Sabtu, 27 Juli 2013

PUISI ROMANTISME NEGERI MINYAK



Abdul Aziz

 

Kata-kata Menfosil di Musium Kota Purba


Kata-kataku,  peluruku

Adalah senjataku

Tlah kukokang pena dan meletuslah

Kata-kataku

Merobek kebisuan kota

Kau dan aku terjerat dalam

Peristiwa bisu

 

Dan, kini

Kata-kataku menfosil

Dalam diorama sunyi pikiranmu

Di museum do’a yang kelabu

 

Va, kau tak pernah lupa

Mendengar deru batuk-batuk mesiu

Yang tlah kuabadikan dalam lembar

Catatan nestapa harianku

Coretancoretan cucuran airmata

Dan darah yang membeku

 

Bagaimana, kau biarkan labalaba

Merumah sarangnya dan kafilah rayap

Bersayap besi-beton menggerogoti sejarah!

Melumat catatancatatan kita

Karena manuskrip harta karun tlah mereka gadaikan

Dengan lembaran dolar Amerika

Hingga istana jiwa tinggal tulang-belulang

Ditumbuhi rerumputan dan hutan ilalang

 

 

 

Bumi SMA NU Indramayu, 12 november 2012 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Akulah Bumi Sukowati

 

 

Peperangan  ini, belum berakhir MR. Jhon

Meski, warna biru Inlendermu

Menusuk-nusuk jantung merah-putihku

Yang tlah kurebut di abad yang berlalu

 

Merah-putih trus saja berkibar

Bahkan berkobar-kobar membakar

 

Seperti nyala api minyak bumi pertamina Balongan

Tak pernah mati hingga jadi sumber kehidupan

Meski, tetap saja mereka yang mengeruk kekayaan

 

Ohoi, akulah bumi Sukowati

Tak pernah padamkan api

Meski, berkali-kali kau sirami aku dengan sejuta puisi

Merdeka atau mati!

Tubuhku selalu tumbuh rerumputan dan bunga melati

Aromakan perlawanan kolonial hingga mati

Dari zaman Siti Nurbaya hingga Siti KDI

Tanganku adalah bebatuan karang laut sunyi

Yang siap merobek pera penjajah dengan ombak yang menari

 

 

 

Bumi Pekandangan-Indramayu, Hari Pahlawan 2012   

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Manusia Sangiran

 

 

“Bagaimana kau terjemahkan

Manusia Sangiran?”

Yang terlahir bukan karena kutukan

Para dewata di istana kerajaan

Namun, keharusan sejarah yang terlupakan

Dari zaman bebatuan hingga industri perempuan

 

Wan,  “bagaimana kau temukan Tuhan?”

Ketika langit padam tanpa cahaya rembulan

Terjebak oleh kurikulum pendidikan syetan

Yang dikumandangkan para dewa di kuil sesembahan

Dan ditampar para bandit  di meja perundingan!

 

 

Bumi Minyak-Indramayu, November 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Catatan Sembilu Serat Angger Gunung Lawu

 

 

1/

Kubongkar-bongkar kembali

Sebuah almari besi-baja yang tlah berkarat ini

2/

Kau dan aku terhimpit hamparan peta harta karun

Catatan demi catatan kejayaan turun-temurun

Tercatat sunyi di kaki gunung lawu bagai halimun

3/

Engkau dimana, duhai pustaka ensiklopedi agama cinta?

Berjuta katalog kemilau pelangi Eropa dan Asia

Arsip dan dokumentasi peradaban hilang di ruang hampa

4/

Menaiki gunung pengetahuan

Kutancapkan besi dan tali kokoh di sela-sela bebatuan

Setapak demi setapak kuraih impian

Namun, jalan terjal terhampar ambisi di depan

Artefak-artefak berceceran, dolardolar berhamburan!

 

 

Indramayu, 11 – 11- 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Menunggumu di Stasiun Gemolong

 

 

Inilah pekerjaan menjenuhkan di antara lalu lintas jalanan. Gerbong

Kereta di era penjajahan dari Belanda, Portugis hingga Jepang   yang

Meregang nyawa saat Nagasaki dan Hirosima di bombardier Amerika

Kau terlalu tinggi menaiki pegunungan Himalaya Arkeologi.Jejak-jejak

Artefak kejayaan Sragen di masa perjuangan, kini meretas kemalangan

 

Di stasiun Gemolong, diriku laksana undakan batu candi nan sunyi

Di saksikan hamparan sajadah ilalang dan bebatuan serta kicau burung

Gereja. Senandungmu begitu memilu, kereta api menuju kota antah

Brantah tak kunjung tiba. Sementara, senja tlah menghampiri kota tua

Ri, menetaplah disini. Kita bangun kembali, bebatuan yeng berserakan.

Lembar demi lembar yang terbakar. Dan tentu, kita makan kuliner

Eropa tahun 60-an. Agar taman prasasti ini, akan tetap abadi hingga

Akhir zaman nanti.

 

 

Tugu Perjuangan-Indramayu, awal  Nopember 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Monolog Perempuan Pantura

 

 

Ang, sudahi keperihan luka hatimu

Rubae’ah kan pulang, seraya menenteng real

Dan secangkir telaga Zam-zam dari para Nabi nan khusyu’

            Kampung kita, terlalu letih menanggung beban

            Dari ongkos listrik, air kran, BBM hingga beras

            Mencekik leher usia bagai kanibal jalanan

Sudahlah ang, Rubae’ah pasti menepati janji

Membawa sebongkah cahaya Tanah Suci

Jutaan jama’ah bertalbiyah memadati langit sunyi

Hujan ampunan-Nya membasahi bumi tiada henti

Sepanjang hari, selama matahari masih setia terbit di ujung pagi

            Tak seperti jubah kusam kaum busuk para politisi

            Yang melewatkan anggaran bagi perbaikan gizi

            Tiada pilihan lain, selain terbang ke luar negeri

Ang, jangan lupa jemput aku di pintu Dhuha

Bukankah lumbung do’a tak pernah sepi

Dzikir-dzikir nestapa

Dzikir-dzikir monolog wanita

Dzikir-dzikir airmata

Diujung rintik hujan Desember merona

Diujung malam bagi tadarus letih bumi Aria Wiralodra

 

 

Kamar Penyair, 25-12-2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Tugu Perempuan Membatik: Nol Kilometer

 

 

1/

Kau lukis, kotaku dengan refresensi diktat-diktat Mitologi

Lukisan batik desa Paoman. Dari motif Ayam Alas

Kapal Kandas hingga pesanan KPK : motif

Cecak melawan Buaya!

2/

Ohoi, motif-motif berkibar bagai karnafal suku pedalaman

Beribu syah bandar memadati pantai kota pelabuhan

Sejak bantaran sungai Cimanuk jadi transaksi jual-beli

Jadi sentra perdagngan dari zaman Kompeni

3/

Tapi,  mengapa wajah kotaku masih mendung

Dibawah patung seorang perempuan membetik berlindung

Nol kilometer menjadi saksi bisu sejarah luka

Karena museum pun hanya jadi gudang pusaka

4/

Ohoi, pundi-pundi rupiah terkoyak bebatuan kerikil

Kebijakan Pemkot seperti boneka Mupet nan kerdil

Di gubuk-gubuk reot, sujud ilalang pun menggigil

Kala koloni burung pipit khutbahkan kaum bakhil

 

 

Sindang-Indramayu, 2010-2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Nestapa Masjid Tua

 

 

Ve, Hore!. Piala Mahkota etika

Kembali bertengger di ‘kepala’ kota kita

Batapa, spiritualitas pepohonan beristighosah

Berdzikir dan meledakkan suasana majlis ta’lim

Menjamur bak jamur di musim penghujan

Dari hujan do’a pujangga

Hingga hujan kata orasikan setya lencana kemenangan

 

Ve, Hore!. Nyaris kau tak temukan lagi para pengemis

Pengamen jalanan dan angkernya para preman bukan?!

Karena mereka tlah bermandi dollar Amerika

Kebagikan sedekah selepas ibadah sholat jum’ah

Kubagikan spanduk dan baliho penuh tuah

Kubagikan (juga) nota hutangku demi kejayaan nan meriah!

 

Ve, Hore!. Masjid tua ini tak lagi menderita bukan?!

Karena, gapura raksasa berdiri tegak demi raih piala Adipura

Kebersihan selalu kujaga, ketertiban selalu kutegakkan dan

Keindahan selulu kugalakkan

Ucapkan selamat untukku Ve!. Karena ke-5 kalinya Adipura

Menyambangiku , Akulah pahlawan Adipura. Akulah Adipura

Dan bermahkotakan mahkota Etika, pahlawan penuh bintang jasa

Dari jasa menjual janji hingga menjual bendera

Kerajanku abadi hingga malakul maut mengambilnya

 

 

Alun-alum Tugu Bambu Pendopo IM. 2000

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Munajat Pohon Tin di Ma’had Zaitun

 

 

Dengar! , swara lirih munujat pepohonan Tin di Ma’had Zaetun

Pohon-pohon berdiri seperti sedang takbiratul ihrom. Sembahyang

Semesta, dan di dusun Haurgelis, Gantar! Arsy pun bergetar!

 

Dengar! , swara-swara pepohonan Kurma ikut bergema. Mengikuti

Irama kampung yang jauh dari kecamuk amuk para Rahwana

Mencari cinta. Gantar tak pernah gentar oleh cakaran rasa lapar

Mereka bagai spiritulitas rerumputan yang berkobar. Mengisi

Oase sahara iman bagai kafilah para Auliya di telaga al-kautsar

 

Dengar!, dag-dig-dug swara jantungmu semakin mengeras baja

Karena pesanggrahan jiwamu tertutup ambisi. Tak seperti para

Pemuda Kahfi yang bermeditasi sepanjang ratusan tahun menjadi

Zahid duniawi. Sedangkan, jiwamu melatar di bar-bar, diskotik

Warung remang dan rumah-rumah bordir di musim semi

 

Dengar!, masihkah telinga jiwamu mendengar?!

 

 

Haurgelis Ma’had Zaetun, 1999-2000

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Lanskap Pantai Karangsong

 

 

Paintaiku, masih setia

Pada warna jingga

Di ujung senja

Memikul do’a

Para nelayan pantura

 

Pantaiku, masih setia

Pada keramba tua

Menunggu ikan-ikan masuk

Tak perlu kasak-kusuk

Laksana birokrat busuk!

 

Pantaiku, masih setia

Menebar jala

Mendayung perahu

Satu

Satu

Memburu impian para nelayan

Satu

Satu

Memburu mangrouf masa depan

 

 

Pantai  Karangsong Pabean Hilir, 2005

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Thowaf di Tugu Kijang Kencana Wulung

 

 

Menuju kota Pekandangan. Mengitari jantung kota Indramayu

Bagai  Thowaf mengelilingi Tugu Kijang Kencana Wulung.

Memasuki hologram masa silam, bersua dengan ksatria pemegang

Cakra, Raden Bagus Aria Wiralodra. Catatan sejarah berlalu

Masih terlalu gelap katamu. Berjilid-jilid buku kau tulis. Celaka

Miskin literatur Histeriografi.  Kutunggi Kujang Knecana Wulung

Melesat bagai Kuda Sembrani. Menuruni bukit terjal para pendekar

Bernama : Rethorika para suhu di kuil sepi. Terbang membumbung

Di atas Tugu Bambu. Para prajurut 25 meregang nyawa bersama

Pangeran Aryadillah kalah tanding melawan Nyi Endang Dharma.

Kuputar tasbih medzikirkan nestapa sajak-sajak Pemulung digulung

Para dewa. Remuk dibuldozer para tiran di Republik kata-kata.

 

 

Tugu Bunderan Kijanmg IM. 2001-2912

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Tari Topeng Panji Mama Carpan

 

 

Slamat jalan, sang maestro Topeng

Panji

Smoga menuju pintu gerbang Firadausi

            Aroma surgawi para Nabi

Jejal-jejakmu, jejak Topeng Panji menarikan

            Tarian para sufi

Di gebyar pesta, Ngarot Lelea

Kau gerakkan tubuh sang waktu. Yang termangu

Menatap tubuh ringkihmu. Kini, gadis-gadis Nagrot

Pun tersenyum lugu seperti alam panorama sawahmu

Para gadis bermahkotakan bunga warna-warni

Melenggak-lenggok berjalan ke balai dusun petani

Demi akhiri pesta petatah-letitih kematian reformasi

Demi arungi samudera cahaya menyengat pertiwi

Demi lepas dari belenggu globalisasi

Dan jeruji bernama prasasti janji para Zombi!

 

 

Bumi Lelea. Akhir desember 2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Sketsa Waduk Bojongsari

 

 

Kau lukis lagi, sketsa waduk Bojongsari

Dengan cat-cat warna abu-abu

Bukan hijau atau kuning warna jiwamu

Warung-warung dibongkar, pedagang menggelepar

Sedang dirimu tertawa lebar

 

Kau lukis lagi, sketsa waduk Bojongsari

Karna alasan mengisi liburan, berdirilah taman air

Water Park Bojongsari di tengah anak-anak mengaji

Sepulang sekolah. Kini , berlari mengejar Game dan Warnet

Waduk membendung arus air di musim penghujan

Waduk membendung lokasi bermain anak-anak jalanan

Waduk membendung kebahagian para pencari rongsokan

 

Waduk mengaduk-aduk persaan bagi penikmat jalan

Di tepi hutan kayu jati, tubuhmu kian ringkih disengat lebah kekuasan

 

 

Waduk Bojongsari IM, 2010-2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

Hikayat Sungai Cimanuk

 

 

Pelabuhan besar

Teracatat oleh petualang besar

Dalam hikayat Tome Pires

Deru arus sungai Cimanuk nan deras

Air mengalir dari desa ke desa

Air mengalir mengikuti sabda semesta

Air mengalir meriwayatkan perang tanding

Nyi Endhang Dharma

 

Pelabuhan besar

Dalam pigura luka dan gusar

Mengapa kau bendung sungai Cimanuk

Yang adiluhung ?

Bukankah nyanyian burung-burung

Mereka mengabdi pada  ksatria Sutajaya

Dan tak letih bersenandung : Dahulu belantara kota

Kini, bantaran sungai dipadati eceng gondok meregang kata

 

Pelabuhan besar

Dalam hikayat lontar-lontar pujangga macapatan

Mengorasikan kepedihan kaum nelayan

Tersungkur limbah amuk terminator berkostum Pahlawan

 

 

Bantaran Sungai Cimanuk IM. 1998-2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abdul Aziz

I’tikaf Bunderan Mangga Simpang Lima

 

 

Bunderan mangga Simpang

Lima

Beri’tikaf pada gebalau kota

Aksara jawa

Deru mesin waktu memburuku

Engkau dimana wahai perompak

Manuskrip masa lalu ?!

Masihkah bertengger di singgasana

Nurani

Ataukah pergi ke manca negara mencari

Suaka pada keangkuhan patung Liberty?!

 

Bunderan Mangga, Simpang

Lima

Disini, kita sujudkan arogansi

Para penguasa negeri

Agar do’a-do’a para penyihir puisi

Tak akan mati

Bersajadahkan senyuman kaum sufi

Mebendung banjir airmata negeri

 

 

Pekandangan-Bunderan Kijang. IM. 2012   

 

 

 

 

 

 

    

 

 

  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar