Senin, 26 Agustus 2013

Puisi Yohanto A Nugraha

Yohanto A Nugraha Biografi : Yohanto A nugraha alias Gatot alias Abuk alias Lie Keng Hoek kelahiran blok pecinan, desa Karanganyar Indramayu 18 februari 1955, menulis puisi sejak tahun 1974 pernah dimuat media daerah dan pusat, membentuk komunitas sastra KREASI tahun ’80 dan menyelenggarakan lomba-lomba dan diskusi sastra menggarap beberapa naskah drama dan monolog, pernah mengasuh ruang sastra di radio cindelaras, RSPD kabupaten indramayu, pernah menjabat sebagai ketua umum dewan kesenian indramayu periode 2004-2007 ,tapi hanya satu tahun dia menjalaninya ……. dan kumpulan puisinya “resonansi sepanjang usia” [komunitas bantaran, 2009] “Aku Akan Pergi Ke banyak Peristiwa”, [Antologi 9 penyair jawa barat oleh budpar jabar, 2005], “orasi sunyi” [Formasi, 2005], lagu matahari bersama Kijun [DKI, 2004], Resital puisi 11 penyair indramayu [Dewan Kesenian Indramayu, 2001] JURANG bersama H, Ope Mustofa [Formasi, 1999, “kiser pesisiran” [Forum Masyarakat sastra Indramayu, 1994] tanah garam [Kreasi, 1992] sekarang sedang merintis antologi penulis puisi tunggalnya “ lirik airmata alias puisi sms ” dan mendirikan komunitas seni“bantaran” di blok; talang tembaga gg. Cempaka Rt,23 Rw,01 Lemahabang Indramayu, Jawa Barat. mobile 085314921581 dan beristrikan seorang wanita bernama jumiatin dan berputra ; samsul, lukman, mustika wijaya dan adi adhari a nugraha dan bercucu farah annisah haya, bayu dan hafiz dan sekarang bergiat di forum masyarakat sastra indramayu atawa formasi. RITUS PENGANTIN - kepada jumiatin memandang hujan pada matamu seribu lukisan tergantung mengirimkan pesan kemarau lewat telepon yang berdering di kamar menggenapkan kekalahan atas kesunyian waktu terlalu lama kita berdusta pada musim mengetuk percakapandi beranda hujan mengabutkan airmata dan mengisyaratkan gerhana. hari memberat menggantungkan impian masa kanak-kanak dan kau jadi batu pada kediamanku seperti setiawati bagi narasoma membuka padang-padang tertusuk ilalang terluka kubasuh sepanjang kelengangan dan airmata terus mengguncang hatimu penuh genderang kuru setra dalam cawan darah kulangkahkan mahar atas ritus ini Indramayu, 1991 ZIARAH API : bagi sp. hidayat - 17 mei angin membawamu dalam hening wisik dan kau pun mengukur usia sejarah berlari menjaring mitos perempuan runtuh kebalik ranjang pengantin tapi kau tersenyum atas limbah pabrik inikah kutuk yang dijanjikan ki tinggil atas ranah moyangku kau pun ngembara ke kota-kota bersama mimpi wiralodra dalam undakan dan lipatan romantisme nyi ending dan senja pun lindap bersama kesakralan sambil bercumbu bau leher san gairah cinta bak gurun sahara sakramen ini harus kita sudahi kita pun saling bertukar piala seperti bangsawan dan pangeran abad-abad silam lihatlah aku pun telanjang membiarkan tubuh mempersimpit jarak bukankah ini yang dilakukan bapak adam dan ibu hawa mengajarkan kita tak takut-takut untuk saling melukai dan ingin kuceritakan kepadamu tentang retorika kisah purba - jayaprana-layonsari - jaka tarub - rama-sinta romeo-yuliet atau kesetiaan yang sia-sia oidepus - cleopatra bandung bandawasa diantara nugraha yang tergusur atas prasangka buruk dialirkan jantung jiwa bukankah prasasti itu tak kalah penting dengan cerita asmara ala yasunari Kawabata - tolstoy atau tarian mabuk para darwis jaman rummi - 17 mei bulan mengantarmu di lirik bidadari-bidadari Menebar kasmaran dan sebutir bintang dalam pelukan bersama gerimispada loncatan detik dan kau pun berbisik tuntaskan tangis sejarah dan angina senantiasa menyebarkan aroma kemenyan mencari memedi sawah berlarian sepanjang galengan dan bentangan cimanuk pada kanvas menterjemahkan mitos kijang yang membuat sarang pada tumpukan gabah. basah rambutmu mengobarkan birahi berapa harga kesetiaan cinta pun jatuh seperti bola api selebihnya lenyap di telan plaza diskotek dan semerbak diodoran bagi nasib seorang pemabuk tanpa kartu pengenal dan yang kurindu adalah gaga semangka tanpa harus membakar pesawahan aku takut pada keluguan batapa auranya akan mengalirkan limbah pabrik - polusi dan orang-orang saling memperkosa tanpa tangis lalu mereka berlomba di tengah peradaban gelombang perang dengan pelana abad lupa diri hingga teratai di kolammu gemetar yat kemana kau sembunyikan wajah kami pondok cabe, 2006 HUJAN SORE HARI - wr dalam catatan dalam hujan sore hari dan dingin sudut-sudut kamar yang bersijingkat mencari mata pisau sungguh aku lupa siapa yang memindahkan wajahmu memaksaku merabah seluruh tubuh menarik kepusaran yang paling jauh dan asing kukira engkaulah peri penggoda matamu memancarkan seribu telenovela berenang mengarungi lautan bercampur limbah yang kian mengubah wajahmu sebab aku hanya daun terbawa arus atau kumasuki mimpi wiralodra yang kasmaran menanti nyi endang mandi besar setelah perang tanding yang membuncah diantara bantaran. sebagai tanda bahwa disini telah ada bencana dihamparan baro-baro yang luka dan amis darah pinangeran mengubur kesombongan selendangmu tak sekedar berkibar tapi terbang membawa kunang-kunang yang gemerlap meski padepokan itu harus kau hancurkan tapi jangan kau seret aku dalam peristiwa aku hanya sayap kata-kata dan perkenankan puisiku melingkari persetubuhan sebab aku sulit membedakan malam dan siang meski ricik airmu menjelma lembayung dan kukira aku telah melukai dengan kata-kata pilihlah dimana akan kau tancapkan cakramu agar melengkapi kesempurnaan hidup dan terbebas dari dendam masa silam seperti engkau usung prasasti negeri ini sebab birahiku membias diantara jalan-jalan yang menghubungkan jambangan bunga dan menawarkan kenyamanan meski arusmu tersumbat merekalah milikmu wajah api yang membakar pesawahan dalam hujan sore hari Indramayu; revisi 1999 [ atas bundanya anakku ] REQUIM - atas bunda - ada sisa percakapan di sini mengering perih kembang soka luruh bertahan dari bisik waktu yang di-kristal-kan menggeliatkan kenangan senja kelam dan gerimis pun mengucur begitu dingin malam mengantarkan benih yang tak sempat di-sema-ikan dari kebekuan hati dan angan-angan yang terserak mengusik ketenangan romantisme pasir pantai sementara angin pun semakin lelah mendorong perahu ke muara- ( - lie kiem hwa ) Indramayu, 081992 LIRIK AIRMATA - kepada farah anisa haya sudah terlalu lama suaramu kumimpikan bersama gerimis hingga kedinginan. subuh mencairkan gema adzan terkubur diantara lorong-lorong jiwa yang luruh menterjemahkan keperihan hati di tawarkan airamata orang-oranga berdoa begitu suntuk bagi burung-burung melintasi rawa-rawa sebelum fajar meninggalkan nyanyian berlebih hurup jadi bagian kehidupan selalu kau tolak masa silam mengantarkan aroma melati berloncatan sepanjang rakaat bagi sujud dan tangisan membentang rindu di tuliskan cuaca menjarah kesejukanmu annisa ingin keteriakan retorika kehidupan yang tak habis-bahisnya membongkar kengerian diendapkan bianglala mengirim bulan atas hati yang koyak disini ingin kugulung semua impian bagi peradaban yang ditawarkan berjuta virus Talang tembaga revisi, 2001 DISINI ADA KENANGAN YANG MEMBIAS DIANTARA GEMETAR HUJAN diantara bantaran kita pun bisu kemana puisi yang gemetar dan engkau pun bersijingkat menawarkan arus yang tersumbat melukiskan aliran sungai sampai muara yang membentang sebab esok akan datang lamaran arya wiralodra kasmaran menterjemahkan lontar terbakar birahi kesumat membunuh segala romantisme disini ada kelahiran yang sungsang bagi kanak-kanak tumbuh dan besar bersama limbah tapi dimanakah janji ratu adil yang kau corongkan siang dan malam atas tepian sungai sepanjang tahun yang akan mengencangkan tubuh aku pun lindap dalam gemuruh pabrik dan ribuan pohon tumbang bersama angin puyuh membawa mimpi orang-orang atas tahun lalu jadi kering karena musim telah mengasingkan segala cuaca kau pun berkerut wajah menguraikan segala rindu yang mengeram kesunyian telah menjadi aneh dan kita pun mengaji diantara hiruk pikuk reruntuan kota-kota bagi perjamuan kemana kau simpan wangsit yang dulu mempertemuakan ki tinggil dengan seekor kijang tersungkur di hamparan suket teki biarlah semuanya menjadi ricik air dan nista sejarah yang menggelinding dan menyelinap diantara tapak-tapak ranah moyangku meratakan mimpi kanak-kanak berulang kuwartakan cinta ini dengan airmata para penziarah mengusung prasasti wiralodra yang kehilangan cinta abadi telah lama kutampung kutuk ini dan kemana sirnanya amarah yang membakar ‘gandulane ati’ cintamu sempit menjelaga sungguh ia serupa lembayung sambil kulafalkan lagi mantra yang kau ajarkan di malam-malam sehabis gerimis tuntaskan nyanyian para pendusta ini serupa candu masa silam dan angkara melibatkan kejumudan dan jangan sebut ibu di tanah ini yang telah membunuh artefak moyangnya dengan siapa akan kumaknai pelancongan ini dan seekor kijang melintas kau pun jatuh cinta di bawah tekanan mimpi memeras keringat orang-orang yang mengusung ajal tak ada siapa pun disana dan namamu bagai fatamorgana semua cermin membayangkan senyum hingga kau dapat menemukanku disini diantara debur ombak yang kian menepi seumpama angin berpusar sebagai riwayat yang menyalalakan mata angin dan kau pun bersikeras mewartakan kembali tentang pangeran selawe gugur sebelum waktunya lalu kau pun melupakan tapak-tapak sejarah yang menyelipkan surat bagi kanak-kanak yang kita lahirkan bersama seperti bantaran yang tak memberiku makna perjumpaan dan membiarkan kenangan indah bagi seekor kijang jadi prasasti dan puisi telah memberiku kesepian bersama kelengangan sebab arusmu terbendung dengan segala gelombang seperti ingin menanggalkan tubuh jadi santapan para penziarah inilah kado kelahiran muncul dari sumur bidadari dan bayangkanlah bulan sepotong memberi warna cahaya diantara tepian sungai bersama cericit burung merayayakan kemurnian pohon-pohon sepanjang bantaran menyuapi orang-orang bukankah engkau mendengar desir angin hingga kelopak matamu nanar menghujam bagai panah pesopati milik penengah pendawa bukan cerita sejarah membuat kita disini mencermati hamparan ilalang lalu kutemukan irama hidup yang sekarat menahan limbah dan matamu masih saja sembab begitu banyak harapan dan impian yang tergambar pada lingkaran alis mata penuh pesona engkau pun menjelma kupu-kupu dalam rongga masa silamku serupa gelepar jiwa dan sekali waktu perasaanku memeras doa-doa kupejam mata mendengar erangan bantaran di kepung seribu bulldozer atas udara kecut berselimut aroma solar baiklah kujalani kutuk ini untuk menyediakan ruang bagi bayang-bayang kekinian sebagaimana aku harus mengenangmu dan tak bisa kulukis wajahmu yang selalu menutupi perjumpaan selalu melilitkan persetubuan dan mereka tuangkan pada sawah ladang yang kian gersang karma cerobong pabrik inilah potret kemajuan yang kau impikan disini adakah gemericik air hujan membasah kita pun mandi besar dalam darah orang-orang melawan arus kebijakan dan keangkuhan telah jadi racun yang mereka wariskan sepanjang malam membayang wajah pesisirmu di balik lentera jalanan seperti kenduri nenek moyangku yang bersemi dalam laku lampa menebar aroma garam mengucurkan doa bagi langit membuka rahasia dan kita tuai rasa perih kanak-kanak mengedepankan segala keinginan dan kerinduan serupa muara menampung tekanan mimpi siang hari dari lapar jiwa setiap detik mengeja ajal sekarat menahan limbah dan dengan siapa transformasi ini melindapkan penyeberangan aku mabuk melangutkan segala mimpi sungguh aku luput menangkap larutan dan membuatmu murung pada usia yang memar seperti jantungku penuh dendam menahan cinta dan angin selalu menerbangkan satu teriakan tiba-tiba seekor kijang tersesat di super market mencari wewangian dan engkau pun beringsut bersama debu-bedu yang menebal pada kaca tapi kemana embun yang menyebarkan dingin subuh meruap diantara para pelancong membuka tubuhnya seperti cahaya menyelisik menyingkap gelap malam bersama desir angin dan rumah baru yang suwung seperti yang kita impikan di malam-malam ketika gerimis turun perlahan pada dahan mati sayang engkau tak paham meski senyummu di menolak mengabarkan percintaan ranjang pengantin disini aku mewarisi kegamangan rindu batang khuldi kemana kanak-kanak kau ungsikan atas kandungan sungai yang kau kuras bersama deru buldozer sebagaimana hidup di bangun dengan keangkuhan meruntuhkan malam diantara kuburan dan engkaulah peri penggoda di remang sunyi yang tiba-tiba menghembusan angin lembut dari arwah yang berlabuh menahan debur ombak sepanjang pantai aku jadi ingat wanita yang menyimpan segala misteri untuk terus saling tidak percaya aku akan tetap membuat sajak jauh kedalam tanah tapi nasib berkata lain inikah kutuk itu sampai tak tau jalan pulang seperti ikan-ikan mabuk dan sejarah selalu berulang bagi asmara sebatas beton lantai lembab dan kegagalan adalah formula tuk membangun impian masa remaja yang gemilang sementara kini aku hanya membias menyimpan pantulan wajahmu demikialah hidup berawal menyadap ajal dan dan membakar ladang-ladang yang dinistakan orang-orang dan kubaca arah angin kemudian kubangun impian dengan nalar atas gairah cinta yang terus bergumam aku mabuk sepanjang bantaran dan tapak-tapak sejarah telah kehilangan aroma padahal pahlawan sudah lama gugur engkaukah yang sembunyikan primbon atas ribuan wajah datang dan pergi terlanjur menyatu dengan riak sungai yang kehilangan aromanya atau rumah tanpa jendela lantas apa yang akan kukabarkan bagi penantian ini aku pun berdoa atas orang-orang mendenguskan kematian di jalan-jalan yang tiba-tiba seperti sebaris sajak chairil menuju pelabuhan demi pelabuhan menggenangkan arwah wiralodra tersimpan berabad lamanya dalam kegelapan menyelimuti bumi moyangku diantara gerimis dan tetesan airmata mengalirkan limbah yang membakar inilah kemurungan yang kian larut dalam hujan sore hari dan tak ada upacara atau kenduri disini lembayung surut mengaburkan cahaya wahyu yang dijanjikan sejarah aku tahu kau yang menghilangkan riak air dari hulu serupa bayang-bayang subuh tergantung dan kita pun sepakat mencari bantaran yang layak kita taburi benih cinta dan tak selamanya kepura puraan mengasah dendam yang menyala diantara masa silam berkubang dalam lendir sekali waktu terbayang wisata jalan raya penuh birahi atas panorama meski kita tuntaskan sebelum malam mendesak untuk tak takut-takut bahwa kenyataan bukanlah beban maka kubiarlah jadi kenangan dan selalu ingin kutulis namamu dalam lembaran retorika kehidupan Indramayu, 2007. VIBRATION OF THE FISH ; bagi dirot kadirah - dalam bentangan abad-abad yang terbakar ikan-ikan menanggalkan karang memaksaku membaca kembali mantra ki tinggil atau memimpikan negeri gemah ripah loh jinawi sepanjang bantaran yang gelap lindap lautmu membawa duka lara dan penziarah itu mencari jejak sejarah entah bagi siapa perburuan ini masa kanak-kanak yang tergusur dari keluasan laut dan layar terkembang atas cadik bagi perahu saat menjaring harapan diantara limbah sesajen melarungkan gasing berputar putar merotasi mimpi pulau dewata dengan aroma kemenyan mungkin nenek moyang kita sama tapi kemana tangis orang-orang mengusung lapar bersama gairah kepedihan cuma pengantar ikan-ikan bagi nelayan menyuarakan kesengsaraan di jalan-jalan menuju pabrik sambil membentangkan selendang mayang hingga bantaran semakin tenggelam bersama sungai-sungai terkubur otak penguasa yang tak paham aroma sejarah. ia hanya mengabarkan banjir bandang bagi tubuhnya menguapkan bau tanah dan kematian ikan-ikan di pasar kau pun berhias diri sebelum kehilangan hunian dan kubaca kembali primbon nenek moyang namamu ada rohani yang ngembara dan seharusnya kau sembunyikan diantara kemarahan ikan-ikan dan wanita yang kehilangan suami kau pun mengeja hari-hari yang suntuk kenapa kita jadi budak jaman yang di pertuankan atau dituankan dan kau pun tak mau kehilangan raga kamana kau kirim kado perkawinan seekor ikan sungguh aku tak menerima apa pun dan kau pun bukan wiralodra bercinta dengan nyi endang dan siapakah yang semedi dalam gua garbamu membiarkan keringat menuntaskan segala kenangan dan kau pun menuai percintaan sepanjang arus cimanuk bersama ikan-ikan terjegal tilu braja bagi masa silam yang memetakan segala peristiwa berulangkali menyuarakan aura sungai-sungai saling melilitkan nasib aku mencintai dengan segala jiwa katamu sambil menelanjangi ikan-ikan yang sekarat bersama limbah Talang tembaga, mei 2006 METAFORMOSA - kepada, candra n pangeran 1. anjani darah kesadaranku membias diantara suara-suara gamelan jadi telaga dzikir bersama orang-orang yang menyuarakan kesengsaraan musim sepanjang pantai atas bibir gelombang mengubur prasangka buruk dialirkan jantung jiwa bagi seorang kekasih begitu tabah menata airmata sementara kanak-kanak berlarian diantara pusat-pusat informasi bangkitkan parikesit atas semar-semar jalanan dan kita pun membuat persimpangan demi persimpangan menyemarakan pesta kembang api dalam gumpalan kerinduan melengkapi pembusukan nurani mengerami sejarah moyangku diantara limbah pabrik dijejalkan teknologi 2. anjani waska yang tercipta dari lendir kesadaran nurani telah membangun berhala dan menjelma angka-angka statistik atas rindu sejarah ruangtamu melangutkan gerimis sore hari hingga isyarat yang kau janjikan lenyap bersama embun semalam jadi padang-padang perburuan diantara pohon-pohon cantigi sepanjang pantai yang terluka dan tubuhmu menyengat di celah-celah kegelisahan mengiringi diammu menuju konspirasi demi konspirasi tapi disinilah kau dapati kehangatan masa silam yang menyapaku setiap pagi atas cakrawala kelam menghubungkan fatamorgana kedalam kamarku penuh birahi 3. anjani suaramu membakar amarah orang-orang yang kini jadi momok membentangkan kesunyian waktu terbaca jejakmu diantara kilatan kramik dan sisa tumpukan masa silam meliukan gairah semar-semar pun tersenyum menangkap sorot matamu penuh dendam atas derita rindu diapungkan doa seperti ricik hujan yang membakar sementara tubuhmu membuat petak umpet bagi persinggahan airmata yang berputar-putar atas dinding rumah kontrakan lewat sentuhan-sentuhan yang tak kau sadari bergerak dalam tubuh kami membuat lingkaran seperti matahari dalam sakramen ini Indramayu, 2002 GERIMIS 1 gerimis pun menyapamu diantara senja yang muram tapi dingin menyebarkan aroma cimanuk yang meranggas. barangkali ini sebuah kutuk atas mimpi-mimpi tentang perjalanan ki tinggil yang membakar hutan belantara disini sajadah yang kau bentang di pelarungan rumah itu dan rambut tergerai basah oleh embun semalam telah menitis dalam tidurku sayang kita melupakan mantra-mantra yang diajarkan sejarah melingkar-lingkar sepanjang bantaran dan suaramu kudengar lewat debur ombak mengantarkan kepiting dan umang-umang menyusuti kebisuan karang disini di sungai inilah kau pertemukan nyi ending dengan airmata kasmaran mengeja hari-hari penuh harap dan kenangan yang menyelinap kedasar kepedihan orang-orang. 2 gerimis itu menyapamu sepeninggal senja yang kini menjadi bendungan seperti engkau menerima kutuk dan luka yang dimitoskan sejarah telah mewarnai gemerincing waktu berutar-putar melewati jalan-jalan yang menghubungkan kedalam dadamu penuh ramalan.ratu adil sambil mengintip nasib orang-orang terusir aku baca kemabali lontar atas bingkai jendela yang kau hadirkan dalam mimpi semalam akulah sipemabuk yang mengubur dirinya sendiri karna tak mampu menterjemahkan perih dan mengepakan resah cinta atas peperangan di ranah moyangnya akhirnya aku membangun juga persinggahan demi persinggahan walau aku ragu akan makna persinggahan bagi dirimu yang berjalan sepanjang sujud dan rakaat 3 gerimis itulah yang menghadangmu atas kesenyapan waktu mendesirkan rasa mengusik jantung penuh batu-batu. ingin kuziarahi seluruh masa silam agar sajadah yang kau bentang mampu memeberi penerangan jalanku disini disepanjang bantaran yang tak memberi makna sejarah dalam tubuh yang terbungkus selendang mayang berwarna kuning keemasan membuatku rikuh nyi ending pun tersenyum menapsirkan bunga-bunga tumbuh di petilasan itu kau lihat matahari di kanvasmu penuh warna kesunyian melepas segala beban kerinduan dan “hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah/ dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah”......... “) sajak chairil anwar “derail-derai cemara” Revisi, 2009-2000 KAU PUN BERLARIAN DI RICIK HUJAN - catatan bagi affin riyanto kau pun berlarian diantara ricik hujan di subuh jingga tapi tak kutemukan sendu pada wajah dan angin selalu melucuti sisa gemetar pada detak jantung yang menggemuruh pada sebuah cuaca menyatukan segala kehendak melukiskan takdir dan hanya kerangka yang harus disempurnakan dan kau pun diam memaknakan goresan pada kanvas membentang seperti pelaut yang kehilangan peta moyangnya membias jaman bagi kesakralan aku masukan nama nama saat keringat orang-orang bertutur sapa seperti para aulia memendam segala prasangka yang dialirkan jantung jiwa atas pengembaraan abadi melayarkan segala kenangan hidup melepas laut pada usia lalu dari balik kobaran api munculah wajahmu penuh pesona kemana kau kubur cinta yang dulu mengajarkan kita tak takut-takut mengarungi limba belantara inilah hikayat ranah moyangku menjadi rawa-rawa tandus dan sungai yang tersumbat dari ujung perkampungan atas perdebatan selalu tak berujung inilah masa panen yang memotong kelamin orang-orang saat burung-burung melintasi harum padi dan sisa pembakaran disini dikedalaman tubuh yang menyimpulkan aroma duka lara mengantar mimpi orang-orang yang tergerus mengaliri birahi kesumat seperti bulan melanguti malam diantara mega-mega jadi menggemuruhkan makna diantara slogan sepanjang perkampungan bergantungan dan kau dengar suara yang menggelegar menjelma berjuta airmata dan luka sejarah bagi kanak-kanak yang menyusuri ranah monyangnya pada hari-hari menumpuk. adalah takdir yang menyelimuti rawa-rawa yang semangkin menjauh sebelum nyi endang terusir di tanah perjanjian hujan pun turun dari balik kelam hunian dan desir angin laut tanggalkan pesan kemarau menghapus nama-nama dan senyum yang membius engkaulah yang mampu menggoda malam pengantin pada persimpangan tak sempat mengirim doa seperti pesakitan digelandang ombak bersama hujan atas halilintar sampai kapan kutemui ujungnya dan dapat menjumpaimu maka kuhapal seribu mantra agar kering air mata atas gelap yan membayang wajah pesakitan justru ketika kerinduan mengelabui ziarah ini Talang tembaga 2009 Yohanto A Nugraha PISAU WAKTU : catatan bagi syayidin sr - narasi yang ada pada goresanmu mengabarkan ricik air kran itu membisu saksikan tubuh menahan beban gelombang. darahnya menyergap sudut kanvas menjadikanmu kelimpungan mengeja hari-hari penuh genangan pada kaca menterjemahkan sebera panjang doa lucan capulet menyisir padang perburuan “inilah panen raya itu” teriak jaihan sambil menutup mata chairil anwar terbaring diantara perempuan yang kehilangan mata dan hardi membentak bentak menempel wajah presiden tapi kekuasaan jatuh pada perempuan “akulah reformasi” sambil tersenyum surya palo menjelaskan persatuan dan kesatuan yang membingungkan kanak-kanak - narasi yang kau gelar kini jadi bunga bakung meliarkan mimpi wergul w darkum yang meragukan tepung kanji atas tubuhnya dan kita pun sempoyongan mendengar suling dermayon mewarnai percintaan atas genangan sampah-sampah tanggul cimanulk aku tersekap ketika kau taburi wajahku dengan lumpur kehidupan yang menjegal jalanku. bersama fujail kuusung keranda ayah ibu melewati kesunyian waktu maka kunyanyikan “requim aeternam deo” sambil membangun surau-surau di dalam tubuh kami dan matamu nanar menelanjangi kemiskinan diantara lautan airmata - narasi yang kau buat kini telah menjadi monster melintasi lautan dan membuat pulau-pulau kecil tempat kanak-kanak membangun romantisme tanah moyangnya yang tergusur seribu buldozer Talang tembaga, 2004 JAGAT ALIT - kepada wergul w darkum telah kau ziarahi kesepianmu diantara kilatan lampu pada aroma kemenyan. menggusur kelaparan nurani yang resah memandang gedung-gedung dalam cawan darah dan airmata membungkus salam kepada jagat membentangkan kain kafan meruatmu sedang aku memunguti masa lalu dengan menyobek almanak yang sekarat di makan waktu seperti pohon-pohon sepanjang panatai. kita mesti istirahat meluruskan badan dan mengencangkan segala impian kanak-kanak untuk kita jual televisi menayangkannya pada kesia-sian sajak membias wajah memar di jalan-jalan menuju pendopo. tergantung keasingan dan menuliskan angka-angka yang membakar cerobong pabrik seperti doa yang diapungkan gelombang. terbaca kesengsaraanmu pada pucuk daun kering luruh mengkristalkan kebohongan peradaban jaman masihkah kau menunggu suluk ki dalang yang memidurkan segala impian dan angan-angan terbuang seribu gunungan menututupi kecemasan kita pun terlahir dari rahin yang sama dan bumi ini akan menangis menyaksikan segala hujatan. bulan lengser bersama jerit tangis dan darah membusuk jadi tumbal sejarah Indramayu, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar