Biografi: Abul Hasan al Asy’ari Rahimahullah
Abul Hasan Al-Asyari, sebuah nama
yang akrab di telinga kaum muslimin. Nama yang begitu membahana, sering
disebut-sebut dalam majelis. Memang, banyak kaum muslimin yang
menisbatkan diri kepada beliau terutama dalam masalah akidah. Yaitu
hanya menetapkan sebagian nama dan sifat bagi Allah ‘azza wa jalla.
Kita mungkin sering mendengar lantunan
pujian, “Allah Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lil Hawaditsi, Qiyamuhu
binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat …… Inilah yang
dikenal dengan dua puluh sifat wajib bagi Allah yang harus diyakini
menurut kelompok Asy’ariyah. Sebuah kelompok yang menisbatkan diri
kepada Abul Hasan Al-Asy’ari, dan mengklaim diri sebagai pengikutnya.
Benarkah ajaran tersebut menjadi akidah terakhir yang diyakini oleh Abul
Hasan Al Asy’ari?
Pada hakikatnya, kelompok yang
menisbatkan diri kepada beliau tidaklah mengikuti madzhab akidah beliau
dengan benar. Hal ini dikarenakan beliau berganti madzhab akidah sesuai
dengan fase perjalanan pencarian kebenaran sejati yang beliau lakukan.
Kelompok yang menisbatkan diri pada beliau itu hanyalah mengikuti satu
fase kehidupan beliau yang belum berakhir. Artinya bukan fase terakhir
pada akhir kehidupan beliau rahimahullah. Untuk lebih jelasnya mari kita
simak bagaimana perjalanan hidup beliau dalam mencari kebenaran.
Nama lengkap beliau adalah Ali bin
Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa
bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Adapun Abul Hasan
adalah kuniah (panggilan kehormatan) beliau. Dengan melihat kepada garis
keturunan beliau di atas, bisa diketahui bahwa Abul Hasan adalah salah
seorang keturunan Abu Musa AI-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Seorang
shababat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak meriwayatkan
hadits dan terkenal dengan keindahan suaranya dalam membaca AI-Qur’an.
Abul Hasan dilahirkan di Bashrah, salah
satu kota di Irak pada tahun 260 H (873 M). Sungguh, Allah ta’ala
telah mengaruniakan talenta yang sangat mengagumkan pada diri beliau
sejak usia muda. Beliau dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa
dan ketajaman pemahamannya. Namun demikian, beliau dikenal sebagai
pribadi yang sangat zuhud dan qana’ah. Tatkala masih berpemahaman
Mu’tazilah, beliau acapkali membela paham tersebut dan membantah siapa
saja yang menentangnya. Secara global, beliau menjalani tiga fase
kehidupan sebelum akhirnya berpijak kokoh di atas akidah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah.
FASE PERTAMA
Sebenarnya sejak kecil, Abul Hasan
diasuh oleh ayahnya yang mencintai Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sang ayah selalu mendidik dan mengarahkannya untuk berpegang
teguh dengan AI-Qur’an dan As Sunnah. Oleh sebab itu sebelum wafat, sang
ayah berwasiat agar Abul Hasan diasuh oleh Zakaria bin Yahya. Seorang
ulama ahli hadits di zamannya. Namun sangat disayangkan, sepeninggal
ayahnya sang ibu menikah dengan seseorang yang bernama Abu Ali Muhammad
bin Abdul Wahhab Al Juba’i. Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang
cukup ternama di masanya. Tak pelak lagi, Abul Hasan banyak terpengaruh
oleh pemikiran ayah tirinya tersebut. Karenanya, sang ayah menaruh
harapan yang besar agar kelak ia menjadi penerusnya.
Sejak saat itu, beliau banyak mengenal
dan mempelajari konsep pemikiran Mu’tazilah. Hingga akhirnya beliau
menjadi tokoh besar Mu’tazilah yang sangat diandalkan oleh kelompoknya.
Beliau banyak menghasilkan karya tulis dan aktif membela madzhab ini.
Beliau membantah siapa saja yang menentang madzhab ini. Kondisi semacam
ini beliau lakoni selama beberapa puluh tahun. Hingga akhirnya beliau
menjadi seorang imam besar Mu’tazilah.
Namun, Allah ‘azza wa jalla, menghendaki
kebaikan untuknya. Pada usia empat puluh tahun, Abul Hasan meninggalkan
akidah Mu’tazilah yang selama ini diyakini kebenarannya. Perihal
taubatnya ini, beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai seusai
pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Jami’.
Beliau menegaskan, “Di dalam dadaku ada
kerancuan terkait tentang permasalahan akidah. Pada suatu malam aku
bangun lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian memohon kepada Allah
‘azza wa jalla supaya memberi hidayah kepadaku menuju jalan yang lurus.
Setelah itu aku pun tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itulah aku mengadukan kepada beliau
tentang permasalahan yang sedang aku hadapi. Beliau pun
menyatakan,’Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku.’ Saat
itulah aku terbangun dari tidurku.”
Dikisahkan pula oleh Ibnu Asakir
rahimahullah bahwa beliau menegaskan di hadapan para hadirin, “Wahai
sekalian manusia, aku menghilang dari tengah-tengah kalian selama
beberapa waktu, karena aku menjumpai beberapa dalil dan belum bisa
membedakan antara yang benar dan yang batil. Kemudian aku memohon
petunjuk kepada Allah ‘azza wa jalla. Allah pun memberikan petunjuk-Nya
supaya aku berlepas diri dari buku-buku yang pernah kutulis. Dengan ini
saya tinggalkan semua akidah yang aku yakini, sebagaimana aku
menanggalkan bajuku ini.” Sambil beliau menanggalkan bajunya.
Sejak saat itu, beliau mulai merilis
berbagai karya tulis yang membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah.
Beliau juga sangat antusias dalam menjelaskan kesesatan Mu’tazilah dalam
berbagai forum. Di antara pemikiran Mu’tazilah yang beliau tegaskan
kesesatannya di hadapan umum adalah bahwa Al-Qur’an itu makhluk bukan
Kalamullah, Allah ‘azza wa jalla tidak bisa dilihat dengan pandangan
mata di akhirat kelak, dan kesesatan keyakinan Mu’tazilah lainnya.
Dalam versi yang lain, diriwayatkan
bahwa faktor pendorong taubatnya Abul Hasan adalah karena para gurunya
tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan yang beliau disodorkan. Inilah
yang memotivasi beliau untuk mencari kebenaran yang selama ini sangat
beliau didambakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar