Sabtu, 27 Juli 2013

PUISI ROMANTISME NEGERI MINYAK



Biografi :       Yohanto A. Nugraha

Yohanto A nugraha alias Gatot alias   Abuk alias Lie Keng Hoek kelahiran blok pecinan, desa Karanganyar Indramayu 18 februari 1955, menulis puisi sejak tahun 1974 pernah dimuat media daerah dan pusat, membentuk komunitas sastra KREASI tahun ’80 dan menyelenggarakan lomba-lomba dan diskusi sastra menggarap beberapa naskah drama dan monolog, pernah mengasuh ruang sastra di radio cindelaras, RSPD kabupaten indramayu, pernah menjabat sebagai ketua umum dewan kesenian indramayu periode 2004-2007  ,tapi hanya satu tahun dia menjalaninya ……. dan kumpulan puisinya “resonansi sepanjang usia” [komunitas bantaran, 2009] “Aku Akan Pergi Ke banyak Peristiwa”, [Antologi 9 penyair jawa barat oleh budpar jabar, 2005], “orasi sunyi” [Formasi, 2005], lagu matahari bersama Kijun [DKI, 2004], Resital puisi 11 penyair indramayu [Dewan Kesenian Indramayu, 2001] JURANG bersama H, Ope Mustofa [Formasi, 1999, “kiser pesisiran” [Forum Masyarakat sastra Indramayu, 1994] tanah garam [Kreasi, 1992] sekarang sedang merintis antologi penulis puisi tunggalnya “ lirik airmata alias puisi sms ” dan mendirikan komunitas seni“bantaran” di blok; talang tembaga gg. Cempaka Rt,23 Rw,01 Lemahabang Indramayu, Jawa Barat. mobile  085314921581 dan beristrikan seorang wanita bernama jumiatin dan berputra ; samsul, lukman, mustika wijaya dan adi adhari a nugraha dan bercucu farah annisah haya, bayu dan hafiz dan sekarang bergiat di forum masyarakat sastra indramayu atawa formasi.


RITUS PENGANTIN
- kepada jumiatin


memandang hujan pada matamu seribu lukisan
tergantung mengirimkan pesan kemarau
lewat telepon yang berdering di kamar
menggenapkan kekalahan atas kesunyian waktu
terlalu lama kita berdusta pada musim
mengetuk percakapandi beranda
hujan mengabutkan airmata dan mengisyaratkan
gerhana. hari memberat menggantungkan impian

masa kanak-kanak dan kau jadi batu
pada kediamanku seperti setiawati
bagi narasoma membuka padang-padang
tertusuk ilalang terluka kubasuh sepanjang
kelengangan dan airmata terus mengguncang
hatimu penuh genderang kuru setra 
dalam cawan darah
kulangkahkan mahar
atas ritus ini



Indramayu, 1991



  
ZIARAH API
: bagi sp. hidayat


- 17 mei angin membawamu dalam hening wisik
dan kau pun mengukur usia sejarah berlari
menjaring mitos perempuan
runtuh kebalik ranjang pengantin
tapi kau tersenyum atas limbah pabrik inikah
kutuk yang dijanjikan ki tinggil atas ranah moyangku
 kau pun ngembara ke kota-kota bersama mimpi wiralodra
dalam undakan dan lipatan romantisme nyi ending dan senja pun
lindap bersama kesakralan sambil bercumbu bau leher
san gairah cinta bak gurun sahara  sakramen ini
harus kita sudahi  kita pun saling bertukar piala
seperti bangsawan dan pangeran abad-abad silam lihatlah
aku pun telanjang membiarkan tubuh mempersimpit jarak
bukankah ini yang dilakukan bapak adam
dan ibu hawa mengajarkan kita tak takut-takut untuk saling
melukai dan ingin kuceritakan kepadamu tentang retorika
kisah purba - jayaprana-layonsari - jaka tarub - rama-sinta
romeo-yuliet atau kesetiaan yang sia-sia oidepus - cleopatra
bandung bandawasa diantara nugraha yang tergusur atas prasangka buruk 
dialirkan jantung jiwa bukankah prasasti itu tak kalah penting
dengan cerita asmara ala yasunari Kawabata - tolstoy
atau tarian mabuk para darwis jaman rummi

- 17 mei bulan mengantarmu di lirik bidadari-bidadari
Menebar kasmaran dan sebutir bintang dalam pelukan
bersama gerimispada loncatan detik dan kau pun berbisik
tuntaskan tangis sejarah dan angina senantiasa menyebarkan
aroma kemenyan mencari memedi sawah
berlarian sepanjang galengan dan bentangan cimanuk
pada kanvas menterjemahkan mitos kijang
yang membuat sarang pada tumpukan gabah. basah
rambutmu mengobarkan birahi  berapa harga kesetiaan
cinta pun jatuh seperti bola api selebihnya lenyap
di telan plaza diskotek dan semerbak diodoran
bagi nasib seorang pemabuk tanpa kartu pengenal
dan yang kurindu adalah gaga semangka
tanpa harus membakar pesawahan aku takut
pada keluguan batapa auranya akan mengalirkan limbah
pabrik - polusi dan orang-orang saling memperkosa
tanpa tangis lalu mereka berlomba di tengah
peradaban gelombang perang dengan pelana abad
lupa diri hingga teratai di kolammu gemetar
 yat kemana kau sembunyikan wajah kami 

pondok cabe, 2006  
HUJAN SORE HARI
-  wr dalam catatan

dalam hujan sore hari dan dingin
sudut-sudut kamar yang bersijingkat
mencari mata pisau sungguh aku lupa
siapa yang memindahkan wajahmu
memaksaku merabah seluruh tubuh
menarik kepusaran yang paling jauh
dan asing kukira engkaulah peri penggoda
matamu memancarkan seribu telenovela
berenang mengarungi lautan bercampur limbah
yang kian mengubah wajahmu sebab aku hanya
daun terbawa arus atau kumasuki mimpi
wiralodra yang kasmaran menanti nyi endang
mandi besar setelah perang tanding yang membuncah
diantara bantaran. sebagai tanda bahwa disini
telah ada bencana dihamparan baro-baro yang luka
dan amis darah pinangeran mengubur kesombongan
selendangmu tak sekedar berkibar tapi terbang
membawa kunang-kunang yang gemerlap
meski padepokan itu harus kau hancurkan
tapi jangan kau seret aku dalam peristiwa aku hanya
sayap kata-kata dan perkenankan puisiku melingkari
persetubuhan sebab aku sulit membedakan
malam dan siang meski ricik airmu menjelma
lembayung dan kukira aku telah melukai
dengan kata-kata pilihlah dimana akan kau tancapkan
cakramu agar melengkapi kesempurnaan hidup
dan terbebas dari dendam masa silam
seperti engkau usung prasasti negeri ini sebab birahiku
membias diantara jalan-jalan yang menghubungkan
jambangan bunga dan menawarkan kenyamanan
meski arusmu tersumbat merekalah milikmu
wajah api yang membakar pesawahan 
dalam hujan sore hari                            


Indramayu; revisi  1999
[ atas bundanya  anakku ]












REQUIM
- atas bunda  

- ada sisa percakapan di sini
mengering perih kembang soka luruh
bertahan dari bisik waktu yang di-kristal-kan
menggeliatkan kenangan senja kelam 
dan gerimis pun mengucur begitu dingin malam
mengantarkan benih yang tak sempat di-sema-ikan
dari kebekuan hati dan angan-angan yang terserak
mengusik ketenangan romantisme pasir pantai
sementara angin pun semakin lelah
mendorong perahu ke muara-


( - lie kiem hwa )
Indramayu, 081992






LIRIK AIRMATA
- kepada farah anisa haya


sudah terlalu lama suaramu kumimpikan
bersama gerimis hingga kedinginan. subuh
mencairkan gema adzan terkubur diantara
lorong-lorong jiwa yang luruh menterjemahkan
keperihan hati di tawarkan airamata orang-oranga
berdoa begitu suntuk bagi burung-burung
melintasi rawa-rawa sebelum fajar meninggalkan
nyanyian berlebih hurup jadi bagian kehidupan
selalu kau tolak masa silam mengantarkan aroma
melati berloncatan sepanjang rakaat bagi sujud
dan tangisan membentang rindu di tuliskan cuaca
menjarah kesejukanmu annisa ingin keteriakan
retorika kehidupan yang tak habis-bahisnya
membongkar kengerian diendapkan bianglala
mengirim bulan atas hati yang koyak disini
ingin kugulung semua impian bagi peradaban
yang ditawarkan berjuta virus



Talang tembaga revisi, 2001










DISINI ADA KENANGAN YANG MEMBIAS
DIANTARA GEMETAR HUJAN


diantara bantaran kita pun bisu kemana puisi yang gemetar dan engkau pun bersijingkat menawarkan arus yang tersumbat melukiskan aliran sungai sampai muara yang membentang sebab esok akan datang lamaran arya wiralodra kasmaran  menterjemahkan lontar  terbakar birahi kesumat membunuh segala romantisme  disini ada kelahiran yang sungsang bagi kanak-kanak tumbuh dan besar bersama limbah tapi dimanakah janji ratu adil yang kau corongkan siang dan malam atas tepian sungai sepanjang tahun yang akan mengencangkan tubuh  aku pun lindap dalam gemuruh pabrik dan ribuan pohon tumbang bersama angin puyuh membawa mimpi orang-orang atas tahun lalu jadi kering karena musim telah mengasingkan segala cuaca  kau pun berkerut wajah menguraikan segala rindu yang mengeram kesunyian telah menjadi aneh dan kita pun mengaji diantara hiruk pikuk reruntuan kota-kota bagi perjamuan kemana kau simpan wangsit yang dulu mempertemuakan ki tinggil dengan seekor kijang  tersungkur di hamparan suket teki  biarlah semuanya menjadi ricik air dan nista sejarah yang menggelinding dan menyelinap diantara tapak-tapak ranah moyangku  meratakan mimpi kanak-kanak  berulang kuwartakan cinta ini dengan airmata para penziarah mengusung prasasti wiralodra yang kehilangan cinta abadi  telah lama kutampung kutuk ini dan kemana sirnanya amarah yang membakar ‘gandulane ati’ cintamu sempit menjelaga sungguh ia serupa lembayung  sambil kulafalkan lagi mantra yang kau ajarkan di malam-malam sehabis gerimis tuntaskan nyanyian para pendusta  ini serupa candu masa silam dan angkara melibatkan kejumudan dan jangan sebut ibu di tanah ini  yang telah membunuh artefak moyangnya dengan siapa akan kumaknai pelancongan ini dan seekor kijang melintas  kau pun jatuh cinta di bawah tekanan mimpi memeras keringat orang-orang yang mengusung ajal  tak ada siapa pun disana dan namamu bagai fatamorgana semua cermin membayangkan senyum hingga kau dapat menemukanku disini  diantara debur ombak yang kian menepi  seumpama angin berpusar sebagai riwayat yang menyalalakan mata angin dan kau pun bersikeras mewartakan kembali tentang pangeran selawe gugur sebelum waktunya  lalu kau pun melupakan tapak-tapak sejarah yang menyelipkan surat bagi kanak-kanak yang kita lahirkan bersama  seperti bantaran yang tak memberiku makna perjumpaan dan membiarkan  kenangan indah bagi seekor kijang  jadi prasasti  dan puisi telah memberiku kesepian bersama kelengangan sebab arusmu terbendung dengan segala gelombang seperti ingin menanggalkan tubuh jadi santapan para penziarah  inilah kado kelahiran muncul dari sumur bidadari dan bayangkanlah bulan sepotong memberi warna cahaya diantara tepian sungai bersama cericit burung merayayakan kemurnian pohon-pohon sepanjang bantaran  menyuapi orang-orang  bukankah engkau mendengar desir angin hingga kelopak matamu nanar menghujam bagai panah pesopati milik penengah pendawa  bukan cerita sejarah membuat kita disini mencermati hamparan ilalang lalu kutemukan irama hidup yang sekarat menahan limbah dan matamu masih saja sembab begitu banyak harapan dan impian yang tergambar  pada lingkaran alis mata penuh pesona   engkau pun menjelma kupu-kupu dalam rongga masa silamku serupa gelepar jiwa dan sekali waktu perasaanku memeras doa-doa  kupejam mata mendengar erangan bantaran di kepung seribu bulldozer atas udara kecut berselimut aroma solar  baiklah kujalani kutuk ini untuk menyediakan ruang bagi bayang-bayang kekinian sebagaimana aku harus mengenangmu dan tak bisa kulukis wajahmu yang selalu menutupi perjumpaan selalu melilitkan persetubuan dan mereka tuangkan pada sawah ladang yang kian gersang karma cerobong pabrik  inilah potret kemajuan yang kau impikan disini adakah gemericik air hujan membasah kita pun mandi besar dalam darah orang-orang melawan arus kebijakan dan  keangkuhan telah jadi racun yang mereka wariskan sepanjang malam membayang wajah pesisirmu di balik lentera jalanan  seperti kenduri nenek moyangku yang bersemi dalam laku lampa  menebar aroma garam mengucurkan doa bagi langit membuka rahasia dan kita tuai rasa perih kanak-kanak mengedepankan segala keinginan dan kerinduan serupa muara menampung tekanan mimpi  siang hari dari lapar jiwa setiap detik mengeja ajal  sekarat menahan limbah dan dengan siapa transformasi ini melindapkan penyeberangan  aku mabuk melangutkan segala mimpi sungguh aku luput menangkap larutan dan membuatmu murung pada usia yang memar  seperti jantungku penuh dendam menahan cinta dan angin selalu menerbangkan satu teriakan  tiba-tiba seekor kijang tersesat di super market mencari wewangian dan engkau pun beringsut bersama debu-bedu yang menebal  pada kaca  tapi kemana embun yang menyebarkan dingin subuh meruap diantara para pelancong membuka tubuhnya seperti cahaya menyelisik menyingkap gelap malam bersama desir angin dan rumah baru yang suwung  seperti yang kita impikan di malam-malam ketika gerimis turun perlahan pada dahan mati  sayang engkau tak paham  meski senyummu di menolak mengabarkan percintaan ranjang pengantin disini aku mewarisi kegamangan rindu batang khuldi  kemana kanak-kanak kau ungsikan atas kandungan sungai yang kau kuras bersama deru buldozer sebagaimana hidup di bangun dengan keangkuhan  meruntuhkan malam diantara kuburan dan engkaulah peri penggoda di remang sunyi yang tiba-tiba menghembusan angin lembut dari arwah yang berlabuh menahan debur ombak sepanjang pantai aku  jadi ingat wanita yang menyimpan segala misteri untuk terus saling tidak percaya aku akan tetap membuat sajak jauh kedalam tanah tapi nasib berkata lain  inikah kutuk itu sampai tak tau jalan pulang seperti ikan-ikan mabuk dan sejarah selalu berulang bagi asmara sebatas beton lantai lembab dan kegagalan adalah formula tuk membangun impian masa remaja yang gemilang  sementara kini aku hanya membias menyimpan pantulan wajahmu  demikialah hidup berawal menyadap ajal dan dan membakar ladang-ladang yang dinistakan orang-orang dan kubaca arah angin kemudian kubangun impian dengan nalar atas gairah cinta yang terus bergumam  aku mabuk sepanjang bantaran dan tapak-tapak sejarah telah kehilangan aroma padahal pahlawan sudah lama gugur  engkaukah yang sembunyikan primbon atas ribuan wajah datang dan pergi terlanjur menyatu dengan riak sungai yang kehilangan aromanya atau rumah tanpa jendela lantas apa yang akan kukabarkan bagi penantian ini  aku pun berdoa atas orang-orang mendenguskan kematian di jalan-jalan yang tiba-tiba seperti sebaris sajak chairil menuju pelabuhan demi pelabuhan  menggenangkan arwah wiralodra tersimpan berabad lamanya dalam kegelapan menyelimuti bumi moyangku diantara gerimis dan tetesan airmata mengalirkan limbah yang membakar  inilah kemurungan yang kian larut dalam hujan sore hari dan tak ada upacara atau kenduri disini  lembayung surut mengaburkan cahaya wahyu yang dijanjikan sejarah  aku tahu kau yang menghilangkan riak air dari hulu serupa bayang-bayang subuh tergantung dan kita pun sepakat mencari bantaran yang layak kita taburi benih cinta dan tak selamanya kepura puraan mengasah dendam yang menyala diantara masa silam berkubang dalam lendir  sekali waktu terbayang wisata jalan raya penuh birahi atas panorama meski kita tuntaskan sebelum malam mendesak untuk tak takut-takut bahwa kenyataan bukanlah beban  maka kubiarlah jadi kenangan dan selalu ingin kutulis namamu dalam lembaran retorika kehidupan


Indramayu, 2007.







VIBRATION OF THE FISH
; bagi dirot kadirah


- dalam bentangan abad-abad yang terbakar ikan-ikan menanggalkan karang memaksaku membaca kembali mantra ki tinggil atau memimpikan negeri gemah ripah loh jinawi sepanjang bantaran yang gelap lindap lautmu membawa duka lara dan penziarah itu mencari jejak sejarah entah bagi siapa perburuan ini masa kanak-kanak yang tergusur dari keluasan laut dan layar terkembang atas cadik bagi perahu saat menjaring harapan diantara limbah sesajen melarungkan gasing berputar putar merotasi mimpi pulau dewata dengan aroma kemenyan mungkin nenek moyang  kita sama tapi kemana tangis orang-orang mengusung lapar bersama gairah kepedihan cuma pengantar ikan-ikan bagi nelayan menyuarakan kesengsaraan di jalan-jalan menuju pabrik sambil membentangkan selendang mayang hingga bantaran semakin tenggelam bersama sungai-sungai terkubur otak penguasa yang tak paham aroma sejarah. ia hanya mengabarkan banjir bandang bagi tubuhnya menguapkan bau tanah dan kematian ikan-ikan di pasar kau pun berhias diri sebelum kehilangan hunian dan kubaca kembali primbon nenek moyang namamu ada rohani yang ngembara dan seharusnya kau sembunyikan diantara kemarahan ikan-ikan dan wanita yang kehilangan suami kau pun mengeja hari-hari yang suntuk kenapa kita jadi budak jaman yang di pertuankan atau dituankan dan kau pun tak mau  kehilangan raga kamana kau kirim kado perkawinan seekor ikan sungguh aku tak menerima apa pun dan  kau pun bukan wiralodra bercinta dengan nyi endang dan siapakah yang semedi dalam gua garbamu membiarkan keringat menuntaskan segala kenangan dan kau pun menuai percintaan sepanjang arus cimanuk bersama ikan-ikan terjegal tilu braja bagi masa silam yang memetakan segala peristiwa berulangkali menyuarakan aura sungai-sungai saling melilitkan nasib  aku mencintai dengan segala jiwa  katamu sambil menelanjangi ikan-ikan yang sekarat bersama limbah


Talang tembaga, mei 2006





















METAFORMOSA
-  kepada, candra n pangeran


1.
anjani darah kesadaranku membias diantara suara-suara gamelan jadi telaga dzikir bersama orang-orang yang menyuarakan kesengsaraan musim sepanjang pantai atas bibir gelombang mengubur prasangka buruk dialirkan jantung jiwa bagi seorang kekasih begitu tabah menata airmata sementara kanak-kanak berlarian diantara pusat-pusat informasi bangkitkan parikesit atas semar-semar jalanan dan kita pun  membuat persimpangan demi persimpangan menyemarakan pesta kembang api dalam gumpalan kerinduan melengkapi  pembusukan nurani mengerami  sejarah moyangku diantara limbah pabrik dijejalkan teknologi
2.
anjani waska yang tercipta dari lendir kesadaran nurani telah membangun berhala dan menjelma angka-angka statistik atas rindu sejarah ruangtamu melangutkan gerimis sore hari hingga isyarat yang kau janjikan lenyap bersama embun  semalam jadi padang-padang perburuan diantara pohon-pohon cantigi sepanjang pantai yang terluka  dan tubuhmu menyengat di celah-celah kegelisahan mengiringi diammu menuju konspirasi demi konspirasi tapi disinilah kau dapati kehangatan masa silam yang menyapaku setiap pagi atas cakrawala kelam menghubungkan fatamorgana kedalam kamarku penuh birahi
 3.
anjani suaramu membakar amarah orang-orang yang kini jadi momok  membentangkan kesunyian waktu terbaca jejakmu diantara kilatan kramik dan sisa tumpukan masa silam meliukan gairah semar-semar pun tersenyum menangkap sorot matamu penuh dendam atas derita rindu diapungkan doa seperti ricik hujan yang membakar sementara tubuhmu membuat petak umpet bagi persinggahan airmata yang berputar-putar atas dinding rumah kontrakan lewat sentuhan-sentuhan yang tak kau sadari bergerak dalam tubuh kami membuat lingkaran seperti matahari dalam sakramen ini

Indramayu, 2002




















GERIMIS


1
gerimis pun menyapamu diantara senja yang muram tapi dingin  menyebarkan aroma cimanuk yang meranggas. barangkali ini sebuah kutuk atas mimpi-mimpi tentang perjalanan ki tinggil yang membakar hutan belantara disini sajadah yang kau bentang di pelarungan rumah itu dan rambut tergerai basah oleh embun semalam telah menitis dalam tidurku sayang kita melupakan mantra-mantra yang diajarkan sejarah melingkar-lingkar sepanjang bantaran dan suaramu kudengar lewat debur ombak mengantarkan kepiting dan umang-umang menyusuti kebisuan karang disini di sungai inilah kau pertemukan nyi ending dengan airmata kasmaran mengeja hari-hari penuh harap dan kenangan yang menyelinap kedasar kepedihan orang-orang.  

2
gerimis itu menyapamu sepeninggal senja yang kini menjadi bendungan seperti engkau menerima kutuk dan luka yang dimitoskan sejarah telah mewarnai gemerincing waktu berutar-putar melewati jalan-jalan yang menghubungkan kedalam dadamu penuh ramalan.ratu adil sambil mengintip nasib orang-orang terusir aku baca kemabali lontar atas bingkai jendela yang kau hadirkan dalam mimpi semalam akulah sipemabuk yang  mengubur dirinya sendiri karna tak mampu menterjemahkan perih dan mengepakan resah cinta atas peperangan di ranah moyangnya  akhirnya aku membangun juga persinggahan demi persinggahan walau aku ragu akan makna persinggahan bagi dirimu yang berjalan sepanjang sujud dan rakaat

3
gerimis itulah yang menghadangmu atas kesenyapan waktu mendesirkan rasa mengusik jantung penuh  batu-batu. ingin kuziarahi seluruh masa silam agar sajadah yang kau bentang mampu memeberi penerangan jalanku disini disepanjang bantaran yang tak memberi makna sejarah dalam tubuh yang terbungkus selendang mayang berwarna kuning keemasan membuatku rikuh nyi ending pun tersenyum menapsirkan bunga-bunga tumbuh di petilasan itu kau lihat matahari di kanvasmu penuh warna kesunyian melepas segala beban kerinduan dan “hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah”.........     


 “) sajak chairil anwar “derail-derai cemara”
Revisi, 2009-2000












KAU PUN BERLARIAN  DI RICIK HUJAN
-  catatan bagi affin riyanto

kau pun berlarian diantara ricik hujan di subuh jingga tapi tak kutemukan sendu pada wajah dan angin selalu melucuti sisa gemetar pada detak jantung yang  menggemuruh pada  sebuah cuaca menyatukan segala kehendak melukiskan takdir dan hanya kerangka yang harus disempurnakan dan kau pun diam memaknakan goresan pada kanvas membentang seperti pelaut yang kehilangan peta moyangnya membias jaman bagi kesakralan aku masukan nama nama saat keringat orang-orang bertutur sapa seperti para aulia memendam segala prasangka yang dialirkan jantung jiwa atas pengembaraan abadi melayarkan segala kenangan hidup  melepas laut pada usia lalu dari balik kobaran api munculah wajahmu penuh pesona kemana kau kubur cinta yang dulu mengajarkan kita tak takut-takut mengarungi limba belantara  inilah hikayat ranah moyangku menjadi rawa-rawa tandus dan sungai yang tersumbat dari ujung perkampungan atas perdebatan selalu tak berujung inilah masa panen yang memotong kelamin orang-orang saat burung-burung melintasi harum padi dan sisa pembakaran disini dikedalaman tubuh yang menyimpulkan aroma duka lara mengantar mimpi orang-orang yang tergerus mengaliri birahi kesumat seperti bulan melanguti malam diantara mega-mega jadi menggemuruhkan makna diantara slogan sepanjang perkampungan bergantungan dan kau dengar suara yang menggelegar menjelma berjuta airmata dan luka sejarah bagi kanak-kanak yang menyusuri ranah monyangnya pada hari-hari menumpuk. adalah takdir yang menyelimuti rawa-rawa yang semangkin menjauh sebelum nyi endang terusir di tanah perjanjian hujan pun turun dari balik kelam hunian dan desir angin laut tanggalkan pesan kemarau menghapus nama-nama dan senyum yang membius engkaulah yang mampu menggoda malam pengantin pada persimpangan tak sempat mengirim doa seperti pesakitan digelandang ombak bersama hujan atas halilintar sampai kapan kutemui ujungnya dan dapat menjumpaimu maka kuhapal seribu mantra agar kering air mata atas  gelap yan membayang wajah pesakitan justru ketika kerinduan mengelabui ziarah ini

Talang tembaga 2009



Yohanto A Nugraha

PISAU WAKTU
: catatan bagi syayidin sr


- narasi yang ada pada goresanmu mengabarkan
ricik air kran itu membisu saksikan tubuh
menahan beban gelombang. darahnya menyergap
sudut kanvas menjadikanmu kelimpungan
mengeja hari-hari penuh genangan pada kaca
menterjemahkan sebera panjang doa lucan capulet
menyisir padang perburuan “inilah panen raya itu”
teriak jaihan sambil menutup mata chairil anwar
terbaring diantara perempuan yang kehilangan mata
dan hardi membentak bentak menempel  wajah presiden
tapi kekuasaan jatuh pada perempuan “akulah reformasi”
sambil tersenyum surya palo menjelaskan persatuan
dan kesatuan yang membingungkan kanak-kanak

- narasi yang kau gelar kini jadi bunga bakung
meliarkan mimpi wergul w darkum yang meragukan
tepung kanji atas tubuhnya dan kita pun sempoyongan
mendengar suling dermayon mewarnai percintaan
atas genangan sampah-sampah tanggul cimanulk
aku tersekap ketika kau taburi wajahku dengan lumpur
kehidupan yang menjegal jalanku. bersama fujail
kuusung keranda ayah ibu melewati kesunyian waktu
maka kunyanyikan  “requim aeternam deo” sambil
membangun surau-surau di dalam tubuh kami dan
matamu nanar menelanjangi kemiskinan
diantara lautan airmata

- narasi yang kau buat kini telah menjadi monster
melintasi lautan dan membuat pulau-pulau kecil
tempat kanak-kanak membangun romantisme
tanah moyangnya yang tergusur
seribu buldozer



Talang tembaga, 2004








JAGAT ALIT
-  kepada  wergul w darkum


telah kau ziarahi kesepianmu diantara kilatan
lampu pada aroma kemenyan. menggusur kelaparan
nurani yang resah memandang gedung-gedung
dalam cawan darah dan airmata membungkus salam
kepada jagat   membentangkan kain kafan meruatmu
sedang aku memunguti masa lalu dengan menyobek
almanak yang sekarat di makan waktu
seperti pohon-pohon sepanjang panatai. kita mesti
istirahat meluruskan badan dan mengencangkan
segala impian kanak-kanak untuk kita jual
televisi menayangkannya pada kesia-sian sajak
membias wajah memar di jalan-jalan menuju
pendopo. tergantung keasingan dan menuliskan 
angka-angka yang membakar cerobong pabrik
seperti doa yang diapungkan gelombang. terbaca
kesengsaraanmu pada pucuk daun kering luruh
mengkristalkan kebohongan peradaban jaman
masihkah kau menunggu suluk ki dalang
yang memidurkan segala impian dan angan-angan
terbuang  seribu gunungan menututupi kecemasan
kita pun terlahir dari rahin yang sama
dan bumi ini akan menangis menyaksikan segala
hujatan. bulan lengser bersama jerit tangis
dan darah membusuk jadi tumbal sejarah



Indramayu, 1998


Tidak ada komentar:

Posting Komentar