Sabtu, 20 Juli 2013

IMPLEMENTASI METODE PENDIDIKAN BERKARAKTER NILAI DAN MORALITAS ISLAM DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH




IMPLEMENTASI METODE PENDIDIKAN BERKARAKTER NILAI DAN MORALITAS ISLAM DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

PENDAHULUAN




Pendidikan pada hakikatnya yang berkaitan dengan manusia sebagai objek. Karena pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dan muatan lain yang mempunyai nilai dasar bagi manusia itu sendiri seprti pendidikan moral  yang menjadi salah satu tujuan pendidikan Islam.
Semua itu merupakan tantangan bagi pendidikan, khususnya pendidikan Islam (PAI). Karena kebangkrutan moral berkaitan dengan kegagalan sistem pendidikan, termasuk kegagalan pendidikan Agama Islam di Sekolah. Sehubungan dengan itu, Pendidikan Agama Islam seharusnya diletakan dalam posisi bukan untuk menolak perubahan, kemajuan dan pembaharuan, meskipun hal tersebut datang dari dunia barat, tetapi bagaimana memelihara hal lama yang baik dan mengambil yang lebih baik lagi, agar mampu membawa umat pada kemajuan dan pembaharuan yang bermaslahat.
Untuk menjawab persoalan itu, setidaknya ada proses tujuan Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Apakah mampu untuk menyelaraskan, menserasikan dan menyeimbangkan pengaruh keadaan yang begitu dominan dalam kehidupan.

BAB II
MATERI PEMBAHASAN

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang terkait terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan Agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkret agamis dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada dihadapan dan sekeliling kita, maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan dikalangan pelajar. Isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, konsumsi minuman, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan semakin rumit dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang tidak semata-mata karena kegagalan PAI di sekolah yang menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu dapat mendorong serta menggerakan GPAI untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran PAI yang berorientasi pada pendidikan nilai (afektif).
Pada era globalisasi ini para siswa menghadapi beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu :
1.      Kemajuan Iptek dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru didalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia.
2.      Masyarakat yang serba kompetitif.
3.      Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi. Semuanya itu akan berpengaruh juga pada kurikulum dan model pengembangan pendidikan yang akan disajikan kepada peserta didik.
Dengan kemajuan iptek dalam bidang informasi maka para siswa dihadapkan pada :
1.      Kehidupan yang dipicu oleh era media globalisasi yang sifatnya bisa menghibur, mendidik dan mengajar sekaligus juga bisa menyesatkan mereka, yang semuanya ini berjalan secara terus- menerus tanpa henti.
2.      Model-model kehidupan yang paling kontroversial dapat disaksikan dalam waktu yang sama, misalnya antara kesalehan dan keseronokan, antara kelembutan dan kekerasan, antara masjid dan mall yang terus-menerus berdampingan satu sama lain. Karena itu, pada pagi hari misalnya, seseorang disanjung sebagai pahlawan, tetapi pada sore harinya dikutuk sebagai penjahat, pada sore hari memberi fatwa/ nasihat sebagai layaknya seorang guru, tetapi malam harinya keluyuran, antara koruptor dan dermawan dapat bertemu dalam pribadi yang sama, demikian seterusnya.
Dalam mengantisipasi berbagai tantangan tersebut, maka pembelajaran PAI tidak mungkin dapat berhasil dengan baik misinya  bilamana hanya berpusat pada transfer  atau pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, atau lebih menekankan aspek kognitif. Pembelajaran PAI justru harus dikembangkan  kearah proses internalisasi nilai afektif yang dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah diinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotorik).
Upaya pengembangan pembangunan pembelajaran PAI yang berorientasi pada pendidikan nilai (afektif) pada dasarnya perlu dipertimbangkan tiga komponen faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran PAI, sebagaimana uraian tersebut  diatas, agar tidak mengulangi pembahasan, uraian ini lebih ditekankan pada penggalian karakteristik peserta didik, terutama dalam hal perkembangan nilai moral yang sekaligus dapat mempengaruhi pilihan strategi ( pendekatan, metode, dan teknik ) yang dikembangkannya.
A.      Tahap-tahap dalam nilai moral
            J. Piaget dan L. Kholberg dalam Singgih D. Gunarsa, (1989) dan Sjarkawi, (1994) telah membagi tahap perkembangan nilai moral seseorang kedalam 4 tahap beserta ciri-cirinya dan perkembangan moral itu berhubungan dengan perkembangan kognitif seseorang, yaitu sebagai berikut:
            Tahap pertama : usia 0 - 3 tahun (pra-moral). Pada fase ini anak tidak mempunyai bekal tentang pengertian baik dan buruk : tingkah lakunya dikuasai oleh dorongan-dorongan naluriah saja, tidak ada aturan yang mengendalikan aktivitasnya; aktivitas motoriknya tidak dikendalikan oleh tujuan yang berakal.
Tahap Kedua : 3 - 6 tahun (tahap egosentris). Pada fase ini anak hanya mempunyai pikiran yang samar-samar dan umum tentang aturan-aturan, ia sering mengubah aturan untuk memuaskan kebutuhan pribadi dan gagasannya yang timbul mendadak ia bereaksi terhadap lingkungannnya secara instrintif dan hanya sedikit kesadaran moral.
            Tahap ketiga : 7 - 12 tahun (tahap heteronom). Pada fase ini ditandai dengan suatu paksaan. Dibawah tekanan orang dewasa atau orang berkuasa, anak menggunkan sedikit kontrol moral dan logika terhadap perilakunya; masalah moral dilihat dalam arti hitam putih, boleh tidak boleh, dengan otoritas dari luar (orang tua, guru, dan anak yang lebih besar) sebagai faktor utama dalam menentukan apa yang baik dan jahat. Karena itu, pemahaman tentang moralitas yang sebenarnya masih sangat terbatas.
            Tahap keempat : usia 12 tahun dan seterusnya (tahap otonom). Pada fase ini seseorang mulai mengerti nilai-nilai dan mulai memakainya dengan cara sendiri. Moralitasnya ditandai dengan kooperatif, bukan paksaan, interaksi dengan teman sebaya, diskusi, kritik diri, rasa persamaan dan menghormati orang lain merupakan faktor utama dalam tahap ini. Aturan dan pikiran dipertanyakan, diuji dan di cek kebenarannya. Aturan yang  dianggap  dapat diterima secara moral diinternalisasikan dan menjadi bagian khas dari kepribadiannya. Pada masa remaja, seseorang menganggap aturan-aturan sebagai persetujuan teman-teman sebaya yang saling menguntungkan.  Ia memberontak terhadap moralitas orang tua, tetapi akhirnya mereka kembali kepada moralitas yang sebelumnya mereka tolak mati-matian sewaktu masih remaja.
            Selanjutnya  L. Kholberg (1979) mengembangkan konsep tingkat perkembangan moral dari J. Piaget  tersebut menjadi 6 tingkatan, dibagi yaitu :
1.      Orientasi pada kepatuhan dan hukuman, yakni anak patuh agar tidak dihukum
2.      Orientasi relavistik hedonism, yakni anak melakukan sesuatu sejauh menyenangkan, atau perbuatan baik dilakukan bila ada imbalan.
3.      Orientasi anak manis, yakni perbuatan itu baik kalau diterima oleh kelompok/ masyarakat, atau agar tidak disalahkan oleh : kelompok/ masyarakat
4.      Orientasi hukum dan ketertiban (memperhatikan norma sosial dan otoritas), yakni perbuatan baik adalah yang diterima oleh masyarakat dan turut mempertahankan norma-norma yang ada didalamnya, dan menghormati otoritas (misalnya pejabat dan sebagainya).
5.      Orientasi terhadap perjanjian diri dengan lingkungan. Dalam arti anak berbuat baik karena lingkungannya juga baik terhadapnya. Anak memperhatikan kewajibannya agar sesuai dengan tuntutan sosialnya, karena lingkungan memberi perlindungan terhadapnya, jika melanggar kewajiban akan merasa melanggar perjanjian dengan lingkungannya. Pada tingkat ini anak menyadari hak dan kewajibannya
6.      Orientasi prinsip etika universal, yakni perilaku yang baik adalah sesuatu yang cocok dipilih sendiri dengan berpedoman kepada pemahaman moralitas yang logis, universal dan konsisiten.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai tingat perkembangan moral tersebut, tentang “memberi bantuan orang yang tertimpa bencana alam” sebagai berikut :
Tingkat pertama : jika saya ikut membantu orang yang tertimpa bencana alam, maka saya akan dipuji oleh Bapak/ Ibu guru. (Saya harus mentaati guru, kalau tidak maka akan dihukum).
Tingkat kedua : Jika saya memberi bantuan orang yang tertimpa bencana alam, nanti saya akan dibantu bila terkana bencana alam. (saya berbuat begitu agar orang lain begitu pada saya, atau jika saya berbuat begitu maka orang lain akan berbuat begitu pada saya).
Tingkat ketiga : Jika saya memberi bantuan orang yang tertimpa bencana alam, nanti saya membantu/ beramal maka saya akan disukai oleh orang-orang. (saya mungkin harus berbuat begitu, sebab semua orang mengharapkanm berbuat begitu).
Tingkat keempat : saya memberi sumbangan kepada orang yang tertimpa bencana alam, sebab menurut hukum atau aturan sosial bahwa saya berkewajiban untuk saling tolong-menolong. (saya harus begitu sebab saya berkewajiban untuk mentaati peraturan yang berlaku demi ketertiban dan kesejahteraan hidup bersama).
Tingkat kelima : Beramal atau bersedekah adalah suatu kewajiban sosial karena bisa menyenangkan dan membahagiakan orang lain. Walaupun bantuan atau sumbangan itu sedikit sesuai dengan kemampuan. Bila saya tidak punya uang maka saya harus mendorong dan menggerakan orang lain untuk beramal/ sedekah.
Tingkat keenam : Saya membantu orang yang terkena bencana alam seperti itu. Bagaimana rasa penderitaan saya. Saya suka membantu atau memberi sumbangan kepada orang karena akan bisa mendekatkan diri kepada Allah, dekat dengan sesama manusia, dekat dengan surga dan jauh dari neraka.

B.        Pengembangan pendidikan islam yang berorientasi pada nilai
Pembelajaran PAI sebenarnya lebih banyak menonjolkan aspek nilai, baik nilai ketuhanan maupun kemanusiaan, yang hendak ditanamkan dan/ atau ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik sehingga dapat melekat pada dirinya dan menjadi pribadinya.
Menurut Noeng Muhadjir (1988), ada beberapa strategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai, yaitu ( 1 ) strategi tradisional; ( 2 ) strategi bebas; ( 3 ) strategi reflektif; dan ( 4 ) strategi transinternal.
Pertama : pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi tradisional, yaitu dengan jalan memberikan nasihat. Dengan kata lain, strategi ini ditempuh dengan jalan memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan yang kurang baik. Dengan strategi tersebut guru memiliki peran yang menentukan, karena kebaikan / kebenaran datang dari atas, dan siswa tinggal menerima kebenaran / kebaikan itu tanpa harus mempersoalkan hakikatnya. Penerapan strategi tersebut akan menjadikan peserta didik hanya mengetahui atau menghafal jenis-jenis nilai tertentu yang baik dan kurang baik, dan belum tentu melaksanakannya. Sedangkan guru atau pendidik kadang-kadang hanya berlaku sebagai juru bicara nilai, dan ia pun belum tentu melaksanakannya. Karena itu, tekanan dari strategi ini lebih bersifat kognitif, sementara segi efektifnya kurang dikembangkan. Disinilah antara lain letak kelemahan strategi tradisional.
Kelemahan lainnya terletak pada aspek pengertian peserta didik terhadap nilai itu sendiri yang bersifat paksaan, dan paksaan akan lebih efektif bila disertai dengan hukuman atau penggunaan hukuman / ganjaran yang bersifat material. Hal ini jelas kurang menguntungkan untuk pembelajaran nilai yang seharusnya mengembangkan kesadaran internal pada diri peserta didik.
Kedua : pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi bebas merupakan kebalikan dari strategi tradisional, dalam arti guru / pendidik tidak memberitahukan kepada peserta didik mengenai nilai-nilai yang baik dan buruk, tetapi peserta didik justru diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih dan menentukan nilai mana yang akan diambilnya karena nilai yang baik bagi orang lain belum tentu baik pula bagi peserta didik sendiri ( M. Chabib Thaha, 1988 ). Dengan demikian, peserta didik memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memilih dan menentukan nilai mana yang baik dan tidak baik, dan peran serta didik dan guru sama-sama terlibat secara aktif.
Strategi tersebut juga mempunyai kelemahan, antara lain peserta didik belum tentu mampu memilih nilai-nilai mana yang baik dan kurang baik karena masih memerlukan bimbingan dari pendidik untuk memilih nilai yang terbaik bagi dirinya. Karena itu, strategi ini lebih cocok digunakan bagi orang-orang dewasa dan pada objek-objek nilai kemanusiaan.
Ketiga : pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi reflektif adalah dengan jalan mondar mandir antara menggunakan pendekatan teoritik ke pendekatan empirik, atau mondar mandir antara pendekatan deduktif – induktif (Noeng Muhadjir, 1988).
Dalam penggunaan strategi tersebut dituntut adanya konsistensi dalam penerapan kriteria untuk mengadakan analisis terhadap kasus-kasus empirik yang kemudian dikembalikan kepada konsep teoritiknya, dan juga diperlukan konsistensi penggunaan aksioma-aksioma sebagai dasar deduksi untuk menjabarkan konsep teoritik kedalam terapan pada kasus-kasus yang lebih khusus dan operasional.
Strategi tersebut lebih relevan dengan tuntutan perkembangan berfikir peserta didik dan tujuan pembelajaran nilai untuk menumbuhkembangkan kesadaran rasional dan keluasan wawasan terhadap nilai tersebut ( M. Chabib Thaha, 1988 ).
Keempat : pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi transinternal merupakan cara untuk pembelajaran nilai dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi dan transinternalisasi. Dalam hal ini guru dan peserta didik sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif yang tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan fisik, tetapi juga melibatkan komunikasi batin (kepribadian) antara keduanya.
Dengan strategi tersebut, guru berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh / teladan serta sumber nilai yang melekat dalam pribadinya. Sedangkan peserta didik menerima informasi dan merespon stimulus guru secara fisik, serta memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian guru tersebut. Strategi inilah yang sesuai dengan pembelajaran nilai ketuhanan dan kemanusiaan ( M. Chabib Thaha, 1988 ).
Berbagai strategi tersebut perlu dijabarkan ke dalam beberapa pendekatan tertentu dalam pembelajaran PAI yang pada intinya terdapat enam pendekatan yaitu :
1.      Pendekatan pengalaman, yakni memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam tingkat penanaman nilai-nilai keagamaan.
2.      Pendekatan pembiasaan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dan / atau akhlakul kharimah.
3.      Pendekatan emosional, yakni usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati aqidah islam serta memberi motivasi agar peserta didik ikhlas mengamalkan ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan dengan akhlakul kharimah.
4.      Pendekatan rasional, yakni usaha untuk memberikan peranan kepada rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.
5.      Pendekatan fungsional, yakni usaha menyajikan ajaran agama islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.
6.      Pendekatan keteladanan, yakni menyuguhkan keteladanan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang langsung melalu suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Berbagai pendekatan tersebut kemudian dijabarkan kedalam metode-metode pembelajaran PAI yang berorientasi pada nilai yang intinya ada empat metode yaitu :
1.      Metode dogmatik adalah metode untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Metode tersebut dianggap kurang mampu mengembangkan kesadaran rasional peserta didik menghayati dan menerima suatu kebenaran maka penerimaannya cenderung bersifat dangkal dan terpaksa karena takut pada orientasi guru atau atasannya.
2.      Metode deduktif adalah cara menyajikan nilai-nilai kebenaran ( ketuhanan  dan kemanusiaan ) dengan jalan menguraikan konsep tentang kebenaran itu agar dipahami oleh peserta didik, metode ini bertolak dari kebenaran sebagai teori atau konsep yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, atau ditarik kedalam nilai-nilai yang lebih khusus atau sempit ruang lingkupnya. Metode tersebut mempunyai kelebihan terutama bagi peserta didik yang masih dalam taraf pemula dalam mempelajari nilai, karena mereka terlebih dahulu akan diperkenalkan beberapa konsep atau teori tentang nilai secara umum, kemudian ditarik rincian-rincian yang lebih khusus dan mendetail, serta dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
3.      Metode induktif adalah sebagai kebalikan dari metode deduktif yakni dalam membelajarkan nilai dimulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut. Metode tersebut cocok diterapkan untuk peserta didik yang telah memiliki kemampuan berfikir abstrak sehingga mampu membuat kesimpulan dari gejala-gejala konkret untuk diabstrakan. Sedangkan kelemahannya, kadang-kadang dalam mengembalikan antara berbagai kasus yang sama, diberikan nilai yang berbeda-beda sehingga membingungkan peserta didik. Karena itu, dalam penerapan metode ini perlu menjaga konsistensi penggunaan kriteria pada kasus yang serupa.
4.      Metode reflektif adalah merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan induktif, yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar mandir antar memberikan konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam kasus-kasus kehidupan sehari-hari, atau dari melihat kasus-kasus sehari-hari dikembalikan kepada konsep teoritiknya yang umum. Penerapan metode tersebut dapat mengatasi kekurangan metode deduktif yang kadangkala kurang empirik, dan sekaligus mengatasi kekurangan metode induktif yang kadangkala kurang konsisten dalam menerapkan kriteria untuk masing-masing kasus yang serupa.
Dalam penggunaan metode tersebut guru harus menguasai teori-teori atau konsep umum tentang nilai-nilai kebenaran, dan sekaligus dituntut memiliki daya penalaran yang tinggi untuk mengembalikan setiap kasus dalam tataran konsep nilai itu (M. Chabib Thaha, 1988 ).

C.      Implementasi Metode Pendidikan Berkarakter Nilai Dan Moralitas Islam Dalam Pembelajaran di Sekolah
Implementasi metode pendidikan berkarakter nilai dan moralitas Islam dalam pembelajaran sekolah adalah dengan menggunakan beberapa tenknik tertentu, diantaraanya adalah :
1.        Teknik indoktrinasi : prosedur teknik yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :
a.       Tahap Brain Washing yakni pendidik memulai pendidikan nilai dengan jalan merusak tata nilai yang sudah mapan dalam pribadi siswa untuk dikacaukan sehingga mereka menjadi tidak mempunyai pendirian lagi. Beberapa metode dapat digunakan untuk mengacaukan mendalam dengan teknik dialektik, dan sebagainya. Pada saat pemikiranya sudah kosong dan kesadaran rasionalnya sudah tidak lagi mampu mengontrol lagi dirinya, serta pendiriannya sudah hilang maka dilanjutkan dengan tahap kedua.
b.      Tahap menanamkan fanatisme, yakni pendidik berkewajiban menanamkan ide-ide baru yang dianggap benar sehingga nilai-nilai yang ditanamkan masuk kepada anak tanpa melalui pertimbangan rasional yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme ini lebih banyak digunakan pada pendekatan emosional daripada pendekatan rasional. Apabila siswa telah mau menerima nilai-nilai itu secara emosional, baruklah ditanamkan doktrin yang sesungguhnya.
c.       Tahap penanaman doktrin, pada tahap ini pendidik dapat menggunakan pendekatan emosional, keteladanan. Pada saat penanaman doktrin ini hanya dikenal adanya satu nilai kebenaran yang disajikan, dan tidak ada alternatif lain. Semua siswa harus menerima kebenaran itu tanpa harus mempertanyakan hakekat kebenaran itu.
2.        Teknik moral reasoning : langkah-langkah teknik ini dilakukan dengan jalan : 
a.       Penyajian dilema moral, pada tahap ini siswa dihadapkan dengan problematika nilai yang bersifat kontradiktif, dari yang bersipat sederhana sampai kepada yang kompleks. Cara penyajiannya melalui observasi, membaca koran, majalah, mendengarkan sandiwara, melihat film dan sebagainya.
b.      Pembagian kelompok diskusi setelah disajikan problematik dilema moral tersebut, kemudian siswa dibagi kedalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan hasil pengamatan terhadap dilema moral tersebut.
c.       Hasil diskusi kelompok selanjutnya dibawa dalam diskusi kelas dengan tujuan untuk mengadakan klarifikasi nilai, membuat alternatif dan konsekuensinya.
d.      Setelah siswa mendiskusikan secara intensif dan melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang diajukan. Selanjutnya siswa mengorganisasi nilai-nilai terpilih tersebut dalam dirinya. Hal ini bisa diketahui lewat pendapat siswa, misalnya melalui karangan-karangannya yang disusun setelah diskusi.
3.        Teknik meramalkan konsekuensi, teknik ini sebenarnya merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam mengajarkan nilai. Dalam arti mengandalkan kemampuan berfikir ke depan bagi siswa untuk membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dari penerapan suatu nilai tertentu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
a.    Siswa diberikan suatu kasus melalui cerita, membaca majalah, siswa diberi beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan nilai-nilai yang ia lihat, ketahui dan rasakan. Pertanyaan itu adakalanya bersifat memperdalam wawasan tentang nilai yang dilihat, alasan dan kemungkinan yang akan terjadi dari nilai-nilai tersebut, atau menghubungkan kejadian itu dengan kejadian-kejadian lain yang ada kaitannya dengan kasus tersebut.
b.    Upaya membandingkan nilai-nilai yang terdapat dalam kasus itu dengan nilai yang bersifat kontradiktif.
c.    Kemampuan meramalkan konsekwensinya yang akan terjadi dari pemilihan dan penerapan suatu tata nilai tersebut.
4.        Teknik klarifikasi, teknik ini salahsatu cara untuk membantu anak dalam menentukan nilai-nilai yang akan dipilihnya. Dalam teknik ini dapat ditempuh lewat tiga tahap yaitu :
a.    Tahap pemberian contoh, pada tahap ini guru memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang baik dan memberikan contoh penerapannya. Hal ini bisa ditempuh dengan jalan observasi, melibatkan siswa dalam kegiatan nyata, pemberian contoh langsung dari guru kepada siswa dan sebagainya.
b.    Tahap mengenal kelebihan dan kekurangan nilai yang terlalu diketahui oleh siswa lewat contoh-contoh tersebut diatas. Hal ini bisa ditempuh melalui diskusi atau tanya jawab, guna melihat kelebihan dan kekurangan nilai tersebut. Dari kegiatan ini akhirnya siswa dapat memilih nilai-nilai yang ia setujui dan dianggap paling baik dan benar.
c.    Tahap mengorganisasikan tata nilai yang ia setujui dan yang dianggap paling baik dan benar.
d.   Tahap mengorganisasikan tata nilai pada diri siswa, setelah pemilihan nilai ditentukan maka siswa dapat mengorganisasikan sistem nilai tersebut dalam dirinya dan menjadikan nilai itu sebagai pribadinya.
5.        Teknik internalisasi, kalau teknik-teknik diatas hanya terbatas pada pemilihan nilai dengan disertai wawasan yang cukup lama dan mendalam maka teknik internailisasi ini sasarannya sampai kepada tahap pemilikan nilai yang menyatu dalam kepribadian siswa, atau sampai pada taraf karakterisasi atau watak. Tahap-tahap dari teknik ini adalah :
a.       Tahap transformasi yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal.
b.      Tahap transaksi nilai yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi ini masih menampilkan sosok fisiknya daripada sosok mentalnya. Dalam hal ini guru tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlibat nyata, dan siswa diminta memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai itu.
c.       Tahap transinternalisasi yakni tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya). Demikian juga siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/ penampilan fisiknya melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dua kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif.
Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang sederhana sampai yang komplek, yaitu mulai dari :
1.      Menyimak ( receiving ) yakni kegiatan siswa untuk bersedia menerima apa adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam sikap afektifnya.
2.      Menanggapi ( responding ) yakni kesediaan siswa untuk merespon nilai-nilai yang ia terima dan sampai ketahap memiliki kepuasan untuk merespon nilai tersebut.
3.      Memberi nilai ( valuing ) yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespon nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
4.      Mengorganisasi nilai ( organitation of value ) yakni aktivitas siswa untuk mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai kebenaran dalam perilaku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki satu sistem nilai yang berbeda dengan orang lain.
5.      Karakteristik nilai ( characterization by a value complex ) yakni dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan yang telah diorganisir dalam (kepribadiannya), yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya. Nilai yang sudah mempribadi inilah yang dalam islam disebut dengan kepercayaan/ keimanan yang istiqomah, yang sulit digoyahkan oleh situasi apapun.


BAB III
KESIMPULAN
Upaya dalam pembelajaran pendidikan islam yang berorientasi pada pendidikan nilai ( afektif ) pada dasarnya perlu mempertimbangkan tiga komponen faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran PAI sebagaimana uraian tersebut diatas. Agar tidak mengulangi pembahasan, uraian berikut lebih ditekankan pada penggalian karakteristik peserta didik, terutama dalam hal perkembangan niali moral, yang sekaligus dapat mempengaruhi pilihan strategi (pendekatan, metode, dan teknik) yang dikembangkannya.
Dalam metode-metode pembelajaran pendidikan islam yang berorientasi pada nilai, yang pada intinya ada empat metode, yaitu :
Pertama metode dogmatik adalah metode untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
Kedua metode deduktif adalah cara menyajikan nilai-nilai kebenaran (ketuhanan dan kemanusiaan) dengan jalan menguraikan konsep tentang kebenaran itu agar dipahami oleh peserta didik.
Ketiga metode induktif adalah sebagai kebalikan dari metode deduktif yankni dalam membelajarkan nilai yang mulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut.
Keempat metode reflektif yang merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan induktif yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar mandir antara memebrikan konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam kasus-kasus kehidupan sehari-hari atau dari melihat kasus-kasus sehari-hari dikembalikan kepada konsep  teoritiknya yang umum.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Langgulun, Manusia dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Husna, 1986.
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
H.M. Partoyo, Mendidik Anak Dalam Islam, Bandung : Agung Ilmu.
H. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama (perspektif pendidikan agama islam), Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Rosdakarya, 2001.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung : Trigenda Karya, 1993.
Noeng Muhajr, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta : Rake Surasin, 1988.

1 komentar: