Senin, 04 Februari 2013

Al Habib Muhammad bin Alwi bin Husin bin Hud Al Athas & Al Habib Alwi bin Ali Al Habsyi & Al Habib Husein bin Muhammad Al Qadri



GURU MURSYID, HABAIB & ULAMA BESAR INDONESIA

 Guru Mursyid & Waliyulloh
Sebelumnya saya mohon maaf atas kelancangan saya mengcopy artikle2 Para Habaib dan Para Ulama ini dari situs2 atau blog yang menguraikan tentang profile Para Habaib dab Para Ulama besar,semoga segala kebaikan daripada teman2 bloger yang menguraikan tentang artikle2 ini dibalas oleh Allah SWT dan selalu ada dalam lindunganNya dan semoga kita akan lebih dekat dan lebih  mencintai   para pemegang amanah dari Rasulullah SAW yaitu para Habaib dan Para Ulama ,
Ya Allah Dekatkanlah Hati ku dengan Para Ahlulbait Para Habaib dan Para Penerus Risalah dan Amanah Junjungan-Mu Rasulullah saw yaitu Para Ulama Amien 3x
Wassalam 

 
Al Habib Muhammad bin Alwi bin Husin bin Hud Al Athas lahir di sebuah desa di daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang) yang bernama Subik Mandar pada tanggal 14 Mei 1934 , Ayah Al habib bernama Al Habib Alwi bin Husin bin Hasan Al bin Hud Al Athas dan ibunya bernama Rugayyah binti Alwi bin Abdullah bin Sahl Jamalullail. Desa Subik ini adalah suatu daerah nelayan yang berhadapan dengan teluk Mandar , terletak diantara dua wilayah yaitu Majene dan Polewali . Masa kanak-kanak al habib dihabiskan di daerah ini,hingga suatu masa AL Habib diajak oleh pamannya yang bernama Al Habib Ali bin Husin bin Hasan Al bin Hud Al Athas merantau ke tanah Jawa tepatnya di Pekalongan,karena tidak betah dengan suasana baru ini al habib pulang kembali ke Ujung Pandang.
Pada umur 15 tahun al habib kembali merantau ke tanah Jawa tepanya daerah Surabaya, disini al habib bekerja pada Al habib Ja’far Aidid. Setelah tinggal selama 6 tahun di Surabaya al habib menikah pada umur 21 tahun dengan Syarifah Khadijah binti Alwi bin Ali Assofi Asseggaff. Setelah pernikahan ini al habib mendapat kepercayaan yang besar dari Al habib Alwi bin Ali Assofi Asseggaff yang juga merupakan mertua al habib untuk mengelolah pabrik secara penuh tenun kain sarung yang berada di Gapuro Gersik. Sejak saat diberi kepercayaan Al habib tinggal di Gersik,secara ekonomi al habib cukup mapan dan di waktu itu al habib sering menerima tamu dari berbagai lapisan masyarakat Alawiyin yang ada di Jawa Timur bahkan al habib juga mempunyai relasi dagang yang cukup luas dari berbagai daerah di Indonesia.


Kegemaran al habib terhadap nasab ini telah dimulai sejak al habib masih mudah/sebelum nikah dimana waktu itu masih banyak Wulaiti (kaum yang lahir di Hadramaut), dalam setiap acara al habib selalu menyempatkan diri untuk berinteraksi / bergaul dengan segala golongan dengan secara sungguh-sungguh menanyakan nama qabilahnya,asal daeranya dan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasab. Terkadang al habib menyempatkan diri berkunjung dengan wulaiti untuk menanyakan permasalahan sekaligus belajar mengenai ilmu nasab adakalah suatu acara al habib sengaja membawa air untuk cucian tangan guna melayani orang-orang tua/wulati pada kesempatan yang sesaat itu alhabib menggunakan untuk berkenalan sekaligus mengenal orang lain.


Al habib belajar kepada banyak orang untuk memahami ilmu nasab ini,jadi al habib membutuhkan waktu puluhan tahun untuk duduk mengurusi permasalahan nasab ini tidak dengan tiba-tiba atau dengan kepentingan tertentu untuk mencari kedudukan di mata manusia,duduknya al habib di ilmu nasab ini jauh dari kepentingan pribadi ataupun golongan. Ada suatu kejadian yang membuat Al habib terpacu untuk belajar ilmu nasab ini, pada suatu ketika sewaktu alhabib baru mau mengenal /belajar silsilah alhabib sempat mendapat sindiran yang cukup membuat alhabib termotifasi untuk membuktikan ketidak benaran ucapan orang-orang. Pada waktu itu ada ucapan yang mengatakan bahwa “Mana mungkin orang dari pedalaman bisa mengerti nasab”. Ternyata perkataan ini terbantahkan oleh alhabib.


Al habib beserta keluarga hijrah ke Jakarta pada tahun 1981 di Jl. Cililitan Kecil Jakarta Timur dan pada tahun 1989 alhabib memegang kendali dalam menjaga kemurnian/kelestarian ilmu nasab ini hingga sampai akhir hayatnya. Jadi al habib mematahkan perkataan orang yang meragukan kemampuan al habib ternyata orang yang berasal dari daerahpun mampu memegang kendali ilmu nasab ini setelah belajar puluhan tahun dengan berkeliling kemana-mana. Al habib sempat berkeliling Indonesia bahkan semenanjung Melayu ,alhabib juga punya hubungan yang baik dengan beberapa orang ahli silsilah waktu itu. Diantaranya Al Isa bin Muhammad bin Al Qatmyr Al-Kaff, Al Habib Ibrahim bin Muhammad Al Kaff Singapura dan beberapa ahli silsilah yang lainnya. Al habib juga sempat mempersiapkan beberapa orang kader untuk mengantisipasi ke masa depan. Diantara kader tersebut adalah Al Habib Zainal Abidin bin Segaf Assegaf yang waktu itu masih berumur 30 tahun.


Sebulan sebelum meninggal alfaqier sempat bertemu al habib dirumahnya, alhabib berpesan “ya Waladi jangan engkau ikuti orang-orang yang berpegang diluar salaf kita, ikuti salaf-salaf kita suatu saat nanti mereka yang keluar dari salaf kita akan hancur sehancurnya” sembari beliau mengantar alfaqier ke luar. Rupanya itulah pertemuan terakhir dan pada tanggal 6 Februari 1995 Al habib meninggal dunia dan dikuburkan di Makam AlHabib Ahmad bin Alwi Al Umar AlHaddad (Habib Kuncung, dibelakang Kali Bata Mall, Jakarta ).


 
Betapa sedihnya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi. Pemuda berusia 22 tahun itu ditinggal mati ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al- Habsyi, Sohibul Simtud Duror, pada tahun 13331 H / 1913 M. kota Seiyun, Hadramaut, yaman, itu terasa asing bagi ayah satu anak ini, Habib Alwi adalah anak bungsu, paling disayang Habib Ali. Begitu juga, Habib Alwi pun begitu menyayangi ayahnya, sehingga dirinya bagaikan layangan yang putus benangnya.

Hababah Khodijah, kakak sulungnya, yang terpaut 20 tahun, merasakan kesedihan adiknya yang telah diasuhnya sejak kecil. Daripada hidup resah dan gelisah, oleh putrid Habib Ali Al-Habsyi, Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain, Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa ditemani Salmin Douman, antri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi.

Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.

Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.

Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.

Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib Syamsisy Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.

Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tyersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dinia, yaitu ruang antara kamar Nabi saw dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghdap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.

Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikinjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.

Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.

Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.

Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib tayfiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.

Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.

Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.

"Sebetulnya waktu itu Habib Anis belum siap untuk menggantikan peran ayahnya. Tetapi karena menjunjung amanah, wasiat itu diterimanya. Jadi dia adalah anak muda yang berpakaian tua." Tutur Habib Ali Al-Habsyi, adik Habib Anis dari lain ibu.

Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian, abun dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah swt bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.

Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo.
Ada peristiwa unik yang mungkin baru pertama kali di Indonesia, bahkan di Dunia. Para kerabat dan Kru pesawat terbang AURI membacakan Tahlil di udara.

Masalah lain timbul lagi. Pada tahun itu, sulit mendapatkan izin memakamkan seseorang di lahan pribadi, seperti halaman Masjid Riyadh. Namun berkat kegigihan Yuslam Badres, yang kala itu menjadi anggota DPRD kota Solo, izin pun bisa didapat, khusus dari gubernur Jawa tengah, sehingga jenazah Habib Alwi dikubur di selatan Masjid Riyadh.

Makamnya sekarang banyak di ziarahi para Habib dan Mihibbin yang datang dari berbagai kota. Beliau dikenang serbagai ulama yang penuh teladan, tangannya tidak lepas dari tasbih, juga dikenal sangat menghormati tamu yang datang kepadanya. Habib Alwi pin tidak pernah disusahkan oleh harta benda. Meski tidak kaya, ketika mengadakan acara haul atau Maulidan, ada saja uang yang didapatnya. Allah swt telah mencukupi rezekinya dari tempat yang tidak terduga.



Mengenai Habib Husein al-Qadri, tidak terlalu sukar membuat penyelidikan kerana memang terdapat beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya. Walau bagaimana pun semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut hanya nama penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi. Nama lengkapnya, As-Saiyid/as-Syarif Husein bin al-Habib Ahmad/Muhammad bin al-Habib Husein bin al-Habib Muhammad al-Qadri, Jamalul Lail, Ba `Alawi, sampai nasabnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sampai ke atas adalah melalui perkahwinan Saidatina Fatimah dengan Saidina Ali k.w. Nama gelarannya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M. Wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771M. ketika berusia 64 tahun. Dalam usia yang masih muda beliau meninggalkan negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang sahabatnya.

PENDIDIKAN, PENGEMBARAAN DAN SAHABAT

Mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di negeri itu selama empat tahun. Di Kulaindi beliau mempelajari kitab kepada seorang ulama besar bernama Sayid Muhammad bin Shahib. Dalam waktu yang sama beliau juga belajar di Kalikut. Jadi sebentar beliau tinggal di Kulaindi dan sebentar tinggal di Kalikut. Habib Husein al-Qadri termasuk dalam empat sahabat. Mereka ialah, Saiyid Abu Bakar al-`Aidrus, menetap di Aceh dan wafat di sana. Digelar sebagai Tuan Besar Aceh. Kedua, Saiyid Umar as-Sagaf, tinggal di Siak dan mengajar Islam di Siak, juga wafat di Siak. Digelar sebagai Tuan Besar Siak. Ketiga, Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi yang tinggal di Terengganu dan mengajar Islam di Terengganu. Digelar sebagai Datuk Marang. Keempat, Saiyid Husein bin Ahmad al-Qadri (yang diriwayatkan ini)

Maka Habib Husein pun berangkatlah dari negeri Kulaindi menuju Aceh. Di Aceh beliau tinggal selama satu tahun, menyebar agama Islam dan mengajar kitab. Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Siak, Betawi dan Semarang. Saiyid Husein tinggal di Betawi selama tujuh bulan dan di Semarang selama dua tahun. Sewaktu di Semarang beliau mendapat sahabat baru, bernama Syeikh Salim bin Hambal. Pada suatu malam tatkala ia hendak makan, dinantinya Syeikh Salim Hambal itu tiada juga datang. Tiba-tiba ia bertemu Syeikh Salim Hambal di bawah sebuah perahu dalam lumpur. Habib Husein pun berteriak sampai empat kali memanggil Syeikh Salim Hambal. Syeikh Salim Hambal datang menemui Habib Husein berlumuran lumpur. Setelah itu bertanyalah Habib Husein, “Apakah yang kamu perbuat di situ?” Jawabnya: “Hamba sedang membaiki perahu.” Habib Husein bertanya pula, “Mengapa membaikinya malam hari begini?” Maka sahutnya, “Kerana siang hari, air penuh dan pada malam hari air kurang.” Kata Habib Husein lagi, “Jadi beginilah rupanya orang mencari dunia.” Jawabnya, “Ya, beginilah halnya.” Kata Habib Husein pula, “Jika demikian sukarnya orang mencari atau menuntut dunia, aku haramkan pada malam ini juga akan menuntut dunia kerana aku meninggalkan tanah Arab sebab aku hendak mencari yang lebih baik daripada nikmat akhirat.”

Habib Husein kembali ke rumah dengan menangis dan tidak mahu makan. Keesokan harinya wang yang pernah diberi oleh Syeikh Salim Hambal kepadanya semuanya dikembalikannya. Syeikh Salim Hambal berasa hairan, lalu diberinya nasihat supaya Habib Husein suka menerima pemberian dan pertolongan modal daripadanya. Namun Habib Husein tiada juga mahu menerimanya. Oleh sebab Habib Husein masih tetap dengan pendiriannya, yang tidak menghendaki harta dunia, Syeikh Salim Hambal terpaksa mengalah. Syeikh Salim Hambal bersedia mengikuti pelayaran Habib Husein ke negeri Matan.

Setelah di Matan, Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal menemui seorang berketurunan saiyid juga, namanya Saiyid Hasyim al-Yahya, digelar orang sebagai Tuan Janggut Merah. Perwatakan Saiyid Hasyim/ Tuan Janggut Merah itu diriwayatkan adalah seorang yang hebat, gagah dan berani. Apabila Saiyid Hasyim berjalan senantiasa bertongkat dan jarang sekali tongkatnya itu ditinggalkannya. Tongkatnya itu terbuat daripada besi dan berat. Sebab Saiyid Hasyim itu memakai tongkat demikian itu kerana ia tidak boleh sekali-kali melihat gambaran berbentuk manusia atau binatang, sama ada di perahu atau di rumah atau pada segala perkakas, sekiranya beliau terpandang atau terlihat apa saja dalam bentuk gambar maka dipalu dan ditumbuknya dengan tongkat besi itu.

KEDUDUKAN DI MATAN

Setelah beberapa lama Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal berada di Matan, pada suatu hari Sultan Matan menjemput kedua-duanya dalam satu jamuan makan kerana akan mengambil berkat kealiman Habib Husein itu. Selain kedua-duanya juga dijemput para pangeran, sekalian Menteri negeri Matan, termasuk juga Saiyid Hasyim al-Yahya. Setelah jemputan hadir semuanya, maka dikeluarkanlah tempat sirih adat istiadat kerajaan lalu dibawa ke hadapan Saiyid Hasyim. Saiyid Hasyim al-Yahya melihat tempat sirih yang di dalamnya terdapat satu kacip besi buatan Bali. Pada kacip itu terdapat ukiran kepala ular. Saiyid Hasyim al-Yahya sangat marah. Diambilnya kacip itu lalu dipatah-patah dan ditumbuk-tumbuknya dengan tongkatnya. Kejadian itu berlaku di hadapan Sultan Matan dan para pembesarnya. Sultan Matan pun muram mukanya, baginda bersama menteri-menterinya hanya tunduk dan terdiam saja. Peristiwa itu mendapat perhatian Habib Husein al-Qadri. Kacip yang berkecai itu diambilnya, dipicit-picit dan diusap-usap dengan air liurnya. Dengan kuasa Allah jua kacip itu pulih seperti sediakala. Setelah dilihat oleh Sultan Matan, sekalian pembesar kerajaan Matan dan Saiyid Hasyim al-Yahya sendiri akan peristiwa itu, sekaliannya gementar, segan, berasa takut kepada Habib Husein al-Qadri yang dikatakan mempunyai karamah itu.

Beberapa hari setelah peristiwa di majlis jamuan makan itu, Sultan Matan serta sekalian pembesarnya mengadakan mesyuarat. Keputusan mesyuarat bahawa Habib Husein dijadikan guru dalam negeri Matan. Sekalian hukum yang tertakluk kepada syariat Nabi Muhammad s.a.w. terpulanglah kepada keputusan Habib Husein al-Qadri. Selain itu Sultan Matan mencarikan isteri untuk Habib Husein. Beliau dikahwinkan dengan Nyai Tua. Daripada perkahwinan itulah mereka memperoleh anak bernama Syarif Abdur Rahman al-Qadri yang kemudian dikenali sebagai Sultan Kerajaan Pontianak yang pertama. Semenjak itu Habib Husein al-Qadri dikasihi, dihormati dan dipelihara oleh Sultan Matan. Setelah sampai kira-kira dalam dua hingga tiga tahun diam di negeri Matan, datanglah suruhan Raja Mempawah dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu akan menjemput Habib Husein untuk dibawa pindah ke Mempawah. Tetapi pada ketika itu Habib Husein masih suka tinggal di negeri Matan. Beliau belum bersedia pindah ke Mempawah. Kembalilah suruhan itu ke Mempawah. Yang menjadi Raja Mempawah ketika itu ialah Upu Daeng Menambon, digelar orang dengan Pangeran Tua. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Sebukit Rama.

HABIB HUSEIN PINDAH KE MEMPAWAH

Negeri Matan dikunjungi pelaut-pelaut yang datang dari jauh dan dekat. Di antara ahli-ahli pelayaran, pelaut-pelaut yang ulung, yang datang dari negeri Bugis-Makasar ramai pula yang datang dari negeri-negeri lainnya. Salah seorang yang berasal dari Siantan, Nakhoda Muda Ahmad kerap berulang alik ke Matan. Terjadi fitnah bahawa dia dituduh melakukan perbuatan maksiat, yang kurang patut, dengan seorang perempuan. Sultan Matan sangat murka, baginda hendak membunuh Nakhoda Muda Ahmad itu. Persoalan itu diserahkan kepada Habib Husein untuk memutuskan hukumannya. Diputuskan oleh Habib Husein dengan hukum syariah bahawa Nakhoda Muda Ahmad lepas daripada hukuman bunuh. Hukuman yang dikenakan kepadanya hanyalah disuruh oleh Habib Husein bertaubat meminta ampun kepada Allah serta membawa sedikit wang denda supaya diserahkan kepada Sultan Matan. Sultan Matan menerima keputusan Habib Husein. Nakhoda Muda Ahmad pun berangkat serta disuruh hantar oleh Sultan Matan dengan dua buah sampan yang berisi segala perbekalan makanan. Setelah sampai di Kuala, Nakhoda Muda Ahmad diamuk oleh orang yang menghantar kerana diperintah oleh Sultan Matan. Nakhoda Muda Ahmad dibunuh secara zalim di Muara Kayang. Peristiwa itu akhirnya diketahui juga oleh Habib Husein al-Qadri. Kerana peristiwa itulah Habib Husein al-Qadri mengirim surat kepada Upu Daeng Menambon di Mempawah yang menyatakan bahawa beliau bersedia pindah ke Mempawah.

Tarikh Habib Husein al-Qadri pindah dari Matan ke Mempawah, tinggal di Kampung Galah Hirang ialah pada 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M. Setelah Habib Husein al-Qadri tinggal di tempat itu ramailah orang datang dari pelbagai penjuru, termasuk dari Sintang dan Sanggau, yang menggunakan perahu dinamakan `bandung’ menurut istilah khas bahasa Kalimantan Barat. Selain kepentingan perniagaan mereka menyempatkan diri mengambil berkat daripada Habib Husein al-Qadri, seorang ulama besar, Wali Allah yang banyak karamah. Beliau disegani kerana selain seorang ulama besar beliau adalah keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Dalam tempoh yang singkat negeri tempat Habib Husein itu menjadi satu negeri yang berkembang pesat sehingga lebih ramai dari pusat kerajaan Mempawah, tempat tinggal Upu Daeng Menambon/Pangeran Tua di Sebukit Rama. Manakala Upu Daeng Menambon mangkat puteranya bernama Gusti Jamiril menjadi anak angkat Habib Husein al-Qadri. Dibawanya tinggal bersama di Galah Hirang/Mempawah lalu ditabalkannya sebagai pengganti orang tuanya dalam tahun 1166 H/1752 M. Setelah ditabalkan digelar dengan Penembahan Adiwijaya Kesuma.

Akan kemasyhuran nama Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah itu tersebar luas hingga hampir semua tempat di Asia Tenggara. Pada satu ketika Sultan Palembang mengutus Saiyid Alwi bin Muhammad bin Syihab dengan dua buah perahu untuk menjemput Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah datang ke negeri Palembang kerana Sultan Palembang itu ingin sekali hendak bertemu dengan beliau. Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah tidak bersedia pergi ke Palembang dengan alasan beliau sudah tua.

WAFAT

Dalam semua versi manuskrip Hikayat Habib Husein al-Qadri dan sejarah lainnya ada dicatatkan, beliau wafat pada pukul 2.00 petang, 2 Zulhijjah 1184 H/19 Mar 1771 dalam usia 64 tahun. Wasiat lisannya ketika akan wafat bahawa yang layak menjadi Mufti Mempawah ialah ulama yang berasal dari Patani tinggal di Kampung Tanjung Mempawah, bernama Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar