Sabtu, 27 Juli 2013

PUISI ROMANTISME NEGERI MINYAK



Agus Supardi

Menangislah Negeriku


Menangislah negeriku…..menangislah
basahi sawah-ladang, padang rumput
dan pohon-pohon
biarkan sedu-sedan itu berderai
di daun nyiur melambai

Masih ada duka
bocah-bocah telanjang dada
Masih terdengar bisik pilu berjuta ibu
dan syair cinta para pujangga

Menangislah negeriku, menangislah
genangi embung, danau dan sungai-sungai
Lama nian kita berkubang
di rawa kata-kata, jera sudah para jelata
menyimak janji dan sumpah setia

Menangislah negeriku, menangislah
ratapi saja nestapa Pertiwi
didera bencana demi bencana
tiada henti
Sesali saja kebutaan nurani
di busung dada para pencuri

Menangislah negeriku, menangislah
biarkan jaman bersaksi
tiada kemenangan
tanpa peluh, luka dan derita
Tiada kemuliaan
tanpa hasrat, budi dan cinta

Menangislah, menangislah, negeriku
Menangislah
hingga tak lagi menetes air mata


Indramayu, Desember 2006






Agus Supardi
Kabarkan


Kabarkan langit biru lazuardi
Sungai-sungai menghitam airnya
Buih ombak bawa tembaga
Ke lubuk-palung dan terumbu karang

Sampaikan bara merah matahari
Pada awan, pada gunung, pada rimba
berasap
Kolam, sawah-ladang dan ternak kita
Dimangsa malapetaka

Lalu bisikkan pada malam,
Bintang-bintang dan angin semilir
Tak ada lagi angsa berenang
Elang dan camar terbang
Tinggalkan pantai


Indramayu, Desember 2006
























Agus Supardi
Sonata Daun Cemara


Puisi tanpa kata di pucuk cemara
adalah desau angin
nyanyian lembut daun-daun,
bisik lirih penyair di jagat kecilnya
merajut makna dan hikmah kata
jadi kebajikan bicara

Di negeri penuh wacana ini,…..
Di negeri terpedaya ini
kata bijak diusung sakral
pada simbol-simbol hypokrisi;
pada bingkai angan dan harapan anak bangsa
yang masih saja dirundung lara.

Kata-kata berhamburan
bagai guguran daun kering
dihembus angin kemarau.
Orang cerdas bicara
tapi tak bicara cerdas
yang pandir suntuk berpikir,
Dan biarlah yang bijak
membangun kebajikan yang sembunyi
di balik kebijakan membungkam kata
sebatas makna. Atau tersimpan
di antara butiran hikmah alam semesta

Biarlah daun cemara
bisikkan suara lembutnya.
Mungkin esok lusa
kita masih bisa mendengar


Indramayu, Desember 2006










Agus Supardi
Jakarta … Oo …Jakarta


Jakarta . oo . Jakarta
Rimba beton dengan geresek rupiah
di dalamnya, merayu jutaan harap dan mimpi
lebur bersama cucuran keringat, bau parfum
serta debu jalanan

jakarta … ooo … Jakarta
belas kasih siapa
menabur butiran janji megah
dari trotoar hingga gedung-gedung tinggi
dari pesisir kumuh sampai taman monas

Jakarta .… oooo .… Jakarta
Pesona apa lagi ditawarkan
setelah sungai-sungai membusuk
lalu banjir tahunan genangi
tembok dan bilik-bilik rumah?
Janji apa pula
dihamburkan ke pelosok desa,
jika pe-ka-el, ge-peng atau
pe-es-ka digelandang bagai satwa,
selagi rampok berjas-dasi begitu anggunnya
keliaran di kantor-kantor?
Khayal apa pula
membayangi peraduan lelaki
bila berkas merah gincu, pupur perak,
serta wangi parfum perempuan karier
membersitkan aroma perselingkuhan
di balik pintu-pintu

Jakarta ……ooooo……Jakarta
angan mimpi, dan harapan terus memburu
di tengah deru rupiah dan kilau metropolitan
yang langka belas kasih.


Indramayu, Desember 2006






Agus Supardi
Hari Masih Panjang


Bulan sabit gayuti sisa malam
sekam kemarau cahyanya
pendarkan bayang dahanan kering
gugur daun didera musim

Adalah derita tanah rekah,
getir sungai pasir
dan pilu ladang jagung
lelah tengadah ke langit
tanpa awan

Adalah dahaga kebun bunga
gelisah sukma perempuan tua
di sisa hayatnya, yang masih mengejar arti
pohon-pohon, rerumputan, buah randu
dan bulir padi bagi kehidupan

Adalah kepedihan semua
ketika remah-remah hutan
gunung dan bebatuan
mengancam jiwa di mana-mana

Adalah dosa kita
menggilas rimba jadi padang ilalang
lalu termangu menghitung
kota-kota tenggelam
dalam ritus bencana tahunan

Bulan sabit temaram di tirai fajar
kita baru terjaga,
Oohh…hari…masih panjang.-


Indramayu, Nopember 2006









Agus Supardi
S h i a m


Shiamku bagimu, ya Hakim
seperti sujudku sepanjang ingatan
dan tasbihku di hening hati
yang luruh tak berdaya

Tak kuasa kuejakan
nikmat-Mu bagi raga dan jiwa
Yang kau genggam

Fajar hingga ambangnya
terik siang, hingga paruh malam
waktu kusadari zarah hina ini
di bawah semestanya Arsy-Mu
Ampunkan hilafku, ya…Ghafur


Sya’ban 1427 H


























Agus Supardi
Shadaqah


bumi tiada jengahnya
seperti mata air mengalir
di antara batu-batu
dan tanah pijakan
adakah milik kita di sini
jika sekedar singgah
menanti hari berakhir
lalu terpendam
dalam gelap kuburnya sendiri?
mari berbagi, pohon-pohon
batu kali, karang dan samudra
ikhwan kita: fukoro, masakin
serta segala nafas fana
di bumi teraniaya ini


Sya’ban 1427 H


























Agus Supardi
Lailatul Qadr


Bintang pendar-birukan keharuan
angin silir, membelai lembut
jemari malam

Tak berhijab langit-Mu
kabarkan ketulusan para muttaqin
dan aku mengintipnya dalam cemas

Adakah serpihan bagiku
sekedar di tepinya?

Allahu akbar, laa ilaaha Ilallah……………


Sya’ban 1427 H




























Agus Supardi
Ramadhan


Tujuh pintu langit-Mu
tersingkap pada titian
cahaya subuh, waktu nalarku lelap
di antara adzan dan kehilafan
Tak lagi kuhitung
luas ampunan yang kau taburkan
di rimba fana ini,
hasrat tak daya
menjenguk tabir kuasa-Mu
dan kenistaan terperam
dalam kepandiranku sendiri
adakah masih ampunan-Mu
bagiku, ya Rabbi?


Sya’ban 1427 H


Tidak ada komentar:

Posting Komentar