Abdul Basyit
Berlayar
laut mana gugah
genangan rinduku
debur
getas
hingga harapan sisa
terkulai
mencium duri duri
tangkainya
duh
karang lautku debar itu
makin jelas
dari getar getar paling
sembunyi
kukayuh pada gemamu ke
timur
kudayung keringat
kudayung rebah
kudayung gugah pada ke
99 cintaku
yang terus menunjuk ke
timur
duh
kau demikian seluruh
lelahku meniti hiba
merebut hangat kerlip
cintamu
Abdul Basyit
Episode yang Tinggal
sebuah perjalanan
ingatkan bertebar jejak. sesaat
(dalam singgah pun
tiada kata perbedaan
yang tak berarti)
dan ketika serpah lewat
matamu
bicara
rautmu bersisa jua
demikian kutepis
kembali merintang
lalu kau tanya
kemanakah hati yang
kupercayakan
lantas, jemu habisi
lakon
kita………………..
Abdul Basyit
Terasing
cermin langkah di
hadapanku menjalin cercah
menyala diam
dan menggumpal di tiap
separuh bayangku
baur
dan keping keping
menjalari ngilu
sepi itu nyalang
dari dalamku yang ada
di angan menyergap rela
merangkum wajah wajah
mereka
kala cermin tlah lama
retak
dan angan di dalamnya
hingga di sebalik tak
nampak
sepi itu nyalang
seribu rinduku tak juga
mengubah kelam
dan bergerak bangkai
kegagalan
di sebalik
tak nampak
Abdul Basyit
Teh Manis Menjelang
Sore
mari beramah dengan
senja, istriku
karena sebentar lagi
cahya yang ada
tak lebih warna hitam
di kedua sisinya
sisi warna terbias
kurun yang termakan laku
laku hari membagi rasa
menghimpun
karsa
terkadang umpat adalah
ketakutan kita pada
kemampuan yang tak lagi
semula
mata mata bermata tak
bermata
senja adalah rona pias
darah
rasa tawar hidup
menghidupi kehidupan
sampai tak berasa sama
sekali
Mari bersisa
manis tuk pagi nanti
Abdul Basyit
Kangen
seribu angin menampar
tepian gelisah
menghimpun sejuta pasir
mengukir wajahmu
yang tenggelam dalam
laut
sepiku
Abdul Basyit
Temperatur Malam
entah mesti kujawab
kapan tegurmu
ketika ngigau kau
ketika dengan guguran
angin lantai lembab
dan denyut malam
perlahan
(seribu ragu mengacak
diam)
katamu, kukawini darah
kujinakkan mataharimu
di ketinggiannya
tak ada kesangsian di
dirimu padaku
nafasmu ada juga
nafasku menyatu
kataku kau dusta
malam tetap dingin
nafas berdua denganmu
darahku tetap hangat
tanpa kau perkenalkan bulan
di ngilu malam
dan samudra yang
kujinakkan
(mungkin tak banyak
kasih selain yang mampu kudapat
kau pun tak kujumpai
setelah kucari bersama angan
tak terlahir)
sebilah masuk sebilah
kukenang
satu satu berdarah
menghitam dalam bisu
bisu malam
rasa di matamu di
kehendakku
galau tanpa ada padu
rasamu dirasaku
disegala
malam tlah menjelma.
esok
Abdul Basyit
Hujan Dini Hari
mendung bagai
perjalanan
makin kental dekat
lalu menghindar kala
sepotong langkah
hendak kulanjutkan
tes tes tes
ternyata aku telah
terpenjara
sisa hujan pada ujung
daunan
adalah seribu permata
dijatuhkan
meriak kenangan
mengilatkan cayamu
dan kabut luruh
mendahului
awan diberangkatkan
menjemput kenangan
dalam catatan panjang
(seekor laba laba
kehabisan benang
ketika membuat rumahnya
rusak!)
Abdul Basyit
Siang Pucat
(buat tresnaku
yang terlantar)
butir hujan merah
mereka turut luruh
ditempias
air…..lumpur, seakan
rautkulah
cahya menggumpal suram
kelabukah
mentari ada sebagai
angan?
kau bilang:
aku
pun punya cinta
kasih dapat kutebarkan
di mana pun
rasaku terserak,
mungkinkah kembali kekasipan
dan membiarkan langkah
kenali kasih
tak berpadu
lalu berubah makna dari
rindu
rindu
karena tak pernah ada
persetujuan rasa
dan cinta
mesti
terus dengan
kehendaknya, meski hari pun
terbatas peran
Kau
KAU
kamu, sebagai pa kini?
Abdul Basyit
Putik Sepi Januari
kurangkum bunga
kusatukan
wanginya bagi kau
kunyalakan lilin kujaga
hangatnya untuk kau
bunga jarum selapang
edelweiss
sepuncak
flamboyan
sejalan
melati
setaman
kuhimpun
dalam tujuh
rasa
dalam
warna langit tua tengah
rimba daun kering pecah
reranting patah kukejar bayang
makin tak nampak meski
lelah meski parah mesti
kuhisap luka dengan senyum diammu tertinggal
bersama angin hinggap
pada kulit pohonan lumut
batuan
wahai wahai angan
kangenku ruah tanpa terbalas
sapa
pun
aku lapar dalam diammu
aku nanar
dalam
pejammu
aku
sasar
dalam
hilang senyummu
wahai
wahai paduka rasa
kuanyam luka dalam hening wisik
sepi risik
kulantun wajahmu bagai
bisik berikut pada tiap
buah tasbihku gerak
bibir dan teriak sepiku
kurangkum bunga kusatukan dalam tujuh rasa
langit tua tanpa
sapa
kutitipkan salam
kembara tuk lembayung di
timur langitmu
kusertakan hasrat
tujuhribusatu malam pada kelelawar
berdarah
dan sayapnya yang patah
untuk sampai pada ujung sembunyi
mu
aku
sendiri mengoyak rasa
yang kian asing makin
merasuk
meracun darahku
tuba
dalam laparku raung
makin nyaring
dalam jerit makin hitam
dalam
lukaku
makin
dingin
dalam eram sepiku
merambah belukar
sembunyi senyum
mu.
Indramayu 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar