Agus
Supardi
Menangislah
Negeriku
Menangislah
negeriku…..menangislah
basahi
sawah-ladang, padang
rumput
dan
pohon-pohon
biarkan
sedu-sedan itu berderai
di
daun nyiur melambai
Masih
ada duka
bocah-bocah
telanjang dada
Masih
terdengar bisik pilu berjuta ibu
dan
syair cinta para pujangga
Menangislah
negeriku, menangislah
genangi
embung, danau dan sungai-sungai
Lama
nian kita berkubang
di
rawa kata-kata, jera sudah para jelata
menyimak
janji dan sumpah setia
Menangislah
negeriku, menangislah
ratapi
saja nestapa Pertiwi
didera
bencana demi bencana
tiada
henti
Sesali
saja kebutaan nurani
di
busung dada para pencuri
Menangislah
negeriku, menangislah
biarkan
jaman bersaksi
tiada
kemenangan
tanpa
peluh, luka dan derita
Tiada
kemuliaan
tanpa
hasrat, budi dan cinta
Menangislah,
menangislah, negeriku
Menangislah
hingga
tak lagi menetes air mata
Indramayu,
Desember 2006
Agus Supardi
Kabarkan
Kabarkan langit biru
lazuardi
Sungai-sungai menghitam
airnya
Buih ombak bawa tembaga
Ke lubuk-palung dan
terumbu karang
Sampaikan bara merah
matahari
Pada awan, pada gunung,
pada rimba
berasap
Kolam, sawah-ladang dan
ternak kita
Dimangsa malapetaka
Lalu bisikkan pada
malam,
Bintang-bintang dan
angin semilir
Tak ada lagi angsa
berenang
Elang dan camar terbang
Tinggalkan pantai
Indramayu, Desember
2006
Agus Supardi
Sonata Daun Cemara
Puisi tanpa kata di
pucuk cemara
adalah desau angin
nyanyian lembut
daun-daun,
bisik
lirih penyair di jagat kecilnya
merajut
makna dan hikmah kata
jadi
kebajikan bicara
Di
negeri penuh wacana ini,…..
Di
negeri terpedaya ini
kata
bijak diusung sakral
pada
simbol-simbol hypokrisi;
pada
bingkai angan dan harapan anak bangsa
yang
masih saja dirundung lara.
Kata-kata
berhamburan
bagai
guguran daun kering
dihembus
angin kemarau.
Orang
cerdas bicara
tapi
tak bicara cerdas
yang
pandir suntuk berpikir,
Dan
biarlah yang bijak
membangun
kebajikan yang sembunyi
di
balik kebijakan membungkam kata
sebatas
makna. Atau tersimpan
di
antara butiran hikmah alam semesta
Biarlah
daun cemara
bisikkan
suara lembutnya.
Mungkin
esok lusa
kita
masih bisa mendengar
Indramayu,
Desember 2006
Agus Supardi
Jakarta … Oo …Jakarta
Jakarta . oo . Jakarta
Rimba beton dengan
geresek rupiah
di dalamnya, merayu
jutaan harap dan mimpi
lebur bersama cucuran
keringat, bau parfum
serta debu jalanan
jakarta … ooo … Jakarta
belas kasih siapa
menabur butiran janji
megah
dari trotoar hingga
gedung-gedung tinggi
dari pesisir kumuh
sampai taman monas
Jakarta .… oooo .… Jakarta
Pesona apa lagi
ditawarkan
setelah sungai-sungai
membusuk
lalu banjir tahunan
genangi
tembok dan bilik-bilik
rumah?
Janji apa pula
dihamburkan ke pelosok
desa,
jika pe-ka-el, ge-peng
atau
pe-es-ka digelandang
bagai satwa,
selagi rampok berjas-dasi
begitu anggunnya
keliaran di
kantor-kantor?
Khayal apa pula
membayangi peraduan
lelaki
bila berkas merah
gincu, pupur perak,
serta wangi parfum
perempuan karier
membersitkan aroma
perselingkuhan
di balik pintu-pintu
Jakarta ……ooooo……Jakarta
angan mimpi, dan
harapan terus memburu
di tengah deru rupiah
dan kilau metropolitan
yang langka belas
kasih.
Indramayu, Desember
2006
Agus Supardi
Hari Masih Panjang
Bulan sabit gayuti sisa
malam
sekam kemarau cahyanya
pendarkan bayang
dahanan kering
gugur daun didera musim
Adalah derita tanah
rekah,
getir sungai pasir
dan pilu ladang jagung
lelah tengadah ke
langit
tanpa awan
Adalah dahaga kebun
bunga
gelisah sukma perempuan
tua
di sisa hayatnya, yang
masih mengejar arti
pohon-pohon,
rerumputan, buah randu
dan bulir padi bagi
kehidupan
Adalah kepedihan semua
ketika remah-remah
hutan
gunung dan bebatuan
mengancam jiwa di
mana-mana
Adalah dosa kita
menggilas rimba jadi padang ilalang
lalu termangu
menghitung
kota-kota tenggelam
dalam ritus bencana
tahunan
Bulan sabit temaram di
tirai fajar
kita baru terjaga,
Oohh…hari…masih
panjang.-
Indramayu, Nopember
2006
Agus Supardi
S h i a m
Shiamku bagimu, ya
Hakim
seperti sujudku
sepanjang ingatan
dan tasbihku di hening
hati
yang luruh tak berdaya
Tak kuasa kuejakan
nikmat-Mu bagi raga dan
jiwa
Yang kau genggam
Fajar hingga ambangnya
terik siang, hingga
paruh malam
waktu kusadari zarah
hina ini
di bawah semestanya
Arsy-Mu
Ampunkan hilafku,
ya…Ghafur
Sya’ban 1427 H
Agus Supardi
Shadaqah
bumi tiada jengahnya
seperti mata air
mengalir
di antara batu-batu
dan tanah pijakan
adakah milik kita di
sini
jika sekedar singgah
menanti hari berakhir
lalu terpendam
dalam gelap kuburnya
sendiri?
mari berbagi,
pohon-pohon
batu kali, karang dan
samudra
ikhwan kita: fukoro,
masakin
serta segala nafas fana
di bumi teraniaya ini
Sya’ban 1427 H
Agus Supardi
Lailatul Qadr
Bintang pendar-birukan
keharuan
angin silir, membelai
lembut
jemari malam
Tak berhijab langit-Mu
kabarkan ketulusan para
muttaqin
dan aku mengintipnya
dalam cemas
Adakah serpihan bagiku
sekedar di tepinya?
Allahu akbar, laa
ilaaha Ilallah……………
Sya’ban 1427 H
Agus Supardi
Ramadhan
Tujuh pintu langit-Mu
tersingkap pada titian
cahaya subuh, waktu
nalarku lelap
di antara adzan dan
kehilafan
Tak lagi kuhitung
luas ampunan yang kau
taburkan
di rimba fana ini,
hasrat tak daya
menjenguk tabir
kuasa-Mu
dan kenistaan terperam
dalam kepandiranku
sendiri
adakah masih ampunan-Mu
bagiku, ya Rabbi?
Sya’ban 1427 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar