KH. Muhammad Fuad Hasyim
Dalam kalkulasi rasional, tentunya ia jauh dari kualitas ilmiah. Tetapi realitasnya, setelah Kyai Fuad terjun ke tengah-tengah gelanggang masyarakat, banyak kiai-kiai senior yang menjadikan Kyai Fuad sebagai kamus untuk rujukan atas berbagai permasalahan hukum dan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, sehingga banyak orang beranggapan bahwa Kyai Fuad adalah figur yang berilmu ladunni wallohu a’lam.
Selain aktif mengajar dan mengimami sholat jama’ah para santri di pesantren, Kyai Fuad juga seorang muballigh yang sangat laris, hampir tiada hari kosong untuk tampil sebagai pembicara dalam berbagai forum pengajian di hotel-hotel berbintang dan lapangan perkampungan. Bagi Kyai Fuad, pengajian berlokasi di lapangan penggembala kambing maupun di hotel berbintang adalah sama. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya, biasanya tidak repot untuk mengundang Kyai Fuad dalam pengajian hajat pribadi yang dilaksanakannya, semisal acara khitanan, pernikahan dan sejenisnya, beliau senang menghadiri undangan pengajian para masyarakat bawah. Sebuah sikap yang sungguh sangat bijaksana yang belum tentu bisa dilakukan oleh para kiai lain sekelasnya, utamanya fenomena kiai angkatan dekade akhir-akhir ini.
Selain menguasai bahasa Arab dan Inggris, Kyai Fuad juga menguasai dan fasih berbagai bahasa lokal, seperti bahasa Cerbonan, bahasa Jogja, bahasa Solo, bahasa Madura, bahasa Suroboyoan, bahasa Sunda, bahkan Kyai Fuad juga mampu dengan fasih bahasa gaul Jakarta, dan berbagai bahasa lokal serta bahasa daerah lainnya. Setiap kali beliau menyampaikan ceramah, selalu sesuai dengan bahasa daerah di mana pengajian dilaksanakan.
Pidatonya tegas, lantang, sopan, penuh humor, bahkan sering terlontar ungkapan yang terkesan “nyelekit”. Di antaranya kiai Fuad sering menyentil kaum non pesantren, dengan ungkapan “Setiap tahun ribuan sarjana pengangguran terus bertumpuk yang dikeluarkan oleh berbagai perguruan tinggi negeri, tetapi tidak ada ceritanya ustadz lulusan pesantren swasta mana pun yang jadi pengangguran”.
Di antara kegemaran Kyai Fuad, beliau banyak mengoleksi foto pribadinya bersama orang-orang dekatnya. Di dinding ruang tamu rumahnya, terpajang foto-foto beliau bersama elit-elit NU lainnya, juga dipenuhi dengan foto-foto beliau bersama para kaum berbintang (jenderal), para artis, budayawan, dan pengusaha papan atas.
Tawadlu adalah sikap yang sangat lekat pada pribadi Kyai Fuad sekeluarga. Baju koko, sarung dan peci yang berwarna serba putih dengan model sederhana itulah ciri khas pakaian keseharian KH. Fuad Hasyim, baik ketika berada di berbagai forum ilmiah, di hotel-hotel berbintang bersama para petinggi negara dan intelektual papan atas, maupun pengajian-pengajian di lapangan terbuka kampung pedalaman, bersama kaum kuli, para tukang becak dan berbagai lapisan masyarakat bawah lainnya, dan ketika beliau menerima aneka ragam kelas tamu-tamu di kediamannya di pusat komplek Buntet Pesantren Cirebon.
Hari senin tanggal 12 Juli 2004 kira-kira sekitar pukul 09.00 WIB Kiai Fuad menghembuskan nafas terakhir di pangkuan anak sulungnya, K.H. Lutfhi Hakim di dalam mobil pribadi dalam perjalanan ke RS Pelabuhan. Beliau meninggal karena komplikasi beberapa penyakit seperti sesak napas, paru-paru, penyakit jantung serta pengeroposan tulang. Kyai Fuad meninggal dalam usia 63 tahun. Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Hj. Minhatul Maula, beliau dikaruniai 11 orang anak dan 9 cucu.
Berita meninggalnya Kyai Fuad Hasyim merupakan berita kesedihan yang mendalam bagi warga Nahdhiyin pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Esok harinya tanggal 13 Juli 2007 pukul 10.00 WIB jenazah Kyai Fuad Hasyim dimakamkan di Komplek Kuburan keluarga Pondok Buntet Pesantren. Ribuan masyarakat dari berbagai pelosok daerah berduyun-duyun datang ke Buntet Pesantren Cirebon untuk berta’ziah mengantarkan Kyai Fuad Hasyim ke peristirahatannya yang terakhir. Semoga beliau diterima di sisi-Nya, Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar