Rabu, 31 Juli 2013

Kitab Ta’lim Muta’alim



KH. M. Kholil Bisri:Konsep Pendidikan Dalam Kitab "Ta’lim Muta’alim" Dan Relevansinya Dengan Dunia Pendidikan Dewasa Ini



Banyumas Pesantren-Konsep Pendidikan Dalam Kitab “Ta’lim Muta’alim”

“Ta’limul Muta’alim” adalah kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari– hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan lainnya “Ta’limul Muta’alim” itu tapi kitab itu masih saja terus dibaca di pesantren salaf manapun.

Sebelum saja beranjak menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’’ dan muntafa’ bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya (alladzi ‘allama bil qolam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam). Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo’a atau dido’akan. Do’a itu harus sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do’a, dengan cara misalnya, disamping berdo’a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah.
Kedua, Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan muthola’ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan “Man tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja”. Siapa saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: “Walladzina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa”, mengisyaratkan hal yang demikian itu. Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah pameo “atthob’u saroq” tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi’ dan muntafa’ bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib. Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib “ngangsu ilmu”, anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa’at ilmu itu secara ritualistik mendapatkan legalisasinya. Karena manfa’at adalah asas yang mendasari kesungguhan tholibil ‘ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) ‘ain dan selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab “Ta’limul Muta’alim”.

Sistimatika Ta’limul Muta’alim

Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang berkaitan dengan isi kitab. Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT didekati sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta’allumi.
Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun kedalam kancah ta’allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus minat ta’allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang membuat pakar ilmu masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang kewajiban ta’dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun benak), waro’ (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan tholabil ‘ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi’ yang muntafa’ bih adalah anugerah dari Allah yang “allamal insaana maa lam ya’ lam”. Manfaat dan guna yang didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a’mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan, “Inna akromakum ‘indallohi atqaakum”. Ilmu adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia ‘indallah. Yang mulia ‘indalloh tentu mulia ‘nda siwahu min kholqihi. Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi’ wa muntafa’ bih (ilmu yang bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi’ dan intifa’ dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta’dhim terhadap apa dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi ta’d'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta’dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu’adhdhim dan mu’adhdhom itu sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta’dhim

Tampilan ta’dhim yang beraneka bentuk itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar. Karena memang ta’dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta’dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta’dhim, dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupun dia tidak dibenarkan sembarangan dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada kesungguhan ta’dhim. Oleh TMT kesungguhan ta’dhimil ilmi dirupakan dengan tidak menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari hadats. Sebelum dia muthola’ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus menghadap kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal tholib memilih guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan sebagai handal (al a’lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru’ah (al-auro’) dan yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta’dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak ngomong kalau tidak didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru beranjak dari tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari guru, ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi segala perintahnya apapun bentuknya.
Dan seterusnya. Ta’dhim ini berlanjut kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru tertekan (diantara tanda kutip) secara moral ta’dhim kepada guru ini, dilakukan oleh tholib untuk mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan sifat kasih dan sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk mendapatkan dan menghantarkannya kepada “raf’ad darojat”?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta’dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta’dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab “at thob’u saroqo”, tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi perilaku dan penilaian.
Layaqoh Ma’hudah

Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta’dhim ala TMT berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa, menurut anggapan tholib, guru berpengaruh pada “pembentukan diri”. Seberapa besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa substansi pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari “madhi” robba yang maknanya ” memberangkatkan pagi-pagi” atau “memperkembangkan sejak mula”, sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik. Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af ‘aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu ‘alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.

At- Talkhis Al Mudawwan

1. Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
2. 2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi Allah.
4. Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur’an harus dengan atas nama Allah.
5. Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita’dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
6. Menta’dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta’dhimkan ilmu itu sendiri.
7. Menta’dhimkan harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak langsung.
8. Ta’dhim bukanlah ta’abbud. Namun bisa saja laku ta’dhim karena menjalankan perintah syari’. Menjalankan perintahnya berarti juga ta’abbud.
9. Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.

At-Talkhis Al-Mu’abbar

Barangkali oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.
Tentang hubungan pendidik anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi bagi masing-masing. Dan itu harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.

Takhtim

Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA’LIMUL MUTA’ALIM.
Rembang, Shofarul Khoir 1414 H.
Dikutip dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar