KH. M. Kholil Bisri:Konsep Pendidikan Dalam Kitab "Ta’lim
Muta’alim" Dan Relevansinya Dengan Dunia Pendidikan Dewasa Ini
Banyumas Pesantren-Konsep Pendidikan Dalam Kitab
“Ta’lim Muta’alim”
“Ta’limul
Muta’alim” adalah kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh
hari saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari–
hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu
melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi,
berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan
sebagainya, bukan lainnya “Ta’limul Muta’alim” itu tapi kitab itu masih saja
terus dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’’ dan muntafa’ bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya (alladzi ‘allama bil qolam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam). Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo’a atau dido’akan. Do’a itu harus sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do’a, dengan cara misalnya, disamping berdo’a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’’ dan muntafa’ bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya (alladzi ‘allama bil qolam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam). Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo’a atau dido’akan. Do’a itu harus sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do’a, dengan cara misalnya, disamping berdo’a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah.
Kedua,
Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan
muthola’ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan “Man tholaba
syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja”. Siapa saja yang
mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan barang siapa
mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara
implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang muslim yang tidak
perlu ragu terjun dalam perjuangan: “Walladzina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum
subulanaa”, mengisyaratkan hal yang demikian itu. Ketiga, Menyadong pertularan
(atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah pameo “atthob’u saroq”
tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka kedekatan seseorang dengan orang lain
mengakibatkan penularan yang niscaya mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan
tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari sang guru.
Pada
kenyataannya, seberapa besar nafi’ dan muntafa’ bihnya ilmu yang diperoleh oleh
tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan,
diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula
sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang
belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib. Bagi orang tua tholib yang
menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib “ngangsu ilmu”,
anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil
yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun secara empiris bapak saya
(almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu
Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk tidak mengatakan diharuskan) melalui
sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya
manfa’at ilmu itu secara ritualistik mendapatkan legalisasinya. Karena manfa’at
adalah asas yang mendasari kesungguhan tholibil ‘ilmi.
Tholabu
ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib
(fardhu) ‘ain dan selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari
ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi
inilah saya mendekati kitab “Ta’limul Muta’alim”.
Sistimatika
Ta’limul Muta’alim
Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti
lazimnya kitab kecil yang berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan
terhadap apa saja yang berkaitan dengan isi kitab. Tentang ilmu,
keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu
menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang
faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar
mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat
pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan
dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT
didekati sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan
niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta’allumi.
Pada fasal
ketiga dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman
bermusyawarah sebelum terjun kedalam kancah ta’allum. Pada fasal ini muncul
keharusan menjaga terus minat ta’allum, konsistensi dan tabah dalam tekun
terhadap ilmu yang dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari,
guru yang mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya
sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal
berikutnya yang membuat pakar ilmu masa kini seolah-olah kebakaran jenggot,
adalah tentang kewajiban ta’dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai
(starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan
kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun benak), waro’ (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun benak), waro’ (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat
yang mendasari keibadahan tholabil ‘ilmi sebagai pendekatan. Pada awal
coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi’ yang muntafa’ bih adalah
anugerah dari Allah yang “allamal insaana maa lam ya’ lam”. Manfaat dan guna
yang didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya
didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu
yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu
sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil
mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a’mal) yang
melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah
sebagaimana amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya.
Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan
agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang
bernama tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah,
mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi
Allah oleh karena ketakwaan, “Inna akromakum ‘indallohi atqaakum”. Ilmu adalah
wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia ‘indallah. Yang mulia
‘indalloh tentu mulia ‘nda siwahu min kholqihi. Ilmu yang menjadi washilah
kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi’ wa muntafa’ bih (ilmu
yang bermanfaat).
Berangkat
dari sini, kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu
menempatkan kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi’ dan intifa’
dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta’dhim
terhadap apa dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang
sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara
filsofis terpaksa menentukan klasifikasi ta’d'him itu. Tergantung pada siapa
dia harus berlaku ta’dhim.
Memang pada
dasarnya sifat batin adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan.
Tampilannya bisa beberapa bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu’adhdhim dan
mu’adhdhom itu sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta’dhim
Tampilan ta’dhim yang beraneka bentuk itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar. Karena memang ta’dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta’dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta’dhim, dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu
tholib harus pandai dan cermat menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik
yang harus dia cari. Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupun
dia tidak dibenarkan sembarangan dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan
sendiri akan lebih mendorongnya kepada kesungguhan ta’dhim. Oleh TMT
kesungguhan ta’dhimil ilmi dirupakan dengan tidak menjamah kitab yang berisi
kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari hadats. Sebelum dia
muthola’ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu lebih dahulu. Sebab ilmu
itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak menaruh kitab sejajar, apalagi
di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu yang sebaiknya dipilih oleh tholib
secara klasifikasial adalah yang dia hajatkan mendesak bagi urusan agamanya,
yang dibutuhkan untuk menuntun kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali
yaitu ketika kelak harus menghadap kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur
hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal
tholib memilih guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang
kealimannya dimasyhurkan sebagai handal (al a’lam) yang secara khuluqi,
mengatur kehidupan keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib
sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru’ah (al-auro’) dan
yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua
usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan
agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa
ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta’dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT,
dicontohkan dengan tidak ngomong kalau tidak didangu tidak bergeser tempat
duduk sebelum sang guru beranjak dari tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak
pula terlalu jauh dari guru, ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru
terganggu. Mematuhi segala perintahnya apapun bentuknya.
Dan
seterusnya. Ta’dhim ini berlanjut kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak
membuat guru tertekan (diantara tanda kutip) secara moral ta’dhim kepada guru
ini, dilakukan oleh tholib untuk mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus
memberi dengan sifat kasih dan sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah
untuk mendapatkan dan menghantarkannya kepada “raf’ad darojat”?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta’dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta’dhim”.
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta’dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta’dhim”.
Melakukan
pilihan sendiri secara cermat terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib
tidak meninggalkan ilmu dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam
berguru. Sebab meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai
adalah desersi dan itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang
sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di
abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu diajak
rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang
kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab “at thob’u saroqo”, tabiat itu pasti
mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi perilaku dan penilaian.
Layaqoh
Ma’hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta’dhim ala TMT berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa, menurut anggapan tholib, guru berpengaruh pada “pembentukan diri”. Seberapa besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali
bisa saya katakan bahwa substansi pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah
dari “madhi” robba yang maknanya ” memberangkatkan pagi-pagi” atau
“memperkembangkan sejak mula”, sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa
pertumbuhan bagi anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut
fitrahnya adalalah bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi,
dilukis, dicoret-coret atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah
dengan demikian bisa diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya
makhluqotun bihi bighoiri taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan
beranjak tumbuh sesuai dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang
semestinya dengan menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi
warna yang seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng
dididik. Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af
‘aal.
Sasaran
pendidikan dengan demikian adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu ‘alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu ‘alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.
At- Talkhis
Al Mudawwan
1. Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
2. 2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi Allah.
4. Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur’an harus dengan atas nama Allah.
5. Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita’dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
6. Menta’dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta’dhimkan ilmu itu sendiri.
7. Menta’dhimkan harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak langsung.
8. Ta’dhim bukanlah ta’abbud. Namun bisa saja laku ta’dhim karena menjalankan perintah syari’. Menjalankan perintahnya berarti juga ta’abbud.
9. Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis
Al-Mu’abbar
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara
kualitatif memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia
pendidikan yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh
karena itu, saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat
relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format
belum berubah.
Tentang
hubungan pendidik anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat
penerima manfaat, dan seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran
serta tuntunan keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas
dasar filosofi sadar posisi bagi masing-masing. Dan itu harus dipertahankan
kelanggegnannya agar pengawasan batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun
masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan
menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada
kandungan TMT, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan
secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan
penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk
generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada
pedoman khususnya selain kitab TA’LIMUL MUTA’ALIM.
Rembang, Shofarul Khoir 1414 H.
Dikutip dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta.
Dikutip dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar