Berkesenian
dalam Bahstul Masail NU
Kiai Mustofa Bisri, pimpinan
pesantren di Rembang yang kini menjadi salah satu ketua PBNU suatu ketika
pernah berujar. “Berseni ya berseni sajalah, berdakwah ya berdakwah sajalah,
bersufi ya bersufi saja,” demikian ia mengomentari orang yang mengatasnamakan
dakwah agama dalam berkesenian atau menyeret-nyeret agama dalam kegiatan seni.
“Ketiganya jangan dicampuradukkan ndak karu-karuan,” katanya tandas.
Jarang seorang kiai sekaligus
seniman, macam Gus Mus, yang mewakili sebuah lembaga tempat bernaungnya para
ulama ini melontarkan pernyataan macam ini. Di kalangan kiai NU pikiran lugas
semacam itu terlalu maju, mengingat kegiatan berkesenian masih dipandang oleh
kebanyakan ulama sebagai kegiatan terlarang. Dalam kaca mata fiqh, berkesenian
itu diharamkan.
Di kalangan NU, fatwa pengharaman
terhadap kesenian ini, misalnya, bisa dilihat dari hasil keputusan forum
bahstul masail NU. Bahstul masail adalah forum permusyawaratan para kiai NU
untuk memecahkan berbagai masalah-masalah sosial ditinjau dari sudut hukum Islam.
Dalam acara-acara seperti muktamar, munas, ataupun konbes yang digelar PBNU,
bahstul masail selalu menjadi agenda utama.
Biasanya, bersumber dari keputusan
bahstul masail semacam inilah fatwa resmi PBNU mengenai masalah-masalah sosial
ditetapkan. Kendati harus diakui, tak ada sanksi apapun bagi yang tak
mengikutinya. Sebab, kenyataannya, masing-masing pesantren memiliki otonomi
sendiri bahkan punya otoritas sendiri dalam memilih hasil ijtihad mana yang
mesti dipakai. Termasuk dalam hal ini, masalah kehidupan berkesenian.
Sejak muktamar pertama di Surabaya,
21 Oktober 1926, forum bahstul masail NU telah memutuskan, “segala macam
alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan
alat-alat orkes lainnya kesemuanya itu haram”, kecuali yang tidak dimaksudkan
untuk hiburan. Keputusan muktamar yang tegas mengharamkan kegiatan berkesenian
ini sampai kini belum pernah dianulir apalagi direvisi.
Barangkali yang agak melegakan
adalah nyanyian atau dunia tarik suara yang diperbolehkan, meski hukum fiqh-nya
hanya sampai pada taraf makruh. Artinya menyanyi, dalam pandangan fiqh dianggap
perbuatan bathil kendati tak sampai diharamkan.
Berdasarkan catatan keputusan
bahstul masail itu pula, konsep “lahwun” menjadi dasar landasan keluarnya hukum
itu. “Lahwun” didefinisikan sebagai segala hal yang tidak berfaedah pada orang
yang mengerjakannya. Menurut keputusan itu, bermusik, bernyanyi, berdendang,
dan menari termasuk dalam kategori ”lahwun” yang dikhawatirkan mendorong orang
mabuk kepayang dan akhirnya melupakan Tuhan.
Perbedaan pendapat
Sebenarnya banyak ulama pesantren di
berbagai daerah yang berselisih penafsiran tentang alasan “melupakan Tuhan”
yang dipakai untuk menetapkan hukum haram ini.
Perselisihan itu, misalnya, tampak
dari perdebatan sekitar tahun 60-an antara Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri
Syamsuri. Kedua kiai asal Jombang, Jawa Timur, ini pernah berdebat seru
mengenai hukumnya drum-band yang saat itu mulai digemari masyarakat. Kiai
Bisri, yang dikenal sebagai pemegang teguh hukum fiqh, bersikukuh bahwa
drum-band hukumnya haram. Sementara Kiai Wahab, yang dikenal sebagai penggerak
utama NU sejak ormas ini menjelang didirikan, memandang boleh-boleh saja.
Apalagi kalau terkait dengan kepentingan perjuangan agama.
Perdebatan kedua kiai ini
berlangsung tanpa ujung. Kiai Wahab maupun Kiai Bisri tetap bertahan pada
pendiriannya masing-masing. Sementara perkembangan selanjutnya memperlihatkan
drum-band sangat marak justru di kalangan muda NU. Kami kira bukan hanya
drum-band, bahkan grup-grup musik dan band-band baru kini bertebaran. Kini kita
juga mendengarkan mereka di radio-radio dan menyaksikan musik-musik mereka
lewat TV dan VCD. Suatu fenomena yang sudah divonis haram berdasarkan keputusan
bahstul masail pada Muktamar NU ke-9, 23 April 1934 di Banyuwangi. Debat antar
kedua kiai itupun seolah berlalu begitu saja, tanpa ada keputusan baru baik
yang mau merevisi, memperbarui atau menghapus fatwa-fatwa sebelumnya.
Nampaknya, pandangan semacam inilah
yang membuat kesenian kurang memperoleh tempat layak di mata ulama. Berkesenian
dan berislam seolah berhadapan, dan tidak ada alternatif lain kecuali kesenian
yang mesti tunduk pada agama. Atau kalau tidak mau disebut demikian, kesenian
harus dibebani oleh tanggung jawab moral ”seni untuk berdakwah”. Memang ada
Kiai Khudori di Tegalrejo, Kiai Chotib di Jember, Gus Mus di Rembang, dan
lainnya lagi yang memberi apresiasi tinggi terhadap kesenian. Kendati demikian,
jumlah kiai semacam ini masih terasa langka di tubuh organisasi para ulama ini.
Barangkali itulah mengapa dalam
pesantren dunia kreatif, khususnya kegiatan berkesenian, tak begitu tumbuh
berkembang. Mungkin terlalu banyak beban ditanggung, atau juga terlalu banyak
fatwa untuk sekadar bisa hidup saja… ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar