Selasa, 29 Januari 2013

PENGEMBANGAN KEBERAGAMAAN DALAM DIMENSI IBADAH

BAB I
PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang Masalah

Banyak pakar mendefinisikan tentang keberagamaan atau religiusitas, yang dirumuskan dengan bahasa berbeda. Salah satunya memberikan pengertian bahwa keberagamaan atau Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. Salah satu bentuk dari keberagamaan adalah beribadah. Ibadah merupakan latihan spiritual rohani manusia yang sangat diperlukan/dibutuhkan manusia dalam mendekatkan diri dan mensucikan jiwanya serta sebagi sarana untuk mendapatkan pertolongan Allah swt. Dengan kesadaran beribadah, maka sang hamba merasakan adanya pengayom atau sandaran, yakni tempat mengadu manakala menghadapi masalah yang besar, sehingga akan memperoleh ketentraman perasan damai dan mempunyai semangat dalam rrienjalani proses kehidupan di dunia ini. Ibadah merupakan perwujudan keimanan seseorang, iman tidak hanya sekedar rumusan-rumusan abstrak tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu. Dengan demikian keimanan harus diwujudakan dalam peribadatan sebagai ekspresi penghambaan seseorang kepada Allah. Ibadah yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan sebagi berikut: Dalam makalah yang saya tulis ini adalah akan dibahas mengenai metode keberagamaan dalam dimensi ibadah. Adapun untuk memperjelas dalam pembahasan makaah ini, pemakalah akan merumuskan makalah sebagai berikut. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian perkembangan keberagamaan ? 2. Bagaimana indikator-indikator perkembangan keberagamaan ? 3. Bagaimana Ruang Lingkup ibadah ? 4. Bagaimana metode Keberagamaan dalam dimensi ibadah ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memeperoleh data tentang : 1. pengertian perkembangan keberagamaan 2. Indikator-indikator perkembanagan keberagamaan 3. Ruang Lingkup ibadah 4. Metode Keberagamaan dalam dimensi ibadah

BAB II
PEMBAHASAN
\
A. Pengertian Perkembangan Keberagamaan Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan perkembangan keagamaan anak terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian perkembangan. Perkembangan dapat diartikan sebagai the progressive and continuous change in the organism from birth to death (suatu perubahan yang progesif dan kontinu dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati). Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturtion) yang berlangsung secara sistematis (saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif) dan berkesinambungan (secara beraturan, berurutan, bukan secara kebetulan) menyangkut fisik maupun psikis. [1] Sedangkan keberagamaan yang penulis maksudkan di sini adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama. [2] Atau dengan kata lain keberagamaan adalah yang menyangkut segala aspek kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang. Keberagamaan dapat diwujudkan dalam sisi kehidupan manusia. Aktifitas agama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual beribadah, tetapi juga melakukan perilaku yang bernuansa ibadah. Keberagamaan berkaitan dengan aktifitas yang tampak terjadi dalam hati seseorang. Dari keterangan tersebut dapat penulis simpulkan bahawa perkembangan keberagamaan adalah perkembangan yang bersifat sistematias dan berkesinambungan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang. B. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan 1. Bidang akidah Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar, yakni terposisikan dalam rukun yang pertama dari rukun Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara orang lslam dengan non Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam rangka mengajak umat agar bersedia mentauhuidkan Allah menunjukkan betapa penting dan mendasarnya pendidikan akidah islamiah bagi setiap umat muslim pada umumnya. Terlebih pada kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan pertumbuhannya senatiasa dilandasi oleh akidah yang benar. [7] 2. Bidang ibadah Tata peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqih Islam itu hendaklah diperkenalkan sedini mungkin dan sedikit dibiasakan dalam diri anak. Hal itu dilakukan agar kelak mereka tumbuh menjadi insan yang benar-benar takwa, yakni insan yang taat melaksanakan segala perintah agama dan taat pula menjauhi segala larangannya. [8] Ibadah sebagai realisasi dari akidah islamiah harus tetap terpancar dan teramalkan denga baik oleh setiap anak. 3. Bidang akhlak Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. [9] Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moralsence), yang terdapat di dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk. Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang menurut bahasa diartikan sebagai: budi pekerti, perangai, tabiat, adat dan sebagainya. [10] Menurut Erwati Aziz secara lughawi konotasi kata ini dapat berarti baik atau buruk. [11] Humaidi Tatapangarsa mengutip Ibnu Ashir dalam bukunya “an-Nihayah” diterangkan hakikat makna khuluk itu adalah “gambaran batin manusia yang tepat yaitu (jiwa dan sifat-sifat)”. Sedangkan khalku merupakan bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh)”. [12] Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa akhlak adalah adalah perbuatan-perbuatan yang muncul secara spontan sebagai pencerminan keadaan jiwa. Sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Adapun tujuan akhlak adalah agar setiap orang berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai yang baik terhadap sesama manusia, terhadap sesama makhluk dan terhadap Allah SWT. Yang pada akhirnya agar mendapatkan ridla dari Allah SWT (mardlatillah). Oleh karena itu dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah Islamiah anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadahi. [13] C. Ruang Lingkup ibadah 1. Pengertian Ibadah Secara bahasa ibadah ialah taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan dengan do'a. Secara istilah pengertian ibadah itu mempunyai dua pengertian yaitu: a. Khas (Mahdhah), menurut ahli ushul, ialah: segala hukum yang tidak terang iNatnya, tidak terang kemuslihatannya(yang tidak dipahamkan artinya) dan urusan-urusan yang semata-mata dikerjakan berdasar kepada memperhambakan diri kepada Allah swt. Menurut fuqaha, ialah: segala hukum yang dikerjakan untuk mengharap pahala di akhirat, dikerjakan sebagai tanda pengabdian diri kepada Allah swt. Dalam pengertian khusus ibadah ialah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah swt, dan dicontohkan oleh Rasulullah saw, atau disebut ritual, sepert: shalat, puasa, haji dan lainnya. b. `Aam (Ghairu Mahdhah) Secara umum ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt, yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat ridlo Allah swt. Ibadah dalm pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia. Segala hukum yang kita laksanakan atas nama ketetapan Allah dan di ridlai oleh-Nya. Perbedaan antara ibadah khusus dan umum terletak pada perbedaan sebagaimana dinyatakan oleh kaidah yang berbunyi sebagai berikut: "bahwa ibadah dalam arti khusus semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan, sedangkan ibadah dalam arti umum semuanya dibolehkan kecuali yang dilarang." Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah: bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya sebagai tanda mengabdikan/ memperhambakan diri kepada Allah swt. Demikian pula Ibadah juga bermakna untuk mewujudkan keimanan dengan amal-amal sholeh yang merupakan pengembangan ke arah yang positif atau baik dari fitrah manusia. Adapun fungsi dasar ibadah bagi manusia untuk menjaga keselamatan akidah, menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan berfungsi untuk mendisiplinkan sikap dan prilaku. 2. Dasar dan Tujuan Ibadah Ibadah adalah amalan pokok dalam kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh Allah swt, tidak lain adalah dalam rangka untuk mengabdi (beribadah). Allah berfirman di dalam Al-Qur'an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: Tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi/beribadah kepada-Ku. Jelaslah ayat di atas menjadi dasar bagi manusia dalam beribadah. Adapun dasar-dasar ibadah diantaranya: a. Cinta; Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada cintanya kepada Allah dan Rosul-Nya, yang mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan Rosul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunnah Rosul, jihad dijalan Allah dengan menggunakan jiwa, raga, dan hartanya. b. Takut (Khauf); Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada takutnya seorang hamba kepada Allah. Tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah. c. Harapan (Raja'); Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dijalankan dengan penuh pengharapan tanpa ada rasa pantang menyerah. Seorang hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna tanpa merasa pernah putus asa. 3. Jenis Dan Ketentuan Ibadah Menurut pandangan Ibnu Thaimiyah, bentuk penghambaan yang ideal dalam Islam adalah: Segala sesuatu yang mencakup semua yang dicintai dan diridai Allah, baik perkataan maupun perbuatan, yang lahir dan bathin. Untuk itu ibadah dalam Islam mewujud dalam banyak bentuk yaitu: Salat, zakat, puasa, haji, jujur dalam perkataan, amanah terhadap tanggung jawab, berbakti pada kedua orang tua, bersilaturahim, menepati janji, amar ma'ruf nahi munkar, berjihad, menghormati tetangga, menyantuni fakir miskin memelihara anak yatim, menolong musafir dan hamba sahaya; berdoa berzikir, ramah terhadap lingkungan, memikirkan ayat-ayat kauniah dan qauliyah. Namun demikian sebenarnya setiap ibadah yang di laksanakan bertujuan untuk menandakan perhambaan diri kepada Allah swt. Karena itu bentuk dan sifat¬sifatnya begitu beragam, yang terbagi kedalam enam macam diantaranya: a. Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, diantara contonya yaitu dzikir, do'a, munajat dan sebagainya. b. Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat. Contohnya: berjihad di jalan Allah, tol.ong-menolong, dan sebagainya. c. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya: puasa. d. Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari nsesuatu pekerjaan. Contohnya: I'tikaf. e. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak. Contohnya: membebaskan orang-orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang. f. Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan. Contohnya: khudlu', khusyu', menahan diri dari berbicara yang tiada guna. 4. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Ibadah Tidak dapat dipungkiri bahwa Allah swt. memiliki hak atas manusia untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini disebabkan manusia dijadikan Allah swt. dengan melalui fase-fase, dimana dari "sesuatu" yang belum dapat disebut "sesuatu" yang dapat disebut dan kemudian manusia keluar dari perut ibunya, dari ketiadaan kepada cahaya "kebenaran" (wujud). Kemudian manusia menjadi bangsa yang dimuliakan diantara makhluk lainnya. Manusia diciptakan dalam penciptaan yang baik. Manusia dibentuk dengan sebaik-baik bentuk, diajari daya berkomunikasi, diberi akal dan kemauan. Alam sekitar ditundukkan untuk melayani kebutuhan manusia. Karena itu suatu yang sangat pantas bila Al-Khaliq memiliki hak untuk menerima ibadah, permohonan dan pertolongan, pemanjatan doa dan bersimpuhnya hamba di hadirat-Nya dengan penuh kepasrahan, penyerahan dan kepatuhan. Untuk memberikan pedoman ibadah yang bersifat final, Islam memberikan prinsip-prinsip ibadah mahdhah sebagai berikut : a. Hanya Allah yang berhak disembah: Al-Qur'an telah banyak mengemukakan penegasan bahwa ruh akidah Islam adalah tauhid yakni meng-Esa-kan Allah secara mutlak. Islam memberikan kesaksian bahwa "tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya b. Melakukan ibadah tanpa perantara [wasilah]: Dalam perjalanan hidupnya, manusia sering membuat kerusakan di muka bumi dan kerusakan atas agama. Sesungguhnya agama mengangkat manusia kepada derajad yang mulia. Namun demikian, orang awam mempunyai anggapan bahwa untuk memohon kepada Tuhan tidak dapat dilakukan secara langsung. Hanya ahli agamalah yang dapat melakukan hubungan langsung dengan Tuhan. Islam hadir untuk mengembalikan ajaran agama yang murni berasal dari wahyu Allah. Hubungan manusia dengan Allah tidak perlu menggunakan perantara apapun. c. Ikhlas sebagai sendi ibadah yang akan diterima disisi Allah : Ikhlas adalah merupakan niat hati yang murni dan suci hanya untuk memperoleh keridaan Allah semata. Hanya ibadah yang disertai hati yang ikhlas yang diterima Allah. Hakekat ibadah bukanlah gerak lahiriyah, tetapi aspek batin dan hati yang ikhlas dan murni. d. Ibadah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rosul-Nya; Ibadah seseorang hamba Allah sudah ditetapkan tuntunannya dan dia harus menunaikan sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan syara'. Manusia tidak berhak mengurangi atau menambahnya. Sabda Rosulullah :"Salatlah kalian seperti melihat aku salat" (H.R. Bukhori). Keterangan mengenai salat nabi dijelaskan melalui Hadis¬Haditsnya. Dan tata cara salat harus mengikuti tuntunan nabi, tidak boleh menambah atau menguranginya, misalnya salat subuh dua rakaat tidak boleh ditambah menjadi 3 rakaat. e. Dalam mengerjakan sesuatu ibadah tidak lalai dari ibadah wajib. Ibadah yang dikerjakan selain ibadah wajib, dalam hal ibadah sunnah dikerjakan setelah menyelesaikan ibadah wajib. D. Metode keberagamaan dalam dimensi ibadah Sebelum membahas mengenai metode secara khusus membicarakan teantang ibadah terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai orientasi keberagamaan terlebih dahulu. Dimana ada tiga orientasi keberagamaan: Pertama, Keberagamaan yang dinamis, ayat yang berhubungan dengan ibadah (termasuk ayat tentang puasa), selalu berbentuk dalam kata kerja, seperti: la’allakum tattaqun, illa liya’ budun, dll. Semua itu selalu berada dalam suatu proses yang tiada henti untuk beribadah. Keunggulan dinamis ini menjadi lebih penting tidak hanya keunggulan komparatif (comparative advantage) atau keunggulan kompetitif (competitive advantage), namun sekarang masyarakat mengenal manajemen internasional sebagai keunggulan dinamis (dynamic advantage). Keberagamaan itu merupakan suatu gerak, oleh karenanya keberagamaan kita harus bergerak. Sebuah gerakan haruslah memiliki dua dimensi utama, yaitu dinamika sistematika, sebuah proses yang dinamis dan sistematis untuk mencapai tujuan. Dinamika keberagamaan ini harus membawa kita pada orientasi kemajuan dan keunggulan. Perlu dipahami bahwa ibadah bukanlah tujuan dalam hidup kita, jika ibadah menjadi tujuan, maka selesai kita shalat, maka selesai juga segala urusan. Selesai Ramadhan, maka betul-betul “Lebaran” alias bubaran. Ibadah yang kita lakukan haruslah berproses, dan akhir dari ibadah itu sebenarnya merupakan suatu awal. Saat kita Salam ketika shalat, itu adalah awal. Akhir puasa atau Lebaran juga awal bagi kita untuk merealisasikan makna-makna ibadah itu di luar masa ibadah. Kedua, Keberagamaan yang bersifat efektif (sebagaimana telah diajarkan dalam ibadah puasa Ramadhan), yang berdampak kepada perilaku dan kepribadian, bukan hanya sebagai sebuah ritual rutin. Oleh karenanya spiritualitas yang diharapkan terlahir dari ibadah kita adalah spiritualitas dinamis, bukan spiritualitas pasif atau statis, apalagi yang berorientasi individual (ke-aku-an). Ibadah-ibadah yang kita lakukan memang berorientasi kepada Tuhan, tapi juga harus ada orientasi ke dalam (kepada diri manusia) untuk mengembangkan kepribadian. Dalam beribadah memang tujuan kita lillahi ta’ala (hanya untuk Allah), tapi bukan berarti kita beribadah hanya demi Tuhan untuk Tuhan, tapi juga dalam niat lillahi ta’ala, terkandung makna di dalamnya li an-nâs (untuk manusia). Bukan hanya lil mu’minin (untuk orang mukmin) atau lil muslimin (untuk orang muslim) saja, tapi untuk seluruh manusia, sebagai reduksi dari kata lil ‘alamin (untuk seluruh alam semesta). Maka, keberagamaan yang efektif adalah yang membawa dampak kepada kepribadian. Indikator ketaqwaan seseorang sangat jelas yaitu terletak paka perilaku yang antara lain cenderung untuk berbagi kepada sesama manusia dalam keadaan lapang maupun sempit. Oleh karena itu, Islam mendorong peribadatan bukan hanya sekedar mencari ridho Allah semata. Hal tersebut dapat kita lihat dalam konsep penyelamatan. Dalam Islam penyelamatan merupakan keselamatan kolektif bukan hanya keselamatan individual, bahkan alam semesta juga harus dibangun kembali, di-restorasi, dan di-renovasi. Hal ini merupakan sebuah gerakan peradaban yang sangat besar. Bila kita mengukur ketaqwaan dari sudut kejiwaan, jika kita menganalogkan pemikiran Imam Al-Ghazali dalam tahapan-tahapan dari jiwa; diawali dengan an-nafs al ammarah bi as-syu’, an-nafs al-lawwamah, dan yang tertinggi an-nafs al-muthmainnah. Jika kita lihat secara gradual, maka an-nafs al ammarah bi as-syu’ merupakan kecenderungan an-nafs, jiwa yang mendua atau berdimensi ganda (ambivalen). Jiwa seperti ini kadang cenderung kepada kebaikan, tapi masih ada juga kecenderungan kepada kejelekan. Hal ini kemudian menjadi problema ambivalensi diri yang harus kita atasi dengan tarqiyatu an-nafs. Kemudian naik kepada tingkatan kedua an-nafs al-lawwamah, di mana dalam tingkatan ini seseorang yang berbuat kesalahan dan dosa masih ada rasa penyesalan dan kesadaran diri untuk segera kembali kepada kebaikan. Dalam Alquran dijelaskan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Q.S. Ali Imran : 135). Kemudian masuk kepada tingkatan yang tertinggi yaitu an-nafs al-muthmainnah yaitu jiwa yang penuh ketenangan dan kedamaian. Kita semua dapat menuju ke arah sana dengan sebuah keberagamaan yang dinamis, efektif dan fungsional. An-Nafs bukan hanya bermakna jiwa, tapi juga diri (self). Diri merupakan manifestasi ketika jasad dan ruh bertemu, jadi jasad yg berkembang dalam kandungan ibu kemudian ditiupkan ruh. Dalam ruh juga terdapat dimensi ilahi (divine dimension) dalam kekuatan-kekuatan yang diberikan kepada kita. Jadi dalam diri kita terdapat potensi-potensi insani yang berdimensi ilahi. Ramadhan memang berdimensi penyucian jiwa (tazkiyatu an-nafs atau self refinement), tapi Ramadhan juga bermakna peningkatan jiwa (tarqiyatu an-nafs atau self empowerment). Maka Idul Fithri merupakan hari raya kesucian sekaligus hari raya kekuatan. Untuk itu perlu disempurnakan dengan saling silaturahim dan saling memohon maaf antar sesama manusia. Silaturahim yang dinamis adalah bagaimana kita menjalin kerjasama, menjalin silatu al-fikri dan silatu al-fi’li. Ketiga, Keberagamaan yang fungsional, yaitu keberagamaan yang berfungsi bagi kehidupan, kebudayaan, dan peradaban. Hal itu dapat terjadi ketika kita dapat meraih prestasi dan keunggulan. Jadi keberagamaan fungsional memiliki proses yang dinamis, efektif, dan juga membawa dampak yang lebih luas, memiliki fungsi-fungsi sosial, kebudayaan, dan peradaban. Itulah yang dapat dilakukan oleh umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah). Dalam Al-Qur’an, kata shirat al-mustaqim (jalan istiqamah) dapat diartikan sebagai jalan lurus, namun juga dapat bermakna jalan tengah. Maka orang beragama perlu keberagamaan yang pertengahan berdasarkan al-aqidah al-wasitiyyah (aqidah pertengahan) Umat Islam disebut sebagai ummatan wasatho (umat pertengahan), selengkapnya dalam Alquran disebutkan: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (QS. Al-Baqarah: 143). Jadi kata shirat al-mustaqim dapat diartikan sebagai jalan lurus, jalan tengah, dan itulah jalan kemajuan yang mendaki. Shirat al-mustaqim punya pengertian jalan tengah yang mendaki, bukan hanya linear datar saja. Sehingga apabila kita dapat dengan selamat dalam mendaki jalan lurus atau jalan tengah, maka kita akan mencapai keberhasilan. Jadi apa pun posisi kita, maka berbuatlah sesuai kemampuan kalian (i’malu ‘ala syakilatikum), karena hal itulah yang dianjurkan dalam Islam. Dengan tahun demi tahun kita merayakan ‘Idul Fithri, masing-masing kita hendaknya meningkatkan kapasitas diri (capacity building) yang kemudian akan dapat meningkatkan kerja dan kinerja. Sedangkan metode keberagamaan dalam dimensi ibadah bisa dilihat dari posisi ibadah sendiri dalam Islam, dimana ibadah memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam diri dan kehidupan seseorang, yang dapat dirasakannya pada dirinya sendiri dan pada orag lain serta kehidupan sekitarnya. Sesungguhnya ibadah dapat membentuk kehidupan seorang muslim dan perilakunya dengan corak Rabbani. Dengan adanya corak Rabbani sehingga menjadikan orang yang beribadah berorientasi kepada Allah dalam segala sesuatu yang dilakukannya untuk kehidupan. Ia melaksanakannya dengan segala sesuatu yang dilakukannya untuk kehidupan. Ia melaksanakannya dengan niat seorang `abid (ahli abdi) yang khusuk dan dengan ruh seorang hamba yang tekun dan tenggelam dalam ibadah. Hal ini mendorongnya untuk memperbanyak segala amal yang bermanfaat, segala aktifitas yang baik untuk mendayagunakan kehidupannya secara optimal. Hal ini menambah depositonya berupa amal kebajikari disisi Allah. Beribadah dapat membina seorang muslim memiliki kesatuan tujuan da semua aspek hidupnya. Dia ridha dengan Allah Rabb Yang Maha Esa dalam setiap apa yang dilakukan dan apa yang ditinggalkannya serta menghadap kepada Rabb ini dengan segenap amal usahanya. Tidak ada sikap dikotomi dan dualis dalam kepribadiannya maupun dalam hidupnya. Seorang muslim bukanlah termasuk orang-orang yang menyembah Allah pada waktu malam hari dan menyembah masyarakat pada siang hari. Ia bukanlah termasuk orang yang mengabdi kepada Allah di dalam masjid dan mengabdi kepada dunia dan harta dalam kehidupan. Seorang muslim bukanlah termasuk orang-orang yang mengabdi kepada Allah sehari dalam sepekan kemudian mengabdi kepada apa dan siapa saja selain Allah pada siang hari yang lainnya. Sesungguhnya seorang muslim beribadah kepada Allah semata, bagaimanapun situasi dan kondisinya. Bagi seorang muslim wajah Allah tidak terpisah sesaatpun dari-Nya dalam segala pekerjaan dan perbuatannya. Menurut pendapat Imam Al-Ghozali, hakekat ibadah meliputi: Pertama; Mengikuti (mutaba'ah) Nabi Muhammad saw. pada semua perintah dan larangannya. Suatu yang bentuknya seperti ibadah, tetapi diperbuat tanpa perintah tidak dapat disebut sebagai ibadah. Shalat atau puasa sekalipun, hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara'. Ibadah yang hakiki itu adalah menjunjung perintah, bukan semata-mata melaksanakan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu hanya akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan. Kedua; Ibadah menuntut sikap taat sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal : akidah, perbuatan dan perkataan serta menyambut segala perintah dan larangan-Nya dengan "sami'na wa'atho'na". berhadapan dengan hukum Allah, orang beriman tidak akan mengatakan kecuali pernyataan patuhnya. Allah swt. menciptakan manusia supaya mereka beribadah kepada-Nya. Ketiga; Dengan melakukan ibadah, manusia akan tahu dan selalu sadar bahwa betapa hina dan lemah dirinya bila berhadapan dengan Kekuasaan Allah. Sehingga ia menyadari benar akan kedudukannya sebagai hamba Allah. Apabila seorang hamba beribadah secara benar dan sempurna, pribadi seseorang akan menjadi baik (takwa) jiwanya suci. Akhlaknya menjadi mulia, walaupun itu bukanlah menjadi tujuannya. Ibadah dalam Islam dituntunkan secara sempurna, siapa yang berhak disembah, bagaimana cara melaksanakannya, hal-hal apa yang harus dihindari, apa yang menajdi tujuan ibadah, bagaimana nilainya bagi manusia dalam hidupnya di dunia dann diahirat. Ibadah sangat penting bagi kehidupan manusia dan merupakan kebutuhan yang tak bisa dihindari, hal ini disebabkan karena: 1]. Ibadah merupakan makanan pokok bagi rohani, 2]. Ibadah merupakan jalan menuju kebebasan, 3]. Ibadah merupakari cobaan Tuhan yang akan membuat bahagia, 4]. Ibadah merupakan hak Allah dan kewajiban manusia, 5]. Ibadah merupakan bentuk dari permintaan pahala (balasan), 6]. Ibadah merupakan pengimbangan antara jasmani dan rohani, 7]. Ibadah merupakan pembentukan pribadi yang baik. Apabila ketiga fungsi tersebut berjalan efektif dan bisa dijalankan dengan baik pada sepanjang waktu, maka manusia akan berjalan dijalur yang benar dan prestasi rohani akan muncul, memasuki tahapan muttaqin. Sesungguhnya dalam setiap mengerjakan sesuatu pekerjaan, ada proses yang harus dijalani, dalam setiap proses pasti ada hal yang menjadi penghalang menghambat. Apabila seorang berahasil melawan semua hambatan yang dialami dengan, kemenangan hasilnya akan memuaskan dan dikatakan berhasil. Selain itu setiap amalan yang dikerjakannya akan ada pertanggung jawabannya. Sama halnya dengan ibadah di dalam melakukannya seseorang harus dapat menjaga konsistensinya, agar ibadah yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan.

 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan keberagamaan adalah perkembangan yang bersifat sistematias dan berkesinambungan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang.
2. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan meliputi Bidang akidah, Bidang ibadah, Bidang akhlak
3. Sedangkan metode keberagamaan dalam dimensi ibadah bisa dilihat dari posisi ibadah sendiri dalam Islam, dimana ibadah memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam diri dan kehidupan seseorang, yang dapat dirasakannya pada dirinya sendiri dan pada orag lain serta kehidupan sekitarnya. Sesungguhnya ibadah dapat membentuk kehidupan seorang muslim dan perilakunya dengan corak Rabbani.

 B. Saran-saran

Dalam menjaga konsistensi ibadah diperlukan cara intensif diantaranya:
1) ibadah dilakukan secara sungguh-sungguh,
2) Ibadah diorientasikan untuk mendapatkan ridlo Allah,
3) menjauhkan sifat riyak dan takabur
4) menggali makna dan hikmah dalam setiap ibadah yang dikerjakan
5) senantiasa memenuhi syarat dan rukun ibadah yang telah ditetapkan,
6) berusaha disiplin dan konsisten dalam menjalankan ibadah,
7) Menumbuhkan gairah san himmah dalam beribadah.

 DAFTAR PUSTAKA

 Ancok, Jamaludin dan Fuad Anshari Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam Atas Problema-Problema Sikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.  Darajat, Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1982  Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV Toha Putra 1989  Erwati Aziz, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2003)  Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya: Bina Ilmu, 1982  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustka, 1986  M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001  .Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1995  http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/09/11/ma5ssl-tiga-orientasi-keberagamaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar