Selasa, 05 Februari 2013

R.K.H. Abdullah Bin Nuh








Anda adalah saudaraku. Betapa keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tdk kenal aku dan tdk tahu siapa bundaku. Walaupun aku tdk pernah tinggal serumah dgn anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda dibawah satu atap langit. (Persaudaraan Islam : KH Abdullah bin Nuh)

Saat membaca buku API SEJARAH, di awal “sekapur sirih” perhatian saya tertuju pada sosok yang mengingatkan saya pada dua hal, pertama pada buku “Minhajul ‘Abidin” (Menuju Mukmin Sejati) buku yang saya baca sejak masih SMA dan kedua “khobar” dari seseorang yang menyampaikan bahwa guru dari Prof. Mansur SN adalah KH. Abdullah bin Nuh. Buku Minhajul ‘Abidin adalah terjemahan KH. Abdullah bin Nuh yang merupakan karya monumental Imam Al-Ghazali.
Kiranya “khobar” tentang guru Prof. Mansur SN adalah KH. Abdullah Bin Nuh terjawab oleh terbitnya buku API SEJARAH (Wallahu ‘alam). Di bagian “sekapur sirih” dituliskan : API SEJARAH, Buku Yang Akan Mengubah Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. Hakikat judul buku ini, terinspirasi dari jiwa dan isi serta makna judul aslinya, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Kesultanan Banten, tulisan R.K.H. Abdullah Bin Nuh. (hal x). Selanjutnya di halaman xv dituliskan : “Karya sejarah dari tulisan R.K.H. Abdullah bin Nuh, perlu dihadirkan kembali kepada para pembacanya. Tidak dengan dituliskan kembali secara utuh sama dengan yang lama, sebatas Kesoeltanan Banten. Melainkan penulis hadirkan dengan melengkapi faktanya. disertai dengan penafsiran baru serta diperluas batasan waktunya. Dengan nawaitu penulis yang demikian itu, hadirlah buku ini menjadi API SEJARAH Buku Yang Akan Mengubah Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia”.
Siapa KH. Abdullah bin Nuh ?

Raden Kiai Haji Abdullah bin Nuh, pembina Majlis Al Ghozali, Bogor, tidak hanya sosok ulama yang menguasai kitab kuning semata. Melainkan juga sebagai pelaku sejarah sekaligus juga sebagai sejarawan yang mampu menuliskan Sejarah sebagai Ilmu – History as Written. Analisisnya bertolak dari fakta dan data yang diangkat dari referensi buku-buku yang didalamnya membahas Sejarah sebagai peristiwa – History as Actually Happened. Terlalu langka untuk kita jumpai perpaduan dua kemampuan yang dimiliki oleh seorang Ulama dan pembina pesantren, sekaligus sebagai sejarawan yang mampu memberikan koreksi terhadap kesalahan penulisan Sejarah Islam Indonesia dalam penulisan Sejarah Indonesia.(hal i)
Adalah wajar jika seorang Ulama mampu menuliskan Islam sebagai ajaran. Seperti masalah Fiqih atau Tauhid. Namun, untuk menuliskan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten, dan memberikan koreksi kesalahan penafsiran atau interpretasi penulisan Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Indonesia yang telah dituliskan oleh para penulis terdahulu, sangat langka. Ternyata R.K.H. Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan dan perhatiannya terhadap penulisan ulang – reinterpretation and rewrite, Sejarah Islam Indonesia sama seperti Haji Agus Salim, Prof.Dr. Buya Hamka, Osman Raliby, dan Prof.Dr. Abubakar Atjeh. (hal i)

Kiprah Jejak R.K.H. Abdullah bin Nuh

Lahir di Cianjur, tepatnya di Kampung Bojong Meron pada tahun 1324 H. atau lengkapnya tanggal 30 Juni 1905 M. Ayahnya Rd Mohamad Nuh bin Idris lahir tahun 1879. Dikenal sebagai pendiri Madrasah Al I’anah Cianjur dan murid utama KH Muhtar seorang guru besar di Masjidil Harom Makkah. Rd Mohamad Nuh bin Idris Wafat tahun 1966. Sedangkan Ibunya bernama Raden Aisyah binti Rd. Muhammad Sumintapura adalah seorang Wedana di Tasikmalaya di Zaman colonial Belanda.
Melihat kepada nasabnya, KH Abdullah bin Nuh itu putra dari KH Rd Nuh bin Rd H Idris bin Rd H Arifin bin Rd H Sholeh bin Rd H Musyidin Nata Praja bin Rd Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin) bin Rd Aria Wiratanudatar IV(Dalem Sabiruddin) bin Rd Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala) bin Rd Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala) bin Rd Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul).
Di usia balitanya, KH Abdullah bin Nuh dibawa keluarganya bermukim di Makkah. Disana beliau tinggal selama 2 tahun bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek ayahnya yang kaya raya di Cianjur dan ingin meninggal di Makkah. Mungkin, karena pengalaman di Makkah itulah hingga dihati beliau tumbuh berkembang bakatnya untuk menjadi penyair dan sastrawan Arab. Pasalnya seringkali beliau bercerita pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang menjajakan barang dagangan sambil berseru “El Batato Ya Nas” . rupanya pengalaman itu cukup mendalam di relung hati beliau, sehingga pada saat-saat tertentu beliau suka bernyanyi nyanyi kecil “El Batato Ya Nas…El Batato Ya Nas.” Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di Jogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru “Gudege nggih den…. Gudege nggih den”.
Pulang di Makkah, Pendidikan formalnya diawali dari Madrasah Al I’anah Almubarokah yang didirikan Ayahnya pada tahun 1912. Salah satu Mandrasah yang boleh dibilang sebagai kawah candra dimuka bagi kelahiran para pahlawan dan sastrawan muslim yang kebesaran namanya tidak hengkang digerus zaman.
Sejak kecil, kecerdasan dan ketajaman hati, KH Abdullah bin Nuh memang sudah terang keunggulan ilmunya. Di usianya yang baru 8 tahun sudah mengusai bahasa Arab. Juara Al Fiah, sanggup menghafal Al Fiah Ibnu Malik dari awal sampai akhir bahkan, dibalik dari akhir keawal. Selain belajar di Al I’anah, beliau pun tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. hal itu pernah ungkapkannya kepada salah seorang muridnya. Kata Beliau : “Mama Mah Tiasa Maca Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama”.
Pada tahun 1918, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihannya yang terdiri dari Rd. Abullah (KH Abdullah bin Nuh) Rd. M Zen, Rd. Taefur Yusuf, Rd. Asy’ari, Rd. Akung dan Rd. M Soleh Qurowi. Ke 6 orang murid yang bergelar dakhiliyyah itu diberangkatkan ke Pekalongan, mereka bermukim di internat (Pondok pesantren) Syamailul Huda. yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Hadrol Maut yang tinggal di Jl. Dahrian (sekarang Jl. Semarang) Pekalongan. Di Syamailul Huda, Rd Abdullah bin Nuh kecil mondok bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah. Ambon, Menado, Surabaya, Malaysia bahkan ada juga yang dari Singapore.
Tahun 1922, Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. KH Abdullah bin Nuh ikut diboyong, karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik yang menjadi kesayangannya. Di Surabaya Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”. Selain digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang diperlukan, di “Hadromaut School” itupun KH Abdullah bin Nuh diperbantukan untuk mengajar.
Memasuki tahun 1925, KH Abdullah bin Nuh bersama 15 orang murid pilihan lainnya dibawa oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Mesir dalam upaya memperdalam ilmu agama diperguruan tinggi Mesir yang waktu itu hanya ada dua, yakni Jamiatul Azhar (syari’ah) dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab). Peristiwa itu bertepatan dengan didudukinya Kota Mekkah Almukaromah oleh Wahabiyyin yang berbuntut dengan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah.
Selama di Mesir, mula-mula tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasyiah dan diperbantukan menjadi khodam-khodam/tukang masaknya orang orang Yaman, sedangkan di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh tidak belajar bahasa Arab lagi, karena memang sebelum berangkat kesana Beliau sudah benar-benar pandai dan ahli, bahkan sudah mengusai pula berbagai bahasa lainnya, disana Beliau hanya mempelajari dan memperdalam ilmu fiqih.
Siang malam KH. Abdullah bin Nuh nyaris tidak ada hentinya untuk belajar, usai belajar dari Jami’atul Azhar, pulang kerumah hanya berganti pakaian, kemudian keluar lagi dengan memakai pantolan, berdasi dan memakai torbus untuk mengikuti pengajian-pengajian diluar Al Azhar. Mahasiswa Al Azhar mempunyai ciri khas yakni berjubah dan mengenakan sorban yang dililitkan kepala (udeng).
KH Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya 2 tahun, itupun dikarenakan putra gurunya yang beliau temani tidak merasa betah, sedangkan Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim pulang ke Hardomaut, akhirnya KH Abdullah bin Nuh memutuskan untuk pulang ke Indonesia. 

Perjuangan KH. Abdullah Bin Nuh

Sekembalinya dari Mesir Tahun 1927. KH Abdullah bin Nuh memulai karirnya sebagai Kyai dengan mengajarkan agama Islam. Diawali dari Cianjur dan Bogor, Pernah tinggal di Ciwaringin kaum dan di Gang Kepatihan
Selama di Bogor beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh mama Ajengan Rd Haji Mansyur dan juga mengajar para Mu’alim yang berada disekitar Bogor. Satu tahun tinggal di Bogor, pindah ke Semarang, disana hanya dua bulan kemudian kembali lagi ke Bogor, untuk melanjutkan perjalanannya ke Cianjur.Disana menjadi guru bantu di Madrasah Al I’anah.
Tahun 1930, untuk yang kedua kalinya KH Abdullah bin Nuh kembali ke Bogor dan tinggal di Panaragan, pekerjaan beliau adalah mengajar para Kyai dan menjadi korektor Percetakan IHTIAR (inventaris S.I). selama 4
tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan Rd. H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan Rd. H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru/Direktur.
Sejarah mencatat, bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943. tahun yang juga mencatat kelahiran HIZBULLAH, dimana para alim Ulama pada saat itu banyak yang bergabung menjadi anggota organisasi tersebut. Karena pada tahun yang sama pula, disana-sini para alim ulama ditangkap oleh Dai Nippon, diantara Hadlorotnya Syekh Hasyim Asya’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, beliau dipenjarakan di Bubutan, Surabaya. Perlakuan serupa dialami pula oleh KH Zainal Mustofa, pimpinan Pondok Pesantren Sukamanah, Tasik Malaya, Bahkan nasib KH Zainal Mustofa lebih menyakitkan lagi, konon Beliau gugur disiksa Dai Nippon.
Terpicu oleh peristiwa menggetarkan dan membuat marah kalangan Alim Ulama itu. Menjelang akhir tahun 1943. KH Abdullah bin Nuh terjun dikalangan militer, bergabung dengan Pembela Tanah Air PETA dengan pangkat DAIDANCO. Banyak hal-hal mengerikan yang saat itu dapat disaksikan. Bangsa Indonesia terus dibenturkan pada cobaan demi cobaan.
Pemberontakan arek Suroboyo yang terjadi pada tanggal 19 september menjadi awal langkah yang menyulut semangat kepahlawan diseluruh tanah air. Sejalan dengan itu perjuangan KH Abdullah bin Nuh selaku pemimpin Hizbullah dan BKR/TKR dikota Cianjur terus berlanjut hingga memasuki pertengahaan tahun 1945.
Pada tanggal 21 Ramdhan 1363 H atau 29 Agustus 1945M. di jakarta di bentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang juga merupakan dilangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr Kasman Singodimodjo. Seorang bekas Daidanco PETA Jakarta. Sedangkan KH Abdullah bin Nuh adalah salah satu anggota diantaranya.
Tanggal 4 Juni 1946 bertepatan dengan dialihkannya Pemerintahan RI ke Jogyakarta. KH Abdullah bin Nuh hijrah ke Yogyakarta. Di Yogya tidak berjuang dikalangan militer lagi, tetapi berjuang dikancah pendidikan. Ditengah pergolakan politik dan masa-masa revolusi yang menegangkan, Beliau tampil sebagai Ulama dan pejuang yang lihai membagi waktu, sempat mendirikan RRI Jogyakarta siaran bahasa arab dan mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/UII) bersama dengan KH. Abdul Kohar Muzakkir.
Kendati demikian sedikitpun tidak mengabaikan tugas ke Kyai-annya, Beliau membuka beberapa pengajian disana. Salah seorang anak didiknya Ibu Mursyidah dan Al-Ustadz Basyori Alwi telah berhasil membuka pesantren yang megah di Jl. Singosari No 90 dekat kota malang, selain itu masih banyak lagi Asatidz tempaannya.
Desember 1948 Jogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur teratur dan melakukan perang gerilya bersama para seluruh petinggi dan masyarakat yang berlangsung selama 6 bulan, terhitung dari bulan desember 1948 sampai dengan juni 1949. Pada bulan Juni itulah tepatnya tanggal 5 juni 1949. KH. Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu Mursyidah salah seorang putri didiknya yang telah disebukan tadi.
Hingga pertengahan tahun 1945 pasca diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta. KH Abdullah bin Nuh tetap melanjutkan perjuangannya dengan memimpin barisan Hizbullah dan Badan Keamanan Rakyat BKR di kota Cianjur, bersama-sama dengan barisan-barisan lainnya. Ibarat nyala obor yang tak padam ditiup pergeseran zaman.
Semangat KH Abdullah bin Nuh dalam upaya menghidupkan pendidikan agama islam di era revolusi, terus berlanjut, Setelah melalui masa-masa sulit dari sebab pasang surutnya gelombang perjuangan, pada tahun 1950, pindah ke Jakarta. Di Jakarta mengadakan Lembaga Penyelidikan Islam yang berkantor dijalan Blora dengan beberapa sahabatnya, para Kyai-Kyai dan Habaib di Jakarta, selain itu pun beliau ikut mengajar di Masjid mataram dan kebayoran baru. Selama lebih kurang 20 tahun, KH Abdullah bin Nuh memilih Ibukota Jakarta sebagai tempat pengabdianya.
Tanpa pamrih beliau banyak mengajar ngaji para asatidz (Mu’alimin), memimpin majlis-majlis ta’lim, menjabat selaku kepala seksi bahasa Arab pada studio RRI Pusat dan aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Boar). Serta pernah pula menjadi dosen UI bagian sastra Arab, menjadi pemimpin Majalah Pembina dan ketua lembaga penyelidikan Islam. Kifrahnya tidak terbatas hanya diwilayah Jakarta saja, karena pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Bogor, Beliau telah aktif memimpin beberapa pengajian yang ada di kota Bogor, diantaranya. Majlis Ta’lim Sukaraja, Majlis Ta’lim Babakan Sirna, Majlis Ta’lim gang Ardio dan Majlis Ta’lim Kebon Kopi.
Baru kemudian pada tanggal 20 Mei 1970, KH Abdullah bin Nuh hijrah bersama Istrinya ke Bogor. Di Bogor beliau mendirikan majlis-majlis Ta’lim. Majlis Ta’lim yang didirikan dan menjadi asuhannya adalah. Al-Ghazaly (Kota Paris), Al-Ihya (Batu Tapak), Al Husna (Layungsari), Nurul Imdad (Babakan Fakultas), dan terakhir Nahjussalam (Sukaraja). Kesemua majlis itu merupakan tempat pengabdiannya setelah usianya lanjut, tiada hari bagi beliau tanpa kuliah shubuh. Hari Senin sampai dengan Kamis di Majlis Ta’lim Al Ihya, hari Jum’at sampai Ahad di Al Ghazaly sedangkan Ahad siang ba’da dzuhur di Nahjussalam Sukaraja.

Kuasai Bahasa Arab 
 
Keahlian utama yang dianugrahkan Allah SWT pada KH Abullah bin Nuh adalah mengusai bahasa Arab, baik yang berbentuk prosa, puisi maupun dalam berbicara, mengajar, menulis dan berceramah. Bahasa Arab yang keluar dari lisan beliau amat fasih dan menarik, bukan saja bagi para Kyai dan sahabat-sahabatnya di Indonesia yang mengerti dan memahami bahasa Arab, tetapi bangsa Arab pun mengaguminya.
Pegawai-pegawai kedutaan dari negeri Arab banyak yang senang bergaul dengan beliau, mereka tertarik oleh bahasa Arab yang dilafadz-kannya, termasuk para duta besar. Bahkan sesudah pindah ke Bogor pun masih ada beberapa duta besar yang bersilaturahhmi ke Al Ghazaly hanya untuk beramah tamah dan mendengar tutur katanya yang menarik hati.
Oleh karena kefasihannya dalam menggunakan bahasa Arab, pada saat umroh tahun 1979, Abdullah bin Nuh berkenalan dengan seorang pejabat tinggi Yordan, kemudian diundangnya untuk berceramah di Amman Yordan. Hingga akhirnya yang mulia Amir Hasan adik Raja Yordan memberi bea siswa untuk Mustofa salah seorang putranya dan kawan-kawannya belajar di Yordan University.
Tulisan KH Abdullah bin Nuh dalam bahasa Arab pun sangat menarik, buku-buku yang dikarang sepanjang hidupnya sebanyak 26 judul. Tidak sedikit kenalannya di Timur Tengah yang menyuruh anak-anaknya supaya menghafal salah satu tulisan Abdullah bin Nuh yang berjudul ” Persaudaraan Islam” Yang ditulisnya pada tahun 1925 ketika mengajar di Hadramaut School.
Bahasa Arab yang dikusai KH Abdullah bin Nuh betapa menjadi suatu pesona yang banyak menarik sahabat karib dan juga para Habaib. Bahkan, semasih tinggal di jalan Pasabean 66, almarhum Habib Abdullah Alatas (ayah Habib Alatas Menteri Luar Negeri Era Orde Baru) sering silaturahhmi kerumah Abdullah bin Nuh hingga larut malam. Dari keahliannya itu pula KH Abdullah bin Nuh memimpin siaran bahasa Arab di RRI, mengajar di Universitas Indonesia, memimpin majalah berbahasa Arab APB (Arabian Press Board) mengadakan Academi Bahasa Arab di Menteng Raya (Cikini) dan mengajar KH Abdullah Syafe’i, KH Abdu Rosyid dan Dr Hj Tuti Alawiyah.
Disamping mengusai bahasa Arab dalam bentuk prosa, KH Abdullah bin Nuh pun ahli menggubah Sya’ir dalam bahasa Arab. Sya’ir-sya’iir karangannya dihimpun dalam suatu buku atau diwan. Sayangnya, diwan itu kini tidak ketahuan lagi dimana rimbanya, Dulu Diwan itu pernah dipinjam oleh salah seorang bekas muridnya di STI yang akan menempuh ujian di Al Azhar (Cairo) untuk melengkapi disertasinya, kembali ke Indonesia murid beliau tersebut menjadi rektor IAIN. Tetapi diwan itu?. Wallaahu a’lamu.
Selain ketanah suci untuk haji dan umroh, KH Abdullah bin Nuh pun pernah beberapa kali melawat ke luar negeri, seperti ke Australia, Malaysia, Singapore, India, Iran, Yoradan dan Mesir. Kepergian KH Abduillah bin Nuh ke Makkah yang terakhir ialah pada tahun 1983. Kondisi kesehatannya sudah sangat menurun, Beliau ingin beristirahat di Sukaraja. Kebetulan di Gang Ardio Tanah Sewa punya hibah tanah dari almarhum H Jamhur. Tanah itu dijualnya dan membeli tanah serta membangun rumah di Sukaraja. Keluarganya pernah juga tinggal disana, tetapi tidak lama kemudian pindah lagi ke Al-Ghazaly
Sekembalinya dari Makkah, kondisi dan kesehatannya semakin menurun, apa lagi setelah anak yang dibanggakannya Dr Aminah meninggal setahun sebelumnya. Beliau kerap berkata sendirian ” Mien..bukan mama tidak ridho, tetapi mama ingat saja”. Ternyata itu adalah merupakan isyarat untuk keluarganya, karena tidak berselang lama Abdullah bin Nuh mangkat menyusul anak tercintanya.
KH Abdullah bin Nuh wafat menjelang magrib pada hari Senin tanggal 3 Robi’ul awwal 1987 di rumah Al Ghazaly Jl Cempaka No 6 Kota Paris Bogor. Dimakamkan keesok harinya di Sukaraja berdampingan dengan anak kebanggaannya Dr Aminah. Almarhum meninggalkan seorang istri dan sepuluh anak. 

Karya-karyanya

Karya tulis R.K.H. Abdullah bin Nuh yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab antara lain adalah al-Alam al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam), Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allimu al-‘Arabi (Guru Bahasa Arab), dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran). Adapun karangannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw., dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku berbahasa Sunda Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam). Adapun karya terjemahan dari kitab Imam al-Ghazali adalah Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah), Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), dan al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul) 

Namun anda adalah saudaraku… karena anda adalah seorang Muslim. Setelah itu aku tak peduli apakah anda org Eropa, India, Turki, atau Cina. Bangsa Barat atau Timur. Atau apa saja yg anda kehendaki. Karena ini merupakan penggolongan2 sederhana yg tdk berarti bagiku setelah kurenungkan dalam2
Anda saudaraku. Karena kita bersama-sama menyembah Tuhan yg Satu. Mengikuti Rasul yg satu. Menghadap kiblat yg satu. Dan terkadang kita berkumpul disebuah padang yg luas, yaitu padang Arafah. Kita sama2 lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad SAW. Kita sama2 bernaung dibawah langit kemanusiaan yg sempurna. Dan sama2 berpijak pada bumi kepahlawanan yg utama. (
Persaudaraan Islam : R.K.H. Abdullah bin Nuh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar