KH.MUHAMMAD NAWAWI AL BANTANI (TANARA BANTEN)
Ulama
terkemuka asal Indonesia yang satu ini ternyata lahir di Tanara, sekitar 25
kilometer arah utara Kota Serang, Banten, pada 1230 H/1815 M. Ayahandanya,
‘Umar bin ‘Arabi, adalah seorang penghulu di tempat kelahirannya. Sedangkan
ibundanya bernama Zubaidah. Jika dirunut, nenek moyang ulama tersebut akan
sampai kepada Syarif Hidayatullah Cirebon dan Maulana Hasanuddin dari Banten.
Seperti kebiasaan keluarga santri ketika itu, mula-mula ia belajar pengetahuan
dasar mengenai Islam di bawah bimbingan ayahandanya sendiri. Setelah dirasa
cukup, kemudian ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten. Perjalanannya menapaki
dunia ilmu pengetahuan ini mengantarkannya ke Purwakarta, Jawa Barat. Di kota
ini ia belajar kepada seorang ulama terkenal ketika itu, Kiai Yusuf.
Dalam usia
15 tahun, Nawawi muda berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah
haji dan menetap di sana selama tiga tahun. Selama itu ia belajar di Makkah
kepada sejumlah guru. Antara lain Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyathi,
dan Syaikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Guru terakhir tersebut, menurut
saya, sangat besar pengaruhnya atas diri Nawawi. Mengapa demikian?
Seperti
diketahui, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki adalah seorang ulama
terkemuka Arab Saudi kala itu. Ulama yang satu ini lahir di Makkah pada 1232
H/1816 M. Seusai menimba ilmu di kota kelahirannya, ia lantas menjadi mufti
Mazhab Syafi‘i, merangkap menjadi Syaikh Al-Haram, “pangkat” ulama tertinggi
yang mengajar di Masjid Al-Haram yang diangkat oleh Syaikh Al-Islam yang
berkedudukan di Istanbul, Turki. Dalam kedudukan seperti itu, dia bertugas
memberi legitimasi keagamaan terhadap keputusan-keputusan yang khususnya
berkenaan dengan perdagangan budak, pengharaman beberapa bentuk kegiatan,
membatalkan bid‘ah dan kebiasaan-kebiasaan buruk, dan mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan
dengan perkembangan-perkembangan baru.
Tidak hanya
itu. Ulama besar tersebut juga menaruh perhatian besar terhadap dunia tulis
menulis. Sehingga lewat perhatiannya tersebut, terbit sejumlah karya tulis
dalam berbagai bidang ilmu keagamaan Islam, teologi, sejarah, fikih, hadis,
bahasa Arab, tafsir, sirah Nabi, dan sebagainya. Antara lain Khulâshah Al-Kalâm
fi Umarâ’ Al-Balad Al-Haram, tentang sejarah Hijaz terutama pada abad ke-12
H/18 M dan 13/19 M, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, tentang biografi Nabi Muhammad
Saw., Al-Futuhât Al-Islâmiyyah, Al-Fath Al-Mubîn fi Fadhâ’il Al-Khulafâ’
Al-Râsyidîn wa Ahl Al-Bait Al-Thâhirîn, dan sebagainya.
Ketika
kondisi Makkah kala itu, sekitar 1299 H/1881 M, kurang aman, ulama yang
sebagian besar karya-karyanya diterbitkan di Kairo, Mesir ini lalu pindah
Madinah. Dan, ia menetap di Kota Nabi itu sampai ia berpulang ke hadirat Allah
setahun kemudian.
Menimba ilmu
kepada seorang ulama besar tentu merupakan suatu kesempatan yang senantiasa
diharapkan bagi para penuntut ilmu di Kota Kota Suci kala itu, termasuk Nawawi
muda tentunya, walau sang guru lebih muda setahun ketimbang dirinya. Apalagi
tradisi “ijazah” (menimba ilmu dengan bertatap langsung dengan seorang guru
yang berhak memberikan pengukuhan atas kemampuan ilmiah si murid) kala itu
masih berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Dan, seperti diketahui, subyek
pengajaran yang berlangsung di halaqah-halaqah ilmiah di Masjid Al-Haram kala
itu umumnya berkenaan dengan ilmu-ilmu keagamaan Islam dan bahasa Arab. Para
penuntut ilmu di halaqah-halaqah Masjid Al-Haram tersebut tidak hanya terbatas
pada warga Hijaz. Tapi, banyak di antaranya adalah mereka yang datang dari
pelbagai penjuru Dunia Islam.
Selepas
menimba ilmu kepada Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki, Al-Nawawi kemudian
menapakkan kakinya ke Kota Nabi, Madinah. Di kota terakhir ini ia menimba ilmu
Syaikh Muhammad Khathib Al-Hambali. Lalu, karena belum merasa puas dengan
menimba ilmu di kedua kota itu, ia pun berangkat ke Mesir dan Suriah untuk
memperdalam ilmu kedua negara itu.
Selepas tiga
tahun berkelana untuk menimba ilmu, Nawawi lantas kembali ke tanah air. Namun,
hasratnya yang besar untuk belajar mendorongnya balik ke Tanah Suci. Di Tanah
Suci ia mengembangkan ilmunya dengan menelaah dan mengajar sampai menghadap
Sang Pencipta pada 1315 H/1897 M dan dimakamkan di Makam Ma‘la, berdekatan
dengan makam Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ibn Hajar Al-Haitami, seorang
ahli hukum Islam terkemuka asal Mesir yang menganut Mazhab Syafi‘i. Tentang
kegiatannya selama di Tanah Suci, C. Snouck Hurgronye yang sempat bertemu
dengannya, mencatat dalam karyanya Mekka in the latter part of the Nineteenth
Century:
“Selama 30
tahun ia terus menerus giat menimba ilmu pengetahuan Islam di Makkah, di
samping membantu kelancaran belajar orang-orang Jawa di sana. Pertama-tama ia
belajar di bawah bimbingan sejumlah ulama generasi yang lalu, seperti Khatib
Sambas, Abdul Ghani Bima, dan lain-lain. Tetapi, gurunya yang sebenarnya adalah
orang-orang Mesir: Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi, dan Abdulhamid Daghistani, yang
meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia belajar di bawah bimbingan Daghistani
bersama sejumlah ulama lain, sampai menjelang wafatnya Daghistani. Dulu, setiap
waktu luang, ia mengajar. Tetapi 15 tahun terakhir, profesinya sebagai pengarang
tidak memberinya banyak waktu untuk mengajar. Setiap hari, antara pukul
setengah delapan pagi sampai sekitar pukul dua belas siang, ia memberikan tiga
kali pengajian…“
Sebagai
pengarang, ternyata Syaikh Nawawi Al-Bantani cukup produktif seperti halnya
Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Karya-karyanya meliputi berbagai aspek
pengetahuan agama Islam. Sebagian besar karyanya merupakan uraian lebih
mendalam atas karya-karya para ulama sebelumnya. Memang, demikianlah corak
karya tulis para ulama masa itu. Karya mereka lebih banyak berbentuk ulasan
terhadap suatu karya ulama sebelum mereka, ketimbang karya sendiri yang
berupaya menguak persoalan baru. Di antara karyanya adalah Tafsir Marah Labîb
(1298 H/1880 M), Fath Al-Mujîb (1299 H/1881 M), dan Lubâb Al-Bayân (1302 H/1884
M). Produktifitasnya sebagai mengarang membuat Syekh Nawawi Al-Bantani menjadi
terkenal. Ketenarannya tidak hanya sebatas kalangan kaum Muslim “Jawa” saja.
Tapi, meluas di Dunia Arab. Khususnya negara-negara yang kebanyakan penduduknya
menganut Mazhab Syafi‘i. Untuk ukuran masa itu, pencapaiannya cukup luar biasa.
Tidak aneh bila ia mendapat gelar “Sayyid Ulamâ’ Al-Hijâz”, yang berarti “Tokoh
Ulama Hijaz”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar