REVIEW BUKU
Judul Buku
: SOSIOLOGI PENDIDIKAN DAN DAKWAH
Pengarang
: Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.
Penerbit
: Stain Press Cirebon
Cetakan
: 1, 2007
Tebal:
: x + 324 halaman
Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A. menyusun buku ini
dalam 10 bab, sebagai berikut : Bab I Perspektif Sosiologi Antropologi, II
Sosiologi Durheim, III Studi Agama sebagai Sistem Budaya, IV Sejarah Sosiologi
Pendidikan, V Realitas Pendidikan, VI Paradigma Dakwah, VII Profil Msyarakat
Islam, VIII Dzikir MenghadapiTantangan, IX Makna Din Perspektif Sosio
Antropologis dan Bab X Islam dan Kemajemukan di Indonesia perspektif Sosio
Antropologis.
Dalam Bab I penulis memberikan pandangan tentang
makna Sosiologi dan Antropologi, wilayah kajian, hakikat dan manfaat
mempelajari kedua ilmu tersebut.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang masyarakat manusia. Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang mempunyai
latar belakang social, pendidikan, cita-sita, harapan dan tujuan hidup yang
sama. Pemaknaan masyaralat yang dikemukakan penulis si atas menurut hemat saya
kurang tepat untuk menggambarkan masyrakat modern sekarang ini. karena pada
kenyataannya maryarakat bersifat majemuk yakni secara individu bersasal dari
berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda-beda namun
disatukan oleh cita-cita dan harapan hidup yang sama.
Sesuai dengan criteria dan klasifikasi ilmu
pengetahuan , kajian sosiologi termasuk model kajian tertua dalam bidang ilmu
sosial, seperti juga antropologi dan psikologi. Ilmu Sosial adalah ilmu
pengetahuan yang bertugas ntuk meneliti, melakuikan generalisasi dan verifikasi
terhaap gejala-gejala tingkah laku manusia dalam kelompok bangsa dan Negara.
Kerja ilmu sosial dilakukjan dengan cara menarik
konsep, teori dan kaidah tentang pola perilaku manusia secara ilmiah untuk
menemukan kesamaan pola pikir daSosiologi durkheimn perilaku masyarakat. Karena
itu laboratorium ilmu sosial tidak lain kehidupan masyarakat itu sendiri, yang
dikaji secara ilmiah berdasarkan metode utama menurut Donald W. Colhoun “to
observ and measure phenomena” dengan cara pengamatan dan pengukuran terhadap
gejala-gejala sosial, melalui field work and field observation.
Sosiologi-Antropologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang mesyarakat dan kebudayaan manusia. Keduanya merupakan sumber rujukan
utama dari ilmu-ilmu sosial. Sosiologi berusaha memahami hakikat masyarakat
dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi maupun interaksi
sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku manusia (antthropos) sesuai
latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora).
Sosiologi- Antropologi saling menunjang dari segi teori, konsep maupun
metodologi. Konsentrasi soisologi pada masyarakatnya, sedangkan konsentrasi
antropologi pada kebudayaannya.
Terdapat beberapa teori dalam kajian
sosiologi-antropologi, antara lain sebagai berikut :
1. Teori Evolusi
Teori evolusi dikemukakan oleh August comte ketika
membicarakan konsep masyarakat yang bercorak holistik. Dia menggambarkan bahwa
proses berpikir manusia dalam manafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang
secara evolusi, malalui tahapan religious, metafisika dan positivisme. Dari
konsep ini trwujudlah perubahan sosial masyarakat baru, berdasarkan kenyataan
empiris hasil pemikiran rasional dan pada akhirnya akan mencapai tingkat
integrasi yang lwbih besar.
2. Teori Konsensus
Tokoh sosisologi yang dikenal dengan teori konsensus
adalah Emile Durkheim, karenaia banyak berbicara tentang solidaritas sosial
dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas dan agama.
Berdasarkan konsep solidaritas sosial sebagai wujud
konsensus masyarakat, maka hubungan individu dibangun sesuai dasar-dasar moral,
agama, kepercayaan, trasisi atauadat istiadat yang sudah diakui serta dianut
oleh masyarakat. Secara antropologis, Durkheim melihat perlunya alat perekat
solidaritas atas dasar konsensus masyarakat yana bisa mewujudkan integrasi,
dalam hal ini adalah paham-paham kolektif, yang bersumber dari paham-paham
individual. Melalui proses internalisasi, sosialisasi, institusionalisasi dan
sangsi-sangsi sosial, paham individual berkembang serta diakui menjadi paham
kolektif yang pada akhirnya bisa menjadi kekuatan memaksa.
3. Teori Fungsionalisme
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim
sebagai keseluruhan oeganisme yang memiliki relitas sendiri. Keseluruhan
tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi tertentu yang harus
dipenuhi oleh baagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal,
tetap langgeng.
4. Teori Konflik
Dalam teori konfliknya, Ralf Dahrendorf menjelaskan
beberapa pengertian konsepsional, bahwa :
1) Setiap masyarakat di segala bidangnya
mengalami proses perubahan sosial.
2) Setiap masyarakat memperlihatkan
pertentangan dan konflik.
3) Setiap unsur dalam masyarakat memberikan
kontribusi bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan.
4) Setiap berdiri atas dasar paksaan oleh
segelintir anggota yang berkuasa terhadap anggota lain yang tidak berkuasa.
Salah satu sebab yang membuat terjadinya konflik itu
menurut Ibnu Khaldun adalah karena ambisi pribadi, berdasarkan hawa nafsu,
fanatisme golongan dan fanatisme ideologi.
5. Teori Tindakan
Teori tindakan sosial banyak diungkapkan oleh
Talcott Parson, dalam analisisnya menggunakan kerangka atas tujuan (means and
framework). Inti pemikirannya ialah bahwa tindakan sosial itu: (1)
diarahkan pada tujua, (2) terjadi dalam suatu situasi; (3) secara normatif
diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi komponen dari tindakan
sosial adalah tujuan, sifat, kondisi dan norma.
Secara aksiologi, pengembangan ilmu dakwah dan
pendidikan sebagai komponen ilmu agam yang tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu
sosial, haruslah mendukung aspek kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia tau
masyarakat yang menerima dakwah dan pendidikan adalah obyek
sekaligus subyek dari ilmu itu sendiri. Dalam konteks inilah para juru dakwah
dan guru atau pendidik khususnya serta para ilmuwan sosial pada umunya turut
bertanggung jawab secara moral untuk memahami dan menegakkan model dakwah dan
pendidikan menurut cara pandang sosiologi-antropologi bagi kepentingan
masyarakat banyak.
Masyarakat dalam perspektif Islam dibangun atas
dasar konsep Ukhuwah Islamiyah. Hal tersebut akan terwujud apabila dibina
dengan mengedepankan lima prinsip yaitu menghargai perbedaan, menghornmati hak
asasi, menghindari prasangka buruk, meninggalkan perilaku sombongdan memelihara
kebersamaan.
Bab II Sosiologi Durkheim, menjadi penting dibahas
secara khusus oleh penulis karena dengan teori konsensusnya ia banyak berbicara
tentang solidaritas sosial dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas
dan agama.
Durkheim melalui pendekatan ilmiah dengan tori
kemasyarakatannya membahas dasar-dasar sosiologi agama pada kelompok
masyarakat. Agama dipandang sebagai aspek budaya yang penting dalam obyek
kajiannya, karena di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya seperti
tabiat dan tingkah laku manusia berkenaan dengan system nilai, moral dan etika.
Agama menurut Durkheim adalah kumpulan nilai-nilai sosial yang diakui
masyarakat, berkenaan dengan benda-benda persembahan dalam upacara keagamaan. Hakikat
agama adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan sosial. Gambaran-gambaran
agama adalah gambaran kolektif yang menyatakan kenyataan kolektif, tidak
ada agama yang dianut secara individu, seorang diri.
Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut
agama tiu seharusnya berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara
keseluruhan dari fakta agama; mereka juga harus bersikap sosial dan
menghasilkan fikiran kolektif. Sekurang-kurangnya bagi kondisi pengetahuan
secara actual dari masalah agama yang sangat sensitive. Penganut agama
seharusnya berhati-hati untuk menghindari segla kenyataan yang radikal dan
eksklusif, sehingga tidak mengganggu elemen-elemen sosial yang hidup dalam
masyarakat beragama.
Bab III Studi Agama sebagai Sistem Budaya. Dalam bab
ini penulis menjelaskan makna agama, metode dan pendekatan, agama sebagai
sistem ideologi, agama sebagai seistem budaya, agama sebagai way of life dan
konflik dalam agama.
Agama adalah system keyakinan atau kepercayaan
manusia terhadapp sesuatu yang dianggap Tuhan. Menurut Louis Ma’luf dalam
A-Munawar (231) pengertian agama dala Islam secara spesifik berasal dari kata
“Ad-Dien” yang mempuyai banyak arti, antara lain : cara atau adar kebiasaan,
peraturan, undang-undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan,
perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama”. Agama adalah kepercayaan yang
mengatur hubungan manusia dengan Zat Maha Pencipta, manusia dengan manusia dan
manusia dengan lingkungan alam sekitarnya beserta penghuninya.
Agama sebagai system budaya dapat dipelajari dengan
metode fenomenologis, yakni dengan cara melihat, mengamati dn memperhtikan
gejala-gejala keagamaan yang bias diobservasi secara cermat. Sistem budaya yang
mengandung gagasan-gagasan kepercayaan, pengathuan, norma dan nilai yang
bersifat abstrak, hanya bias dibuktikan dengan melihat gejala-gejala pada
tingkat system sosial.
Gejala-gejala agama sebagai system budaya yang
dipelajari secara fenomenologis, dapat didekati melalui berbagi model
pendekatan, antara lain pendekatan sosiologi-antropologi yang pernah dilakukan
pertama kali oleh Tyler dn Frazer yang cenderung melihat magic dan agama sebagi
focus penyelidikan dan teori serta pendekatan fungsional, structural dan
simnbolik yang ditemukan dan dikembangkan oleh Durkheim, Redcliff Brown, dn
Levy Bruhl untuk mempelajari phenomena agama.
Agama sebagai system ideologi yang bersumber dari
kepercayaan dan pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama.
Ideologixal syatem sebagai system gagasan, hakikatnya bersifat kognitif,
menuntut adanya realisasi dalam kehidupan manusia yang lebih nyata, baik secara
individu, keluarga maupun masyarakat bangsa dan Negara.
Memahami agama sebagai system ideologi mengandung
makna bahwa agama harus merupakan pedoman di seluruh lapangan kehidupan,
material dan spiritual. Dengan demikan, jika kita memandang Islam sebagi system
ideologi, maka menuntut konsekuensi logis masyarkat harus memiliki aqidah
islamiyah. Begitu juga semboyan hidupnya, faham dan fikirannya harus Islami,
perasaan, akhlak, pendidikn, tradisi, tata susila, undang-undang dan
peraturan-peraturannya, seluruhnya harus Islami, berdasarkan system ideologi
Islam.
Agama sebagai system budaya, merupakan konsep
antropologi yang dikemukakan oleh Cliford Geertz. Dalam pandangan antropologi.
Pengamalan agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup
yang bervariasi, sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma
dan nilai-nilai yang dianutnya. Secara sibernatika, orang baru bisa melihat
agama dengan memperhatikan fenomena system sosial. Berupa organisasi,
institusi, pranata atau lembaga keagamaan. Kemudian berdasarkan institusi,
kelompok, golongan, partai, madzhab, umat beragama memperlihatkan kepribadian
sesuai agamana yang dianutnya.
Agama adlah way of life yang bias menghubungakan
antara manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Khaliq, dalam rangka
interaksi dirinya terhadap Zat Yang Mah Ghaib, dipercaya memberikan
perlindungan dan keselamatan bagi hidupnya. Jalan hidup, itulah barangakali
yang menberikan makna agama sebagai syariat bagi manusia yang ingin menjalin hubungan
dengan Tuhan.
Sempitnya wawasan pengetahuan tentang hakikat makna
agama, kuranganya kesadaran akan makna perbedaan sebagai hukum alam
(Sunnatullah), dapat menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Konflik adalah
suatu pertentangan yang timbul dalam masyarakat, karena adanya perbedaan latar
belakang sosial budaya, pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai yang
dianutnya. Secara teoritik, konflik selalu berangkat dari adanya perbedaan yang
menimbulkan ketegangan dan pertentangan, tetapi pada akhirnya akan membawa
perubahan. Seperti yang dijelaskan oleh Horton bahwa perspektif konflik
memusatkan perhatian pada perbedaan, kettegangan dan perubahan yang dipaksakan
dan dipertahankan oleh masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan.
Sejarah Sosiologi Pendidikan yang diuraikan pada bab
IV, berawal dari kuliah Sosisologi Pendidikan pertama kali disajikan pada tahun
1915, dipepopori oleh tiga dosen Sosiologi Universitas Chicago yakni:
Emory S. Begardus, Ellsworth Faris dan Robert Park. Dipublikasikan melalui Jurnal
of Esucational Sociology pada tahun 1926. Penyuntingnya antara lain: Harvey
Zorbaugh dengan tulisannya berjudul The Gold and The Slum dan Frederick
Trasher yang menulis The Gang. Proses perkembangannya dinmulai
dengan diskusi yang mempermasalahkan apakah sosiologi pendidikan dapat
dikatagorikan sebagai suatu ilmu? Jawabannya agar ilmu ini diterima secara
ilmiah harus menggunakan metode experimental yang bersifat kuantitatif, sesuai
d4engan perkembangan masa kejayaan aliran empirisme pada saat itu. Setelah Ellsworth
Faris mengungkapkan dalam suatu pertemua akan pentingnya Bidang Sosiologi
Pendidikan untuk mempelajari berbagai masalah dan realitas sosial kemudian
ditindak lanjuti oleh Willard Waller (1932) melalui obsevasi partisipasi dalam
penelitian kualitatif berjudul “Sociology of Teaching”
Dalam bab Realitas Pendidikan Berdasarkan Fakta
Sosial, penulis mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia yang bersumber kepada masalah ekonomi sebagai faktor utama dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat
Insonesia dalam segi ekonomi sebagian besar masih berada dalam garis
kemiskinanan, Sebagai jalan keluarnya pemerintah meningkatkan anggaran
pendidikan menjadi 20 % yang digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana
pendidikan, Program BOS dan beasiswa bafi siswa yang tidak mampu dan
peningkatan SDM pendidikan dan tenaga kependidikan yang diharapkan mampu
mengatasi masalah ketidak berdayaan masyarakat dan rendahnya kualitas pendidikan.
Di sisi lain adanya kekeliruan dalam mengelola dana
umat (BAZIS) yang kurang memperhatikan penyantunan terhadap anak yatim karena
salah dalam memaknai posisi anak yatim dalam syariat Islam. Kita pada umumnya
tidak memasukan anak yatim ke dalam 8 asnaf yang berhak menerima zakat, hal ini
berdasarkan pemahaman hadits hanya secara tekstual saja, padahal anak yatim
seharusnya lebih diprioritaskan karena anak yatim itu fakir dan miskin,
fisabilillah karena berjuang dalam memperoleh pendidikan, muallaf karena lemah
mentalnya, Ibnu sabil karena menjadi anak terlantar ketika ditinggal ayahnya
atau tidak memiliki bekal untuk baiya pendidikan, berhutang ketika ibunya tidak
mampu mencari nafkah untuk m keperluan hidup anak-anaknya.
Dekadensi moral anak-anak usia sekolah karena
pengaruh globalisasi, berupa penyalahgunaaan narkoba, free sex dan perilaku
kekerasan dan tawuran merupaka masalah sosial pendidikan yang memerlukan
penaganan yang serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Paradigma Dakwah terdpat dalam bab VI, menejelaskan
makna dan masalah dakwah.
Ilmu Dakwah sebagai komponen ilmu agama adalah
bagian dari ilmu-ilmu sosial. Kata “Dakwah” berasal dari bahasa Arab yang
berarti: ajakan, seruan, panggilan dan undangan. Hakikat dakwah Islam adalah
ajakan untuk menuju jalan Allah demi kebaikan dan kebenaran sesuai ajaran
Al-Qur’an. Kegiatan dakwah akan diterima oleh masyarakat jika dilakukan dengan
mengikuti tuntunan Al-Qur’an yaitu bil hikmah dan mauidhotil hasanah,
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Secara sosiologi antropologis, seorang juru dakwah
harus dapat membaca dan memahami situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi.
Juru dakwah harus dapat menghargai pluralisme budaya yang merupakan realitas
kehidupan masyarakat. Bahwa hakikatnya masyarakat itu mempunyai tradisi yang
bervariasi, berbeda latar belakang kepercayaan dan keyakinan, berbeda
pendidikan dan pengetahuannya, berbeda pula norma dan nilai-nilai yang
dianutnya.
Problematika dan tantangan dakwah semakin komplek sejalan
dengan perkembangan masyarakat menuju era global yang langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi pola pikir, adat istiadat dan budaya masyarakat Islam
sehingga jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya. Hal tersebut
memerlukan pengkajian dan penelitian ulang untuk menemukan model-model
pendekatan yang lebih manusiawi, yakni pendekatan sosial budaya dalam rangka
pengembangan dakwah.
Profil Masyarakat Islam dikelompokkan oleh penulis
ke dalam tiga golongan yaitu; Pemeluk Islam Tradisional, Pemeluk Islam Modern
dan Pemeluk Islam Pragmatis. Hal ini lebih mengena dibanding trikotomi geertz
yaitu abagan, santri dan priyayi.
Dzikir merupakan solusi yang tepat dalam menghadapi
tantangan modernisasi yang menawarkan kemewahan dan kesenangan duniawi. Tuntutan
untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin tinggi dan semakin sulit
mengakibatkan dampak negative terhadap kejiwaan sesorang seperti kekecewaan,
kekacauan pikiran, kegelisahan, ketidak tenangan, kecemasan dan lain-lain.
Sebab itulah Allah selalu mengingatkan agar manusia tidak melakukan tindakan
berlebihan dan melampaui batas kemampuan diri ketika menuruti keinginan, yang
berakibat timbyulny kekecewaan, kecemasan dan kekihawatiran yang bias
menimbulkan prustasi. Berdasarkan tuntunan Al-Quran sebagai berikut :
تسرفوا ان الله
لا يحب المسرفين وكلوا واشربوا ولا
الا بذكر الله
تطمئن القلوب
Makna Din perspektif sosio antropologis digambarkan
oleh Emile Durkheim bahwa agama merupakan sumber aspirasi manusia yang paling
dalam, sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, jelasnya agama menunjukkan
seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentik sosial yang mempunyai arti
penting.
Islam dan kemajemukan di Indonesia perspektif
sosio-antropologis dapat di pahami bahwa masyarakat Indonesia telah lama hidup
berdampingan saling menghormati dan menghagai perbedaan agama dengan
diterimanya Islam. Kristen, Katholik, Hindu Budha atau Kong hu Cu sebagai agama
Negara. Begitu pula ragam budaya masing-masing daerah sesuai adar istiadat yang
berlaku.
Agama Islam sangat menghargai kemajemukan, keragaman
dan perbedaan, termasuk beda faham dan penafsiran, karena Islam merupakan
agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah itu adalah
kemajemukan yang hakikatnya berseumber dari ajaran Islam. Hal tersebut dapat
dilihat pada globalitas ayat-ayat Al-Qur’an, universalitas ajaran Islam,
demokratisasi ajaran Islam dan system budaya Islam.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
dengan mempelajari sosiologi kita dapat memahami hakikat masyarakat
dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi maupun interaksi
sosialnya.
Sedangakan dengan Antropologi kita mampu memahami perilaku manusia (antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora).
Sedangakan dengan Antropologi kita mampu memahami perilaku manusia (antthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora).
Hakikat agama adalah sesuatu yang terkait dengan
kehidupan sosial. Gambaran-gambaran agama adalah gambaran kolektif yang
menyatakan kenyataan kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu,
seorang diri. Oleh karena itu, maka anggota masyarakat penganut agama itu seharusnya
berpartisipasi dalam tradisi peribadatan secara keseluruhan dari fakta agama.
Memahami Islam sebagi agama dengan perspektif
sosiolo-antropologi dapat membantu kita untuk mengembangkan konsep dakwah dalam
rangka memenuhi seruan Allah dalam Al-Qur’an agar menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar.
Namun suatu yang ironis terjadi di institusi Islam
yang kita cintai yang mencetak sarjana-sarjana muslim, seolah menjadi sia-sia,
semakin tinggi dan dalam wawasan keislaman tidak menumbuhkan rasa kebersamaan
yang menjadi hakikat peibadatan suatu agama, gambaran agama adalah gambaran kolektif yang menyatakan kenyataan
kolektif, tidak ada agama yang dianut secara individu, seorang diri.
Agama atau keyakinan sudah menjadi ranah pribadi sehingga tidak merasa perlu
berjamaah dalam peribadatan , seperti Shalat misalnya, saya selama kuliah di
pasca sarjana belum melihat petinggi institusi mendirikan shalat berjamaah di
masjid kampus. Sungguh sangat memilukan ketika Para Sarjana Tertinggi sudah
tidak peduli dengan Syi’ar Islam dan sudah tidak mampu menjadikan dirinya
uswatun hasanah bagi murid-muridnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar