahulukan adalah pen-ra’dil-an.
d. Idza Kana al-Jarh Dha’ifan fala Yuqbal Jarhuhu li al-Tsiqah
Yaitu apabila orang yang mengemukakan keterselaan tergolong orang yang dha’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima.
e. La Yuqbal al-Jarh illa Ba’da al-Tassabbut Khasyyah al-Asybah
Yaitu pen-jarh-an tidak diterima kecuali setelah ditetapkan kesamaran-kesamaran orang yang dicela.
f. Al-Jarh al-Nasyi ‘an ‘adawah dunyawiyyah la yu’tadu bihi
Yaitu al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang bermusuhan tentang masalah dunia, tidak perlu diperhatikan.
Sedangkan untuk meneliti merode yang digunakan perawi untuk meriwayatkan hadits ada 8 metode (metode tahhmul ada’ al-Hadits) yaitu:
a. Al-Sama’
b. Al-Qira’ah aw al-‘Aradl
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Mukatabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyyah
h. Al-Wiyadah

3. Penelitian Matan
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian matan hadits adalah sebagai berikut:
a. Melihat kualitas sanad hadits
Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting dalam kaitannya dengan hujjah. Sanad tanpa adanya matan itu tidak dapat disebut dengan hadits, begitu juga sebaliknya matan hadits tidak dapat dikatakan sebagai hadits Rasulullah apabila tidak ada sanadnya.
Kemudian apabila sanadnya lemah, maka matannya pun dapat dikatakan lemah pula. Untuk itu, mengetahui kualitas sanad hadits menjadi langkah awal penelitian matan hadits.
b. Melihat susunan matan hadits yang semakna
Matan suatu hadits memiliki ragam yang banyak, hal ini dikarenakan kesalahpahaman dalam periwayatan atau pun perbedaan pemahaman. Akibatnya timbul berbagai macam lafaz matan hadits yang semakna, maka perlu dilakukan langkah muqarabah (perbandingan) terhadap matan-matan hadits yang memiliki kandungan makna yang sama, dan juga membandingkan sanad-sanadnya.
c. Meneliti kandungan matan hadits
Untuk melakukan penelitian terhadap kandungan matan hadits ini perlu dilakukan perbandingan kandungan matan hadits yang sejalan. Oleh karenanya mempertautkan dengan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama sangat membantu dalam memahami kandungan ini.

III. KESIMPULAN
Hadits dari segi bahasa banyak sekali maknanya, tetapi yang banyak digunakan yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar. Sebagian muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadits dari segi istilah itu mempunyai cakupan yang luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’).
Posisi hadits terhadap AL-Qur’an itu tidak bisa lepas dari posisi Nabi (sebagai sumber munculnya hadits) terhadap Al-Qur’an. Berikut ini tentang kedudukan Nabi terhadap Al-Qur’an:
- Nabi berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
- Nabi sebagai pembuat hukum
- Nabi sebagai teladan masyarakat muslim.
- Nabi wajib dipatuhi masyarakat.
Perlunya meneliti hadits yaitu:
Hadits sangat penting kehidupannya untuk diteliti, karena hadits Nabi sebagai salah satu salah satu sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Penelitian hadits dimaksudkan agar mengetahui kualitas hadits karena banyaknya hadits yang tidak sahih.
Obyek penelitian hadits adalah:
Telah diterangkan bahwa hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian hadits merujuk pada keduanya.
Dalam penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai, begitu juga dengan penelitian hadits mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu: untuk mengetahui kualitas dari hadits yang diteliti, karena kualitas hadits berhubungan dengan kesahihan hadits. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai hujjah.
Langkah-langkah dalam meneliti hadits adalah sebagai berikut:
- Takhrijul Hadits
- Penelitian Sanad
- Penelitian Matan

IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan. Dan akhir kata, pemakalah meminta maaf apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika penulisan, maupun isi dalam makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Syiba’i, Musthafa, DR., Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah DR. Nur Cholis Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela dan Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003).
Syukur, M. Amin, Prof. DR. H., MA., dkk, Metodologi Studi Islam, (Semarang: CV, Gunung Jati).
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari, M.Ag, Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits Nabi dari Manual Hingga Digital, (Semarang: RaSail, 2006).

PENDEKATAN SAINS DALAM PENGKAJIAN KONTEKSTUAL HADIS

1.  PENDAHULUAN
Agama Islam sebagai agama produk Ilahi adalah agama yang benar dan sempurna dimana Allah telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama ini.[2] Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat, serta untuk semua umat manusia. “صالح لكل زمان ومكان”
Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam senantiasa mengalami perkembangan, manusia sebagai bagian dari alam pun mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman itu, ditandai dengan kemajuan peradaban dunia sebagai wujud kecenderungan manusia yang senantiasa memikirkan fenomena yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Kecenderungan manusia itu, lalu kemudian diabstraksikan dengan berbagai cara dan metode sehingga melahirkan berbagai disiplin ilmu yang lebih dikenal dengan istilah sains.
Di tengah maraknya penemuan dan bidang sains dewasa ini tampaknya umat Islam pun semakin tanggap dan bersikap positif terhadap dinamika perkembangan itu, dengan berupaya mengkaji sumber ajaran Islam melalui berbagai disiplin ilmu, upaya ini dimaksudkan agar ajaran Islam tetap eksis di tengah pesatnya perkembangan sains dan teknologi modern.
Pendekatan sains dalam pengkajian hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua dipandang sangat penting, sebab mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tektual), sedangkan ada hadis tertentu lainnya lebih tepat jika dipahami secara tersirat (kontekstual).[3]
Hadis pada awal pertumbuhannya, uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah saw., sebagai sumber hadis[4] dan konsekuensinya para sahabat menerima dan menjalankan apa yang dikatakan, diperbuat, dan di-taqrir-kan oleh Rasulullah saw., sebagai wujud dari pada keimanan dan ketaatan mereka.
Kondisi tersebut mewarnai kehidupan sosial para sahabat, sehingga dapat dikatakan bahwa sahabat dalam menerima hadis, selain mengikuti dalam bentuk penampilan pribadi Rasulullah saw., juga dalam bentuk melihat dan mendengarkan secara langsung dari Nabi. Akhirnya, apa yang dilihat dan didengarkan bukanlah sesuatu yang meragukan, bahkan suatu kebenaran mutlak.
Kecenderungan ini membawa sahabat untuk tidak merasa berkewajiban memikirkan, apakah yang telah diucapkan oleh Rasulullah saw. saat itu sesuai dengan kondisi yang akan datang, dan dapat dikaji secara ilmiah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada makalah ini akan dipaparkan, sejauh manakah ketepatan/kebenarannya matan-matan hadis-hadis Nabi ditinjau dari sains modern
II.  PEGERTIAN
Pendekatan sains dalam pengkajian kontekstual hadis, pada dasarnya judul ini terdiri dari beberapa variabel yang perlu diuraian arti katanya masing-masing, sebagai langkah awal memahami pembahasan selanjutnya.
Kata pendekatan berasal dari akar kata “dekat”, yang berarti proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam kaitannya dengan perdamaian atau persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti. Atau metode untuk mencapai pengertian tentang penelitian.[5] Dalam bahasa Inggris disebut approach yang juga berarti mendekati.
Kata sains berasal dari bahasa Inggris (Science) adalah Knowledge acquired by study or sistimatized knowledge of any one department of the study of mind or metter, as, the science of phisics.[6]
Yang berarti pengetahuan yang diakui oleh study atau pengetahuan yang sistimatis dari sesuatu departemen yang mempelajari suatu masalah seperti ilmu pengetahuan pisik.
Adapun menurut istilah, William J. Goode dan Paul K. Hatt guru besar pada jurusan Sosiologi dari Colombia University dan Northwestern University, mendefinisikan ilum (science) sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistimatik.[7] Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara tertib oleh manusia.[8] Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa sains adalah ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis sehingga mempu melahirkan pengetahuan baru dengan jalan observasi dan eksperimen yang memenuhi standar ilmiah.
Secara etimologi kata “kajian” berarti belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan sesuatu.[9] Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “study” yang berarti penyelidikan dan mengamati tentang susuatu keadaan, memeriksa dengan teliti.[10]
Selanjutnya, kata “Kontekstual” berasal dari kata “konteks” yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti: Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, dalam pengertian ia melihat sesuatu secara keseluruhan sehingga meliputi seluruh makna, baik secara tekstual maupun secara kontekstual.[11]

BAB III
PEMBAHASAN
A. Urgensi Pendekatan Sains
Ilmu pengetahuan atau sains dapat didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi dengan baik, yang ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses bola salju yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[12]
Dengan pendekatan melalui ilmu pengetahun (sains) dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[13]
B.  Sains adalah Salah Satu Pendekatan dalam Memahami Hadis secara Kontekstual
Sekali saja Nabi bersabda, dibutuhkan penelitian dalam bermacam ilmu,[14] karena setiap sabda Nabi selalu menjadi pengasuh dan mendorong kepada umatnya agar memanjatkan pikiran ke arah ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena setiap ayat Alquran dan sabda Nabi, bila tanpa dianalisa dari segi ilmu pengetahuan baik yang eksak ataupun yang abstrak tentu akan dijumpai keburukan dan akan menyimpang dari tujuan hakiki.
Diketahui bahwa di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan sains, menuntut pemahaman yang lebih komprehensip terhadap hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini dipandang semakin penting, mengingat hadis-hadis yang dikemukakan oleh beliau terkait dengan kondisi masyarakat ketika itu, sehingga dalam konteks sekarang ini, terdapat hadis yang kelihatan kurang relevan lagi, jika hanya dilihat secara tekstual. Karena itu, dibutuhkan pemahaman secara kontekstual. Pengkajian konterkstual sebuah matan hadis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu.
Al-Sibāiy mengemukakan bahwa ada tiga bentuk memperoleh pengetahuan dalam Islam yaitu: pertama, adakalanya berupa berita yang valid dan diyakini oleh penerimanya, seperti pekabaran-pekabaran dari Allah yang tercantum dalam kitab-Nya; kedua, adakalanya dengan hasil eksperimentasi ataupun observasi yang benar; dan ketiga, adakalanya hukum akal atas masalah yang tidak ada penjelasannya, baik melalui pekabaran yang valid maupun hasil eksperimentasi atau observasi.[15]
Melihat banyaknya temuan di bidang sains dan teknologi dewasa ini, akan sangat memungkinkan untuk menggunakan teori-teori atau fakta-fakta ilmiah dalam kajian kontekstual hadis. Hal ini diharapkan berlangsung bukan hanya sekarang, tetapi juga masa-masa yang akan datang. Kajian konterkstual hadis semacam ini haruslah dilakukan seobyektif  mungkin dalam rangka pelestarian hadis yang telah diakui keabsahannya oleh para ulama, baik sanad maupun matan-nya tidak mungkin dibatalkan oleh temuan-temuan sains modern. Dalam arti purlu adanya kehati-hatian serta menggunakan multi approach untuk memahami hadis secara kontekstual.
Dalam kaitan dengan pengkajian kontekstual hadis, ulama telah merumuskan suatu standar sebagai borometer dalam menentukan validitas sebuah matan hadis, sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaan pendekatan sains. Adapun standar atau tolak ukur dimaksud, sebagai berikut: a) Hadis tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran, b) Hadis tidak bertentangan dengan kebenaran rasional yang aksiomatis, c) Hadis tidak bertentangan dengan realitas indrawi, d) Hadis tidak bertentangan dengan fakta sejarah, dan e) Hadis tidak bertentangan dengan sunnatullah pada alam dan manusia.[16]
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh hadis yang membutuhkan pendekatan disiplin ilmu dan pemahaman secara kontekstual sebagai berikut:
  1. a. Hadis tentang Kepala Negara dari Suku Quraisy
لا يزال هذا الامر في قريش ما بقي منهم اثنان ( رواه البخاري ومسلم وغيرهما )[17]
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang”.
الا ئمة من قريش ( رواه احمد عن انس بن مالك وابن برزه )[18]
“Pemimpin itu dari suku Quraisy”.
Ibnu Hajar al-Asqalānīy berpendapat bahwa tidak ada seorang ulama pun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan Khawārij yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Demikian juga apa yang telah dikemukakan oleh al-Qurthubīy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[19]
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama dan karenanya menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan tentunya benar berlaku secara universal.
Apabila kandungan hadis di atas dipahami seperti itu, maka hal itu tidak sejalan dengan petunjuk yang terdapat dalam Alquran yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, yang paling mulia dan utama di sisi Allah dalan ketaqwaannya.[20]
Dengan demikian maka diperlukanlah pemahaman secara kontekstual bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy. Apabila  suatu masa ada orang bukan  suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, apalagi melebihi suku Quraisy, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin atau kepala negara. Pemahaman kontekstual semacam ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).[21]
  1. b. Hadis tentang Wanita Menjadi Pemimpin
لا يفلح قوم ولوا امرهم امراة ( رواه البخاري وترمذي والنساءي عن ابي بكر )[22]
“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita”.
Jumhur ulama memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, maka pengangkatan wanita menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Mereka mengatakan bahwa wanita menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya.[23]
Untuk memahami hadis tersebut, perlu dikaji lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan oleh Nabi. Di mana diketahui bahwa hadis itu disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia, yang diangkat menjadi kepala negara adalah seorang laki-laki. Yang terjadi pada tahun 9 H. itu menyalahi tradisi tersebut, yang diangkat menjadi kepala negara bukan laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisrah bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya yakni saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan, karenanya lalu Buwaran dinobatkan sebagai ratu (Kisra).[24]
Pada waktu itu derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Bahkan keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia, bahkan jazirah Arab pada umumnya.
Dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi memiliki kearifan tinggi meyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan kenegaraan dan kemasyarakatan kepada kaum wanita tidak akan sukses (menang atau beruntung) sebab bagaimana mungkin akan sukses, kalau orang yang memimpin adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan wanita pada saat iu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Dengan demikian dalam perjalanan sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin meningkat, akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum wanita untuk melakukan berbagai aktivitas dan amal kebajikan.
Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, maka dalam situasi seperti sekarang ini, tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat menjadi pemimpin.
c.  Hadis tentang Lalat
اذا وقع الذباب في شراب احدكم فليغمسه ثم لينزعه فان في احدي جناحيه داء والاخري شفاء ( رواه البخاري )[25]
“Apabila lalat jatuh dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain terdapat obat”.
Hadis ini ditolak oleh Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd al-Waris al-Kabir karena menurutnya tidak sesuai dengan pandangan rasio, karena lazimnya lalat itu pembawa kuman yang dapat menimbulkan penyakit. Padahal hadis ini telah dinilai shahih oleh para ulama hadis sejak dahulu sampai sekarang.[26]
Namun sejumlah riset belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah saw. ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti biotik yang terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke dalam minuman dia menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[27]
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan tentang pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[28]
  1. d. Hadis tentang Larangan Senggama Waktu Haid
حدثنا عبد الله عن ابيه قال  حدثني عفان قال حدثنا حماد بن سلمة قال حدثنا حكيم الاثرام عن ابي تميمة الههجيمي عن ابي هريرة ان رسول الله صهم قال من اتي حائضا او امراة في دبرها او كاهنا فصدقه فقد برئ مما انزل الله علي محمد صلي الله عليه و سلم[29]
“Kami diberitahukan oleh Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang diturunkan kepadanya (Islam)”.
Menghentikan persetubuhan selama haid buat segala bangsa, buat banyak pengikut agama sudah menjadi adat kesusilaan, dari zaman purba sampai dewasa ini. Bagi mereka, perempuan itu cemar selama ia dalam haid. Dalam dunia wanita sendiripun orang tidak dapat melepaskan anggapan bahwa adonan kue yang diselenggarakan oleh perempuan haid tidak mau naik, bahwa asinan atau acar yang dibuatnya jadi busuk. Akan dapatkan “kecemaran” perempuan haid itu dibuktikan oleh pemeriksaan ilmu pengetahuan yang exact ?
Dr. Med. Ahmad Ramali seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa:
Dalam benda cair haid itu Coccus Neisser itu mungkin virulent (bersifat membangkitkan penyakit) kembali dan karena itu jadi menyebabkan penyakit., sehingga ada kemungkinan pula, bahwa dia bersama-sama dengan sedikit benda cair dari perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran kandung kemih) laki-laki, menyebabkan urethritis (radang aliran kandung kemih) yang mendadak pada laki-laki.[30]
Dengan jalan demikian infeksi penyakit sabun yang beberapa tahun sudah sebagai hilang kelihatannya, tiba-tiba muncul kembali karena senggama waktu dalam haid.
Pada perempuan, di samping faktor fisik dan keadaan sukma yang goncang selama haid itu, ada pula keadaan-keadaan badan seperti yang berikut ini:[31]
Pertama-tama, yaitu perasaan kurang enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid itu. Kedua, karena congestio (darah berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena genetalia peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia jadi amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas, memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matn hadis dapat dipahami dan didekati dari berbagai pendekatan. Pendapat pertama mendekati dengan pendekatan sains kedikteran dan pendapat kedua memahaminya dengan pendekatan historis dan sosiologis. Dengan demikian untuk menguji kebenaran sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi paradigma sains moderen tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.
Secara prinsip bahwa pemahaman agama tidak mungkin dapat dilakukan dengan sempurna dan murni jika terpisah dari kenyataan hidup manusia.
IV. KESIMPULAN
Ijtihad untuk memahami matn hadis dengan pendekatan sains dengan pengkajian kontekstual sangat dibutuhkan dengan tetap berpegang pada prinsip kebenaran menjamin validitas hadis itu sendiri, karena Islam tidak bertentangan dengan empiris.
Penemuan-penemuan sains telah terbukti banyak membantu dalam penyelesaian problematika pemahaman matn hadis, namun perlu dicatat bahwa tingkat akurasi pemakaian pendekatan sains dalam pengkajian hadis masih perlu ditingkatkan dan diuji lebih lanjut, karena ciri khas dari ilmu pengetahuan (sains) adalah tidak pernah mengenal kata kekal. Apa yang dianggap salah pada masa lalu, dapat diakui kebenarannya di abad modern, demikian pula sebaliknya.
Hadis shahih sebagai suatu teks yang mengandung nilai-nilai kesucian perlu ditekankan bahwa ia memiliki khazanah yang kaya dengan makna dan penafsiran, sehingga hadis tidak selamanya dipahami secara tekstual, melainkan ada hadis yang harus dipahami secara kontekstual.

DAFTAR  PUSTAKA
Abdun, Abdullah. Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw.(Cet II; Bondowoso; A.A., 1980.
al-Asqalāniy, Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar. Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy. t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.
al-Bukhariy, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy) Juz IV. Beirut: Dār al-Fikr, t. th.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Hambal, Abu Abdullah Ahmad ibn. Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad). Jilid II. Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.
Ismail, H. M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_______. Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya. Cet. 1; Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
al-Kulaib, Abdul Malik Ali. ‘Alāmah al-Nubuwwah. Diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian). Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi II. Cet. VIII; Yogyakarta:  Bayu Indah Grafika, 1998.
Nata, Abudin. Metodologi Study Islam. Cet I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Qardawi, Yusuf. As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban. Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998.
_______. Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw. Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994.
al-Quraisy, Abu Husain Muslim bin. Al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim). Juz III. t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M
Ramli, Ahmad. Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955.
Reason, H.A. The Road Modern Science. Cet. III; London; G. Bell and Science, 1959.
Saifuddin. “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998.
al-Sibāiy, Mustafa. al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy. t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th.
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Taylor, C. Ralph A.M. Webster’s World University Dictionary. Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965.
Velde, TH. H. Van De. Het Volkomen Huwelijk. Leiden: t. p., 1929.
Willy, I. Markus. Kamus 950 Juta. Surabaya: PT. Arkola, 1996.
al-Zindani, Abdul Madjid bin Azis Azis. Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
-o 0 o-
[1]H. M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Peningkar dan Pemalsunya (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 38.
[2]Lihat Q.S. al- Maidah :3
[3]Lihat H. M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontestual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 6.
[4]Lihat Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. II: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 58.
[5]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 218.
[6]C. Ralph Taylor, A.M., Webster’s World University Dictionary (Washington D.C.: Publishers Company, Inc., 1965), h. 885.
[7]Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau kata-kata “pengetahuan” (Knowledge) dan sistimatik (systematic) didefenisikan lagi secara benar, sebab kalau tidak demikian, pengetahuan Teologis yang disusun secara sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat M. Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam Teori dan Praktek (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 34.
[8]Lihat H.A. Reason, The Road Modern Science (Cet. III; London: G. Bell and Science, 1959), h. 1-2.
[9]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 431.
[10]I. Markus Willy, Kamus 950 Juta (Surabaya: PT. Arkola, 1996), h. 454.
[11]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 522. Bandingkan dengan Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi II (Cet. VIII; Yogyakarta:  Bayu Indah Grafika, 1998), h. 178.
[12]Abdul Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah tentang IPTEK (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 192.
[13]Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Cet. I; Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998), h. 221.
[14]Bahwa Nabi saw. dibekali oleh Allah swt. dengan salah satu keistimewaan “Jawāmi’ al-Kalīm” yaitu kata-kata singkat tetapi mengandung makna-makna yang tinggi dan luas, lihat Abdullah Abdun, Sanggahan atas Tulisan Pengingkaran Nur Nabi Besar Muhammad saw. (Cet II; Bondowoso: A.A., 1980), h. 8.
[15]Lihat Mustafa al-Sibāiy, al-Sunnah wa Makānatuha fī Tasyri’iy al-Islāmīy (t.tp: Dār al-Qawmiyyat al-Tibaat wa al-Nasyr, t.th), h. 41. Lihat juga Abudin Nata dalam Metodologi Study Islam (Cet I; Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1998), h. 196.
[16] Lihat H.M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 79.
[17]Lihat Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim), juz III (t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah, 1375 H/1955 M), h. 1452; dan Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), h. 234; dan Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad), jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398 H/17978 M.), h. 29.
[18]Lihat Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal, juz III, ibid., h. 129.
[19]Lihat Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāriy (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t. th.), h. 114-118.
[20]Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
[21]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 40.
[22]Lihat al-Bukhariy, juz IV,  op. cit., h. 228;   dan  Ahmad ibn Hambal, jilid V, op. cit., h. 38.
[23]Lihat H. M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 65.
[24]Lihat Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar al-Asqalānīy, op. cit., h. 128.
[25]Lihat al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit., h. 443.
[26]Lihat Saifuddin, “Pendekatan Sains Dalam Kritik Matan Hadis”. Tesis. Ujung Pandang: PPS IAIN UP, 1998), h. 135-137.
[27]Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alāmah al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian) (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 124.
[28]Lihat Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul  Bagaimana  Memahami Hadis Nabi saw (Cet. III; Bandung: Kharisma, 1994), h. 23.
[29]Lihat Ahmad ibn Hambal, juz XVIII, op. cit., h. 56.
[30]Ahmad Ramali, Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara’ Islam (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 206.
[31]Yang berikut ini adalah ringkasan yang dipungut dari karangan Dr. TH. H. Van De Velde, Het Volkomen Huwelijk (Leiden: t. p., 1929), h. 288-293.

Quo Vadis Studi Hadis ? (Merefleksikan Perkembangan dan Masa depan Studi Hadis)

Pengantar
Tidak dapat diragukan lagi bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis menjadi rujukan dari berbagai problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat muslim karena hadis tidak hanya sebagai bayan dan tafsir dari al-Qur’an tetapi juga mencakup semua kegiatan hidup Nabi Saw yang umum dan luas meliputi semua informasi, bahkan pesan, kesan dan sifat yang semuanya bersumber dari Nabi.
Meskipun diyakini sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis mempunyai problem yang cukup rumit terkait dengan proses kodifikasinya yang memakan waktu cukup panjang yakni setelah hampir seratus tahun tinggal dalam hafalan para sahabat dan tabi’in yang banyak berpindah-pindah dari hafalan seorang guru kepada hafalan  muridnya. Sehingga setelah penulisan dan pembukuan hadis itu berkembang dengan pesat muncul berbagai persoalan apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang berasal dari Nabi, atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk maksud tertentu? Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu redaksinya persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya saja? kalau itu riwayah bil makna, apakah benar maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi?dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dan memerlukan berbagai penelitian lebih lanjut untuk melihat otentisitas hadis sehingga memunculkan ilmu hadis dengan berbagai cabangnya[1].
Dalam ilmu-ilmu tersebut, para ahli hadis menyusun kriteria para perawi hadis yang dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis, mulai dari ketentuan akan adanya persambungan dan urutan pertalian hadis dari rawi sampai kepada Nabi Saw, hingga meneliti cara dan waktu dalam meriwayatkan hadis bahkan juga kepribadian para perawi yang dapat menghalangi dan mengurangi anggapan kecurangan dan kebohongan dalam membawakan hadis. Selain ilmu yang terkait dengan sanad, masih ada beberapa cabang ilmu lagi yang dikembangkan oleh para ahli hadis meski masih belum sempurna[2].
Meski berbagai perangkat keilmuan hadis sudah dirintis oleh para ulama hadis, namun dalam perkembangannya keilmuan hadis seolah berjalan ditempat (stagnan). Hal ini sangat berbeda dengan perangkat keilmuan dalam studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an  yang terus berkembang dengan cukup pesat. Kemandegan perkembangan keilmuan hadis ini menjadi keprihatinan banyak pihak mengingat pentingnya ilmu hadis dalam kerangka studi Islam secara umum. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha merefleksikan dan memaparkan problem-problem ilmu hadis di dalam ranah Islamic studies dan mencoba untuk menawarkan solusi untuk perkembangan keilmuan hadis kedepan.
Perkembangan Studi Hadis
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan diatas, dalam sejarahnya hadis memang terlambat untuk dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Setidaknya dalam proses historiografinya, hadis mengalami beberapa periode, dari periode keterpeliharaan dalam hafalan hingga periode dibukukannya hadis tersebut (pentadwinan). Pertama adalah periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan yang berlangsung pada abad I hijriyah. Kedua, periode pentadwinan hadis, yang masih bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in yang berlangsung pada abad ke 2 hijriyah. Ketiga, periode pentadwinan dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan tabi’in, berlangsung sejak abad ke 3 hijriyah. Keempat periode seleksi keshahihan hadis dan kelima periode pentadwinan hadis tahdzib dengan sistematika penggabungan dan penyarahan yang berlangsung semenjak abad ke 4 hijriyah[3].
Pada masa khalifah Umar bin Khattab sebenarnya sudah terpikir untuk membukukan hadis, tetapi setelah sebulan beristikharah iapun membatalkan niatnya dengan alasan kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan hadis[4]. Kemudian pada masa tabi’in banyak muncul hadis-hadis palsu dimana awal kemunculannya dikaitkan dengan peristiwa politik yang sering disebut sebagai fitnatul kubro yang diawali dengan terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, sehingga berimplikasi pada perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan lain sebagainya. Dalan situasi yang cukup “rumit” ini, setiap golongan menggunakan dalil-dalil yang dinisbatkan kepada Nabi Saw untuk mendukung kelompoknya. Kondisi inilah yang menyebabkan kebutuhan akan kodifikasi dan menyeleksi hadis semakin dirasakan, karena jika tidak segera diambil tindakan kodifikasi hadis akan semakin banyak hadis palsu bercampur dengan hadis asli.[5]
Berbeda dengan kodifikasi al-Qur’an, dimana para sahabat tidak menemukan banyak kendala dalam pengerjaannya, karena tugas “panitia” kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawathir mereka terima dari Nabi Saw dan secara ilmiyah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam kodifikasi hadis banyak menemui berbagai macam kendala dan kerumitan terkait dengan hadis yang lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada dalam catatan. Apalagi hadis dalam ingatan para sahabat ini telah tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat nabi. Rentang waktu yang cukup lama serta munculnya perbedaan misi politik serta madzhab pada masa itu juga menambah sulitnya “proyek” kodifikasi ini karena untuk menghimpun hadis-hadis yang cukup banyak tersebut tentunya dibutuhkan ketelitian yang cukup tinggi baik dalam kerangka ontologis[6], epistemologis[7] maupun aksiologis[8], sehingga hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah[9].

Kodifikasi hadis secara resmi pertama kali digagas oleh khalifah Umat ibn Abd Aziz memalui surat edarannya kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama ditempat masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis, dan salah satu gubernur yang cukup tanggap dengan perintah khalifah adalah gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang pelaksanaanya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Pada abad ini juga para ulama mulai menyusun kitab hadis dan meletakkan pula landasan epistemologisnya. Sejak dikeluarnya perintah tersebut, kegiatan kodifikasi ini terus berlanjut sampai abad ke 4 dan ke 5 Hijriyah dan mencapai puncaknya pada abad ke 3 H, karena pada abad ini banyak muncul para pengumpul hadis seperti imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibn Majah, al-Damiri, dan lain sebagainya.
Pada abad-abad tersebut perkembangan ilmu hadis cukup dinamis, disamping munculnya karya monumental di abad ke-3 H yang berupa kitab hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah juga banyak bermunculan kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistematika dan metode pemilahan hadis yang berbeda-beda[10]. Selain itu juga ada juga ulama yang melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik matan maupun kritik sanad, seperti kritik matan yang dilakukan oleh ulama mu’tazilah seperti al-Nazhzham dan kritik sanad yang dilakukan oleh al-Daruquthni terhadap Shahihayn[11]. Kemudian muncul lagi kalangan ulama kemudian yang merupakan anti tesis terhadap kritik-kritik tersebut, sehingga membuat keilmuan hadis semakin berkembang.
Dalam menyusun kitab hadis, para ulama tidak hanya mendasarkan pada aspek-aspek ontologi[12] tetapi juga meliputi aspek epitemologi yang berupa kritik sanad dan matan serta aspek aksiologi yang berupa tujuan penyusunannya baik secara praktis maupun teoritis. Penyusunan kitab-kitab hadis berdasarkan aspek-aspek tersebut disebut ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu riwayah menekankan pada ketepatan menghimpun segala yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, sedangkan ilmu dirayah lebih menekankan pada faktor diterima dan tidaknya sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi tersebut.[13]Kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam menentukan status hadis. Tetapi dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah[14].
Dalam perspektif keilmuan hadis, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu, sanad hadis, matan hadis dan kemunculan kritik hadis, dimana ketiganya berkembang menjadi cabang-cabang dalam ilmu hadis yang disusun para ulama masa itu dalam kitab-kitabnya diantaranya adalah: pertama ilmu yang berkaitan dengan sanad yakni ilmu rijalil hadis[15], ilmu jarh wa ta’dil[16], kedua ilmu yang berkaitan dengan matan hadis yakni ilmu mukhtalaf al-Hadis[17], ilmu ilalul hadis[18], ilmu gharibul hadis[19], ilmu nasikh dan mansukh[20] dan lain sebagainya.
Demikian dinamisnya para ulama hadis masa itu sehingga karya-karya dalam bidang hadis terus berkembang dan menjadi rujukan ulama pada masa kini dalam mengkaji dan mempelajari hadis-hadis Nabi Saw.
Perkembangan Islamic Studies
Pembicaraan mengenai studi Islam memang tidak pernah selesai. Karena studi Islam ini memang tidak pernah mengenal kata berhenti dan terus-menerus berkembang sesuai dengan semangat zaman. Setidaknya ada empat fase perkembangan yang dilalui dalam studi agama yakni fase lokal, kanonikal, kritikal dan global[21], dimana empat tahapan ini berpengaruh juga terhadap perkembangan studi Islam. Pertama, adalah tahapan Lokal. Semua agama pada era presejarah (Prehistorical period) dapat dikategorikan sebagai lokal. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma, bahkan agama adalah fenomena lokal. Kelokalan ini tidak bisa dihindari sama sekali karena salah satu faktor utamanya adalah bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penganut tradisi dan adat istiadat setempat adalah selalu bersifat lokal.
Fase kedua adalah fase Canonical atau Propositional. Kehadiran agama-agama Ibrahimi (Abrahamic Religions), dan juga agama-agama di Timur, yang pada umumnya menggunakan panduan Kitab Suci (the Sacred Text) merupakan babak baru tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric religions di atas[22].). Era ini disebut “canonical’ karena semuanya menerima adanya wahyu yang kebenarannya dianggap final dan absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred text). Panduan  keagamaan yang  didasarkan pada teks kitab suci inilah yang  berkembang pesat di abad tengah dan di kemudian hari nanti akan mempunyai andil dalam membentuk corak keberagamaan yang scripturalis-tekstualis, selain tradisi-tradisi lain yang lebih kontekstual juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab suci.
Fase ketiga adalah fase Critical. Fase ini dipicu oleh semangat Enlightenment dimana pada abad ke-16 dan 17, kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal[23]. Meskipun ini adalah pengalaman Eropa, tetapi dalam perkembangannya juga merambah ke seluruh tradisi  agama-agama dunia. Hal ini menimbulkan pergesekan sehingga tidak dapat diingkari sama sekali bahwa antar pengikut dan pendukung keberagamaan yang bersifat Canonical-texstual sendiri seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak terhindarkan[24]. Sejarah perkembangan studi terhadap fenomena agama, ibarat gerak jarum jam, tidak bisa diputar kembali. Ketiga tradisi tersebut berjalan bersama. Kadang bersenggolan, kadang berjalan bersama lalu pisah dipersimpangan jalan, bahkan kadang bertubrukan juga. Dalam kondisi seperti itu muncul fase keempat yaitu fase Global.
Dalam fase global, Era teknologi informasi mempercepat terwujudkannya impian borderless society ini. Dalam era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi lokal dibawa ke arena global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa, gerakan transnasionalisme menempati salah satu bagian dari kompleksitas kehidupan agama di era global ini.
Keempat fase dalam studi agama ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam -merujuk pada tulisan Prof. Dr Amin Abdullah- dalam perspektif keilmuan Islam empat fase tersebut dapat dikerucutkan menjadi, fase Ulum al-Diin, fase al-Fikr al-Islamiy (Islamic thought) dan fase Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies). Dalam Ulum al-Diin[25] muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam, Fikih, Tafsir, Hadis, Qur’an, Faraidl, Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan begitu seterusnya dengan ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’, ‘Arudl). Ulum al-Diin ini kemudian berkembang menjadi al-Fikr al-Islamiy[26] yang isinya  secara komprehensif meliputi Studi al-Qur’an dan al-Sunnah, pemikiran Hukum (Legal thought), pemikiran Kalamiyyah (Theological thought), pemikiran Mistik (Mystical thought atau Sufism), Ekspresi Artistik, pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran politik (Political thought), dan pemikiran Modern dalam Islam. Disini al-Fikr al-Islamiy mempunyai struktur ilmu dan the body of knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam. Kemudian Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang dan kemudian muncul Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies)[27]. Dalam Dirasat Islamiyyah ini dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia, gender (partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan), pluralitas agama, hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat islamiyyah menjadikan keilmuan dalam Islam mengalami progress yang cukup cepat dan tentunya dengan tantangan yang semakin berat. Lalu pertanyaannya kemudian adalah dimana posisi studi hadis selama ini? Apakah masih bertahan dalam ranah Ulum al-Diin ataukah sudah beranjak kearah al-Fikr al-Islamiy atau bahkan sudah memasuki fase Dirasat Islamiyyah? Mengenai hal ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya dibawah ini.
Kedudukan Hadis dalam Islamic Studies
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, masa keemasan dalam studi hadis terjadi pada masa abad ke-2 hingga abad ke-5, dimana para ulama cukup kreatif dan sangat produktif tidak hanya dalam rangka kodifikasi hadis tetapi juga meletakkan dasar-dasar dalam keilmuan hadis. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidaklah demikian. Ilmu hadis seolah hanya berjalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Ilmu hadis yang pernah digagas oleh para ulama seolah telah final. Sehingga hadis yang merupakan “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim sebagai produk jadi yang sudah tidak perlu lagi dikritik dan dikembangkan. Sampai disini kemudian teks-teks hadis menjadi teks yang sakral yang seolah sulit untuk dijangkau dan dilakukan berbagai pengembangan. Sangat berbeda dengan studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an. Dinamika dalam studi terhadap al-Qur’an begitu terasa, sehingga perkembangan dalam studi al-Qur’an begitu cepat. Berbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan terkait dengan kajian atas al-Qur’an. Sebut saja misalnya dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Al-Jabiri dan lain sebagainya. Tawaran-tawaran baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, sejarah, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan[28].
Sementara dalam kajian hadis, para intelektual muslim sedikit enggan untuk melakukan kritik ataupun mengkajinya dengan berbagai pendekatan dan lebih suka menggunakan hadis sebagai produk yang sudah jadi. Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab atas stagnansi keilmuan hadis, diantaranya adalah:
1.    Problem otentisitas hadis
Problem otentisitas hadis ini memang menyita banyak perhatian para ulama, baik para ulama hadis pada masa lalu hingga saat ini. Perpecahan umat Islam menjadi berbagai golongan dan persoalan politik menjadi salah satu sumber dari problem otentisitas hadis. Menurut Imam Muhammad bin Sirin, beliau menyatakan bahwa “pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad dalam menerima suatu hadis tetapi semenjak terjadi fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh[29]. Sehingga kritik sanad dan matan menjadi kunci untuk menyelesaikan problem ini. Sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis, hal ini karena sanad terkait dengan mata rantai dari periwayat hadis, sehingga kritik sanad sangat berperan dalam menyelamatkan hadis dari segala pemalsuan. Sedangkan dalam persoalan matan, hal ini terkait dengan redaksi matan yang diriwayatkan baik secara lafal (riwayah bil lafz) maupun secara makna (riwayah bil ma’na)[30]. Setidaknnya ada lima syarat yang disepakai oleh para ulama untuk menetapkan kesahihan hadis yang terkait dengan sanad dan matan, yakni hadis yang tersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dabit serta terhindar dari syaz dan illat.
Karena problem otensitisa hadis ini merupakan problem utama dalam hadis karena terkait dengan diterima dan ditolaknya suatu hadis maka banyaknya perhatian pada wilayah ini akhirnya agak mengenyampingkan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya juga penting tekait dengan kontekstualisasi dan pengembangan keilmuan hadis yang lain.


2.    Persoalan terkait dengan rijalil hadis
Masih terkait dengan problem dalam sanad hadis. Studi kritis terhadap para periwayat hadis ini memakai metode-metode yang sudah baku sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu melalui kitab-kitab rijalil hadis yang juga ditulis oleh para ulama terdahulu. Sehingga metode dalam kritik sanad ini tidak banyak mengalami perkembangan. Padahal selain menggunakan metode dan kitab rujukan yang telah dibuat oleh para ulama abad ke 3 sampai abad ke 5 tersebut, ada banyak celah dan cara yang bisa dilakukan kritik terhadap rijalil hadis, yakni melalui pendekatan-pendekatan baru misalnya pendekatan historis kritis, pendekatan sosio antropologis dan lain sebagainya yang bisa melihat kondisi makro dari periwayat hadis. Menurut penulis sangat penting sekali upaya melihat kondisi makro para periwayat hadis, karena dengan memperhatikan kondisi makro dari periwayat yang meliputi kondisi sosial, politik dari periwayat hadis akan bisa terlihat bagaimana corak hadis yang dihasilkan, bagaimana teks-teks yang tertulis dalam matan dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai dengan persoalan politik masa itu. Dengan melihat suasana politik masa itu, kita dapat melihat inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sehingga ilmu sejarah akan sangat membantu kita dalam meneliti rijal hadis disamping kitab-kitab rijalil hadis yang telah ada[31].
3.    Penilaian terhadap keadilan sahabat
Definisi yang diberikan ulama mengenai sahabat memang berbeda-beda. Namun secara umum para ulama hadis mengatakan bahwa yang dikatakan sahabat itu adalah umat Islam yang pernah melihat Rasul Allah[32]. Beberapa ulama menyatakan bahwa semua sahabat Nabi adalah orang yang adil dan tidak satupun dari mereka yang tercela. Baik al-Qur’an maupun hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut menjadi dalil dan alasan yang kuat, dan karena para sahabat Nabi ini sudah bersifat adil maka tidak perlu lagi dilakukan kritik sanad terhadap mereka.

4.    Stigma inkar sunnah
Berbeda dengan al-Qur’an, tidak ada stigma inkar al-Qur’an bagi para ulama sekritis apapun ia memahami al-Qur’an. Stigma inkar sunnah ini membuat para ulama mengendalikan diri dan segan dalam melakukan telaah dan mengembangkan pemikiran terhadap hadis. Para ulama lebih suka menerima hadis berikut keilmuan hadis dalam bentuk jadi tanpa berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga yang terjadi adalah pemahaman hadis secata tekstual tanpa bersusah payah memperdulikan proses panjang sejarah terkumulnya hadis dan proses pembentukan ajaran ortodoksi.
Keempat hal diatas membuat studi hadis jalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran Islam, studi hadis masih berada dalam fase ulum al-Diin dan masih mulai beranjak pada al-Fikr al-Islamiy. Sehingga bisa dilihat pengajaran dalam ilmu hadis ini cenderung tidak mendalam dan mengulang-ulang masih terus terkutat dengan kritik sanad dan matan dengan metode yang seolah sudah baku tersebut. Sebenarnya ketiga kluster tersebut sebenarnya bersaudara, hanya saja cara atau sudut pandang, keluasan horison  pengamatan (Approaches) dan metode (Process dan Procedure) pengambilan dan pengumpulan data serta aneka ragam sumber data yang diperoleh dari berbagai bahasa (termasuk bahasa asing) berbeda antar ketiga tradisi kelimuan keislaman tersebut sehingga hasilnya pun berbeda[33]. Perbedaan itu muncul karena perkembangan intelektual manusia itu sendiri. Dengan berbagai pendekatan diharapkan studi hadis ini menjadi lebih konstekstual dan tidak lagi menjadi teks-teks yang sakral yang sulit untuk “dijamah”.
Menuju arah baru dalam Studi Hadis
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, studi hadis menjadi bidang yang sangat rigit, kaku dan sensitif. Kaku karena selama ini menjadi bidang yang monodisipliner, yakni pendekatan yang dianggap sah adalah kritik sanad dan kritik matan, itupun dengan aturan-aturan yang sudah baku. Seharusnya fase ini sudah dianggap selesai, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, studi hadis lebih menekankan pada pengulangan pengulangan daripada pengembangan. Dari sini kemudian tanpa disadari teks hadis menjadi lebih suci dibanding dengan al-Qur’an. Menurut penulis, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan studi hadis, yang pertama terkait dengan kajian terhadap teks hadis dan yang kedua terkait dengan persoalan tehnis pengajaran hadis.
Pertama adalah kajian (Istiqro’) terhadap hadis. Setidaknya ada tiga level utama dalam kajian hadis[34]. (1) Kajian terhadap hadis dalam hubungannya dengan Nabi. Dalam hal ini menggunakan kritik sanad yang menguji kredibilitas periwayat dengan melihat tidak hanya pada unsur mikro tetapi juga pada unsur makro[35] melalui berbagai pendekatan. Selain itu penting juga mempertimbangkan analisis terhadap aspek-aspek psikologis Nabi ketika menyampaikan hadis baik secara qaqli, fi’li maupun taqriri. (2) Kajian terhadap teks hadis itu sendiri. Dalam mengkaji teks hadis sangat penting kiranya untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam mengkaji teks hadis misalnya dengan mengembangkan hermeneutika hadis, yakni teori dan metodologi interpretasi teks hadis dengan mempertimbangkan hubungan antara Nabi Saw, teks hadis dan pembaca serta pendekatan-pendekatan lainnya seperti pendekatan historis, antropologi, pendekatan sastra dan lain sebagainya. (3) Kajian terhadap teks hadis dalam kaitannya dengan masyarakat pembaca/penafsirnya. Hal ini mulai dikembangkan dalam studi hadis meski masih dalam level yang terbatas seperti kajian tentang studi living sunnah/hadis[36].
Kedua adalah terkait dengan tehnis pengajaran hadis. Menurut penulis sangat penting kiranya untuk memisahkan jurusan tafsir dengan jurusan hadis dalam pengajaran tafsir hadis di perguruan tinggi. Jika sebelumnya telah terjadi perpindahan jurusan tafsir hadis dari fakultas Syari’ah ke fakultas Ushuluddin yang menandai pergeseran sebuah paradigma legal formalistik ke paradigma yang –katakanlah-lebih substantif dan membebaskan. Maka saat ini penting kiranya untuk segera mungkin memisahkan studi hadis dan studi al-Qur’an dengan harapan akan lebih mengembangkan kedua bidang tersebut. Setidaknya pemisahan ini bertujuan untuk (1) Mendorong dinamisasi dan kegairahan dalam studi hadis, (2) Agar perhatian akademik terhadap studi hadis menjadi ;lebih besar daripada ketika studi hadis itu masih digabungkan dengan studi al-Qur’an. (3) ini yang lebih bersifat akademis, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam studi hadis dalam Islamic studies diatas bahwa studi hadis ternyata memiliki karateristik yang berbeda dengan studi al-Qur’an baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi maupun dari pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan.

Penutup
Demikianlah makalah ini dibuat tidak hanya dalam rangka memenuhi tugas kuliah tetapi juga merupakan refleksi atas kegelisahan penulis terhadap studi hadis selama ini. Melihat posisi hadis/sunnah yang berada di urutan kedua setelah al-Qur’an dalam sumber hukum, moral, etika dan keseluruhan kehidupan umat Islam, maka sudah selayaknyalah studi hadis ini mendapatkan perhatian yang tidak sedikit dari umat islam. Namun nampaknya sependek yang penulis lihat, setidaknya dalam makalah ini, studi hadis selama ini masih menempati posisi yang peripheral dalam dinamika studi keislaman dan keagaman secara umum. Kondisi seperti inilah yang kemudian, di antaranya, mengakibatkan kurang dinamisnya studi hadis dari pada studi-studi dalam ranah Islamic studies yang lain seperti tafsir, fiqh, tashawwuf, dlsb. Oleh karena itu, penulis berharap semoga makalah singkat ini dapat memberikan sedikit inspirasi bagi pengembangan studi hadis kedepan. Amin.





Daftar Pustaka
Abdullah, M.Amin, dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, Jakarta: Paramadina, 2000
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh Beirut: Darul Fikr, 1979
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Assa’idi, Sa’dullah, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Hadi, Pardodo, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Ilyas, Yunahar dan M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Ikhwan, Nur, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003
Khaeruman, Badri Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: ROSDA, 2004
Mansyur, M, Dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta : Teras, 2007
Rahmat, Jalaluddin, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Suriasumantri, Yuyun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Sinar Harapan, 1988
Syamsuddin, Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003
Yaqub, Ali Mustafa Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka firdaus, 2000
Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997

[1] Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
[2] Ibid., hlm 101
[3] Drs. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: ROSDA, 2004), hlm 44
[4] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh (Beirut: Darul Fikr, 1979), hlm 154
[5] Sebagaimana pernyataan al-Zuhri: Sekiranya tidak ada hadis yang datang dari arah timur yang asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis dan tidak pula mengizinkan orang menulis. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm 52-53
[6] Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan dan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology tersebut, hadis dalam wilayah ontologis disini adalah kandungan hadis, seperti aqidah, syariah, muamalah akhlak, sejarah dan lain – lain.
[7] Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Dalam kerangka ini secara epistemologis, dalam keilmuan hadis dititikberatkan kepada cara-cara menentukan derajat hadis yang berkaitan dengan kandungannya.
[8] Aksiologis merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan, dalam kerangka ini hadis disini berkaitan dengan tujuan ulama yang mengumpulkan hadis.
[9] Pertanggungjawaban secara ilmiyah karena memang setiap pengetahuan harus mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga batang tubuh pengetahuan yang disusunnya, yakni dari segi epistemologis, ontologis serta aksiologis. Ketiga istilah ini dikutip dari filsafat ilmu. Penjelasan istilah ini dapat dilihat dalam Yuyun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet ke-5 hlm 10. Lihat juga Dr. Pardodo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
[10] Ada kitab-kitab yang disusun dengan menggunakan sistematika yang digunakan ulama pada abad sebelumnya, ada juga yang ulama yang menyusun kitab al-Mustakhraj seperti kitab al-Mustakhraj terhadap shalih Bukhari yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin ibrahim al-Isma’ili dan Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Burqani, kitab al-Mustakhraj terhadap shahih Muslim yang disusun oleh Abu Ja’far Ahmad al-Naysaburi, dan Abu Bakr Muhammad bin Muhammad bin Raja’ al-Naysaburi, ada juga ulama yang menambahkan yang belum terhimpun dalam shahihayn dengan menyusun kitab al-Mustadrak.
[11] Abu Hasan ‘Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daruquthni, selanjutnya disebut al-Daruquthni. Ia mengarang kitab al-Istidrakat wa al-Tatabbu’ sebagai kritikan terhadap 218 sanad hadis yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim. Kritikan tersebut selanjutnya dijawab oleh al-Asqalani dalam Hadyu al-Sariy: Muqaddimah Fath al-Bari, Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm 6-7
[12] Seperti munculnya kitab-kitab musnad dan mushannaf
[13] Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 101
[14] Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau ‘ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
[15] Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para perawi itu layak diterima menjadi perawi hadis, diantara ulama yang menyusun kitab tentang tokoh-tokoh hadis ini adalah al-Bukhari , Ibn Sa’ad dalam kitabnya Thabaqat, Ibn Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.Ibid., 104
[16] Ilmu Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Ibid., hlm 102
[17] Ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang secara lahiriyah bertentangan namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ibid.,
[18] Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu hadis seperti memarfu’kan hadis mauquf, dan lain sebagainya sehingga dengan ilmu ini dapat menentukan apakah suatu hadis termasuk hadis dhaif atau dapat melemahkan suatu hadis yang secara lahiriyah luput dari segala illat. Ibid.,
[19] Ilmu yang membahas dan menjelaskan hadis Rosulullah Saw yang sukar diketahui dan dipahami orang banyak karena telah bercampur dengan bahasa lisan atau bahasa arab pasar. Ibid., hlm 105
[20] Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menasikh hokum hadis yang lain mansukh. Ibid.,
[21] Empat fase ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah dalam tulisannya Mempertautkan Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
[22] Budaya baca tulis (Literacy) dengan menggunakan huruf, sudah mulai dikenal dalam kehidupan umat manusia. Tradisi yang dulunya “oral” (lesan) berubah menjadi “written” (tulisan)
[23] Pandangan keagamaan yang mewakili “insider” dan  “outsider”mulai muncul di sini. Objektif dan subjektif, fideistic subjectivism dan scientific objectivism, believer dan spectator mulai dikenal. Belakang para ilmuan membedakan antara “faith” dan “tradition”; antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama.
[24] Pengalaman hubungan disharmonis dan penuh ketegangan dan kekerasan  antara Katolik dan Protestan di Barat pada abad tengah, antara kelompok Sunni dan Syi’iy di Timur Tengah pada abad-abad  sebelumnya bahkan hingga sekarang, Mahayana dan Hinayana di lingkungan tradisi keagamaan Buddha, Brahmaisme, Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan Hindu dan masih banyak lagi yang lain, yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt” seperti telah diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya tradisi baru dalam sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research. Tradisi keilmuan baru dalam mempelajari agama-agama dunia ini, selain didorong rasa ingin tahu tentang hakekat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga didorong oleh cara berpikir Kritis atau Critical dalam beragama.
[25] Disini Ulum al-Diin sebagai representasi “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan
[26] Disini al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”,
[27] Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies merupakan kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
[28] Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003), hlm xvii
[29] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta : Pustaka firdaus, 2000), hlm 4
[30] Drs. Sa’dullah Assa’idi, Hadis-hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 27
[31] Jalaluddin Rahmat, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Op,Cit., hlm 144
[32] Diantara para ulama yang mendefinisikan sahabat adalah:
1. Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa orang
[33] Amin Abdullah., Op.Cit
[34] Nur Ikhwan, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya, Op.Cit., hlm 240-241
[35] Unsur mikro dan makro di sini penulis adaptasi dari konsep asbabun nuzul yang melihat latar belakang turunnya ayat yang spesifik (mikro) dan global (makro). Sedangkan konsep mikro dalam studi hadisi disini, menurut hemat penulis, adalah meliputi analisis terhadap kepribadian (personality) periwayat, sedangkan unsure makro meliputi kondisi sosial politik yang ada “di sekitar” kehidupan periwayat masa itu.
[36] Tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar