Kamis, 07 Februari 2013

Abul Hasan al Asy’ari Rahimahullah

Biografi: Abul Hasan al Asy’ari Rahimahullah  

 


Abul Hasan Al-Asyari, sebuah nama yang akrab di telinga kaum muslimin. Nama yang begitu membahana, sering  disebut-sebut dalam majelis. Memang, banyak kaum muslimin yang menisbatkan diri kepada beliau terutama dalam  masalah akidah. Yaitu hanya menetapkan sebagian nama dan sifat bagi Allah ‘azza wa jalla.
Kita mungkin sering mendengar lantunan pujian, “Allah Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat …… Inilah yang dikenal dengan dua puluh sifat wajib bagi Allah yang harus diyakini menurut kelompok Asy’ariyah. Sebuah kelompok yang menisbatkan diri kepada Abul Hasan Al-Asy’ari, dan mengklaim diri sebagai pengikutnya. Benarkah ajaran tersebut menjadi akidah terakhir yang diyakini oleh Abul Hasan Al Asy’ari?
Pada hakikatnya, kelompok yang menisbatkan diri kepada beliau tidaklah mengikuti madzhab akidah beliau dengan benar. Hal ini dikarenakan beliau berganti madzhab akidah sesuai dengan fase perjalanan pencarian kebenaran sejati yang beliau lakukan. Kelompok yang menisbatkan diri pada beliau itu hanyalah mengikuti satu fase kehidupan beliau yang belum berakhir. Artinya bukan fase terakhir pada akhir kehidupan beliau rahimahullah. Untuk lebih jelasnya mari kita simak bagaimana perjalanan hidup beliau dalam mencari kebenaran.
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Adapun Abul Hasan adalah kuniah (panggilan kehormatan) beliau. Dengan melihat kepada garis keturunan beliau di atas, bisa diketahui bahwa Abul Hasan adalah salah seorang keturunan Abu Musa AI-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Seorang shababat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang banyak meriwayatkan hadits dan terkenal dengan keindahan suaranya dalam membaca AI-Qur’an.
Abul Hasan dilahirkan di Bashrah, salah satu kota di Irak pada tahun 260 H (873 M). Sungguh, Allah ta’ala  telah  mengaruniakan talenta yang sangat mengagumkan pada diri beliau sejak usia muda. Beliau dikenal dengan  kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Namun demikian, beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat zuhud dan qana’ah. Tatkala masih berpemahaman Mu’tazilah, beliau acapkali membela paham tersebut dan membantah siapa saja yang menentangnya. Secara global, beliau menjalani tiga fase kehidupan sebelum akhirnya berpijak kokoh di atas akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

FASE PERTAMA

Sebenarnya sejak kecil, Abul Hasan diasuh oleh ayahnya yang mencintai Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sang ayah selalu mendidik dan mengarahkannya untuk berpegang teguh dengan AI-Qur’an dan As Sunnah. Oleh sebab itu sebelum wafat, sang ayah berwasiat agar Abul Hasan diasuh oleh Zakaria bin Yahya. Seorang ulama ahli hadits di zamannya. Namun sangat disayangkan, sepeninggal ayahnya sang ibu menikah dengan seseorang yang bernama Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’i. Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang cukup ternama di masanya. Tak pelak lagi, Abul Hasan banyak terpengaruh oleh pemikiran ayah tirinya tersebut. Karenanya, sang ayah menaruh harapan yang besar agar kelak ia menjadi penerusnya.
Sejak saat itu, beliau banyak mengenal dan mempelajari konsep pemikiran Mu’tazilah. Hingga akhirnya beliau menjadi tokoh besar Mu’tazilah yang sangat diandalkan oleh kelompoknya. Beliau banyak menghasilkan karya tulis dan aktif membela madzhab ini. Beliau membantah siapa saja yang menentang madzhab ini. Kondisi semacam ini beliau lakoni selama beberapa puluh tahun. Hingga akhirnya beliau menjadi seorang imam besar Mu’tazilah.
Namun, Allah ‘azza wa jalla, menghendaki kebaikan untuknya. Pada usia empat puluh tahun, Abul Hasan meninggalkan akidah Mu’tazilah yang selama ini diyakini kebenarannya. Perihal taubatnya ini, beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai seusai pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Jami’.
Beliau menegaskan, “Di dalam dadaku ada kerancuan terkait tentang permasalahan akidah. Pada suatu malam aku bangun lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian memohon kepada Allah ‘azza wa jalla supaya memberi hidayah kepadaku menuju jalan yang lurus. Setelah itu aku pun tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itulah aku mengadukan kepada beliau tentang permasalahan yang sedang aku hadapi. Beliau pun menyatakan,’Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku.’ Saat itulah aku terbangun dari tidurku.”
Dikisahkan pula oleh Ibnu Asakir rahimahullah bahwa beliau menegaskan di hadapan para hadirin, “Wahai sekalian manusia, aku menghilang dari tengah-tengah kalian selama beberapa waktu, karena aku menjumpai beberapa dalil dan belum bisa membedakan antara yang benar dan yang batil. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah ‘azza wa jalla.  Allah pun memberikan petunjuk-Nya supaya aku berlepas diri dari buku-buku yang pernah kutulis. Dengan ini saya tinggalkan semua akidah yang aku yakini, sebagaimana aku menanggalkan bajuku ini.” Sambil beliau menanggalkan bajunya.
Sejak saat itu, beliau mulai merilis berbagai karya tulis yang membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Beliau juga sangat antusias dalam menjelaskan kesesatan Mu’tazilah dalam berbagai forum. Di antara pemikiran Mu’tazilah yang beliau tegaskan kesesatannya di hadapan umum adalah bahwa Al-Qur’an itu makhluk bukan Kalamullah, Allah ‘azza wa jalla tidak bisa dilihat dengan pandangan mata di akhirat kelak, dan kesesatan keyakinan Mu’tazilah lainnya.
Dalam versi yang lain, diriwayatkan bahwa faktor pendorong taubatnya Abul Hasan adalah karena para gurunya tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan yang beliau disodorkan. Inilah yang memotivasi beliau untuk mencari kebenaran yang selama ini sangat beliau didambakan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar