Abdul
Aziz
Kata-kata
Menfosil di Musium Kota
Purba
Kata-kataku, peluruku
Adalah
senjataku
Tlah
kukokang pena dan meletuslah
Kata-kataku
Merobek
kebisuan kota
Kau dan
aku terjerat dalam
Peristiwa
bisu
Dan, kini
Kata-kataku
menfosil
Dalam
diorama sunyi pikiranmu
Di museum
do’a yang kelabu
Va, kau
tak pernah lupa
Mendengar
deru batuk-batuk mesiu
Yang tlah
kuabadikan dalam lembar
Catatan
nestapa harianku
Coretancoretan
cucuran airmata
Dan darah
yang membeku
Bagaimana,
kau biarkan labalaba
Merumah
sarangnya dan kafilah rayap
Bersayap
besi-beton menggerogoti sejarah!
Melumat
catatancatatan kita
Karena
manuskrip harta karun tlah mereka gadaikan
Dengan
lembaran dolar Amerika
Hingga
istana jiwa tinggal tulang-belulang
Ditumbuhi
rerumputan dan hutan ilalang
Bumi SMA
NU Indramayu, 12 november 2012
Abdul
Aziz
Akulah
Bumi Sukowati
Peperangan ini, belum berakhir MR. Jhon
Meski,
warna biru Inlendermu
Menusuk-nusuk
jantung merah-putihku
Yang tlah
kurebut di abad yang berlalu
Merah-putih
trus saja berkibar
Bahkan
berkobar-kobar membakar
Seperti
nyala api minyak bumi pertamina Balongan
Tak
pernah mati hingga jadi sumber kehidupan
Meski,
tetap saja mereka yang mengeruk kekayaan
Ohoi,
akulah bumi Sukowati
Tak
pernah padamkan api
Meski,
berkali-kali kau sirami aku dengan sejuta puisi
Merdeka
atau mati!
Tubuhku
selalu tumbuh rerumputan dan bunga melati
Aromakan
perlawanan kolonial hingga mati
Dari
zaman Siti Nurbaya hingga Siti KDI
Tanganku
adalah bebatuan karang laut sunyi
Yang siap
merobek pera penjajah dengan ombak yang menari
Bumi
Pekandangan-Indramayu, Hari Pahlawan 2012
Abdul Aziz
Manusia Sangiran
“Bagaimana kau terjemahkan
Manusia Sangiran?”
Yang terlahir bukan karena
kutukan
Para dewata di istana kerajaan
Namun, keharusan sejarah yang
terlupakan
Dari zaman bebatuan hingga
industri perempuan
Wan, “bagaimana kau temukan Tuhan?”
Ketika langit padam tanpa cahaya
rembulan
Terjebak oleh kurikulum
pendidikan syetan
Yang dikumandangkan para dewa di
kuil sesembahan
Dan ditampar para bandit di meja perundingan!
Bumi Minyak-Indramayu, November
2012
Abdul Aziz
Catatan Sembilu Serat Angger
Gunung Lawu
1/
Kubongkar-bongkar kembali
Sebuah almari besi-baja yang tlah
berkarat ini
2/
Kau dan aku terhimpit hamparan
peta harta karun
Catatan demi catatan kejayaan
turun-temurun
Tercatat sunyi di kaki gunung
lawu bagai halimun
3/
Engkau dimana, duhai pustaka
ensiklopedi agama cinta?
Berjuta katalog kemilau pelangi
Eropa dan Asia
Arsip dan dokumentasi peradaban
hilang di ruang hampa
4/
Menaiki gunung pengetahuan
Kutancapkan besi dan tali kokoh
di sela-sela bebatuan
Setapak demi setapak kuraih
impian
Namun, jalan terjal terhampar
ambisi di depan
Artefak-artefak berceceran,
dolardolar berhamburan!
Indramayu, 11 – 11- 2012
Abdul Aziz
Menunggumu di Stasiun Gemolong
Inilah pekerjaan menjenuhkan di
antara lalu lintas jalanan. Gerbong
Kereta di era penjajahan dari
Belanda, Portugis hingga Jepang yang
Meregang nyawa saat Nagasaki dan Hirosima di
bombardier Amerika
Kau terlalu tinggi menaiki
pegunungan Himalaya Arkeologi.Jejak-jejak
Artefak kejayaan Sragen di masa
perjuangan, kini meretas kemalangan
Di stasiun Gemolong, diriku
laksana undakan batu candi nan sunyi
Di saksikan hamparan sajadah
ilalang dan bebatuan serta kicau burung
Gereja. Senandungmu begitu
memilu, kereta api menuju kota
antah
Brantah tak kunjung tiba.
Sementara, senja tlah menghampiri kota
tua
Ri, menetaplah disini. Kita
bangun kembali, bebatuan yeng berserakan.
Lembar demi lembar yang terbakar.
Dan tentu, kita makan kuliner
Eropa tahun 60-an. Agar taman
prasasti ini, akan tetap abadi hingga
Akhir zaman nanti.
Tugu Perjuangan-Indramayu,
awal Nopember 2012
Abdul Aziz
Monolog Perempuan Pantura
Ang, sudahi keperihan luka hatimu
Rubae’ah kan pulang, seraya menenteng real
Dan secangkir telaga Zam-zam dari
para Nabi nan khusyu’
Kampung
kita, terlalu letih menanggung beban
Dari
ongkos listrik, air kran, BBM hingga beras
Mencekik
leher usia bagai kanibal jalanan
Sudahlah ang, Rubae’ah pasti
menepati janji
Membawa sebongkah cahaya Tanah
Suci
Jutaan jama’ah bertalbiyah
memadati langit sunyi
Hujan ampunan-Nya membasahi bumi
tiada henti
Sepanjang hari, selama matahari
masih setia terbit di ujung pagi
Tak
seperti jubah kusam kaum busuk para politisi
Yang
melewatkan anggaran bagi perbaikan gizi
Tiada
pilihan lain, selain terbang ke luar negeri
Ang, jangan lupa jemput aku di
pintu Dhuha
Bukankah lumbung do’a tak pernah
sepi
Dzikir-dzikir nestapa
Dzikir-dzikir monolog wanita
Dzikir-dzikir airmata
Diujung rintik hujan Desember
merona
Diujung malam bagi tadarus letih bumi
Aria Wiralodra
Kamar Penyair, 25-12-2012
Abdul Aziz
Tugu Perempuan Membatik: Nol
Kilometer
1/
Kau lukis, kotaku dengan refresensi
diktat-diktat Mitologi
Lukisan batik desa Paoman. Dari
motif Ayam Alas
Kapal Kandas hingga pesanan KPK :
motif
Cecak melawan Buaya!
2/
Ohoi, motif-motif berkibar bagai
karnafal suku pedalaman
Beribu syah bandar memadati
pantai kota
pelabuhan
Sejak bantaran sungai Cimanuk
jadi transaksi jual-beli
Jadi sentra perdagngan dari zaman
Kompeni
3/
Tapi, mengapa wajah kotaku masih mendung
Dibawah patung seorang perempuan
membetik berlindung
Nol kilometer menjadi saksi bisu
sejarah luka
Karena museum pun hanya jadi
gudang pusaka
4/
Ohoi, pundi-pundi rupiah terkoyak
bebatuan kerikil
Kebijakan Pemkot seperti boneka
Mupet nan kerdil
Di gubuk-gubuk reot, sujud
ilalang pun menggigil
Kala koloni burung pipit
khutbahkan kaum bakhil
Sindang-Indramayu, 2010-2012
Abdul Aziz
Nestapa Masjid Tua
Ve, Hore!. Piala Mahkota etika
Kembali bertengger di ‘kepala’ kota kita
Batapa, spiritualitas pepohonan
beristighosah
Berdzikir dan meledakkan suasana
majlis ta’lim
Menjamur bak jamur di musim
penghujan
Dari hujan do’a pujangga
Hingga hujan kata orasikan setya
lencana kemenangan
Ve, Hore!. Nyaris kau tak temukan
lagi para pengemis
Pengamen jalanan dan angkernya
para preman bukan?!
Karena mereka tlah bermandi
dollar Amerika
Kebagikan sedekah selepas ibadah
sholat jum’ah
Kubagikan spanduk dan baliho
penuh tuah
Kubagikan (juga) nota hutangku
demi kejayaan nan meriah!
Ve, Hore!. Masjid tua ini tak
lagi menderita bukan?!
Karena, gapura raksasa berdiri
tegak demi raih piala Adipura
Kebersihan selalu kujaga,
ketertiban selalu kutegakkan dan
Keindahan selulu kugalakkan
Ucapkan selamat untukku Ve!.
Karena ke-5 kalinya Adipura
Menyambangiku , Akulah pahlawan
Adipura. Akulah Adipura
Dan bermahkotakan mahkota Etika,
pahlawan penuh bintang jasa
Dari jasa menjual janji hingga
menjual bendera
Kerajanku abadi hingga malakul
maut mengambilnya
Alun-alum Tugu Bambu Pendopo IM.
2000
Abdul Aziz
Munajat Pohon Tin di Ma’had
Zaitun
Dengar! , swara lirih munujat
pepohonan Tin di Ma’had Zaetun
Pohon-pohon berdiri seperti
sedang takbiratul ihrom. Sembahyang
Semesta, dan di dusun Haurgelis,
Gantar! Arsy pun bergetar!
Dengar! , swara-swara pepohonan
Kurma ikut bergema. Mengikuti
Irama kampung yang jauh dari
kecamuk amuk para Rahwana
Mencari cinta. Gantar tak pernah
gentar oleh cakaran rasa lapar
Mereka bagai spiritulitas
rerumputan yang berkobar. Mengisi
Oase sahara iman bagai kafilah
para Auliya di telaga al-kautsar
Dengar!, dag-dig-dug swara
jantungmu semakin mengeras baja
Karena pesanggrahan jiwamu
tertutup ambisi. Tak seperti para
Pemuda Kahfi yang bermeditasi
sepanjang ratusan tahun menjadi
Zahid duniawi. Sedangkan, jiwamu
melatar di bar-bar, diskotik
Warung remang dan rumah-rumah
bordir di musim semi
Dengar!, masihkah telinga jiwamu
mendengar?!
Haurgelis Ma’had Zaetun,
1999-2000
Abdul Aziz
Lanskap Pantai Karangsong
Paintaiku, masih setia
Pada warna jingga
Di ujung senja
Memikul do’a
Para nelayan pantura
Pantaiku, masih setia
Pada keramba tua
Menunggu ikan-ikan masuk
Tak perlu kasak-kusuk
Laksana birokrat busuk!
Pantaiku, masih setia
Menebar jala
Mendayung perahu
Satu
Satu
Memburu impian para nelayan
Satu
Satu
Memburu mangrouf masa depan
Pantai Karangsong Pabean Hilir, 2005
Abdul Aziz
Thowaf di Tugu Kijang Kencana
Wulung
Menuju kota Pekandangan. Mengitari jantung kota Indramayu
Bagai Thowaf mengelilingi Tugu Kijang Kencana
Wulung.
Memasuki hologram masa silam,
bersua dengan ksatria pemegang
Cakra, Raden Bagus Aria
Wiralodra. Catatan sejarah berlalu
Masih terlalu gelap katamu.
Berjilid-jilid buku kau tulis. Celaka
Miskin literatur
Histeriografi. Kutunggi Kujang Knecana
Wulung
Melesat bagai Kuda Sembrani.
Menuruni bukit terjal para pendekar
Bernama : Rethorika para suhu di
kuil sepi. Terbang membumbung
Di atas Tugu Bambu. Para prajurut 25 meregang nyawa bersama
Pangeran Aryadillah kalah tanding
melawan Nyi Endang Dharma.
Kuputar tasbih medzikirkan
nestapa sajak-sajak Pemulung digulung
Para dewa. Remuk dibuldozer para tiran di
Republik kata-kata.
Tugu Bunderan Kijanmg IM.
2001-2912
Abdul Aziz
Tari Topeng Panji Mama Carpan
Slamat jalan, sang maestro Topeng
Panji
Smoga menuju pintu gerbang
Firadausi
Aroma
surgawi para Nabi
Jejal-jejakmu, jejak Topeng Panji
menarikan
Tarian
para sufi
Di gebyar pesta, Ngarot Lelea
Kau gerakkan tubuh sang waktu.
Yang termangu
Menatap tubuh ringkihmu. Kini,
gadis-gadis Nagrot
Pun tersenyum lugu seperti alam
panorama sawahmu
Para gadis bermahkotakan bunga warna-warni
Melenggak-lenggok berjalan ke
balai dusun petani
Demi akhiri pesta petatah-letitih
kematian reformasi
Demi arungi samudera cahaya
menyengat pertiwi
Demi lepas dari belenggu
globalisasi
Dan jeruji bernama prasasti janji
para Zombi!
Bumi Lelea. Akhir desember 2011
Abdul Aziz
Sketsa Waduk Bojongsari
Kau lukis lagi, sketsa waduk
Bojongsari
Dengan cat-cat warna abu-abu
Bukan hijau atau kuning warna
jiwamu
Warung-warung dibongkar, pedagang
menggelepar
Sedang dirimu tertawa lebar
Kau lukis lagi, sketsa waduk
Bojongsari
Karna alasan mengisi liburan,
berdirilah taman air
Water Park Bojongsari di tengah
anak-anak mengaji
Sepulang sekolah. Kini , berlari
mengejar Game dan Warnet
Waduk membendung arus air di
musim penghujan
Waduk membendung lokasi bermain
anak-anak jalanan
Waduk membendung kebahagian para
pencari rongsokan
Waduk mengaduk-aduk persaan bagi
penikmat jalan
Di tepi hutan kayu jati, tubuhmu
kian ringkih disengat lebah kekuasan
Waduk Bojongsari IM, 2010-2012
Abdul Aziz
Hikayat Sungai Cimanuk
Pelabuhan besar
Teracatat oleh petualang besar
Dalam hikayat Tome Pires
Deru arus sungai Cimanuk nan
deras
Air mengalir dari desa ke desa
Air mengalir mengikuti sabda
semesta
Air mengalir meriwayatkan perang
tanding
Nyi Endhang Dharma
Pelabuhan besar
Dalam pigura luka dan gusar
Mengapa kau bendung sungai
Cimanuk
Yang adiluhung ?
Bukankah nyanyian burung-burung
Mereka mengabdi pada ksatria Sutajaya
Dan tak letih bersenandung :
Dahulu belantara kota
Kini, bantaran sungai dipadati
eceng gondok meregang kata
Pelabuhan besar
Dalam hikayat lontar-lontar
pujangga macapatan
Mengorasikan kepedihan kaum
nelayan
Tersungkur limbah amuk terminator
berkostum Pahlawan
Bantaran Sungai Cimanuk IM.
1998-2012
Abdul Aziz
I’tikaf Bunderan Mangga Simpang Lima
Bunderan mangga Simpang
Lima
Beri’tikaf pada gebalau kota
Aksara jawa
Deru mesin waktu memburuku
Engkau dimana wahai perompak
Manuskrip masa lalu ?!
Masihkah bertengger di singgasana
Nurani
Ataukah pergi ke manca negara
mencari
Suaka pada keangkuhan patung Liberty?!
Bunderan Mangga, Simpang
Lima
Disini, kita sujudkan arogansi
Para penguasa negeri
Agar do’a-do’a para penyihir
puisi
Tak akan mati
Bersajadahkan senyuman kaum sufi
Mebendung banjir airmata negeri
Pekandangan-Bunderan Kijang. IM.
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar