Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali muhammad
Kita
sama-sama mengetahui bahwa pada permulaan Islam tidak ada mazhab dan
tidak ada sekte-sekte, dan pada awal-awal Islam muncul, Islam bersih
dari pengaruh luar, dan kaum muslimin pada waktu itu mencapai
kejayaannya. Telah diketahui dengan pasti bahwa adanya sekte-sekte dan
mazhab-mazhab itu dapat memecah belah kaum muslimin, serta dapat
memperuncing jurang pemisah antara mereka. Karena dengannya, tidak
mungkin mereka dapat menyusun kekuatan dan mengatur langkah bersama
untuk merumuskan satu jalan mencapai satu tujuan. Tetapi bagi
musuh-musuh Islam dan para penjajah, justru sebaliknya. Yakni, mereka
mendapatkan peluang dan kesempatan yang sangat baik dari adanya
perpecahan ini untuk menyebarkan berbagai fitnah. Cara yang dilakukan
mereka untuk memenangkan Barat dari Timur dan untuk menjatuhkan Timur,
hanya dengan cara devide et empera (memecah belah) dan menyebarkan isu-isu yang mengelabui bangsa Timur.
Maka
dari itu, muncullah ide-ide dan pemikiran-pemikiran para pemimpin yang
ikhlas, untuk menyatukan suara semua jamaah Islamiyah, serta berusaha
untuk merealisasikan penyatuan suara itu dengan berbagai cara. Salah
satu diantara caranya adalah dengan membukapintu ijtihad dan memberantas
penyelewengan dalam mengikuti mazhab tertentu.
Sudah
saatnya kita hidup dalam kemerdekaan dan kebebasan dalam mengungkapkan
pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran kita, sebagaimana kita harus
menjadi merdeka dan bebas dalam negeri kita sendiri, dan sudah saatnya
pula kita meninggalkan taklid pada satu mazhab tertentu dan pandapat
tertentu. Kita bebas memilih semua bentuk-bentuk atau hasil-hasil
ijtihad dari semua mazhab yang sesuai dengan perkembangan hidup dan
cocok dengan syari’at. Bila tidak ada pilihan dari berbagai mazhab
sebagai ijtihad yang mutlak, maka sesungguhnya ijtihad itu merupakan
salah satu bentuk ijtihad.
Berdasar
pada kerangka pemikiran seperti itulah, diambil dari sumber-sumbernya
yang merupakan himpunan pemikiran ulama mazhab dari pendapat-pendapat
ulama lima mazhab, yaitu: Ja’fari, Hanafi, Maliki Syafi’i, dan Hambali.
@ IMAM JA’FAR
(80 – 148 H/699 – 765 M)
Ja’far
As-Sadiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fathimah Az-zahra binti Rasulillah
Muhammad saw. Beliau di lahirkan pada tahun 80 Hijriah (699M). Ibunya
bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq.
Pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi saww. Dengan Abu Bakar
As-Siddiq ra.
Beliau
berguru langsung dengan ayahnya – Muhammad Al-Baqir di sekolah ayahnya
yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Ja’far As-Saddiq
adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu
Filsafat, Tasauf, Fiqh, Kimia dan ilmu Kedokteran. Beliau adalah Imam
yang ke enam dari dua belas Imam dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.
Dikalangan kaum Sufi beliau adalah g ru dan Syaikh yang besar dan
dikalangan ahlli Kimia beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Kimia. Di
antaranya, beliau menjadi guru Jabir bin Hayyam – Ahli Kimia dan
Kedokteran Islam.
Dalam
mazhab Syi’ah, Fiqh Ja’farilah sebagai Fiqh mereka, karena sebelum
Ja’far As-Sadiq dan pada masanya tidak ada perselisihan. Perselisihan
dan perbedaan pendapat baru muncul setelah masa beliau.
Ahli sunnah berpendapat: Ja’far As-Sadiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu Fiqh, yang mana beliau telah mencapai ke tingkat ladunni, beliau
di anggap sebagai Sufi Ahli Sunnah di kalangan Syaikh-Syaikh mereka
yang besar serta padanyalah tempat puncak pengetahuan dan darah Nabi
saww. yang suci.
Syahrastani
mengatakan bahwa Ja’far As-Sadiq adalah seorang yang berpengetahuan
luas dalam agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat
bijaksana, Zahid dari keduniaan, warak dari segala hawa nafsu.
Imam Abu Hanifah berkata: “Saya tidak dapati orang yang lebih Faqih dari Ja’far bin Muhammad”.
George
Zaidan berkata: “Di antara muridnya adalah Abu Hanifah (Wafat 150 H/767
M), Malik bin Anas (Wafat 179 H/795 M) dan Wasil bin Ata’ (Wafat 181
H/797 M), abu Nuaim mengatakan bahwa di antara murid beliau juga ialah
Muslim bin Al-Hujjaj, perawi hadits shahih yang masyhur”. Bahkan riwayat
lain mengatakan bahwa di Kufah, sedikitnya ada 900 orang Syaikh belajar
kepada beliau di masjid Kufah.
Abu
Zuhrah berkata: “Beliau (Ja’far As-Sadiq) berpandukan Kitab Allah
(Al-Qur’an), pengetahuan serta pandangan beliau sangat jelas, beliau
mengeluarkan hukum-hukum Fiqh dari nas-nasnya, beliau berpandukan kepada
sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan hadits Ahli Bait
(Keluarga Nabi)”.
@ IMAM ABU HANIFAH
(80 – 150 H/699 – 767 M)
Imam
Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, adalah Abu Hanafiah An-Nukman bin
Tsabit bin Zufi’at At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan
kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra., Imam Ali bahkan pernah
mendoakan Tsabit agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika
kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperti
abu Hanafiah.
Dilahirkan
di Kufah pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin
Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh
menjadi dewasa disana. Sekaj masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji
dan menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang
bacaannya, sehingga ayat-ayat suci Al-Qur’an tersebut tetap terjaga
dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih
mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam
pengetahuannya tentang Al-qur’an, beliau sempat berguru kepada Imam
Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu Fiqh (ilmu
tentang hukkum-hukum Islam). Dalam hal inipun, beliau berguru kepada
ulama-ulama yang sangat terkenal dari kalangan sahabat Rasul, di
antaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa, dan Abu Tufail Amir,
dan lain sebagainya. Dari mereka ini, beliau juga mendalami ilmu
hadits.
Keluarga
Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat
terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau
memusatkan perhatian pada soal-soal keilmuan.
Beliau
juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu.
Sebagai gambaran, beliau pernah belajar Fiqh kepada ulama yang paling
terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang
dari 18 tahun lamanya. Setelah gurunya wafat, Imam Abu Hanifah kemudian
mulai mengajar di banyak Majlis Ilmu di Kufah.
Sepuluh
tahun sepeninggal gurunya, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah
menuju Makkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana, dan di
tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin
Abbas ra.
Semasa hidupnya Imam Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat Tawadhu’, dan
sangat teguh memegang agama. Beliau tidak tertarikkepada
jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran
sebagai Hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena
penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau
dimasukkan di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 H/1066 M, didirikanlah
sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal
beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang
cukup banyak. Di antara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu
Yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki’ bin Jarah, Ibn Hasan Al-Syaibani dan
lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hanifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan Fiqh Akbar (kitab Fiqh yang lengkap).
@ IMAM MALIK BIN ANAS
(93 – 179 H/172 – 795 M)
Imam
Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki yang lahir di Madinah, pada tahun
93 H. Beliau berasal dari kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah
rajin menghadiri majelis-majelis ilmmu pengetahuan, sehingga sejak kecil
itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari ibundanya
sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada
mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal
pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn
Syihab, disamping juga mempelajari ilmu Fiqh dari para sahabat.
Karena
ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama
yang terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan Fiqh. Bukti atas hal itu
adalah ucapan Al-Dahlawi, ketika dia berkata: “Malik adalah seorang yang
sangat ahli dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengetahui
tentang keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti tentang
pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah ra., dan sahabat-sahabat
mereka. Atas dasar itulah dia member fatwa. Apabila diajukan kepada
suatu masalah, dia menjelaskan dan member fatwa”.
Setelah
mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah. Imam Malik mulai
mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski
begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau
tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah saww.
dan bermusyawarah denga ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa
atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa beliau mempunyai 70 orang yang
biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Imam
Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Beliau pernah
mendengar 31 hadits dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Dan ketika
kepadanya diminta mengulang seluruh hadits tersebut, tak satupun
dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya,
terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan
hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang
beliau dalam menuntut ilmu.
Selain
itu, beliau dikenal sangat ikhlas dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah
kiranya yang memberikan kemudahan kepada beliau didalam mengkaji ilmu
pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya; ia
akan mudah dicapai dengan hati yang takwa dan khusyu’.”. beliau juga
menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata:
“sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua
hal, sedang salah satu diantaranya meragukanmua, maka kerjakanlah yang
lebih meyakinkan dirimu.”.
Karena
sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan member
fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya, Ibnu
Wahab, berkara: “Saya mendengar Imam Malik, (jika ditanya mengenai
hukuman, beliau berkata: “Ini adalah urusan pemerintah.”).
Imam
Syafi’i sendiri pernah berkata: “Ketika aku tiba di Madinah, aku
bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendenngar suaraku, beliau memandang
dirikku beberapa saat, kemudian bertanya: “siapa namamu?” Akupun
menjawab: “Muhammad!” dia berkata lagi: “Wahai Muhammad, bertaqwalah
kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari
demi hari.”
Tak
pelak, Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama
dalam ilmu hadits dan fiqh. Imam Malik wafat pada usia 86 tahun. Namun
demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut di banyak bagian di
selluruh penjuru dunia.
@ IMAM SYAFI’I
(250 – 240 H/717 – 820 M)
Imam
Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i adalah: Muhammad
bin Idris Asy Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada
tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Meski
dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin,
tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya,
beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama hadits yang
banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga
telah hafal Al-Qur’an.
Pada
usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah menuju Madinah. Di
sanalah beliau mengisi waktunya dengan mempelajari ilmu Fiqh dari Imam
Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian
pergi ke Iraq untuk mempelejari Fiqh dari murud Imam Abu Hanifah yang
masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi
Persia, dan beberapa tempat lain.
Setelah
wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar
tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk dating ke
Baghdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau
dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada
waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.
Tak
lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Makkah, dan mengajar
rombongan Jamaah haji yang dating dari berbagai penjuru. Melalui mereka
inilah, mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar di Masjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul Al-Fiqh, dan memperkenalkan Qaul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam mempelopori penullisan dalam bidang tersebut.
Di
Mesir inilah akhirnya Imam Syafi’i wafat, setelah menyebar ilmu dan
manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca
orang, dan makam beliau di Mesir, sampai saat ini masih ramai di
ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal diantaranya:
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya
Al-Muzani, Abu Ya’qub Tusuf bin Yahya Al-Buwaiti, dan lain sebagainya.
@ IMAM AHMAD HAMBALI
(164 – 241 H/780 – 855 M)
Imam
Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal
tahun 164 H. (780 M).
Ahmad
bin Hambal di besarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya
meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan
sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpeti banyak orang.
Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang besar
kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota
pusat ilmu pengetahuan. Beliau mulai dengan belajar menghafal Al-Qur’an,
kemudian belajar bahasa arab, hadits, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para Tabi’in.
Untuk
memperdalam ilmu, beliau pergi ke Bashra untuk beberapa kali, di
sanalah beliau bertemu denga Imam Syafi’i. Beliau juga menuntut ilmu ke
Yaman dan Mesir. Di antara guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan
bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas.
Imam
Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau
tidak mengambil hadits kecuali hadits-hadits yang sudah jelas
shahihnya. Oleh karena itu, akhirnya belliau berhasil mengarang kitab
hadits, yang terkenal dengan nama Musuad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar ketika berusia 40 tahun.
Pada
masa pemerintahan al-Muktasim – Khalifah Abbasiyah – beliau sempat di
penjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkili.
Imam
Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada
tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq.
Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah
satu mazhab yang memiliki banyak penganut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar