Selasa, 29 Januari 2013

PERAN WANITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum kita jauh membicarakan peranan wanita dalam pendidikan Islam, alangkah baiknya kita terlebih dahulu membicarakan tujuan pendidikan yang khusus berlaku di negara kita dewasa ini, (Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 1954 dan Undang-Undang No. 2 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional) ditentukan oleh zaman dan kebudayaan tempat manusia itu hidup. Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan dan pengajaran itu di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1954, terutama pasal 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3 : Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 4 : Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas azas-azas yang termaktub dalam Pancasila Undang-undang Dasar RI dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia. Kalau kita meneliti apa yang tercantum pada pasal-pasal di atas, nyatalah apa yang menjadi tujuan pendidikan dan tugas pendidikan itu, yaitu :
1.      Membentuk manusia susila,
2.      Membentuk manusia susila yang cakap
3.      Membentuk warga Negara
4.      Membentuk warga negara yang demokratis
5.      Membentuk warga negara yang bertanggung jawab tentang ksejahteraan masyarakat dan tanah air
Di dalam GBHN 1983-1988 tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut:
"Pendidikan Nasional berdasarkan pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa, kecerdasan, dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkut kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air,
agar dapat menumbhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa."
Dengan demikian tujuan pendidikan berhubungan erat dengan tujuan dan pandangan hidup si pendidik sendiri. Seorang pendidikan tidak akan tahu kemana anak dibawah (dididik) jika tidak mengetahui jalan hidupnya: Seorang orang tua yang ateis, umpamanya, tidak mungkin mendidik anaknya agar berbakti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Seorang guru yang miskin perasaan sosialnya, tidak akan mampu memasukkan perasaan sosial yang sebenarnya kepada anak didiknya. Seorang ibu yang berperasaan lemah lembut dan kasih sayang , tentu akn lebih mudah mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berperasaan halus dn cinta sesama manusia dari pada seorang ibu yang kasar dan kera tingkah laku.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa Makna Peran Wanita
2.      Bagaimana Peran Wanita dalam Pembinaan Akhlak anak dalam Keluarga
      3.  Peran Wanita dalam Pendidikan Rumah Tangga
4. Peran Wanita sebagai Teladan atau Model bagi anaknya.                              5.  Peran Wanita sebagi pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya



C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujaun penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1.      Makna Peran Wanita
2.      Peran Wanita dalam Pembinaan Akhlak anak dalam Keluarga
3.  Peran Wanita dalam Pendidikan Rumah Tangga
4. Peran Wanita sebagai Teladan atau Model bagi anaknya.                              5.  Peran Wanita sebagi pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna Peran Wanita
Dalam proses identitas sangat penting dalam kebangkitan islam dewasa ini. Karena semakin banyak wanita yang berpartisifasi dalam kebangkitan ini, semakin bertambah perhatian dicurahkan terhadap soal gender dalam membentuk identitas. Sehingga pungsi dan tanggung jawab masing-masing gender baru belakag ini saja dikemukakan: Sebagian besar diilhami oleh kondisi kaum wanita:
Dengan ini, wanita telah dibatasi pada fungsi-fungsi yang berhubungan dengan biologinya. Al-Qur'an juga mengakui bahwa anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaanyang telah dirumuskan dengan baik yang dipertahankan oleh budaya mereka. Yang mengakibatkan gender dan fungsi-fungsinya gender memperbesar persepsi tentang perilaku yang secara moral layak dalam suatu masyarakat, karena al-Qur'an adalah pedoman moral, maka ia harus berkenan dengan persepsi moralitas yang dipegang oleh individu dari beragam masyarakat.  Dengan demikian peran dari pada wanita yang tercantum dalam al-Qur'an ada tiga kategori:
1.      Peran yang menggambarkan kontesk sosial budaya dan sejarah dimana si wanita tinggal tanpa ujian ataupun kritik dari al-Qur'an.
2.      Peran yang menemukan kewanita secara universal diterima (yaitu, mengasuh atau merawat) yang bisa diberikan beberapa pengecualian yang diberikan dalam al-Qur'an sendiri.
3.      Peran yang menggambarkan usaha di manusia di muka bumi dan disebutkan dalam al-Qur'an untuk menunjukan fungsi spesifik ini, bukan untuk menunjukan jenis kelamin pelakunya yang kebetulan seorang wanita.
Maka untuk membuktikan ketinggian Islam sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang harus ditempuh perempuan:
1.      Memiliki akhlak karimah, bukan hanya dengan keindahan pakaian, kecukupan perhiasan dan hal-hal yang bersifat materi lainnya ketinggian suatu bangsa, kemulian suatu golongan adalah karena akhlak mulia yang dimiliki oleh manusia. Tinggi rendahnya suatu ajara, bangsa dan golongan sering kali dilihat dari akhlak manusianya.
2.      Meningkatkan ilmu dan kecerdasan, bukan dengan kepandaian memoles wajah dengan berbagai alat kosmetika yang makin beragam. Sebagai dengan ilmu dan kecerdasan yang tinggi itulah perempuan muslimat akan terangkat derajatnya. Dan apabila derajatnya sudah tinggi, maka dia juga mampu meninggikanIslam. memperbanyak amal gerak dan perjuangan yang baik sebab dengan amal shaleh itulah seseorang dihormati.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits : yang artinya “Perempuan adalah tiang negara bila perempuannya baik maka negara akan kokoh, sebaliknya apabila perempuannya telah rusak moralnya, maka runtuhlah negara.

B.     Peran Wanita dalam Pembinaan Akhlak anak dalam Keluarga

Wanita selaku orang tua merupakan cermin bagi anak-anak di dalam keluarga. Anak-anak cenderung meniru apa yang ia lihat dan temukan dalam keluarga sebab anak diibaratkan bagaikan radar yang akan menangkap segala macam bentuk sikap dan tingkah laku yang terdapat dalam keluarga. Jika yang ditangkap radar anak tersebut adalah hal-hal buruk, maka ia akan menjadi buruk meskipun pada hakikatnya anak dilahirkan dalam keadaan suci.[1]
Antara fitrah yang dibawa anak sejak lahir dan peran pendidikan orangtua harus sejalan. Fitrah anak tidak akan selalu terjaga apabila orangtua tidak memberikan bimbingan kepadanya dengan benar. Jika orangtua tidak memberikan dan mengarahkan pendidikan anak pada aspek sopan santun dan akhlak yang baik, maka perilaku anak akan cenderung menentang kepada orangtua. Ekspresi menentang tersebut bisa berupa perkataan keji dan sikap yang menyimpang, bahkan sampai pada taraf meremehkan kedudukan orangtua.[2]
Berkaitan dengan aspek emosional anak, kasih sayang orangtua sangat diperlukan anak pada awalawal pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa bayi anak sangat tergantung pada orangtuanya dikarenakan ketidak-berdayaannya dan juga banyaknya bahaya yang mengancam dirinya. Pada periode ini, rasa cinta dan kasih sayang mutlak diperlukan oleh anak agar kehidupannya kelak berkembang normal.[3]
Kurangnya cinta dan kasih sayang bisa berakibat fatal pada perkembangan anak selanjutnya. Hal ini bisa menyebabkan anak tersebut mundur dalam perkembangan motorik, berbicara dan tidak belajar bagaimana harus melangsungkan kontak sosial atau bagaimana harus mengungkapkan kasih sayang.[4]
Tidak bisa dipungkiri bahwa anak belum bisa mengekspresikan dengan kata-kata apa yang ia rasakan. Akan tetapi, sejak hari pertama kelahirannya, anak sudah dapat merasakan kasih sayang orangorang di sekelilingnya. Ia merefleksikan kasih sayang yang ia rasakan dengan senyuman. Menurut Banu Garawiyan, kasih sayang merupakan “makanan” yang dapat menyehatkan jiwa anak.[5] Secara alamiah makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup. Tanpa adanya makanan, tentunya hidup seseorang tidak sempurna. Kasih saying merupakan kebutuhan yang asasi juga bagi kehidupan seseorang. Dengan kasih sayang, aspek kejiwaan anak berkembang dengan baik karena ia merasa diterima di dalam komunitasnya, baik itu di lingkungan keluarga maupun masyarakat sehingga ia pun bisa memberikan kasih sayang kepada orang lain berdasarkan pengalaman hidup yang ia jalani.
Lebih lanjut lagi, seorang anak belajar bagaimana cara memberikan kasih sayang terhadap sesame dari dalam lingkungan keluarga. Perasaan marah dan kasih sayang seorang anak diwarnai dari rumah dan tempat tinggalnya. Berbagai macam perasaan dan sikap yang menjadi dasar dalam berinteraksi dan berhubungan dengan sesama manusia berawal dari lingkungan rumah tangga. Pengalaman-pengalaman tersebut akan tertanam kuat dalam jiwanya sehingga segala perilakunya dalam menyikapi perkara yang baik atau yang buruk, ego, dan kecenderungannya semuanya tergantung dan bersumber dari kondisi kehidupan rumah tangga.[6]
Wanita yang menjadi salah-satu unsur dalam keluarga merupakan penentu arah sikap dan perilaku anak pada masa mendatang. Muhammad Taqi Falsafi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan sekolah yang mampu mengembangkan potensi tersembunyi dalam jiwa anak dan mengajarkan kepadanya tentang kemuliaan dan kepribadian, keberanian dan kebijaksanaan, toleransi dan kedermawanan, serta sifat-sifat mulia lainnya.[7]
Apabila aspek emosional anak telah terbina, maka akan muncul suatu keterikatan secara psikis antara orangtua dan anak. Keterikatan tersebut akan menuntun anak merasakan cinta, kasih sayang, perhatian, dan perlindungan mereka terhadapnya, serta anak juga akan mencintai orangtua dan anggota keluarga. Dengan demikian, anak bisa memfungsikan aspek emosinya secara positif sebab atmosfir yang sarat dengan rasa saling mencintai dalam kehidupan keluarga merupakan faktor penting dalam membentuk kematangan kepribadian anak dan agar ia merasa damai, percaya diri, dan bahagia.[8]
Tugas pendidikan emosional anak dengan cara menciptakan suasana keluarga yang “kondusif” merupakan tanggung jawab kedua orangtua. Tugas tersebut tidak bisa digantikan oleh siapapun, terutama peranan seorang ibu dalam mendidik aspek psikis anak. Dengan keberadaan dan pengasuhan serta kasih sayangnya dapat memberikan influensi yang signifikan dalam membentuk kepribadian dan spiritual anak.
Selain ibu, peran pembentukan kepribadian anak juga dipengaruhi oleh fungsi ayah itu sendiri. Shapiro menyatakan, banyak anak yang menderita karena dibesarkan oleh ayah yang secara fisik hadir di tengah keluarga, tetapi secara emosional tidak pernah ada. Si ayah tidak bereaksi terhadap kebutuhan anak-anak akan perhatian, kasih sayang, dan keterikatan. Jika anak menuntut kepedulian sang ayah, mereka diabaikan atau dihukum. Kondisi ini akan memicu tumbuhnya penghargaan diri yang rendah dan rasa takut ditolak dalam diri si anak.[9]
Suasana “kondusif” dalam keluarga akan tercipta jika orangtua tahu posisi masing-masing. Posisi keduanya dalam keluarga seperti miniatur yang akan dilihat dan ditiru oleh si anak. Berhasilnya orangtua dalam mendidik emosi anak tergantung pada suasana kehidupan keluarga yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, keluarga memberikan pengaruh, baik itu yang positif maupun yang negatif, pada perkembangan emosional anak. Orangtua perlu menyadari akan pentingnya keharmonisan dalam rumah tangga dan juga perlu peka terhadap kebutuhan psikis anak, yaitu ketenangan jiwa.

C. Peran Wanita dalam Pendidikan Rumah Tangga

Saya yakin setiap Orang Tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna, baik dalam fisik, kecerdasan, akhlaq serta karakternya.
Untuk itu Peran Wanita sebagai sosok seorang Ibu sangatlah urgen dalam pendidikan Anak-anaknya dalam keluarga, Wanita/Ibu adalah sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya, sosok yang paling banyak waktu bersamanya, sehingga Anak banyak belajar segala sesuatu dengan Ibunya, ibu adalah cerminan anak-anaknya.
Tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya, yaitu jasmani, akal daan ruhani. Tujuan lain adalah membantu sekolah atau lembaga kursus dalam mengembangkan  pribadi anak didiknya. [hal. 240]

Apakah ada Kurikulum (bahan pendidikan) bagi pendidikan dalaam rumah tangga ? Ada, tetapi tidak tegas seperti kurikulum pendidikan di sekolah. Kurikulum itu dalam garis besarnya adalah kurikulum untuk pengembangan jasmani dan ketrampilan, kurikulum untuk pengembangan akal, dan kurikulum untuk pengembangan ruhani anak. Kurikulum ini mengacu kepada teori tentang aspek-aspek kepribadian dalam garis besar. [hal.241]

Kunci pendidikan dalam rumah tangga sebenarnya terletak pada pendidikan ruhani dalam arti pendidikan Qalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Mengapa kunci?  Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang.
1. Pendidikan jasmani dan akal yang diberikan di sekolah sekarang mempunyai banyak teori. Belum tentu semua teori itu sesuai dengan ajaran agama. Bila aanak sudah memiliki basis nilai agama yang dibawa dari rumah, secara sederhana ia dapat memberikan nnilai terhadap teori-teori yang diajarkan di sekolah. [hal.243]

2. Penanaman sikap menghargai guru dan apa yang dididikannya. Pendidikan di sekolah tidak akan berhasil secara maksimal bila murid tidak mengormati guru dan pengetahuannya. Kalau begitu, tidak salah bila dikatakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan di sekolah adalah ada atau tidaknya penghargaan dari murid terhadap guru dan terhadap pengetahuan yang diajarkannya. Pendidikan agama dalam rumah tangga itu harus mampu menghasilkan anak yang :   
- Menghormati Guru (terutama gurunya)
- Menghargai pengetahuan (terutama pengetahuan gurunya). [hal. 244]
            Sekali lagi ditegaskan bahwa pendidikan agama dalam rumah tangga menjadi perhatian utama dalam uraian selanjutnya karena beberapa hal :
-          Pendidikan agama dalam rumah tangga adalah kunci bagi pendidikan dalam rumah tangga, kunci bagi pendidikan agama secara keselluruhan, bahkan kunci bagi pendidikan secara keseluruhan.
-          Pendidikan jasmani dan akal bukanlah kunci bagi pendidikan dalam rumah tangga, bukan kunci bagi pendidikan jasmani dan akal secara keseluruhan, dan bukan kunci bagi pendidikan pada umumnya. Pendidikan agama dalam rumah tangga yang diuraikan ini adalah pendidikan agama dalam rumah tangga menurut ajaran islam, diambil dari sumber islam (al-Qur’an dan hadits) dan dari pendapat ahli pendidikan islam. [hal. 245]


D. Peran Wanita sebagai Teladan atau Model bagi anaknya.

Dalam mendidik anak seorang wanita/ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Mengingat bahwa perilaku orangtua khususnya ibu akan ditiru yang kemudian akan dijadikan panduan dalam perlaku anak, maka ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Seperti yang difirmankan Allah dalam:
Surat Al-Furqaan ayat 74:
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi golongan orang-orang yang bertaqwa.”
Kalau kita perhatikan naluri orang tua seperti yang Allah firmankan dalam Al Qur’an ini, maka kita harus sadar bahwa orang tua senantiasa dituntut untuk menjadi teladan yang baik di hadapan anaknya.
Sejak anak lahir dari rahim seorang ibu, maka ibulah yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi, perilaku dan akhlaq anak. Untuk membentuk perilakua anak yang baik tidak hanya melalui bil lisan tetapi juga dengan bil hal yaitu mendidik anak lewat tingkah laku. Sejak anak lahir ia akan selalu melihat dan  mengamati gerak gerik atau tingkah laku ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah anak akan senantiasa melihat dan meniru yang kemudian diambil, dimiliki dan diterapkan dalam kehiduapnnya. Dalam perkembangan anak proses identifikasi sudah mulai timbul berusia 3 – 5 tahun. Pada saat ini anak cenderung menjadikan ibu yang merupakan orang yang dapat memenuhi segala kebutuhannya maupun orang yang paling dekat dengan dirinya, sebagai “model”  atau teladan bagi sikap maupun perilakunya. Anak akan mengambil, kemudian memiliki nilai-nilai, sikap maupun perilaku ibu. Dari sini jelas bahwa perkembangan kepribadian anak bermula dari keluarga, dengan cara anak mengambil nilai-nilai yang ditanamkan orang tua baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam hal ini hendaknya orang tua harus dapat menjadi contoh yang positif bagi anak-anaknya. Anak akan mengambil nilai-nilai, sikap maupun perilaku orang tua, tidak hanya apa yang secara sadar diberika pada anaknya misal melalui nasehat-nasehat, tetapi juga dari perilaku orang tua yang tidak disadari. Sering kita lihat banyak orang tua yang menasehati anaknya tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak sepenuhnya mengambil nilai, norma yang ditanamkan. Jadi, untuk melakukan peran sebagai model, maka ibu sendiri harus sudah memiliki nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Hal ini penting artinya bagi proses belajar anak-anak dalam usaha untuk menyerap apa yang ditanamkan.

E. Peran Wanita sebagi pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya

Perlu diketahui bahwa pada waktu kelahirannya, pertumbuhan berbagai organ belum sepenuhnya lengkap. Perkembangan dari organ-organ ini sangat ditentukan oleh rangsang yang diterima anak dari ibunya. Rangsangan yang diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif anak. Bila pada bulan-bulan pertama anak kurang mendapatkan stimulasi visual maka perhatian terhadap lingkungan sekitar kurang. Stimulasi verbal dari ibu akan sangat memperkaya kemampuan bahasa anak. Kesediaan ibu untuk berbicara dengan anaknya akan mengembangkan proses bicara anak. Jadi perkembangan mental anak akan sangat ditentukan oleh seberapa rangsang yang diberikan ibu terhadap anaknya. Rangsangan dapat berupa cerita-cerita, macam-macam alat permainan yang edukatif maupun kesempatan untuk rekreasi yang dapat memperkaya pengalamannya.
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa kunci keberhasilan seorang anak di kehidupannya sangat bergantung pada ibu. Sikap ibu yang penuh kasih sayang, memberi kesempatan pada anak untuk memperkaya pengalaman, menerima, menghargai dan dapat menjadi teladan yang positif bagi anaknya, akan besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak. Jadi dapat dikatakan bahwa bagaimana gambaran anak akan dirinya ditentukan oleh interaksi yang dilakukan ibu dengan anak. Konsep diri anak akan dirinya positif, apabila ibu dapat menerima anak sebagaimana adanya, sehingga anak akan mengerti kekurangan maupun kelebihannya. Kemampuan seorang anak untuk mengerti kekurangan maupun kelebihannya akan merupakan dasar bagi keseimbangan mentalnya



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sungguh peran wanita sangat penting sekali dalam pendidikan, Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits : yang artinya “Perempuan adalah tiang negara bila perempuannya baik maka negara akan kokoh, sebaliknya apabila perempuannya telah rusak moralnya, maka runtuhlah negara.     

                  Wanita itu ibarat sekolah, jika kalian mendidiknya dengan baik berarti kalian sedang mempersiapkan sebuah bangsa dengan baik (Al hadist)

Wanita itu dengan tangan kirinya menggoyang buaian, tangan kanannya menggoyang dunia

Wanita adalah tiang negara. Apabila kaum wanita yang ada itu baik, maka baiklah negara itu. Dan apabila kaum wanita yang ada rusak maka rusaklah negara
(ahlul Hikmah)

 Surga itu ada dibawah telapak kaki kaum ibu (Al hadist)


Sedangkan peran wanita dalam keluarga untuk membentuk karakteristik anaknya yang berakhlakul karimah bisa dilihat dengan posisi Wanita sendiri yaitu selaku orang tua merupakan cermin bagi anak-anak di dalam keluarga. Makanya seorang wanita selaku ibu bagi anak-anaknya dalan keluarga harus seoptimal mungkin memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.



DAFTAR PUSTAKA

v  Banu Garawiyan, 2002, Memahami Gejolak Emosi Anak , Bogor: Cahaya
v  Khairiyah Husain Taha Sabir, 2001, Peran Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim Jakarta: Firdaus
v  Ali Qaimi, 2002, Menggapai Langit Masa Depan Anak, Bogor: Cahaya
v  Muhammad Taqi Falsafi, 2002, Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan, Bogor: Cahaya
v  M. Ustman Najati, 2002, Belajar EQ & SQ dari Sunnah Nabi, Bandung: Hikmah
v  Jerold Lee Shapiro, 2003,  The Good Father: Kiat Menjadi Ayah Teladan, Bandung: Kaifa
v  Ahmad Tafsir, 2012, Ilmu Pendidikan islam, Bandung : Rosdakarya








[1] Khairiyah Husain Taha Sabir, Peran Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim (Jakarta: Firdaus, 2001), hal. 121.
[2] Ibid, hal. xviii.
[3] Kartono, Psikologi, hal. 97.
[4] Hurlock, Psikologi Perkembangan, hal. 99.
[5] Banu Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 73.
[6] Ali Qaimi, Menggapai Langit Masa Depan Anak (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 7-8.
[7] Muhammad Taqi Falsafi, Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan (Bogor: Cahaya, 2002), hal. 249.
[8] M. Ustman Najati, Belajar EQ & SQ dari Sunnah Nabi (Bandung: Hikmah, 2002), hal. 90.
[9] Jerold Lee Shapiro, The Good Father: Kiat Menjadi Ayah Teladan (Bandung: Kaifa, 2003), hal. 172.

1 komentar: