Biografi : Yohanto A. Nugraha
Yohanto A nugraha alias
Gatot alias Abuk alias Lie Keng Hoek
kelahiran blok pecinan, desa Karanganyar Indramayu 18 februari 1955, menulis
puisi sejak tahun 1974 pernah dimuat media daerah dan pusat, membentuk komunitas
sastra KREASI tahun ’80 dan menyelenggarakan lomba-lomba dan diskusi sastra
menggarap beberapa naskah drama dan monolog, pernah mengasuh ruang sastra di
radio cindelaras, RSPD kabupaten indramayu, pernah menjabat sebagai ketua umum
dewan kesenian indramayu periode 2004-2007
,tapi hanya satu tahun dia menjalaninya ……. dan kumpulan puisinya
“resonansi sepanjang usia” [komunitas bantaran, 2009] “Aku Akan Pergi Ke banyak
Peristiwa”, [Antologi 9 penyair jawa barat oleh budpar jabar, 2005], “orasi
sunyi” [Formasi, 2005], lagu matahari bersama Kijun [DKI, 2004], Resital puisi
11 penyair indramayu [Dewan Kesenian Indramayu, 2001] JURANG bersama H, Ope
Mustofa [Formasi, 1999, “kiser pesisiran” [Forum Masyarakat sastra Indramayu,
1994] tanah garam [Kreasi, 1992] sekarang sedang merintis antologi penulis
puisi tunggalnya “ lirik airmata alias puisi sms ” dan mendirikan komunitas
seni“bantaran”
di blok; talang tembaga gg. Cempaka Rt,23 Rw,01
Lemahabang Indramayu, Jawa Barat. mobile
085314921581 dan beristrikan seorang wanita bernama jumiatin dan
berputra ; samsul, lukman, mustika wijaya dan adi adhari a nugraha dan bercucu
farah annisah haya, bayu dan hafiz dan sekarang bergiat di forum masyarakat
sastra indramayu atawa formasi.
RITUS PENGANTIN
- kepada jumiatin
memandang hujan pada matamu seribu lukisan
tergantung mengirimkan pesan kemarau
lewat telepon yang berdering di kamar
menggenapkan kekalahan atas kesunyian waktu
terlalu lama kita berdusta pada musim
mengetuk percakapandi beranda
hujan mengabutkan airmata dan mengisyaratkan
gerhana. hari memberat menggantungkan impian
masa kanak-kanak dan kau jadi batu
pada kediamanku seperti setiawati
bagi narasoma membuka padang-padang
tertusuk ilalang terluka kubasuh sepanjang
kelengangan dan airmata terus mengguncang
hatimu penuh genderang kuru setra
dalam cawan darah
kulangkahkan mahar
atas ritus ini
Indramayu, 1991
ZIARAH API
: bagi sp. hidayat
- 17 mei angin membawamu dalam hening wisik
dan kau pun mengukur usia sejarah berlari
menjaring mitos perempuan
runtuh kebalik ranjang pengantin
tapi kau tersenyum atas limbah pabrik inikah
kutuk yang dijanjikan ki tinggil atas ranah moyangku
kau pun ngembara ke kota-kota
bersama mimpi wiralodra
dalam undakan dan lipatan romantisme nyi ending dan senja pun
lindap bersama kesakralan sambil bercumbu bau leher
san gairah cinta bak gurun sahara
sakramen ini
harus kita sudahi kita pun saling bertukar
piala
seperti bangsawan dan pangeran abad-abad silam lihatlah
aku pun telanjang membiarkan tubuh mempersimpit jarak
bukankah ini yang dilakukan bapak adam
dan ibu hawa mengajarkan kita tak takut-takut untuk saling
melukai dan ingin kuceritakan kepadamu tentang retorika
kisah purba - jayaprana-layonsari - jaka tarub - rama-sinta
romeo-yuliet atau kesetiaan yang sia-sia oidepus - cleopatra
bandung bandawasa diantara nugraha yang tergusur atas prasangka
buruk
dialirkan jantung jiwa bukankah prasasti itu tak kalah penting
dengan cerita asmara ala yasunari Kawabata - tolstoy
atau tarian mabuk para darwis jaman rummi
- 17 mei bulan mengantarmu di lirik bidadari-bidadari
Menebar kasmaran dan sebutir bintang dalam pelukan
bersama gerimispada loncatan detik dan kau pun berbisik
tuntaskan tangis sejarah dan angina senantiasa menyebarkan
aroma kemenyan mencari memedi sawah
berlarian sepanjang galengan dan bentangan cimanuk
pada kanvas menterjemahkan mitos kijang
yang membuat sarang pada tumpukan gabah. basah
rambutmu mengobarkan birahi berapa harga kesetiaan
cinta pun jatuh seperti bola api selebihnya lenyap
di telan plaza diskotek dan semerbak diodoran
bagi nasib seorang pemabuk tanpa kartu pengenal
dan yang kurindu adalah gaga semangka
tanpa harus membakar pesawahan aku takut
pada keluguan batapa auranya akan mengalirkan limbah
pabrik - polusi dan orang-orang saling memperkosa
tanpa tangis lalu mereka berlomba di tengah
peradaban gelombang perang dengan pelana abad
lupa diri hingga teratai di kolammu gemetar
yat kemana kau sembunyikan
wajah kami
pondok cabe, 2006
HUJAN SORE HARI
- wr
dalam catatan
dalam hujan sore hari dan dingin
sudut-sudut kamar yang bersijingkat
mencari mata pisau sungguh aku lupa
siapa yang memindahkan wajahmu
memaksaku merabah seluruh tubuh
menarik kepusaran yang paling jauh
dan asing kukira engkaulah peri penggoda
matamu memancarkan seribu telenovela
berenang mengarungi lautan bercampur limbah
yang kian mengubah wajahmu sebab aku hanya
daun terbawa arus atau kumasuki mimpi
wiralodra yang kasmaran menanti nyi endang
mandi besar setelah perang tanding yang membuncah
diantara bantaran. sebagai tanda bahwa disini
telah ada bencana dihamparan baro-baro yang luka
dan amis darah pinangeran mengubur kesombongan
selendangmu tak sekedar berkibar tapi terbang
membawa kunang-kunang yang gemerlap
meski padepokan itu harus kau hancurkan
tapi jangan kau seret aku dalam peristiwa aku hanya
sayap kata-kata dan perkenankan puisiku melingkari
persetubuhan sebab aku sulit membedakan
malam dan siang meski ricik airmu menjelma
lembayung dan kukira aku telah melukai
dengan kata-kata pilihlah dimana akan kau tancapkan
cakramu agar melengkapi kesempurnaan hidup
dan terbebas dari dendam masa silam
seperti engkau usung prasasti negeri ini sebab birahiku
membias diantara jalan-jalan yang menghubungkan
jambangan bunga dan menawarkan kenyamanan
meski arusmu tersumbat merekalah milikmu
wajah api yang membakar pesawahan
dalam hujan sore hari
Indramayu; revisi 1999
[ atas bundanya anakku ]
REQUIM
- atas bunda
- ada sisa percakapan di sini
mengering perih kembang soka luruh
bertahan dari bisik waktu yang di-kristal-kan
menggeliatkan kenangan senja kelam
dan gerimis pun mengucur begitu dingin malam
mengantarkan benih yang tak sempat di-sema-ikan
dari kebekuan hati dan angan-angan yang terserak
mengusik ketenangan romantisme pasir pantai
sementara angin pun semakin lelah
mendorong perahu ke muara-
( - lie kiem hwa )
Indramayu, 081992
LIRIK AIRMATA
- kepada farah anisa haya
sudah terlalu lama suaramu kumimpikan
bersama gerimis hingga kedinginan. subuh
mencairkan gema adzan terkubur diantara
lorong-lorong jiwa yang luruh menterjemahkan
keperihan hati di tawarkan airamata orang-oranga
berdoa begitu suntuk bagi burung-burung
melintasi rawa-rawa sebelum fajar meninggalkan
nyanyian berlebih hurup jadi bagian kehidupan
selalu kau tolak masa silam mengantarkan aroma
melati berloncatan sepanjang rakaat bagi sujud
dan tangisan membentang rindu di tuliskan cuaca
menjarah kesejukanmu annisa ingin keteriakan
retorika kehidupan yang tak habis-bahisnya
membongkar kengerian diendapkan bianglala
mengirim bulan atas hati yang koyak disini
ingin kugulung semua impian bagi peradaban
yang ditawarkan berjuta virus
Talang tembaga revisi, 2001
DISINI ADA KENANGAN YANG MEMBIAS
DIANTARA GEMETAR HUJAN
diantara bantaran kita pun bisu kemana puisi yang gemetar dan engkau
pun bersijingkat menawarkan arus yang tersumbat melukiskan aliran sungai sampai
muara yang membentang sebab esok akan datang lamaran arya wiralodra kasmaran menterjemahkan lontar terbakar birahi kesumat membunuh segala
romantisme disini ada kelahiran yang
sungsang bagi kanak-kanak tumbuh dan besar bersama limbah tapi dimanakah janji
ratu adil yang kau corongkan siang dan malam atas tepian sungai sepanjang tahun
yang akan mengencangkan tubuh aku pun
lindap dalam gemuruh pabrik dan ribuan pohon tumbang bersama angin puyuh
membawa mimpi orang-orang atas tahun lalu jadi kering karena musim telah
mengasingkan segala cuaca kau pun
berkerut wajah menguraikan segala rindu yang mengeram kesunyian telah menjadi
aneh dan kita pun mengaji diantara hiruk pikuk reruntuan kota-kota bagi
perjamuan kemana kau simpan wangsit yang dulu mempertemuakan ki tinggil dengan
seekor kijang tersungkur di hamparan
suket teki biarlah semuanya menjadi
ricik air dan nista sejarah yang menggelinding dan menyelinap diantara
tapak-tapak ranah moyangku meratakan
mimpi kanak-kanak berulang kuwartakan
cinta ini dengan airmata para penziarah mengusung prasasti wiralodra yang
kehilangan cinta abadi telah lama
kutampung kutuk ini dan kemana sirnanya amarah yang membakar ‘gandulane ati’
cintamu sempit menjelaga sungguh ia serupa lembayung sambil kulafalkan lagi mantra yang kau ajarkan
di malam-malam sehabis gerimis tuntaskan nyanyian para pendusta ini serupa candu masa silam dan angkara
melibatkan kejumudan dan jangan sebut ibu di tanah ini yang telah membunuh artefak moyangnya dengan
siapa akan kumaknai pelancongan ini dan seekor kijang melintas kau pun jatuh cinta di bawah tekanan mimpi
memeras keringat orang-orang yang mengusung ajal tak ada siapa pun disana dan namamu bagai
fatamorgana semua cermin membayangkan senyum hingga kau dapat menemukanku
disini diantara debur ombak yang kian
menepi seumpama angin berpusar sebagai
riwayat yang menyalalakan mata angin dan kau pun bersikeras mewartakan kembali
tentang pangeran selawe gugur sebelum waktunya lalu kau pun melupakan tapak-tapak sejarah
yang menyelipkan surat bagi kanak-kanak yang kita lahirkan bersama seperti bantaran yang tak memberiku makna
perjumpaan dan membiarkan kenangan indah
bagi seekor kijang jadi prasasti dan puisi telah memberiku kesepian bersama
kelengangan sebab arusmu terbendung dengan segala gelombang seperti ingin menanggalkan
tubuh jadi santapan para penziarah inilah kado kelahiran muncul dari sumur
bidadari dan bayangkanlah bulan sepotong memberi warna cahaya diantara tepian
sungai bersama cericit burung merayayakan kemurnian pohon-pohon sepanjang
bantaran menyuapi orang-orang bukankah engkau mendengar desir angin hingga
kelopak matamu nanar menghujam bagai panah pesopati milik penengah pendawa bukan cerita sejarah membuat kita disini
mencermati hamparan ilalang lalu kutemukan irama hidup yang sekarat menahan
limbah dan matamu masih saja sembab begitu banyak harapan dan impian yang
tergambar pada lingkaran alis mata penuh
pesona engkau pun menjelma kupu-kupu
dalam rongga masa silamku serupa gelepar jiwa dan sekali waktu perasaanku
memeras doa-doa kupejam mata mendengar
erangan bantaran di kepung seribu bulldozer atas udara kecut berselimut aroma
solar baiklah kujalani kutuk ini untuk
menyediakan ruang bagi bayang-bayang kekinian sebagaimana aku harus mengenangmu
dan tak bisa kulukis wajahmu yang selalu menutupi perjumpaan selalu melilitkan
persetubuan dan mereka tuangkan pada sawah ladang yang kian gersang karma
cerobong pabrik inilah potret kemajuan
yang kau impikan disini adakah gemericik air hujan membasah kita pun mandi
besar dalam darah orang-orang melawan arus kebijakan dan keangkuhan telah jadi racun yang mereka
wariskan sepanjang malam membayang wajah pesisirmu di balik lentera jalanan seperti kenduri nenek moyangku yang bersemi
dalam laku lampa menebar aroma garam
mengucurkan doa bagi langit membuka rahasia dan kita tuai rasa perih
kanak-kanak mengedepankan segala keinginan dan kerinduan serupa muara menampung
tekanan mimpi siang hari dari lapar jiwa
setiap detik mengeja ajal sekarat
menahan limbah dan dengan siapa transformasi ini melindapkan penyeberangan aku mabuk melangutkan segala mimpi sungguh aku
luput menangkap larutan dan membuatmu murung pada usia yang memar seperti jantungku penuh dendam menahan cinta
dan angin selalu menerbangkan satu teriakan tiba-tiba seekor kijang tersesat di super
market mencari wewangian dan engkau pun beringsut bersama debu-bedu yang menebal pada kaca tapi kemana embun yang menyebarkan dingin
subuh meruap diantara para pelancong membuka tubuhnya seperti cahaya menyelisik
menyingkap gelap malam bersama desir angin dan rumah baru yang suwung seperti yang kita impikan di malam-malam
ketika gerimis turun perlahan pada dahan mati sayang engkau tak paham meski senyummu di menolak mengabarkan
percintaan ranjang pengantin disini aku mewarisi kegamangan rindu batang
khuldi kemana kanak-kanak kau ungsikan
atas kandungan sungai yang kau kuras bersama deru buldozer sebagaimana hidup di
bangun dengan keangkuhan meruntuhkan
malam diantara kuburan dan engkaulah peri penggoda di remang sunyi yang
tiba-tiba menghembusan angin lembut dari arwah yang berlabuh menahan debur
ombak sepanjang pantai aku jadi ingat
wanita yang menyimpan segala misteri untuk terus saling tidak percaya aku akan
tetap membuat sajak jauh kedalam tanah tapi nasib berkata lain inikah kutuk itu sampai tak tau jalan pulang
seperti ikan-ikan mabuk dan sejarah selalu berulang bagi asmara sebatas beton
lantai lembab dan kegagalan adalah formula tuk membangun impian masa remaja
yang gemilang sementara kini aku hanya
membias menyimpan pantulan wajahmu demikialah hidup berawal menyadap ajal dan dan
membakar ladang-ladang yang dinistakan orang-orang dan kubaca arah angin
kemudian kubangun impian dengan nalar atas gairah cinta yang terus bergumam aku mabuk sepanjang bantaran dan tapak-tapak
sejarah telah kehilangan aroma padahal pahlawan sudah lama gugur engkaukah yang sembunyikan primbon atas ribuan
wajah datang dan pergi terlanjur menyatu dengan riak sungai yang kehilangan
aromanya atau rumah tanpa jendela lantas apa yang akan kukabarkan bagi
penantian ini aku pun berdoa atas
orang-orang mendenguskan kematian di jalan-jalan yang tiba-tiba seperti sebaris
sajak chairil menuju pelabuhan demi pelabuhan menggenangkan arwah wiralodra tersimpan
berabad lamanya dalam kegelapan menyelimuti bumi moyangku diantara gerimis dan
tetesan airmata mengalirkan limbah yang membakar inilah kemurungan yang kian larut dalam hujan
sore hari dan tak ada upacara atau kenduri disini lembayung surut mengaburkan cahaya wahyu yang
dijanjikan sejarah aku tahu kau yang
menghilangkan riak air dari hulu serupa bayang-bayang subuh tergantung dan kita
pun sepakat mencari bantaran yang layak kita taburi benih cinta dan tak
selamanya kepura puraan mengasah dendam yang menyala diantara masa silam
berkubang dalam lendir sekali waktu
terbayang wisata jalan raya penuh birahi atas panorama meski kita tuntaskan
sebelum malam mendesak untuk tak takut-takut bahwa kenyataan bukanlah beban maka kubiarlah jadi kenangan dan selalu ingin
kutulis namamu dalam lembaran retorika kehidupan
Indramayu, 2007.
VIBRATION OF THE FISH
; bagi dirot kadirah
- dalam bentangan abad-abad yang terbakar
ikan-ikan menanggalkan karang memaksaku membaca kembali mantra ki tinggil atau
memimpikan negeri gemah ripah loh jinawi sepanjang bantaran yang gelap lindap
lautmu membawa duka lara dan penziarah itu mencari jejak sejarah entah bagi
siapa perburuan ini masa
kanak-kanak yang tergusur dari keluasan laut dan layar terkembang atas cadik bagi perahu saat menjaring harapan diantara limbah sesajen
melarungkan gasing berputar putar merotasi mimpi pulau dewata dengan aroma
kemenyan mungkin nenek moyang kita sama
tapi kemana tangis orang-orang mengusung lapar bersama gairah kepedihan cuma
pengantar ikan-ikan bagi nelayan menyuarakan kesengsaraan di jalan-jalan menuju
pabrik sambil membentangkan selendang mayang hingga bantaran semakin tenggelam
bersama sungai-sungai terkubur otak penguasa yang tak paham aroma sejarah. ia
hanya mengabarkan banjir bandang bagi tubuhnya menguapkan bau tanah dan
kematian ikan-ikan di pasar kau pun berhias diri sebelum kehilangan hunian dan
kubaca kembali primbon nenek moyang namamu ada rohani yang ngembara dan
seharusnya kau sembunyikan diantara kemarahan ikan-ikan dan wanita yang
kehilangan suami kau pun mengeja hari-hari yang suntuk kenapa kita jadi budak
jaman yang di pertuankan atau dituankan dan kau pun tak mau kehilangan raga kamana kau kirim kado
perkawinan seekor ikan sungguh aku tak menerima apa pun dan kau pun bukan wiralodra bercinta dengan nyi
endang dan siapakah yang semedi dalam gua garbamu membiarkan keringat
menuntaskan segala kenangan dan kau pun menuai percintaan sepanjang arus
cimanuk bersama ikan-ikan terjegal tilu braja bagi masa silam yang memetakan
segala peristiwa berulangkali menyuarakan aura sungai-sungai saling melilitkan
nasib aku mencintai dengan
segala jiwa katamu sambil
menelanjangi ikan-ikan yang sekarat bersama limbah
Talang tembaga, mei 2006
METAFORMOSA
- kepada,
candra n pangeran
1.
anjani darah kesadaranku membias diantara suara-suara gamelan jadi
telaga dzikir bersama orang-orang yang menyuarakan kesengsaraan musim sepanjang
pantai atas bibir gelombang mengubur prasangka buruk dialirkan jantung jiwa
bagi seorang kekasih begitu tabah menata airmata sementara kanak-kanak
berlarian diantara pusat-pusat informasi bangkitkan parikesit atas semar-semar
jalanan dan kita pun membuat
persimpangan demi persimpangan menyemarakan pesta kembang api dalam gumpalan
kerinduan melengkapi pembusukan nurani
mengerami sejarah moyangku diantara limbah
pabrik dijejalkan teknologi
2.
anjani waska yang tercipta dari lendir kesadaran nurani telah
membangun berhala dan menjelma angka-angka statistik atas rindu sejarah
ruangtamu melangutkan gerimis sore hari hingga isyarat yang kau janjikan lenyap
bersama embun semalam jadi padang-padang
perburuan diantara pohon-pohon cantigi sepanjang pantai yang terluka dan tubuhmu menyengat di celah-celah
kegelisahan mengiringi diammu menuju konspirasi demi konspirasi tapi disinilah
kau dapati kehangatan masa silam yang menyapaku setiap pagi atas cakrawala
kelam menghubungkan fatamorgana kedalam kamarku penuh birahi
3.
anjani suaramu membakar amarah orang-orang yang kini jadi momok membentangkan kesunyian waktu terbaca jejakmu
diantara kilatan kramik dan sisa tumpukan masa silam meliukan gairah
semar-semar pun tersenyum menangkap sorot matamu penuh dendam atas derita rindu
diapungkan doa seperti ricik hujan yang membakar sementara tubuhmu membuat
petak umpet bagi persinggahan airmata yang berputar-putar atas dinding rumah
kontrakan lewat sentuhan-sentuhan yang tak kau sadari bergerak dalam tubuh kami
membuat lingkaran seperti matahari dalam sakramen ini
Indramayu, 2002
GERIMIS
1
gerimis pun menyapamu diantara senja yang muram tapi dingin menyebarkan aroma cimanuk yang meranggas.
barangkali ini sebuah kutuk atas mimpi-mimpi tentang perjalanan ki tinggil yang
membakar hutan belantara disini sajadah yang kau bentang di pelarungan rumah
itu dan rambut tergerai basah oleh embun semalam telah menitis dalam tidurku
sayang kita melupakan mantra-mantra yang diajarkan sejarah melingkar-lingkar
sepanjang bantaran dan suaramu kudengar lewat debur ombak mengantarkan kepiting
dan umang-umang menyusuti kebisuan karang disini di sungai inilah kau
pertemukan nyi ending dengan airmata kasmaran mengeja hari-hari penuh harap dan
kenangan yang menyelinap kedasar kepedihan orang-orang.
2
gerimis itu menyapamu sepeninggal senja yang kini menjadi bendungan seperti
engkau menerima kutuk dan luka yang dimitoskan sejarah telah mewarnai
gemerincing waktu berutar-putar melewati jalan-jalan yang menghubungkan kedalam
dadamu penuh ramalan.ratu adil sambil mengintip nasib orang-orang terusir aku
baca kemabali lontar atas bingkai jendela yang kau hadirkan dalam mimpi semalam
akulah sipemabuk yang mengubur dirinya
sendiri karna tak mampu menterjemahkan perih dan mengepakan resah cinta atas
peperangan di ranah moyangnya akhirnya
aku membangun juga persinggahan demi persinggahan walau aku ragu akan makna
persinggahan bagi dirimu yang berjalan sepanjang sujud dan rakaat
3
gerimis itulah yang menghadangmu atas kesenyapan waktu mendesirkan
rasa mengusik jantung penuh batu-batu.
ingin kuziarahi seluruh masa silam agar sajadah yang kau bentang mampu memeberi
penerangan jalanku disini disepanjang bantaran yang tak memberi makna sejarah
dalam tubuh yang terbungkus selendang mayang berwarna kuning keemasan membuatku
rikuh nyi ending pun tersenyum menapsirkan bunga-bunga tumbuh di petilasan itu
kau lihat matahari di kanvasmu penuh warna kesunyian melepas segala beban
kerinduan dan “hidup hanya menunda
kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu ada yang tetap
tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah”.........
“) sajak chairil anwar
“derail-derai cemara”
Revisi, 2009-2000
KAU PUN BERLARIAN DI RICIK HUJAN
- catatan bagi affin riyanto
kau pun berlarian diantara ricik hujan di subuh jingga tapi tak
kutemukan sendu pada wajah dan angin selalu melucuti sisa gemetar pada detak
jantung yang menggemuruh pada sebuah cuaca menyatukan segala kehendak
melukiskan takdir dan hanya kerangka yang harus disempurnakan dan kau pun diam
memaknakan goresan pada kanvas membentang seperti pelaut yang kehilangan peta
moyangnya membias jaman bagi kesakralan aku masukan nama nama saat keringat
orang-orang bertutur sapa seperti para aulia memendam segala prasangka yang
dialirkan jantung jiwa atas pengembaraan abadi melayarkan segala kenangan hidup
melepas laut pada usia lalu dari balik
kobaran api munculah wajahmu penuh pesona kemana kau kubur cinta yang dulu mengajarkan
kita tak takut-takut mengarungi limba belantara inilah hikayat ranah moyangku menjadi
rawa-rawa tandus dan sungai yang tersumbat dari ujung perkampungan atas perdebatan
selalu tak berujung inilah masa panen yang memotong kelamin orang-orang saat
burung-burung melintasi harum padi dan sisa pembakaran disini dikedalaman tubuh
yang menyimpulkan aroma duka lara mengantar mimpi orang-orang yang tergerus
mengaliri birahi kesumat seperti bulan melanguti malam diantara mega-mega jadi
menggemuruhkan makna diantara slogan sepanjang perkampungan bergantungan dan kau
dengar suara yang menggelegar menjelma berjuta airmata dan luka sejarah bagi
kanak-kanak yang menyusuri ranah monyangnya pada hari-hari menumpuk. adalah
takdir yang menyelimuti rawa-rawa yang semangkin menjauh sebelum nyi endang
terusir di tanah perjanjian hujan pun turun dari balik kelam hunian dan desir
angin laut tanggalkan pesan kemarau menghapus nama-nama dan senyum yang membius
engkaulah yang mampu menggoda malam pengantin pada persimpangan tak sempat
mengirim doa seperti pesakitan digelandang ombak bersama hujan atas halilintar
sampai kapan kutemui ujungnya dan dapat menjumpaimu maka kuhapal seribu mantra
agar kering air mata atas gelap yan membayang
wajah pesakitan justru ketika kerinduan mengelabui ziarah ini
Talang tembaga
2009
Yohanto A Nugraha
PISAU WAKTU
: catatan bagi syayidin sr
- narasi yang ada pada goresanmu mengabarkan
ricik air kran itu membisu saksikan tubuh
menahan beban gelombang. darahnya menyergap
sudut kanvas menjadikanmu kelimpungan
mengeja hari-hari penuh genangan pada kaca
menterjemahkan sebera panjang doa lucan capulet
menyisir padang
perburuan “inilah panen raya itu”
teriak jaihan sambil menutup mata chairil anwar
terbaring diantara perempuan yang kehilangan mata
dan hardi membentak bentak menempel
wajah presiden
tapi kekuasaan jatuh pada perempuan “akulah reformasi”
sambil tersenyum surya palo menjelaskan persatuan
dan kesatuan yang membingungkan kanak-kanak
- narasi yang kau gelar kini jadi bunga bakung
meliarkan mimpi wergul w darkum yang meragukan
tepung kanji atas tubuhnya dan kita pun sempoyongan
mendengar suling dermayon mewarnai percintaan
atas genangan sampah-sampah tanggul cimanulk
aku tersekap ketika kau taburi wajahku dengan lumpur
kehidupan yang menjegal jalanku. bersama fujail
kuusung keranda ayah ibu melewati kesunyian waktu
maka kunyanyikan “requim aeternam deo” sambil
membangun surau-surau di dalam tubuh kami dan
matamu nanar menelanjangi kemiskinan
diantara lautan airmata
- narasi yang kau buat kini telah menjadi monster
melintasi lautan dan membuat pulau-pulau kecil
tempat kanak-kanak membangun romantisme
tanah moyangnya yang tergusur
seribu buldozer
Talang tembaga,
2004
JAGAT ALIT
- kepada wergul w darkum
telah kau ziarahi kesepianmu diantara kilatan
lampu pada aroma kemenyan. menggusur kelaparan
nurani yang resah memandang gedung-gedung
dalam cawan darah dan airmata membungkus salam
kepada jagat membentangkan
kain kafan meruatmu
sedang aku memunguti masa lalu dengan menyobek
almanak yang sekarat di makan waktu
seperti pohon-pohon sepanjang panatai. kita mesti
istirahat meluruskan badan dan mengencangkan
segala impian kanak-kanak untuk kita jual
televisi menayangkannya pada kesia-sian sajak
membias wajah memar di jalan-jalan menuju
pendopo. tergantung keasingan dan menuliskan
angka-angka yang membakar cerobong pabrik
seperti doa yang diapungkan gelombang. terbaca
kesengsaraanmu pada pucuk daun kering luruh
mengkristalkan kebohongan peradaban jaman
masihkah kau menunggu suluk ki dalang
yang memidurkan segala impian dan angan-angan
terbuang seribu gunungan
menututupi kecemasan
kita pun terlahir dari rahin yang sama
dan bumi ini akan menangis menyaksikan segala
hujatan. bulan lengser bersama jerit tangis
dan darah membusuk jadi tumbal sejarah
Indramayu,
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar