IMPLEMENTASI METODE PENDIDIKAN
BERKARAKTER NILAI DAN MORALITAS ISLAM DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Pendidikan
pada hakikatnya yang berkaitan dengan manusia sebagai objek. Karena pendidikan
harus berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dan muatan lain yang
mempunyai nilai dasar bagi manusia itu sendiri seprti pendidikan moral yang menjadi salah satu tujuan pendidikan
Islam.
Semua
itu merupakan tantangan bagi pendidikan, khususnya pendidikan Islam (PAI).
Karena kebangkrutan moral berkaitan dengan kegagalan sistem pendidikan,
termasuk kegagalan pendidikan Agama Islam di Sekolah. Sehubungan dengan itu,
Pendidikan Agama Islam seharusnya diletakan dalam posisi bukan untuk menolak
perubahan, kemajuan dan pembaharuan, meskipun hal tersebut datang dari dunia
barat, tetapi bagaimana memelihara hal lama yang baik dan mengambil yang lebih
baik lagi, agar mampu membawa umat pada kemajuan dan pembaharuan yang
bermaslahat.
Untuk
menjawab persoalan itu, setidaknya ada proses tujuan Pendidikan Agama Islam itu
sendiri. Apakah mampu untuk menyelaraskan, menserasikan dan menyeimbangkan
pengaruh keadaan yang begitu dominan dalam kehidupan.
BAB
II
MATERI
PEMBAHASAN
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan Agama yang bersifat
kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri
peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkret agamis
dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Bila
kita mengamati fenomena empirik yang ada dihadapan dan sekeliling kita, maka
tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan dikalangan
pelajar. Isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, konsumsi
minuman, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas
yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan semakin rumit dan sebagainya, telah
mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya. Timbulnya
kasus-kasus tersebut memang tidak semata-mata karena kegagalan PAI di sekolah
yang menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu dapat mendorong
serta menggerakan GPAI untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat
pengembangan pembelajaran PAI yang berorientasi pada pendidikan nilai
(afektif).
Pada
era globalisasi ini para siswa menghadapi beberapa kekuatan global yang hendak
membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu :
1.
Kemajuan Iptek dalam bidang informasi
serta inovasi-inovasi baru didalam teknologi yang mempermudah kehidupan
manusia.
2.
Masyarakat yang serba kompetitif.
3.
Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak
asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin
meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi. Semuanya itu akan
berpengaruh juga pada kurikulum dan model pengembangan pendidikan yang akan
disajikan kepada peserta didik.
Dengan
kemajuan iptek dalam bidang informasi maka para siswa dihadapkan pada :
1.
Kehidupan yang dipicu oleh era media
globalisasi yang sifatnya bisa menghibur, mendidik dan mengajar sekaligus juga
bisa menyesatkan mereka, yang semuanya ini berjalan secara terus- menerus tanpa
henti.
2.
Model-model kehidupan yang paling
kontroversial dapat disaksikan dalam waktu yang sama, misalnya antara kesalehan
dan keseronokan, antara kelembutan dan kekerasan, antara masjid dan mall yang
terus-menerus berdampingan satu sama lain. Karena itu, pada pagi hari misalnya,
seseorang disanjung sebagai pahlawan, tetapi pada sore harinya dikutuk sebagai
penjahat, pada sore hari memberi fatwa/ nasihat sebagai layaknya seorang guru,
tetapi malam harinya keluyuran, antara koruptor dan dermawan dapat bertemu
dalam pribadi yang sama, demikian seterusnya.
Dalam
mengantisipasi berbagai tantangan tersebut, maka pembelajaran PAI tidak mungkin
dapat berhasil dengan baik misinya
bilamana hanya berpusat pada transfer
atau pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya kepada peserta
didik, atau lebih menekankan aspek kognitif. Pembelajaran PAI justru harus
dikembangkan kearah proses internalisasi
nilai afektif yang dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan
yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilai-nilai dasar
agama yang telah diinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotorik).
Upaya
pengembangan pembangunan pembelajaran PAI yang berorientasi pada pendidikan
nilai (afektif) pada dasarnya perlu dipertimbangkan tiga komponen faktor-faktor
yang mempengaruhi pembelajaran PAI, sebagaimana uraian tersebut diatas, agar tidak mengulangi pembahasan,
uraian ini lebih ditekankan pada penggalian karakteristik peserta didik,
terutama dalam hal perkembangan nilai moral yang sekaligus dapat mempengaruhi
pilihan strategi ( pendekatan, metode, dan teknik ) yang dikembangkannya.
A. Tahap-tahap dalam nilai moral
J. Piaget dan L. Kholberg dalam
Singgih D. Gunarsa, (1989) dan Sjarkawi, (1994) telah membagi tahap
perkembangan nilai moral seseorang kedalam 4 tahap beserta ciri-cirinya dan
perkembangan moral itu berhubungan dengan perkembangan kognitif seseorang,
yaitu sebagai berikut:
Tahap
pertama : usia 0 - 3 tahun
(pra-moral). Pada fase ini anak tidak mempunyai bekal tentang pengertian
baik dan buruk : tingkah lakunya dikuasai oleh dorongan-dorongan naluriah saja,
tidak ada aturan yang mengendalikan aktivitasnya; aktivitas motoriknya tidak
dikendalikan oleh tujuan yang berakal.
Tahap Kedua : 3
- 6 tahun (tahap egosentris). Pada
fase ini anak hanya mempunyai pikiran yang samar-samar dan umum tentang
aturan-aturan, ia sering mengubah aturan untuk memuaskan kebutuhan pribadi dan
gagasannya yang timbul mendadak ia bereaksi terhadap lingkungannnya secara
instrintif dan hanya sedikit kesadaran moral.
Tahap
ketiga : 7 - 12 tahun (tahap
heteronom). Pada fase ini ditandai dengan suatu paksaan. Dibawah tekanan
orang dewasa atau orang berkuasa, anak menggunkan sedikit kontrol moral dan
logika terhadap perilakunya; masalah moral dilihat dalam arti hitam putih,
boleh tidak boleh, dengan otoritas dari luar (orang tua, guru, dan anak yang
lebih besar) sebagai faktor utama dalam menentukan apa yang baik dan jahat.
Karena itu, pemahaman tentang moralitas yang sebenarnya masih sangat terbatas.
Tahap
keempat : usia 12 tahun dan seterusnya (tahap
otonom). Pada fase ini seseorang mulai mengerti nilai-nilai dan mulai
memakainya dengan cara sendiri. Moralitasnya ditandai dengan kooperatif, bukan
paksaan, interaksi dengan teman sebaya, diskusi, kritik diri, rasa persamaan
dan menghormati orang lain merupakan faktor utama dalam tahap ini. Aturan dan
pikiran dipertanyakan, diuji dan di cek kebenarannya. Aturan yang dianggap
dapat diterima secara moral diinternalisasikan dan menjadi bagian khas
dari kepribadiannya. Pada masa remaja, seseorang menganggap aturan-aturan sebagai
persetujuan teman-teman sebaya yang saling menguntungkan. Ia memberontak terhadap moralitas orang tua,
tetapi akhirnya mereka kembali kepada moralitas yang sebelumnya mereka tolak
mati-matian sewaktu masih remaja.
Selanjutnya L. Kholberg (1979) mengembangkan konsep
tingkat perkembangan moral dari J. Piaget
tersebut menjadi 6 tingkatan, dibagi yaitu :
1. Orientasi
pada kepatuhan dan hukuman, yakni anak patuh agar tidak dihukum
2. Orientasi
relavistik hedonism, yakni anak melakukan sesuatu sejauh menyenangkan, atau
perbuatan baik dilakukan bila ada imbalan.
3. Orientasi
anak manis, yakni perbuatan itu baik kalau diterima oleh kelompok/ masyarakat,
atau agar tidak disalahkan oleh : kelompok/ masyarakat
4. Orientasi
hukum dan ketertiban (memperhatikan norma sosial dan otoritas), yakni perbuatan
baik adalah yang diterima oleh masyarakat dan turut mempertahankan norma-norma
yang ada didalamnya, dan menghormati otoritas (misalnya pejabat dan
sebagainya).
5. Orientasi
terhadap perjanjian diri dengan lingkungan. Dalam arti anak berbuat baik karena
lingkungannya juga baik terhadapnya. Anak memperhatikan kewajibannya agar
sesuai dengan tuntutan sosialnya, karena lingkungan memberi perlindungan
terhadapnya, jika melanggar kewajiban akan merasa melanggar perjanjian dengan
lingkungannya. Pada tingkat ini anak menyadari hak dan kewajibannya
6. Orientasi
prinsip etika universal, yakni perilaku yang baik adalah sesuatu yang cocok
dipilih sendiri dengan berpedoman kepada pemahaman moralitas yang logis,
universal dan konsisiten.
Untuk
memahami lebih lanjut mengenai tingat perkembangan moral tersebut, tentang
“memberi bantuan orang yang tertimpa bencana alam” sebagai berikut :
Tingkat
pertama : jika saya ikut membantu orang yang
tertimpa bencana alam, maka saya akan dipuji oleh Bapak/ Ibu guru. (Saya harus
mentaati guru, kalau tidak maka akan dihukum).
Tingkat
kedua
:
Jika saya memberi bantuan orang yang tertimpa bencana alam, nanti saya akan
dibantu bila terkana bencana alam. (saya berbuat begitu agar orang lain begitu
pada saya, atau jika saya berbuat begitu maka orang lain akan berbuat begitu
pada saya).
Tingkat
ketiga : Jika saya memberi bantuan orang yang tertimpa
bencana alam, nanti saya membantu/ beramal maka saya akan disukai oleh
orang-orang. (saya mungkin harus berbuat begitu, sebab semua orang
mengharapkanm berbuat begitu).
Tingkat
keempat : saya memberi sumbangan kepada orang
yang tertimpa bencana alam, sebab menurut hukum atau aturan sosial bahwa saya
berkewajiban untuk saling tolong-menolong. (saya harus begitu sebab saya
berkewajiban untuk mentaati peraturan yang berlaku demi ketertiban dan
kesejahteraan hidup bersama).
Tingkat
kelima : Beramal atau bersedekah adalah suatu kewajiban
sosial karena bisa menyenangkan dan membahagiakan orang lain. Walaupun bantuan
atau sumbangan itu sedikit sesuai dengan kemampuan. Bila saya tidak punya uang
maka saya harus mendorong dan menggerakan orang lain untuk beramal/ sedekah.
Tingkat
keenam : Saya membantu orang yang terkena bencana alam
seperti itu. Bagaimana rasa penderitaan saya. Saya suka membantu atau memberi
sumbangan kepada orang karena akan bisa mendekatkan diri kepada Allah, dekat
dengan sesama manusia, dekat dengan surga dan jauh dari neraka.
B. Pengembangan pendidikan islam yang
berorientasi pada nilai
Pembelajaran
PAI sebenarnya lebih banyak menonjolkan aspek nilai, baik nilai ketuhanan
maupun kemanusiaan, yang hendak ditanamkan dan/ atau ditumbuhkembangkan dalam
diri peserta didik sehingga dapat melekat pada dirinya dan menjadi pribadinya.
Menurut
Noeng Muhadjir (1988), ada beberapa strategi yang bisa digunakan dalam
pembelajaran nilai, yaitu ( 1 ) strategi tradisional; ( 2 ) strategi bebas; ( 3
) strategi reflektif; dan ( 4 ) strategi transinternal.
Pertama
: pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi tradisional, yaitu dengan
jalan memberikan nasihat. Dengan kata lain, strategi ini ditempuh dengan jalan
memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan yang kurang baik.
Dengan strategi tersebut guru memiliki peran yang menentukan, karena kebaikan /
kebenaran datang dari atas, dan siswa tinggal menerima kebenaran / kebaikan itu
tanpa harus mempersoalkan hakikatnya. Penerapan strategi tersebut akan
menjadikan peserta didik hanya mengetahui atau menghafal jenis-jenis nilai
tertentu yang baik dan kurang baik, dan belum tentu melaksanakannya. Sedangkan
guru atau pendidik kadang-kadang hanya berlaku sebagai juru bicara nilai, dan
ia pun belum tentu melaksanakannya. Karena itu, tekanan dari strategi ini lebih
bersifat kognitif, sementara segi efektifnya kurang dikembangkan. Disinilah
antara lain letak kelemahan strategi tradisional.
Kelemahan
lainnya terletak pada aspek pengertian peserta didik terhadap nilai itu sendiri
yang bersifat paksaan, dan paksaan akan lebih efektif bila disertai dengan
hukuman atau penggunaan hukuman / ganjaran yang bersifat material. Hal ini
jelas kurang menguntungkan untuk pembelajaran nilai yang seharusnya
mengembangkan kesadaran internal pada diri peserta didik.
Kedua
: pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi bebas merupakan kebalikan dari
strategi tradisional, dalam arti guru / pendidik tidak memberitahukan kepada
peserta didik mengenai nilai-nilai yang baik dan buruk, tetapi peserta didik
justru diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih dan menentukan nilai mana yang
akan diambilnya karena nilai yang baik bagi orang lain belum tentu baik pula
bagi peserta didik sendiri ( M. Chabib Thaha, 1988 ). Dengan demikian, peserta
didik memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memilih dan menentukan
nilai mana yang baik dan tidak baik, dan peran serta didik dan guru sama-sama
terlibat secara aktif.
Strategi
tersebut juga mempunyai kelemahan, antara lain peserta didik belum tentu mampu
memilih nilai-nilai mana yang baik dan kurang baik karena masih memerlukan
bimbingan dari pendidik untuk memilih nilai yang terbaik bagi dirinya. Karena
itu, strategi ini lebih cocok digunakan bagi orang-orang dewasa dan pada
objek-objek nilai kemanusiaan.
Ketiga
: pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi reflektif adalah dengan jalan
mondar mandir antara menggunakan pendekatan teoritik ke pendekatan empirik,
atau mondar mandir antara pendekatan deduktif – induktif (Noeng Muhadjir,
1988).
Dalam
penggunaan strategi tersebut dituntut adanya konsistensi dalam penerapan
kriteria untuk mengadakan analisis terhadap kasus-kasus empirik yang kemudian
dikembalikan kepada konsep teoritiknya, dan juga diperlukan konsistensi
penggunaan aksioma-aksioma sebagai dasar deduksi untuk menjabarkan konsep teoritik
kedalam terapan pada kasus-kasus yang lebih khusus dan operasional.
Strategi
tersebut lebih relevan dengan tuntutan perkembangan berfikir peserta didik dan
tujuan pembelajaran nilai untuk menumbuhkembangkan kesadaran rasional dan
keluasan wawasan terhadap nilai tersebut ( M. Chabib Thaha, 1988 ).
Keempat
: pembelajaran nilai dengan menggunakan strategi transinternal merupakan cara
untuk pembelajaran nilai dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan
dengan transaksi dan transinternalisasi. Dalam hal ini guru dan peserta didik
sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif yang tidak hanya melibatkan
komunikasi verbal dan fisik, tetapi juga melibatkan komunikasi batin
(kepribadian) antara keduanya.
Dengan
strategi tersebut, guru berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh /
teladan serta sumber nilai yang melekat dalam pribadinya. Sedangkan peserta
didik menerima informasi dan merespon stimulus guru secara fisik, serta
memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima nilai-nilai kebenaran
sesuai dengan kepribadian guru tersebut. Strategi inilah yang sesuai dengan
pembelajaran nilai ketuhanan dan kemanusiaan ( M. Chabib Thaha, 1988 ).
Berbagai
strategi tersebut perlu dijabarkan ke dalam beberapa pendekatan tertentu dalam
pembelajaran PAI yang pada intinya terdapat enam pendekatan yaitu :
1. Pendekatan
pengalaman, yakni memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam
tingkat penanaman nilai-nilai keagamaan.
2. Pendekatan
pembiasaan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa
mengamalkan ajaran agamanya dan / atau akhlakul kharimah.
3. Pendekatan
emosional, yakni usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam
meyakini, memahami dan menghayati aqidah islam serta memberi motivasi agar
peserta didik ikhlas mengamalkan ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan
dengan akhlakul kharimah.
4. Pendekatan
rasional, yakni usaha untuk memberikan peranan kepada rasio (akal) dalam
memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.
5. Pendekatan
fungsional, yakni usaha menyajikan ajaran agama islam dengan menekankan kepada
segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
6. Pendekatan
keteladanan, yakni menyuguhkan keteladanan, baik yang langsung melalui
penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara personal sekolah, perilaku
pendidik dan tenaga kependidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun
yang langsung melalu suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Berbagai pendekatan tersebut kemudian
dijabarkan kedalam metode-metode pembelajaran PAI yang berorientasi pada nilai
yang intinya ada empat metode yaitu :
1. Metode
dogmatik adalah metode untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan
jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa
adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Metode
tersebut dianggap kurang mampu mengembangkan kesadaran rasional peserta didik
menghayati dan menerima suatu kebenaran maka penerimaannya cenderung bersifat
dangkal dan terpaksa karena takut pada orientasi guru atau atasannya.
2. Metode
deduktif adalah cara menyajikan nilai-nilai kebenaran ( ketuhanan dan kemanusiaan ) dengan jalan menguraikan
konsep tentang kebenaran itu agar dipahami oleh peserta didik, metode ini
bertolak dari kebenaran sebagai teori atau konsep yang memiliki nilai-nilai
baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, atau ditarik kedalam nilai-nilai yang lebih khusus
atau sempit ruang lingkupnya. Metode tersebut mempunyai kelebihan terutama bagi
peserta didik yang masih dalam taraf pemula dalam mempelajari nilai, karena
mereka terlebih dahulu akan diperkenalkan beberapa konsep atau teori tentang
nilai secara umum, kemudian ditarik rincian-rincian yang lebih khusus dan
mendetail, serta dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
3. Metode
induktif adalah sebagai kebalikan dari metode deduktif yakni dalam
membelajarkan nilai dimulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai
kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut. Metode tersebut cocok
diterapkan untuk peserta didik yang telah memiliki kemampuan berfikir abstrak
sehingga mampu membuat kesimpulan dari gejala-gejala konkret untuk diabstrakan.
Sedangkan kelemahannya, kadang-kadang dalam mengembalikan antara berbagai kasus
yang sama, diberikan nilai yang berbeda-beda sehingga membingungkan peserta
didik. Karena itu, dalam penerapan metode ini perlu menjaga konsistensi
penggunaan kriteria pada kasus yang serupa.
4. Metode
reflektif adalah merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan
induktif, yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar mandir antar memberikan
konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam
kasus-kasus kehidupan sehari-hari, atau dari melihat kasus-kasus sehari-hari
dikembalikan kepada konsep teoritiknya yang umum. Penerapan metode tersebut
dapat mengatasi kekurangan metode deduktif yang kadangkala kurang empirik, dan
sekaligus mengatasi kekurangan metode induktif yang kadangkala kurang konsisten
dalam menerapkan kriteria untuk masing-masing kasus yang serupa.
Dalam
penggunaan metode tersebut guru harus menguasai teori-teori atau konsep umum
tentang nilai-nilai kebenaran, dan sekaligus dituntut memiliki daya penalaran
yang tinggi untuk mengembalikan setiap kasus dalam tataran konsep nilai itu (M.
Chabib Thaha, 1988 ).
C.
Implementasi Metode Pendidikan Berkarakter Nilai Dan
Moralitas Islam Dalam Pembelajaran di Sekolah
Implementasi
metode pendidikan berkarakter nilai dan moralitas Islam dalam pembelajaran
sekolah adalah dengan menggunakan beberapa tenknik tertentu, diantaraanya
adalah :
1.
Teknik indoktrinasi : prosedur teknik
yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :
a.
Tahap Brain Washing yakni pendidik
memulai pendidikan nilai dengan jalan merusak tata nilai yang sudah mapan dalam
pribadi siswa untuk dikacaukan sehingga mereka menjadi tidak mempunyai
pendirian lagi. Beberapa metode dapat digunakan untuk mengacaukan mendalam
dengan teknik dialektik, dan sebagainya. Pada saat pemikiranya sudah kosong dan
kesadaran rasionalnya sudah tidak lagi mampu mengontrol lagi dirinya, serta
pendiriannya sudah hilang maka dilanjutkan dengan tahap kedua.
b.
Tahap menanamkan fanatisme, yakni
pendidik berkewajiban menanamkan ide-ide baru yang dianggap benar sehingga
nilai-nilai yang ditanamkan masuk kepada anak tanpa melalui pertimbangan
rasional yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme ini lebih banyak digunakan pada
pendekatan emosional daripada pendekatan rasional. Apabila siswa telah mau
menerima nilai-nilai itu secara emosional, baruklah ditanamkan doktrin yang
sesungguhnya.
c.
Tahap penanaman doktrin, pada tahap ini
pendidik dapat menggunakan pendekatan emosional, keteladanan. Pada saat
penanaman doktrin ini hanya dikenal adanya satu nilai kebenaran yang disajikan,
dan tidak ada alternatif lain. Semua siswa harus menerima kebenaran itu tanpa
harus mempertanyakan hakekat kebenaran itu.
2.
Teknik moral reasoning : langkah-langkah
teknik ini dilakukan dengan jalan :
a.
Penyajian dilema moral, pada tahap ini
siswa dihadapkan dengan problematika nilai yang bersifat kontradiktif, dari
yang bersipat sederhana sampai kepada yang kompleks. Cara penyajiannya melalui
observasi, membaca koran, majalah, mendengarkan sandiwara, melihat film dan
sebagainya.
b.
Pembagian kelompok diskusi setelah
disajikan problematik dilema moral tersebut, kemudian siswa dibagi kedalam
beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan hasil pengamatan terhadap dilema
moral tersebut.
c.
Hasil diskusi kelompok selanjutnya
dibawa dalam diskusi kelas dengan tujuan untuk mengadakan klarifikasi nilai,
membuat alternatif dan konsekuensinya.
d.
Setelah siswa mendiskusikan secara
intensif dan melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif
yang diajukan. Selanjutnya siswa mengorganisasi nilai-nilai terpilih tersebut
dalam dirinya. Hal ini bisa diketahui lewat pendapat siswa, misalnya melalui
karangan-karangannya yang disusun setelah diskusi.
3.
Teknik meramalkan konsekuensi, teknik
ini sebenarnya merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam mengajarkan
nilai. Dalam arti mengandalkan kemampuan berfikir ke depan bagi siswa untuk
membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dari penerapan suatu nilai
tertentu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
a.
Siswa diberikan suatu kasus melalui
cerita, membaca majalah, siswa diberi beberapa pertanyaan yang berhubungan
dengan nilai-nilai yang ia lihat, ketahui dan rasakan. Pertanyaan itu
adakalanya bersifat memperdalam wawasan tentang nilai yang dilihat, alasan dan
kemungkinan yang akan terjadi dari nilai-nilai tersebut, atau menghubungkan
kejadian itu dengan kejadian-kejadian lain yang ada kaitannya dengan kasus
tersebut.
b.
Upaya membandingkan nilai-nilai yang
terdapat dalam kasus itu dengan nilai yang bersifat kontradiktif.
c.
Kemampuan meramalkan konsekwensinya yang
akan terjadi dari pemilihan dan penerapan suatu tata nilai tersebut.
4.
Teknik klarifikasi, teknik ini salahsatu
cara untuk membantu anak dalam menentukan nilai-nilai yang akan dipilihnya.
Dalam teknik ini dapat ditempuh lewat tiga tahap yaitu :
a.
Tahap pemberian contoh, pada tahap ini
guru memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang baik dan memberikan contoh
penerapannya. Hal ini bisa ditempuh dengan jalan observasi, melibatkan siswa
dalam kegiatan nyata, pemberian contoh langsung dari guru kepada siswa dan
sebagainya.
b.
Tahap mengenal kelebihan dan kekurangan
nilai yang terlalu diketahui oleh siswa lewat contoh-contoh tersebut diatas.
Hal ini bisa ditempuh melalui diskusi atau tanya jawab, guna melihat kelebihan
dan kekurangan nilai tersebut. Dari kegiatan ini akhirnya siswa dapat memilih
nilai-nilai yang ia setujui dan dianggap paling baik dan benar.
c.
Tahap mengorganisasikan tata nilai yang
ia setujui dan yang dianggap paling baik dan benar.
d.
Tahap mengorganisasikan tata nilai pada
diri siswa, setelah pemilihan nilai ditentukan maka siswa dapat
mengorganisasikan sistem nilai tersebut dalam dirinya dan menjadikan nilai itu
sebagai pribadinya.
5.
Teknik internalisasi, kalau
teknik-teknik diatas hanya terbatas pada pemilihan nilai dengan disertai
wawasan yang cukup lama dan mendalam maka teknik internailisasi ini sasarannya
sampai kepada tahap pemilikan nilai yang menyatu dalam kepribadian siswa, atau
sampai pada taraf karakterisasi atau watak. Tahap-tahap dari teknik ini adalah
:
a.
Tahap transformasi yang kurang baik
kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal.
b.
Tahap transaksi nilai yakni suatu tahap
pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi ini masih menampilkan sosok
fisiknya daripada sosok mentalnya. Dalam hal ini guru tidak hanya menyajikan
informasi tentang nilai yang baik dan buruk, tetapi juga terlibat nyata, dan
siswa diminta memberikan respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai
itu.
c.
Tahap transinternalisasi yakni tahap ini
jauh lebih dalam dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru
dihadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya melainkan sikap mentalnya
(kepribadiannya). Demikian juga siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/
penampilan fisiknya melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi dua
kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif.
Proses
dari transinternalisasi itu mulai dari yang sederhana sampai yang komplek,
yaitu mulai dari :
1. Menyimak
( receiving ) yakni kegiatan siswa
untuk bersedia menerima apa adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang
dikembangkan dalam sikap afektifnya.
2. Menanggapi
( responding ) yakni kesediaan siswa
untuk merespon nilai-nilai yang ia terima dan sampai ketahap memiliki kepuasan
untuk merespon nilai tersebut.
3. Memberi
nilai ( valuing ) yakni sebagai
kelanjutan dari aktivitas merespon nilai menjadi siswa mampu memberikan makna
baru terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya.
4. Mengorganisasi
nilai ( organitation of value ) yakni
aktivitas siswa untuk mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai
kebenaran dalam perilaku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki satu
sistem nilai yang berbeda dengan orang lain.
5. Karakteristik
nilai ( characterization by a value
complex ) yakni dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini,
dan yang telah diorganisir dalam (kepribadiannya), yang tidak dapat dipisahkan
lagi dari kehidupannya. Nilai yang sudah mempribadi inilah yang dalam islam
disebut dengan kepercayaan/ keimanan yang istiqomah, yang sulit digoyahkan oleh
situasi apapun.
BAB
III
KESIMPULAN
Upaya
dalam pembelajaran pendidikan islam yang berorientasi pada pendidikan nilai (
afektif ) pada dasarnya perlu mempertimbangkan tiga komponen faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelajaran PAI sebagaimana uraian tersebut diatas. Agar tidak
mengulangi pembahasan, uraian berikut lebih ditekankan pada penggalian
karakteristik peserta didik, terutama dalam hal perkembangan niali moral, yang
sekaligus dapat mempengaruhi pilihan strategi (pendekatan, metode, dan teknik)
yang dikembangkannya.
Dalam
metode-metode pembelajaran pendidikan islam yang berorientasi pada nilai, yang
pada intinya ada empat metode, yaitu :
Pertama
metode dogmatik adalah metode untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik
dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima
apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
Kedua
metode deduktif adalah cara menyajikan nilai-nilai kebenaran (ketuhanan dan
kemanusiaan) dengan jalan menguraikan konsep tentang kebenaran itu agar
dipahami oleh peserta didik.
Ketiga metode
induktif adalah sebagai kebalikan dari metode deduktif yankni dalam
membelajarkan nilai yang mulai dengan mengenalkan kasus-kasus dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara hakiki tentang nilai-nilai
kebenaran yang berada dalam kehidupan tersebut.
Keempat
metode reflektif yang merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan
induktif yakni membelajarkan nilai dengan jalan mondar mandir antara memebrikan
konsep secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, kemudian melihatnya dalam
kasus-kasus kehidupan sehari-hari atau dari melihat kasus-kasus sehari-hari
dikembalikan kepada konsep teoritiknya
yang umum.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan Langgulun, Manusia dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Husna, 1986.
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
H.M. Partoyo, Mendidik Anak Dalam Islam, Bandung : Agung Ilmu.
H. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama (perspektif pendidikan agama islam),
Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Rosdakarya, 2001.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis
dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung : Trigenda Karya, 1993.
Noeng Muhajr, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta : Rake Surasin,
1988.
Sukron Kasir
BalasHapus