Anda adalah saudaraku. Betapa keadaan anda dan apapun kebangsaan anda.
Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun
anda tdk kenal aku dan tdk tahu siapa bundaku. Walaupun aku tdk pernah tinggal
serumah dgn anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda dibawah satu
atap langit. (Persaudaraan
Islam : KH Abdullah bin Nuh)
Saat membaca
buku API SEJARAH, di awal “sekapur sirih”
perhatian saya tertuju pada sosok yang mengingatkan saya pada dua hal, pertama
pada buku “Minhajul ‘Abidin” (Menuju Mukmin Sejati) buku yang saya baca
sejak masih SMA dan kedua “khobar” dari seseorang yang menyampaikan
bahwa guru dari Prof. Mansur SN adalah KH. Abdullah bin Nuh. Buku Minhajul
‘Abidin adalah terjemahan KH. Abdullah bin Nuh yang merupakan karya monumental
Imam Al-Ghazali.
Kiranya
“khobar” tentang guru Prof. Mansur SN adalah KH. Abdullah Bin Nuh terjawab oleh
terbitnya buku API SEJARAH (Wallahu ‘alam). Di bagian “sekapur sirih”
dituliskan : API SEJARAH, Buku Yang Akan Mengubah Pandangan Anda Tentang
Sejarah Indonesia. Hakikat judul buku ini, terinspirasi dari jiwa dan isi
serta makna judul aslinya, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman
Keemasan Kesultanan Banten, tulisan R.K.H. Abdullah Bin Nuh. (hal x).
Selanjutnya di halaman xv dituliskan : “Karya sejarah dari tulisan R.K.H.
Abdullah bin Nuh, perlu dihadirkan kembali kepada para pembacanya. Tidak dengan
dituliskan kembali secara utuh sama dengan yang lama, sebatas Kesoeltanan
Banten. Melainkan penulis hadirkan dengan melengkapi faktanya. disertai dengan
penafsiran baru serta diperluas batasan waktunya. Dengan nawaitu penulis yang
demikian itu, hadirlah buku ini menjadi API SEJARAH Buku Yang Akan Mengubah
Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia”.
Siapa KH. Abdullah bin Nuh ?
Raden Kiai
Haji Abdullah bin Nuh, pembina
Majlis Al Ghozali, Bogor, tidak hanya sosok ulama yang menguasai kitab kuning
semata. Melainkan juga sebagai pelaku sejarah sekaligus juga sebagai sejarawan
yang mampu menuliskan Sejarah sebagai Ilmu – History as Written.
Analisisnya bertolak dari fakta dan data yang diangkat dari referensi buku-buku
yang didalamnya membahas Sejarah sebagai peristiwa – History as Actually
Happened. Terlalu langka untuk kita jumpai perpaduan dua kemampuan yang
dimiliki oleh seorang Ulama dan pembina pesantren, sekaligus sebagai sejarawan
yang mampu memberikan koreksi terhadap kesalahan penulisan Sejarah Islam
Indonesia dalam penulisan Sejarah Indonesia.(hal i)
Adalah wajar
jika seorang Ulama mampu menuliskan Islam sebagai ajaran. Seperti masalah Fiqih
atau Tauhid. Namun, untuk menuliskan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman
Keemasan Banten, dan memberikan koreksi kesalahan penafsiran atau
interpretasi penulisan Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Indonesia yang
telah dituliskan oleh para penulis terdahulu, sangat langka. Ternyata R.K.H.
Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan dan perhatiannya terhadap penulisan ulang –
reinterpretation and rewrite, Sejarah Islam Indonesia sama seperti Haji
Agus Salim, Prof.Dr. Buya Hamka, Osman Raliby, dan Prof.Dr. Abubakar Atjeh.
(hal i)
Kiprah Jejak R.K.H. Abdullah bin Nuh
Lahir di
Cianjur, tepatnya di Kampung Bojong Meron pada tahun 1324 H. atau lengkapnya
tanggal 30 Juni 1905 M. Ayahnya Rd Mohamad Nuh bin Idris lahir tahun 1879.
Dikenal sebagai pendiri Madrasah Al I’anah Cianjur dan murid utama KH Muhtar
seorang guru besar di Masjidil Harom Makkah. Rd Mohamad Nuh bin Idris Wafat
tahun 1966. Sedangkan Ibunya bernama Raden Aisyah binti Rd. Muhammad
Sumintapura adalah seorang Wedana di Tasikmalaya di Zaman colonial Belanda.
Melihat
kepada nasabnya, KH Abdullah bin Nuh itu putra dari KH Rd Nuh bin Rd H Idris
bin Rd H Arifin bin Rd H Sholeh bin Rd H Musyidin Nata Praja bin Rd Aria
Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin) bin Rd Aria Wiratanudatar IV(Dalem
Sabiruddin) bin Rd Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala) bin Rd Aria
Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala) bin Rd Aria Wiratanudatar I (Dalem
Cikundul).
Di usia
balitanya, KH Abdullah bin Nuh dibawa keluarganya bermukim di Makkah. Disana
beliau tinggal selama 2 tahun bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek ayahnya
yang kaya raya di Cianjur dan ingin meninggal di Makkah. Mungkin, karena
pengalaman di Makkah itulah hingga dihati beliau tumbuh berkembang bakatnya
untuk menjadi penyair dan sastrawan Arab. Pasalnya seringkali beliau bercerita
pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang
menjajakan barang dagangan sambil berseru “El Batato Ya Nas” . rupanya
pengalaman itu cukup mendalam di relung hati beliau, sehingga pada saat-saat
tertentu beliau suka bernyanyi nyanyi kecil “El Batato Ya Nas…El Batato Ya
Nas.” Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di
Jogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru “Gudege nggih den…. Gudege
nggih den”.
Pulang di
Makkah, Pendidikan formalnya diawali dari Madrasah Al I’anah Almubarokah yang
didirikan Ayahnya pada tahun 1912. Salah satu Mandrasah yang boleh dibilang
sebagai kawah candra dimuka bagi kelahiran para pahlawan dan sastrawan muslim
yang kebesaran namanya tidak hengkang digerus zaman.
Sejak kecil,
kecerdasan dan ketajaman hati, KH Abdullah bin Nuh memang sudah terang
keunggulan ilmunya. Di usianya yang baru 8 tahun sudah mengusai bahasa Arab.
Juara Al Fiah, sanggup menghafal Al Fiah Ibnu Malik dari awal sampai akhir
bahkan, dibalik dari akhir keawal. Selain belajar di Al I’anah, beliau pun
tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. hal itu pernah
ungkapkannya kepada salah seorang muridnya. Kata Beliau : “Mama Mah Tiasa Maca
Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama”.
Pada tahun
1918, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihannya yang terdiri dari Rd.
Abullah (KH Abdullah bin Nuh) Rd. M Zen, Rd. Taefur Yusuf, Rd. Asy’ari, Rd.
Akung dan Rd. M Soleh Qurowi. Ke 6 orang murid yang bergelar dakhiliyyah itu
diberangkatkan ke Pekalongan, mereka bermukim di internat (Pondok pesantren)
Syamailul Huda. yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin
Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Hadrol Maut yang tinggal di Jl.
Dahrian (sekarang Jl. Semarang) Pekalongan. Di Syamailul Huda, Rd Abdullah bin
Nuh kecil mondok bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu
bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah. Ambon, Menado,
Surabaya, Malaysia bahkan ada juga yang dari Singapore.
Tahun 1922,
Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. KH Abdullah bin Nuh ikut diboyong,
karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik yang menjadi kesayangannya.
Di Surabaya Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”. Selain
digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang diperlukan, di
“Hadromaut School” itupun KH Abdullah bin Nuh diperbantukan untuk mengajar.
Memasuki
tahun 1925, KH Abdullah bin Nuh bersama 15 orang murid pilihan lainnya dibawa
oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Mesir dalam upaya memperdalam ilmu agama
diperguruan tinggi Mesir yang waktu itu hanya ada dua, yakni Jamiatul Azhar
(syari’ah) dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab). Peristiwa itu bertepatan
dengan didudukinya Kota Mekkah Almukaromah oleh Wahabiyyin yang berbuntut
dengan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah.
Selama di
Mesir, mula-mula tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul
Bi’tsah Bi Midanil Abbasyiah dan diperbantukan menjadi khodam-khodam/tukang
masaknya orang orang Yaman, sedangkan di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh tidak
belajar bahasa Arab lagi, karena memang sebelum berangkat kesana Beliau sudah
benar-benar pandai dan ahli, bahkan sudah mengusai pula berbagai bahasa
lainnya, disana Beliau hanya mempelajari dan memperdalam ilmu fiqih.
Siang malam
KH. Abdullah bin Nuh nyaris tidak ada hentinya untuk belajar, usai belajar dari
Jami’atul Azhar, pulang kerumah hanya berganti pakaian, kemudian keluar lagi
dengan memakai pantolan, berdasi dan memakai torbus untuk mengikuti
pengajian-pengajian diluar Al Azhar. Mahasiswa Al Azhar mempunyai ciri khas
yakni berjubah dan mengenakan sorban yang dililitkan kepala (udeng).
KH Abdullah
bin Nuh belajar di Mesir hanya 2 tahun, itupun dikarenakan putra gurunya yang
beliau temani tidak merasa betah, sedangkan Guru besar Sayyid Muhammad bin
Hasyim pulang ke Hardomaut, akhirnya KH Abdullah bin Nuh memutuskan untuk
pulang ke Indonesia.
Perjuangan KH. Abdullah Bin Nuh
Sekembalinya
dari Mesir Tahun 1927. KH Abdullah bin Nuh memulai karirnya sebagai Kyai dengan
mengajarkan agama Islam. Diawali dari Cianjur dan Bogor, Pernah tinggal di
Ciwaringin kaum dan di Gang Kepatihan
Selama di
Bogor beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh mama Ajengan
Rd Haji Mansyur dan juga mengajar para Mu’alim yang berada disekitar Bogor.
Satu tahun tinggal di Bogor, pindah ke Semarang, disana hanya dua bulan
kemudian kembali lagi ke Bogor, untuk melanjutkan perjalanannya ke
Cianjur.Disana menjadi guru bantu di Madrasah Al I’anah.
Tahun 1930,
untuk yang kedua kalinya KH Abdullah bin Nuh kembali ke Bogor dan tinggal di
Panaragan, pekerjaan beliau adalah mengajar para Kyai dan menjadi korektor
Percetakan IHTIAR (inventaris S.I). selama 4
tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan Rd. H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan Rd. H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru/Direktur.
tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan Rd. H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan Rd. H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru/Direktur.
Sejarah
mencatat, bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943. tahun yang juga mencatat
kelahiran HIZBULLAH, dimana para alim Ulama pada saat itu banyak yang bergabung
menjadi anggota organisasi tersebut. Karena pada tahun yang sama pula, disana-sini
para alim ulama ditangkap oleh Dai Nippon, diantara Hadlorotnya Syekh Hasyim
Asya’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, beliau dipenjarakan di Bubutan,
Surabaya. Perlakuan serupa dialami pula oleh KH Zainal Mustofa, pimpinan Pondok
Pesantren Sukamanah, Tasik Malaya, Bahkan nasib KH Zainal Mustofa lebih
menyakitkan lagi, konon Beliau gugur disiksa Dai Nippon.
Terpicu oleh
peristiwa menggetarkan dan membuat marah kalangan Alim Ulama itu. Menjelang
akhir tahun 1943. KH Abdullah bin Nuh terjun dikalangan militer, bergabung
dengan Pembela Tanah Air PETA dengan pangkat DAIDANCO. Banyak hal-hal
mengerikan yang saat itu dapat disaksikan. Bangsa Indonesia terus dibenturkan
pada cobaan demi cobaan.
Pemberontakan
arek Suroboyo yang terjadi pada tanggal 19 september menjadi awal langkah yang
menyulut semangat kepahlawan diseluruh tanah air. Sejalan dengan itu perjuangan
KH Abdullah bin Nuh selaku pemimpin Hizbullah dan BKR/TKR dikota Cianjur terus
berlanjut hingga memasuki pertengahaan tahun 1945.
Pada tanggal
21 Ramdhan 1363 H atau 29 Agustus 1945M. di jakarta di bentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang juga merupakan dilangsungkan sidang pertamanya.
Ketua KNIP ditetapkan Mr Kasman Singodimodjo. Seorang bekas Daidanco PETA
Jakarta. Sedangkan KH Abdullah bin Nuh adalah salah satu anggota diantaranya.
Tanggal 4
Juni 1946 bertepatan dengan dialihkannya Pemerintahan RI ke Jogyakarta. KH
Abdullah bin Nuh hijrah ke Yogyakarta. Di Yogya tidak berjuang dikalangan
militer lagi, tetapi berjuang dikancah pendidikan. Ditengah pergolakan politik
dan masa-masa revolusi yang menegangkan, Beliau tampil sebagai Ulama dan
pejuang yang lihai membagi waktu, sempat mendirikan RRI Jogyakarta siaran
bahasa arab dan mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/UII) bersama dengan KH.
Abdul Kohar Muzakkir.
Kendati
demikian sedikitpun tidak mengabaikan tugas ke Kyai-annya, Beliau membuka
beberapa pengajian disana. Salah seorang anak didiknya Ibu Mursyidah dan
Al-Ustadz Basyori Alwi telah berhasil membuka pesantren yang megah di Jl. Singosari
No 90 dekat kota malang, selain itu masih banyak lagi Asatidz tempaannya.
Desember
1948 Jogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur teratur dan
melakukan perang gerilya bersama para seluruh petinggi dan masyarakat yang berlangsung
selama 6 bulan, terhitung dari bulan desember 1948 sampai dengan juni 1949.
Pada bulan Juni itulah tepatnya tanggal 5 juni 1949. KH. Abdullah bin Nuh
menikah dengan Ibu Mursyidah salah seorang putri didiknya yang telah disebukan
tadi.
Hingga pertengahan
tahun 1945 pasca diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno dan
Bung Hatta. KH Abdullah bin Nuh tetap melanjutkan perjuangannya dengan memimpin
barisan Hizbullah dan Badan Keamanan Rakyat BKR di kota Cianjur, bersama-sama
dengan barisan-barisan lainnya. Ibarat nyala obor yang tak padam ditiup
pergeseran zaman.
Semangat KH
Abdullah bin Nuh dalam upaya menghidupkan pendidikan agama islam di era
revolusi, terus berlanjut, Setelah melalui masa-masa sulit dari sebab pasang
surutnya gelombang perjuangan, pada tahun 1950, pindah ke Jakarta. Di Jakarta
mengadakan Lembaga Penyelidikan Islam yang berkantor dijalan Blora dengan
beberapa sahabatnya, para Kyai-Kyai dan Habaib di Jakarta, selain itu pun
beliau ikut mengajar di Masjid mataram dan kebayoran baru. Selama lebih kurang
20 tahun, KH Abdullah bin Nuh memilih Ibukota Jakarta sebagai tempat
pengabdianya.
Tanpa pamrih
beliau banyak mengajar ngaji para asatidz (Mu’alimin), memimpin majlis-majlis
ta’lim, menjabat selaku kepala seksi bahasa Arab pada studio RRI Pusat dan
aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Boar). Serta pernah pula menjadi
dosen UI bagian sastra Arab, menjadi pemimpin Majalah Pembina dan ketua lembaga
penyelidikan Islam. Kifrahnya tidak terbatas hanya diwilayah Jakarta saja,
karena pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Bogor, Beliau telah aktif memimpin
beberapa pengajian yang ada di kota Bogor, diantaranya. Majlis Ta’lim Sukaraja,
Majlis Ta’lim Babakan Sirna, Majlis Ta’lim gang Ardio dan Majlis Ta’lim Kebon
Kopi.
Baru kemudian
pada tanggal 20 Mei 1970, KH Abdullah bin Nuh hijrah bersama Istrinya ke Bogor.
Di Bogor beliau mendirikan majlis-majlis Ta’lim. Majlis Ta’lim yang didirikan
dan menjadi asuhannya adalah. Al-Ghazaly (Kota Paris), Al-Ihya (Batu Tapak), Al
Husna (Layungsari), Nurul Imdad (Babakan Fakultas), dan terakhir Nahjussalam
(Sukaraja). Kesemua majlis itu merupakan tempat pengabdiannya setelah usianya
lanjut, tiada hari bagi beliau tanpa kuliah shubuh. Hari Senin sampai dengan
Kamis di Majlis Ta’lim Al Ihya, hari Jum’at sampai Ahad di Al Ghazaly sedangkan
Ahad siang ba’da dzuhur di Nahjussalam Sukaraja.
Kuasai
Bahasa Arab
Keahlian utama yang dianugrahkan Allah SWT pada KH Abullah bin Nuh adalah mengusai bahasa Arab, baik yang berbentuk prosa, puisi maupun dalam berbicara, mengajar, menulis dan berceramah. Bahasa Arab yang keluar dari lisan beliau amat fasih dan menarik, bukan saja bagi para Kyai dan sahabat-sahabatnya di Indonesia yang mengerti dan memahami bahasa Arab, tetapi bangsa Arab pun mengaguminya.
Pegawai-pegawai
kedutaan dari negeri Arab banyak yang senang bergaul dengan beliau, mereka
tertarik oleh bahasa Arab yang dilafadz-kannya, termasuk para duta besar.
Bahkan sesudah pindah ke Bogor pun masih ada beberapa duta besar yang
bersilaturahhmi ke Al Ghazaly hanya untuk beramah tamah dan mendengar tutur
katanya yang menarik hati.
Oleh karena
kefasihannya dalam menggunakan bahasa Arab, pada saat umroh tahun 1979,
Abdullah bin Nuh berkenalan dengan seorang pejabat tinggi Yordan, kemudian
diundangnya untuk berceramah di Amman Yordan. Hingga akhirnya yang mulia Amir
Hasan adik Raja Yordan memberi bea siswa untuk Mustofa salah seorang putranya
dan kawan-kawannya belajar di Yordan University.
Tulisan KH
Abdullah bin Nuh dalam bahasa Arab pun sangat menarik, buku-buku yang dikarang
sepanjang hidupnya sebanyak 26 judul. Tidak sedikit kenalannya di Timur Tengah
yang menyuruh anak-anaknya supaya menghafal salah satu tulisan Abdullah bin Nuh
yang berjudul ” Persaudaraan Islam” Yang ditulisnya pada tahun 1925 ketika mengajar
di Hadramaut School.
Bahasa Arab
yang dikusai KH Abdullah bin Nuh betapa menjadi suatu pesona yang banyak
menarik sahabat karib dan juga para Habaib. Bahkan, semasih tinggal di jalan
Pasabean 66, almarhum Habib Abdullah Alatas (ayah Habib Alatas Menteri Luar
Negeri Era Orde Baru) sering silaturahhmi kerumah Abdullah bin Nuh hingga larut
malam. Dari keahliannya itu pula KH Abdullah bin Nuh memimpin siaran bahasa
Arab di RRI, mengajar di Universitas Indonesia, memimpin majalah berbahasa Arab
APB (Arabian Press Board) mengadakan Academi Bahasa Arab di Menteng Raya
(Cikini) dan mengajar KH Abdullah Syafe’i, KH Abdu Rosyid dan Dr Hj Tuti
Alawiyah.
Disamping
mengusai bahasa Arab dalam bentuk prosa, KH Abdullah bin Nuh pun ahli menggubah
Sya’ir dalam bahasa Arab. Sya’ir-sya’iir karangannya dihimpun dalam suatu buku
atau diwan. Sayangnya, diwan itu kini tidak ketahuan lagi dimana rimbanya, Dulu
Diwan itu pernah dipinjam oleh salah seorang bekas muridnya di STI yang akan
menempuh ujian di Al Azhar (Cairo) untuk melengkapi disertasinya, kembali ke
Indonesia murid beliau tersebut menjadi rektor IAIN. Tetapi diwan itu?.
Wallaahu a’lamu.
Selain
ketanah suci untuk haji dan umroh, KH Abdullah bin Nuh pun pernah beberapa kali
melawat ke luar negeri, seperti ke Australia, Malaysia, Singapore, India, Iran,
Yoradan dan Mesir. Kepergian KH Abduillah bin Nuh ke Makkah yang terakhir ialah
pada tahun 1983. Kondisi kesehatannya sudah sangat menurun, Beliau ingin
beristirahat di Sukaraja. Kebetulan di Gang Ardio Tanah Sewa punya hibah tanah
dari almarhum H Jamhur. Tanah itu dijualnya dan membeli tanah serta membangun
rumah di Sukaraja. Keluarganya pernah juga tinggal disana, tetapi tidak lama
kemudian pindah lagi ke Al-Ghazaly
Sekembalinya
dari Makkah, kondisi dan kesehatannya semakin menurun, apa lagi setelah anak
yang dibanggakannya Dr Aminah meninggal setahun sebelumnya. Beliau kerap
berkata sendirian ” Mien..bukan mama tidak ridho, tetapi mama ingat saja”.
Ternyata itu adalah merupakan isyarat untuk keluarganya, karena tidak berselang
lama Abdullah bin Nuh mangkat menyusul anak tercintanya.
KH Abdullah
bin Nuh wafat menjelang magrib pada hari Senin tanggal 3 Robi’ul awwal 1987 di
rumah Al Ghazaly Jl Cempaka No 6 Kota Paris Bogor. Dimakamkan keesok harinya di
Sukaraja berdampingan dengan anak kebanggaannya Dr Aminah. Almarhum
meninggalkan seorang istri dan sepuluh anak.
Karya-karyanya
Karya tulis
R.K.H. Abdullah bin Nuh yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris
yang disusun bersama Oemar Bakry. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab
antara lain adalah al-Alam al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal
al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Taifiyata fi
al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam), Ana Muslim Sunniyyun
Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allimu
al-‘Arabi (Guru Bahasa Arab), dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang
bertebaran). Adapun karangannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta
dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw., dan Sejarah
Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku
berbahasa Sunda Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam). Adapun karya
terjemahan dari kitab Imam al-Ghazali adalah Minhaj al-Abidin (Jalan
Bagi Ahli Ibadah), Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), dan
al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki
Pengetahuan Ushul)
Namun anda adalah saudaraku… karena anda adalah seorang Muslim. Setelah itu aku tak
peduli apakah anda org Eropa, India, Turki, atau Cina. Bangsa Barat atau Timur.
Atau apa saja yg anda kehendaki. Karena ini merupakan penggolongan2 sederhana
yg tdk berarti bagiku setelah kurenungkan dalam2
Anda saudaraku. Karena kita bersama-sama menyembah Tuhan yg Satu. Mengikuti Rasul yg satu. Menghadap kiblat yg satu. Dan terkadang kita berkumpul disebuah padang yg luas, yaitu padang Arafah. Kita sama2 lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad SAW. Kita sama2 bernaung dibawah langit kemanusiaan yg sempurna. Dan sama2 berpijak pada bumi kepahlawanan yg utama. (Persaudaraan Islam : R.K.H. Abdullah bin Nuh)
Anda saudaraku. Karena kita bersama-sama menyembah Tuhan yg Satu. Mengikuti Rasul yg satu. Menghadap kiblat yg satu. Dan terkadang kita berkumpul disebuah padang yg luas, yaitu padang Arafah. Kita sama2 lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad SAW. Kita sama2 bernaung dibawah langit kemanusiaan yg sempurna. Dan sama2 berpijak pada bumi kepahlawanan yg utama. (Persaudaraan Islam : R.K.H. Abdullah bin Nuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar