Selasa, 05 Februari 2013

KH.MUHAMMAD NAWAWI AL BANTANI



KH.MUHAMMAD NAWAWI AL BANTANI (TANARA BANTEN)

 
Ulama terkemuka asal Indonesia yang satu ini ternyata lahir di Tanara, sekitar 25 kilometer arah utara Kota Serang, Banten, pada 1230 H/1815 M. Ayahandanya, ‘Umar bin ‘Arabi, adalah seorang penghulu di tempat kelahirannya. Sedangkan ibundanya bernama Zubaidah. Jika dirunut, nenek moyang ulama tersebut akan sampai kepada Syarif Hidayatullah Cirebon dan Maulana Hasanuddin dari Banten. Seperti kebiasaan keluarga santri ketika itu, mula-mula ia belajar pengetahuan dasar mengenai Islam di bawah bimbingan ayahandanya sendiri. Setelah dirasa cukup, kemudian ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten. Perjalanannya menapaki dunia ilmu pengetahuan ini mengantarkannya ke Purwakarta, Jawa Barat. Di kota ini ia belajar kepada seorang ulama terkenal ketika itu, Kiai Yusuf.
Dalam usia 15 tahun, Nawawi muda berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap di sana selama tiga tahun. Selama itu ia belajar di Makkah kepada sejumlah guru. Antara lain Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyathi, dan Syaikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Guru terakhir tersebut, menurut saya, sangat besar pengaruhnya atas diri Nawawi. Mengapa demikian?
Seperti diketahui, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki adalah seorang ulama terkemuka Arab Saudi kala itu. Ulama yang satu ini lahir di Makkah pada 1232 H/1816 M. Seusai menimba ilmu di kota kelahirannya, ia lantas menjadi mufti Mazhab Syafi‘i, merangkap menjadi Syaikh Al-Haram, “pangkat” ulama tertinggi yang mengajar di Masjid Al-Haram yang diangkat oleh Syaikh Al-Islam yang berkedudukan di Istanbul, Turki. Dalam kedudukan seperti itu, dia bertugas memberi legitimasi keagamaan terhadap keputusan-keputusan yang khususnya berkenaan dengan perdagangan budak, pengharaman beberapa bentuk kegiatan, membatalkan bid‘ah dan kebiasaan-kebiasaan buruk, dan mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan perkembangan-perkembangan baru.
Tidak hanya itu. Ulama besar tersebut juga menaruh perhatian besar terhadap dunia tulis menulis. Sehingga lewat perhatiannya tersebut, terbit sejumlah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu keagamaan Islam, teologi, sejarah, fikih, hadis, bahasa Arab, tafsir, sirah Nabi, dan sebagainya. Antara lain Khulâshah Al-Kalâm fi Umarâ’ Al-Balad Al-Haram, tentang sejarah Hijaz terutama pada abad ke-12 H/18 M dan 13/19 M, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, tentang biografi Nabi Muhammad Saw., Al-Futuhât Al-Islâmiyyah, Al-Fath Al-Mubîn fi Fadhâ’il Al-Khulafâ’ Al-Râsyidîn wa Ahl Al-Bait Al-Thâhirîn, dan sebagainya.
Ketika kondisi Makkah kala itu, sekitar 1299 H/1881 M, kurang aman, ulama yang sebagian besar karya-karyanya diterbitkan di Kairo, Mesir ini lalu pindah Madinah. Dan, ia menetap di Kota Nabi itu sampai ia berpulang ke hadirat Allah setahun kemudian.
Menimba ilmu kepada seorang ulama besar tentu merupakan suatu kesempatan yang senantiasa diharapkan bagi para penuntut ilmu di Kota Kota Suci kala itu, termasuk Nawawi muda tentunya, walau sang guru lebih muda setahun ketimbang dirinya. Apalagi tradisi “ijazah” (menimba ilmu dengan bertatap langsung dengan seorang guru yang berhak memberikan pengukuhan atas kemampuan ilmiah si murid) kala itu masih berkembang luas di kawasan Timur Tengah. Dan, seperti diketahui, subyek pengajaran yang berlangsung di halaqah-halaqah ilmiah di Masjid Al-Haram kala itu umumnya berkenaan dengan ilmu-ilmu keagamaan Islam dan bahasa Arab. Para penuntut ilmu di halaqah-halaqah Masjid Al-Haram tersebut tidak hanya terbatas pada warga Hijaz. Tapi, banyak di antaranya adalah mereka yang datang dari pelbagai penjuru Dunia Islam.
Selepas menimba ilmu kepada Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki, Al-Nawawi kemudian menapakkan kakinya ke Kota Nabi, Madinah. Di kota terakhir ini ia menimba ilmu Syaikh Muhammad Khathib Al-Hambali. Lalu, karena belum merasa puas dengan menimba ilmu di kedua kota itu, ia pun berangkat ke Mesir dan Suriah untuk memperdalam ilmu kedua negara itu.
Selepas tiga tahun berkelana untuk menimba ilmu, Nawawi lantas kembali ke tanah air. Namun, hasratnya yang besar untuk belajar mendorongnya balik ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ia mengembangkan ilmunya dengan menelaah dan mengajar sampai menghadap Sang Pencipta pada 1315 H/1897 M dan dimakamkan di Makam Ma‘la, berdekatan dengan makam Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ibn Hajar Al-Haitami, seorang ahli hukum Islam terkemuka asal Mesir yang menganut Mazhab Syafi‘i. Tentang kegiatannya selama di Tanah Suci, C. Snouck Hurgronye yang sempat bertemu dengannya, mencatat dalam karyanya Mekka in the latter part of the Nineteenth Century:
“Selama 30 tahun ia terus menerus giat menimba ilmu pengetahuan Islam di Makkah, di samping membantu kelancaran belajar orang-orang Jawa di sana. Pertama-tama ia belajar di bawah bimbingan sejumlah ulama generasi yang lalu, seperti Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, dan lain-lain. Tetapi, gurunya yang sebenarnya adalah orang-orang Mesir: Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi, dan Abdulhamid Daghistani, yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia belajar di bawah bimbingan Daghistani bersama sejumlah ulama lain, sampai menjelang wafatnya Daghistani. Dulu, setiap waktu luang, ia mengajar. Tetapi 15 tahun terakhir, profesinya sebagai pengarang tidak memberinya banyak waktu untuk mengajar. Setiap hari, antara pukul setengah delapan pagi sampai sekitar pukul dua belas siang, ia memberikan tiga kali pengajian…“
Sebagai pengarang, ternyata Syaikh Nawawi Al-Bantani cukup produktif seperti halnya Syeikh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki. Karya-karyanya meliputi berbagai aspek pengetahuan agama Islam. Sebagian besar karyanya merupakan uraian lebih mendalam atas karya-karya para ulama sebelumnya. Memang, demikianlah corak karya tulis para ulama masa itu. Karya mereka lebih banyak berbentuk ulasan terhadap suatu karya ulama sebelum mereka, ketimbang karya sendiri yang berupaya menguak persoalan baru. Di antara karyanya adalah Tafsir Marah Labîb (1298 H/1880 M), Fath Al-Mujîb (1299 H/1881 M), dan Lubâb Al-Bayân (1302 H/1884 M). Produktifitasnya sebagai mengarang membuat Syekh Nawawi Al-Bantani menjadi terkenal. Ketenarannya tidak hanya sebatas kalangan kaum Muslim “Jawa” saja. Tapi, meluas di Dunia Arab. Khususnya negara-negara yang kebanyakan penduduknya menganut Mazhab Syafi‘i. Untuk ukuran masa itu, pencapaiannya cukup luar biasa. Tidak aneh bila ia mendapat gelar “Sayyid Ulamâ’ Al-Hijâz”, yang berarti “Tokoh Ulama Hijaz”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar