Sabtu, 27 Juli 2013

PUISI ROMANTISME NEGERI MINYAK



Abdul Basyit

Berlayar


laut mana gugah genangan rinduku
debur
getas
hingga harapan sisa terkulai
mencium duri duri tangkainya

duh
karang lautku debar itu makin jelas
dari getar getar paling sembunyi
kukayuh pada gemamu ke timur
kudayung keringat
kudayung rebah
kudayung gugah pada ke 99 cintaku
yang terus menunjuk ke timur
duh
kau demikian seluruh
lelahku meniti hiba
merebut hangat kerlip
cintamu
























Abdul Basyit
Episode yang Tinggal


sebuah perjalanan ingatkan bertebar jejak. sesaat
(dalam singgah pun tiada kata perbedaan
yang tak berarti)

dan ketika serpah lewat matamu
bicara
rautmu bersisa jua
demikian kutepis kembali merintang

lalu kau tanya
kemanakah hati yang kupercayakan
lantas, jemu habisi lakon
kita………………..






























Abdul Basyit
Terasing


cermin langkah di hadapanku menjalin cercah
menyala diam
dan menggumpal di tiap separuh bayangku
baur
dan keping keping menjalari ngilu

sepi itu nyalang
dari dalamku yang ada di angan menyergap rela
merangkum wajah wajah mereka
kala cermin tlah lama retak
dan angan di dalamnya
hingga di sebalik tak nampak

sepi itu nyalang
seribu rinduku tak juga mengubah kelam

dan bergerak bangkai kegagalan
di sebalik
tak nampak
























Abdul Basyit
Teh Manis Menjelang Sore


mari beramah dengan senja, istriku
karena sebentar lagi cahya yang ada
tak lebih warna hitam di kedua sisinya
sisi warna terbias kurun yang termakan laku
laku hari membagi rasa menghimpun
karsa

terkadang umpat adalah ketakutan kita pada
kemampuan yang tak lagi semula
mata mata bermata tak bermata

senja adalah rona pias darah
rasa tawar hidup menghidupi kehidupan
sampai tak berasa sama sekali
Mari bersisa manis tuk pagi nanti




























Abdul Basyit
Kangen


seribu angin menampar tepian gelisah
menghimpun sejuta pasir
mengukir wajahmu
yang tenggelam dalam laut
sepiku






































Abdul Basyit
Temperatur Malam


entah mesti kujawab kapan tegurmu
ketika ngigau kau
ketika dengan guguran angin lantai lembab
dan denyut malam perlahan
(seribu ragu mengacak diam)

katamu, kukawini darah
kujinakkan mataharimu di ketinggiannya
tak ada kesangsian di dirimu padaku
nafasmu ada juga nafasku menyatu

kataku kau dusta
malam tetap dingin nafas berdua denganmu
darahku tetap hangat tanpa kau perkenalkan bulan
di ngilu malam
dan samudra yang kujinakkan
(mungkin tak banyak kasih selain yang mampu kudapat
kau pun tak kujumpai setelah kucari bersama angan
tak terlahir)

sebilah masuk sebilah kukenang
satu satu berdarah
menghitam dalam bisu bisu malam

rasa di matamu di kehendakku
galau tanpa ada padu
rasamu dirasaku disegala
malam tlah menjelma. esok















Abdul Basyit
Hujan Dini Hari


mendung bagai perjalanan
makin kental dekat
lalu menghindar kala sepotong langkah
hendak kulanjutkan

tes tes tes

ternyata aku telah terpenjara
sisa hujan pada ujung daunan
adalah seribu permata dijatuhkan
meriak kenangan
mengilatkan cayamu
dan kabut luruh mendahului
awan diberangkatkan
menjemput kenangan dalam catatan panjang
(seekor laba laba kehabisan benang
ketika membuat rumahnya
rusak!)

























Abdul Basyit
Siang Pucat
(buat tresnaku yang terlantar)


butir hujan merah
mereka turut luruh ditempias
air…..lumpur, seakan rautkulah
cahya menggumpal suram
kelabukah
mentari ada sebagai angan?
kau bilang:
aku pun punya cinta
kasih dapat kutebarkan
di mana pun

rasaku terserak, mungkinkah kembali kekasipan
dan membiarkan langkah kenali kasih
tak berpadu
lalu berubah makna dari rindu
rindu
karena tak pernah ada persetujuan rasa
dan cinta
mesti
terus dengan kehendaknya, meski hari pun
terbatas peran
Kau
KAU
kamu,              sebagai pa kini?



















Abdul Basyit
Putik Sepi Januari


kurangkum bunga kusatukan
wanginya bagi kau
kunyalakan lilin kujaga hangatnya untuk                             kau
bunga jarum selapang
edelweiss sepuncak
flamboyan sejalan
melati setaman
kuhimpun
dalam tujuh rasa
dalam
warna langit tua tengah rimba daun kering                    pecah reranting patah kukejar bayang
makin tak nampak meski lelah meski parah                    mesti kuhisap luka dengan senyum diammu             tertinggal
bersama angin hinggap pada kulit pohonan                   lumut
                                                                        batuan
wahai wahai angan kangenku ruah tanpa                             terbalas
sapa
pun
aku lapar dalam diammu
aku nanar dalam
pejammu
aku
sasar
dalam
hilang senyummu
wahai
wahai paduka rasa kuanyam luka dalam                      hening wisik
sepi risik
kulantun wajahmu bagai bisik berikut pada                       tiap
buah tasbihku gerak bibir dan teriak                             sepiku
kurangkum     bunga    kusatukan     dalam    tujuh   rasa            
                                                   langit tua tanpa sapa
kutitipkan salam kembara tuk lembayung di                   timur langitmu
kusertakan hasrat tujuhribusatu malam pada            kelelawar
berdarah
dan sayapnya yang patah untuk sampai pada                 ujung sembunyi
mu
aku
sendiri mengoyak rasa yang kian asing                          makin merasuk
meracun darahku
     tuba  
dalam laparku raung makin nyaring
dalam jerit makin hitam
     dalam
      lukaku
makin dingin
     dalam eram sepiku
merambah belukar sembunyi senyum
mu.


Indramayu 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar