Senin, 04 Februari 2013

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi



Manakib Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi

            Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi atau nama lengkapnya Al-Habib Muhammad bin Idrus bin Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zain Al-Habsyi, beliau lahir di kota Hauthah (khala’Rasyid) hadramaut pada tanggal 20 syawwal tahun 1265 H. Sebelum beliau lahir ayahnya Al-Imam Al-‘Arif Billah Al-Habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi telah berpergian ke Indonesia untuk berdakwah. Al-Habib Muhammad tidak sempat mengenal ayahnya bahkan tidak pernah melihatnya, karena ketika sang ayah wafat di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat beliau belum lahir. Adapun ibunya Syaikhah Salamah binti Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Semir (Sumair).

            Status sebagai anak yatim tidak berpengaruh kepada terhadap diri beliau, karena ibunya dengan penuh kesabaran mendidiknya dan tidak menikah lagi. Di tambah lagi asuhan dan perhatian dari para pamannya, terutama Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi yang menjadi munshib Al-Habsyi di negerinya, beliau dibesarkan dalam didikan pamannya ini sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.

            Sebelum genap berusia tujuh tahun, beliau telah mulai mempelajari Al-Qur’an kepada mu’allim Ali Syuwa’i pada tempat pengajian umum di Hauthah. Kemudian beliau menghatamkannya pada Syaikh Ahmad Al-Baiti, munsyid di kubah datuknya, sayyidina Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Dalam perjalanan menuntut ilmunya beliau mengerahkan seluruh segala kemampuannya untuk belajar baik ketika masih di Hauthah maupun di berbagai tempat lain di Hadramaut. Disebagian tempat beliau menetap dalam waktu lama dan di sebagian yang lain beliau hanya tinggal beberapa saat. Al-Ghorfah, Sewun, Tarim, Syibam dan Du’an adalah sebagian diantara kota-kota yang didatanginya.

            Selain mempelajari Al-Qur’an, sejak kecil beliau juga belajar ilmu fiqih, hadits, tafsir, tasawwuf, nahwu, sharaf, dan sebagainya. Di dalam Qurrah al-‘Ain disebutkan, di antara kitab-kitab yang dibacanya pada pamannya, Al-Habib Sholeh dan pamannya yang lain Al-Habib Abdullah, adalah kitab Ar-Risalah Al-Jami’ah karya datuknya Al-Habib Ahmad bin Zain, Bidayah Al-Hidayah dan umdah as-Salik dalam fiqih, Al-Jurummiyah dan Al-Mutammimah dalam nahwu. Kepada gurunya Al-Habib Abdullah bin Thoha Al-Haddar Al-Haddad, beliau belajar membaca kitab Fathul-Mu’in, rujukan sangat penting dalam fiqih syafi’i.

            Guru-gurunya yang lain dalam fiqih dan tasawwuf adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Umar  Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Abdul Qadir bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Hasan bin Husein bin Ahmad Al-Haddad, dan lain-lain. Di antara semua gurunya yang menjadi syaikh fath (guru pembukanya) adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.

            Sejak kecil beliau sering didoakan dan diilbas (dikenakan pakaian, yang tujuannya sebagai pengangkatan atau pengakuan) oleh para alim ulama. Muridnya, Al-Allamah As-Sayyid Abdullah bin Thahir Al-Haddad mengatakan dalam kitab qurrah Al-‘Ain bahwa, di antara yang mendoakan dan meng-ilbas-nya adalah Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr seorang ulama terkemuka. Banyak gurunya yang telah melihat kelebihannya sejak kecil. Mereka telah melihat tanda-tanda kewalian pada dirinya.

            Tahun 1281 H, pada usia 16 tahun beliau menunaikan haji untuk pertama kalinya dengan menaiki kapal dagang yang menuju ke Jeddah. Setelah itu kembali ke negerinya, Hauthah. Tetapi hanya beberapa bulan berada di tengah-tengah keluarganya, setelah itu belaiu kembali lagi ke Hijaz untuk menunaikan haji yang kedua, setelah musim haji selesai beliau tidak pulang melainkan menetap di Haramain dan menimba ilmu kepada para ulama.

            Di antara para gurunya di Haramain adalah sayyid Fadhl bin Alwi bin Alwi bin Muhammad bin Sahl maulad Dawileh (yang kemudian menjadi tokoh habaib di Turki, Al-Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti syafi’I di Makkah, Al-Allamah Sayyid Umar bin Abdullah Al-Jufri, dan Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-‘Azab, beliau juga mendalami tajwid kepada sayyid Muhammad An-Nuri.

            Kemudian takdir Allah menentukan beliau untuk pergi ke India, tetapi karena hatinya merasa tak tenang tinggal disana akhirnya beliau menuju singapura dalam perjalannya di jawa. Selama beberapa tahun beliau tinggal di Jakarta menggeluti perdagangan di samping belajar kepada Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas, Al-Allamah Al-Habib  Umar bin Hasan Al-Jufri  dan sejumlah tokoh ulama lainnya.

            Demikianlah terus berlanjut sampai Allah melimpahinya cahaya ilmu dan kewalian yang membuatnya terkenal dimana-mana, maka berdatanganlah orang-orang yang ingin belajar dan mendapatkan manfaat darinya dari berbagai tempat di antaranya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Al-Habib Thahir bin Alwi Al-Haddad, Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf.

            Ahklak dan budi pekertinya sangatlah baik, beliau adalah seorang yang pemurah dan berkasih sayang terhadap orang lain, apalagi kepada orang-orang yang lemah, apa-apa yang Allah berikan kepadanya tidak segan-segan beliau memberikannya kepada siapa saja yang mendatanginya, beliau seorang yang murah senyum, lemah lembut tutur katanya dan sangat baik sambutannya, itulah perangainya meneladani perangai datuknya, Nabi Muhammad SAW. Setiap orang yang duduk di sampingnya akan merasa bahwa dirinyalah yang paling dicintai dan dipilihnya sebagai sahabat karib.

Ayah bagi orang miskin
            Apabila ada orang bertamu kepadanya, beliau selalu bertanya tentang hal-ihwal anak-anak dan cucu-cucu orang tersebut, demikian juga dengan tamu dari luar kota, beliau menyambutnya dengan ramah dan senang hati, bahkan apabila yang datang fakir miskin, beliau memberikan ongkos pulang disertai hadiah untuk anak-istrinya. Inilah kebiasaan selama hidupnya. Rumahnya selalu terbuka untuk para tamu dan pernah kosong dari mereka. Terlebih lagi fakir miskin yang tidak mempunyai penghasilan yang menentu mereka menginap dirumahnya.

            Anak-anak yatim yang dipelihara olehnya menilainya lebih baik dari ayah-ayah mereka karena beliau menyamakan mereka dengan anak-anaknya sendiri dalam memberikan pakaian, makanan, minuman dan tempat tidur. Ketika  anak-anak yatim itu telah besar  beliau juga mengurus perkawinan mereka dam memberikan apa-apa yang mereka butuhkan. Tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa beliau adalah ayah bagi anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

            Beliau pun sangat dicintai oleh masyarakat umum maupun kalangan khusus, beliau selalu mendamaikan pihak-pihak yang bertengkar walaupun masalahnya besar dan sulit dapat beliau selesaikan dengan baik. Di antara amal jariyahnya adalah pembangunan masjid di purwakarta, Masjid Ar-Raudhah di jombang, dan lain-lain. Beliau juga adalah perintis penyelenggaraan haul para wali Allah dan orang-orang sholeh. Dialah yang pertama kali mengadakan haul Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad yng terkenal di kota Tegal. Beliau juga banyak berziarah ke tempat bersejarah, makam para wali dan orang-orang sholeh dan kegiatan itu pula diikuti oleh khalayak ramai. Semasa hidupnya beliau rajin berdakwah ke beberapa daerah, dalam perjalanan dakwahnya beliau tidak pernah menginap di  hotel atau tempat penginapan lain, melainkan di rumah salah satu seorang habib.

            Pada setiap hari kamis bulan Rabi’ul Awwal, beliau mengadakan pembacaan maulid Nabi seperti yang dilakukan oleh gurunya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi di Sewun. Beliau melaksakannya di daerah jatiwangi dekat Cirebon. Lalu memindahkannya ke Bogor sampai timbul rintangan-rintangan dan fitnah dari orang-orang yang dengki. Kemudian beliau memindahkannya lagi ke Surabaya dengan bantuan kapten Arab dari keluarga Boubseith. Demikianlah hal itu berlangsung terus sampai beliau wafat. Sepeninggalnya yang meneruskan adalah Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Jakarta di sekolah jamiat kheir, setelah meminta izin kepada para pengurusnya. Maulid ini berlangsung terus sejak tahun 1338 H/1920 M sampai tahun 1355 H/1936 M (17 tahun). Ketika Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi membangun masjidnya di Kwitang ia pun memindahkan gelaran maulid ke masjid itu pada tahun 1356 H/1937 M.

            Menjelang wafatnya, Habib Muhammad menyampaikan wasiat, “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT, semoga Dia menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak, dan para pembantu rumah tangga. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang mendapat musibah disebabkan orang-orang yang dibawah tanggungannya yaitu istri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”

            Beliau wafat pada malam rabu 12 Rabi’uts Tsani 1337 H di Surabaya, dimakamkan pada waktu Ashar hari Rabu. Yang mengimami shalat jenazah tokoh besar ini adalah tokoh besar juga yang sekaligus juga menantunya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar