Minggu, 18 Agustus 2013

MENGANGGAP ADANYA ANGKA, HARI DAN BULAN SIAL



PRILAKU SYIRIK MENGANGGAP ADANYA ANGKA, HARI DAN            BULAN SIAL


                Dalam abad era informasi digital dan globasisasi seperti sekarang ini, ternyata masih banyak masyarakat yang masih memegang tradisi leluhur peninggalan zaman jahiliyah yang mempercayai adanya hal-hal yang bersifat khurafat dan syirik , antara lain yang berkaitan dengan adanya keyakinan adanya hal-hal yang dapat menyebabkan datangnya kesialan pada diri seseorang.
 Hal-hal yang diyakini oleh kebanyakan mereka-mereka yang mengaku sebagai  orang yang bertauhid yang dapat mendatangkan kesialan pada diri mereka antara lain adalah adanya angka sial, hari sial bahkan bulan sial.
Meskipun secara nalar keyakinan adanya angka, hari dan bulan sial sulit diterima, tetapi masih berkembang secara turun temurun ditengah-tengah masyarakat pada semua kalangan. Baik yang berpendidikan tinggi, menengah apalagi dikalangan masyarakat berpendidikan rendah dan kelas bawah. Hal ini dapat dilihat pada saat akan menyelenggarakan hajat atau pesta pernikahan dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, hajat pernikahan tidak akan dilakukan pada hari-hari , tanggal dan bulan yang dianggap sial.
Sejalan dengan itu kiranya dipandang perlu untuk  membahas bagaimana tentang  kesialan berkaitan dengan angka, hari dan bulan-bulan tertentu yang dianggap sial   menurut Islam ?. Benarkah di dalam Islam adanya angka, hari dan bulan-bulan yang dapat mendatangkan kesialan  bagi manusia .

1.Mitos Tentang Angka 13 Sebagai Angka Sial

Ditengah-tengah masyrakat dunia angka “13” sudah dianggap sebagai angka sial di berbagai Negara di asia maupun negara-negara barat. Banyak peristiwa yang dicatat dalam sejarah yang dikaitkan dalam menyebabkan angka 13 dianggap sebagai angka sial, seperti simbol kematian di Brim Reaper di Kartu Tarot urutan ke 13.
Dan yang paling fenomenal adalah Peristiwa Peluncuran Pesawat Angkasa Apollo 13 yang diluncurkan pada 11 April 1970 pukul 13:13 yang pada akhirnya gagal mengorbit karena pesawatnya meledak dan hancur, dan uniknya tanggal peluncuran kalau dijumlahkan (1+1+4+7+0= 13). Wow.

Ketakutan akan angka “13” tampak dari beberapa hotel atau gedung yang menghilangkan lantai atau kamar berangka 13, dan menggantinya dengan 12 A atau langsung meloncatinya ke angka 14. Bahkan ada sebuah restoran di London, dimana manager restorannya diberi tugas untuk menghitung kalau ada rombongan yang datang, jika berjumlah 13 orang maka pihak restoran akan mendudukan 2 maskot kucing hitam di kursi khusus, sehingga jumlah rombongan menjadi 15. Ketakutan akan angka “13” ini lazim disebut dengan Trikaidekaphobia.

Mitos semakin berkembang lantaran hukum nomor 13 dihilangkan dari kode Hammurabi Babilonia karena dianggap salah satu angka yang mengandung daya magis dan lekat dengan setan.(FHM Indonesia Magazine edisi Maret 2012)

2.Mitos Tentang Hari Sial

Apakah ada hari yang sial? Yakni suatu hari ketika segala sesuatu selalu tampak kacau. Kata orang Jawa, ora kebeneran. Semua terasa tak terkendali, semua terasa aneh, semua terasa tak bersahabat.

Dikalangan masyarakat Jawa dikenal tentang perhitungan  untuk mengetahui hari sial seseorang dengan menjumlahkan neptu (?,) sa’at seseorang  di lahirkan,.
Perhitungan neptu bagi orang orang jawa sangat penting, masyarakat di jawa masih tinggi kepercayaannya akan perhitungan neptu tersebut, sebagai contoh untuk menentukan hari pernikahan, hari membangun rumah maupun hari pindah rumah. sangat percayanya masyarakat jawa ini, seperti yang kita ketahui jika datang bulan sura tidak akan ada orang yang menikahkan anaknya pada bulan tersebut karena masyarakat jawa berkeyakinan bahwa bulan tersebut sangat tidak baik untuk menikah…
Kadang di jawa ketika seseorang mengalami kesialan yang amat sangat pedih selalu melihat memikirkan hari, dalam hati berkata” hari ini apa hari wetonku ya”, dengan kata lain sebagian masyarakat jawa berpendapat jika hari weton dia akan mengalami kesialan,
Ilmu sihir yang digunakan dukun dukun untuk melancarkan aksi santet pelet dan lain lain sebagian juga ada yang menggunakan media weton si korban, jadi jangan memberitahukan hari kelahiran kita pada sembarang orang ya, ada juga berpendapat hari weton adalah hari dimana kondisi tubuh kita sedang memiliki daya tahan yang kurang vit,

Orang orang tua menyarankan untuk melakukan puasa pada hari weton tersebut, ada versi yang mengatakan puasa pada hari weton tersebut, se umpamanya weton anda senin wage anda berpuasa pada hari senin wage tersebut, ada juga yang mengatakan puasa ngapit weton yaitu puasa diawali pada hari minggu pon dan diakhiri pada hari selasa kliwon jadi puasanya 3 hari.
Disebutkan dari salah sumber bahwa yang bersangkutan pernah mendatangi salah satu kiyai di jombang, kiyai tersebut menanyakan kapan hari weton yang bersangkutan, menurut sang kiayi  hari hari sial seseorang itu 7 hari setelah hari weton, jadi jika seseorang  dilahirkan pada rabu pon, maka hari sialny  adalah hari selasa wage,

jadi perhitungannya 7 hari di mulai dari hari kelahiran rabu, kamis, jum’at, sabtu, miggu, senin, selasa, dan disarankan pada hari tersebut tidak bepergian jauh atau keluar kota, jika memang sangat penting maka sebaiknya keramas dengan kembang 7 rupa, dan pada malam selasa yakni hari senin pon anda berhati hati,( Kompasiana )

Bagi sebagian orang, tanggal 13 pada hari Jumat kerap dihubung-hubungkan dengan kesialan, tahayul, dan hal berbau mistik.
 Berikut ini 13 catatan sejarah kejadian pada hari Jumat tanggal 13.
1. Jumat, 13 Oktober 1307 Raja Philip IV dari Perancis menyerbu Ksatria Templar. Raja itu kemudian memenjarakan ribuan orang atas tuduhan melakukan kegiatan ilegal. Ratusan orang di antaranya mengalami penyiksaan luar biasa hingga meninggal dunia. Namun, tuduhan itu tak pernah terbukti.
 2. Jumat 13 Maret 1314 Jacques de Molay, Grand Master terakhir dari Ksatria Templar dibakar sampai mati di atas api secara perlahan-lahan. 3
3. Jumat 13 Juli 1951 Bencana alam banjir Besar yang menewaskan 24 orang serta menghancurkan lebih dari 2 juta hektar tanah di Kansas. Bencana ini mengakibatkan kerugian US$ 760 juta atau sekitar Rp 7,174 triliun.
4. Jumat 13 November 1970. Badai besar di Asia Selatan menewaskan sekitar 300.000 orang di Chittagong, Bangladesh, dan mengakibatkan banjir hingga menewaskan 1 juta orang di delta Gangga.
 5. Jumat 13 Oktober 1972 Sebuah pesawat Uruguay yang membawa tim rugby jatuh di Pegunungan Andes.
6. Jumat 13 Juli 1987 Sebuah tornado F4 merobek Edmonton, Alberta, menewaskan 27 orang dan melukai setidaknya 300 orang.
 (KVLT Webzine)
Hari Rabu terakhir dibulan Safar ditengah-tengah sebagian masyarakat negeri ini dikenal pula sebagai hari yang sial dan nahas yang disebut sebagai Rabu ( arba ) Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah referensi klasik disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.  Orang-orang Jawa menyambut  hari Rabu Wakesan ini biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut kemudian dibagi-bagikan dengan tetangga. Ini dimaksudkan sebagai sedekah dan tentu saja untuk menolak bala. Karena ada hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa sedekah dapat menolak bala.
Bagi kalangan  orang Banjar beranggapan  bahwa anak-anak yang dilahirkan pada hari Rabu bulan Safar, jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal dan hyperactive, sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal, disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang). Seberapa berat badan anak tersebut nantinya diganti (sebagai tebusan) dengan bahan makanan untuk disedekahkan ataupun dibacakan doa selamat.
3.Mitos Tentang Bulan Sial

Ditengah-tengah masyarakat yang masih  memegang erat keyakinan tentang adanya bulan-bulan sial yang diwarisi dari tradisi masyarakat jahiliyah dikenal adanya bulan-bulan yang dianggap sial dalam kalender Hijriyah  seperti bulan Syawal, bulan Muharram ( Suro) dan bulan Safar.

a.Sialnya Bulan Syawal

Orang Arab menganggap bakal sial/malang bila melangsungkan aqad pernikahan pada bulan ini dan mereka berkata : “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah kawin/bunting dan mengangkat ekornya.”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membatalkan anggapan sial mereka tersebut, dan Aisyah berkata,:
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
 Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."
Maka yang menyebabkan orang Arab pada jaman jahiliyah dulu menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah keyakinan mereka bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta betina yang mengangkat ¬ekornya, setelah kawin/bunting

b. Bulan Muharram
 Dalam penanggalan tahun Jawa, bulan Muharram dikenal dengan sebutan bulan Suro. 
Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia –Jawa khususnya– bahwa bulan Muharram -atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas–aktivitas yang bersifat hajatan besar, menghindari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Sehingga sebagian dari mereka tidak berani untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari acara pernikahan dan hajatan.
 Masyarakat Jawa dalam bulan ini untuk memperoleh keselamatan, mengadakan berbagai kegiatan “Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Sedangkan Di Solo, acara kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Muharram. Sehingga berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini, ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
c.Bulan Safar
Safar adalah salah satu nama bulan dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun Hijriyah. Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharam. Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Bagaimana perspektif orang Banjar terhadap bulan Safar? Ada banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang Banjar terhadap bulan Safar, di antara yang terpenting dari pemahaman bulan Safar tersebut berkaitan dengan hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa disebut dengan Arba Mustamir dan dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Rabu terakhir di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan sebuah referensi klasik disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Hawash Abdullah (1982) dalam bukunya Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara menulis bahwa dalam kitab-kitab Islam memang banyak yang menyebut adanya bala yang diturunkan pada bulan Safar. Misalnya, Syekh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani yang menyalin perkataan ulama menyatakan dalam kitabnya Al-Bahjatul Mardhiyah, tentang turunnya bala di bulan Safar. Tersebut pula dalam kitab Al-Jawahir, diturunkan bala pada tiap-tiap tahun sebanyak 320.000 bala dan sekalian pada hari Rabu yang terakhir pada bulan Safar, maka hari itu terlebih payah daripada setahun. Tulisan tentang bala yang diturunkan pada bulan Safar ini juga bisa ditemukan dalam kitab Jamul Fawaaid, tulisan Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani.
Dalam kitab yang lain ada pula disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek negatif (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah sebabnya tingkat kewaspadaan terhadap hari Rabu bulan Safar juga lebih ekstra.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi kebanyakan orang untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya:
1. Shalat sunnat mutlak disertai dengan pembacaan doa tolak bala
2. Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum
3. Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Menurut informasi, kebiasaan mandi Safar ini dilakukan oleh mereka yang berdiam di daerah pinggiran sungai atau batang banyu.
4. Tidak melakukan atau bepergian jauh
5. Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan atau pamali, dan sebagainya.
Boleh jadi, bermula dari sinilah kemudian muncul berbagai anggapan berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya sama. Bulan Safar sebagai bulan nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala dan penyakit, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya. Terlebih-lebih lagi tatkala memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang dinamakan dengan Arba Mustamir atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan yang tidak baik, memang dipahami secara umum oleh orang-orang Melayu sebagaimana paham dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu. Khusus bagi orang Banjar, mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan panas dan sial? Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan, sebab-musabab munculnya anggapan seperti itu:
Masa atau waktu ketika ilmu-ilmu magis masih hidup dan berada pada zamannya, konon menjadi semacam kebiasaan dalam masyarakat bahwa orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir (semacam guna-guna, teluh, santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan Safar. Pada bulan Safar katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh dibanding pada bulan yang lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah untuk disembuhkan. Jika tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena sakit maka akan sakit, jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat, bahkan keampuhan pikatan tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila, dan seterusnya.
Ada pula yang meyakini, bahwa sebagian dari benda-benda gaib tersebut tidak memiliki tuan yang menjaga, memelihara, dan memberi mereka makan sebagai gaduhan, benda-benda gaib ini bersifat liar. Akibatnya, karena tidak ada yang menggaduh dan melaksanakan ritual memberi makan kepada mereka, mereka akhirnya mencari sendiri. Bulan pelepasan dan kebebasan mereka diyakini oleh orang Banjar pada bulan Safar, itulah sebabnya pituah orang bahari kepada sanak keluarga mereka untuk selalu hati-hati dan waspada jika menghadapi atau memasuki bulan Safar.
Banyak pula  orang orang yang  juga meyakini bahwa mereka yang memiliki gaduhan berupa racun melepaskan gaduhan (racunnya) tersebut pada bulan Safar. Karena itu dianggap pamali untuk makan atau jajan disembarang tempat, ditakutkan jika terkena racun gaduhan tersebut.
Bulan Safar oleh kebanyakan orang dijustifikasi sebagai bulan yang penuh kesialan, marabahaya, dan seterusnya. Akibatnya, dalam perspektif orang orang bulan Safar adalah bulan yang harus diwaspadai dan ditakuti, sehingga dianggap pamali (pantang) bagi  orang-orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting di bulan Safar, misalnya:
1. Melangsungkan perkawinan,
2. Memulai pembangunan (batajak) rumah
3. Menurunkan kapal (nelayan) untuk melaut mencari ikan
4. Bepergian jauh (madam) untuk mencari penghidupan yang lebih baik
5. Memulai berusaha, memulai untuk berdagang, bercocok tanam, mendulang (emas atau intan), dan sebagainya.
Larangan Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman :
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُم بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.(QS.Al Jatsiyah : 24 )
Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,
سنن أبي داوود ٤٥٩٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ بْنِ سُفْيَانَ وَابْنُ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ قَالَ ابْنُ السَّرْحِ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ مَكَانَ سَعِيدٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Sunan Abu Daud 4590:  dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia telah mencaci maki zaman, padahal Aku adalah zaman, di dalam genggaman-Ku lah semua urusan, Aku balikkan antara siang dan malam
Dari sini, mencela waktu digolongkan sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”
Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Pada Dasarnya Menurut Islam Semua Angka, Hari dan Bulan Adalah Baik
Didalam Islam tidak dikenal adanya angka, hari atau bulan yang tidak baik atau sial sebagaimana anggapan dan keyakinan dari sebagian masyarakat sejak dulu yang kemudian diwarisi oleh generasi kemudian.Semua hari maupun bulan dari sudut pandang Islam adalah baik.
Pada dasarnya, semua tanggal dan hari baik selama kita isi dengan kebaikan. Akan tetapi, ada hari-hari yang dipandang baik dengan amalan-amalan yang baik pula. Misalnya, hari Jumat dengan shalat jumatnya. Bulan Ramadhan dengan puasanya dan pahala yang berlipat ganda.
Tanggal 9 Dzulhijjah dengan puasa Arafah yang berisi pengampunan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Sebagaimana bunyi hadits dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
صحيح مسلم ١٩٧٦: و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ جَمِيعًا عَنْ حَمَّادٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ غَيْلَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
رَجُلٌ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ غَضَبَهُ قَالَ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَغَضَبِ رَسُولِهِ فَجَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُرَدِّدُ هَذَا الْكَلَامَ حَتَّى سَكَنَ غَضَبُهُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ قَالَ لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ أَوْ قَالَ لَمْ يَصُمْ وَلَمْ يُفْطِرْ قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمَيْنِ وَيُفْطِرُ يَوْمًا قَالَ وَيُطِيقُ ذَلِكَ أَحَدٌ قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا قَالَ ذَاكَ صَوْمُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ كَيْفَ مَنْ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمَيْنِ قَالَ وَدِدْتُ أَنِّي طُوِّقْتُ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Shahih Muslim 1976: dari Abu Qatadah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, "Bagaimanakah Anda berpuasa?" Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam marah. Dan ketika Umar menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam marah, ia berkata, "Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah, dari murka Allah dan Rasul-Nya." Umar mengulang ucapan tersebut hingga kemarahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam reda. Kemudian ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang tahun?" Beliau menjawab: "Dia tidak berpuasa dan tidak juga berbuka." -atau beliau katakan dengan redaksi 'Selamanya ia tak dianggap berpuasa dan tidak pula dianggap berbuka-- Umar bertanya lagi, "Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari?" beliau menjawab: "Itu adalah puasa Dawud 'Alaihis Salam." Umar bertanya lagi, "Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka dua hari?" beliau menjawab: "Aku senang, jika diberi kekuatan untuk itu." kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Puasa tiga hari setiap bulan, puasa dari Ramadlan ke Ramadlan sama dengan puasa setahun penuh. Sedangkan puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya. Adapun puasa pada hari 'Asyura`, aku memohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya."
Menurut pandangan Islam selain hari Jum’at yang mempunyai keutamaan terdapat pula bulan-bulan yang mempunyai keutamaan dibanding bulan-bulan lainnya, antara lain :
1.Keutamaan Bulan Muharram
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah).Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram [640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri [641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. ”(QS. At-Taubah : 36)

Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah  bersabda,
صحيح البخاري ٤٠٥٤: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَةِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ ذُو الْحِجَّةِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ بَلَدٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ الْبَلْدَةَ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ يَوْمٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ مُحَمَّدٌ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ فَسَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ أَلَا فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي ضُلَّالًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلَّغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ فَكَانَ مُحَمَّدٌ إِذَا ذَكَرَهُ يَقُولُ صَدَقَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ

Shahih Bukhari 4054: dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Waktu berputar sebagaimana keadaannya semula ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Tahun terdiri dari dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan suci, tiga berurutan, yaitu Dzul qa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan yang ke empat adalah Rajab yang dinamai sebagai penghormatan terhadap suku Mudlar, teletak di antara bulan Jumadah (Al Tsaniyah) dan Sya'ban." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Bulan yang mana ini?" kami berkata; "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." mendengar jawaban itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam agak lama sehingga sempat berfikir bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memberi nama yang lain. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Bukankah sekarang bulan Dzulhijjah?" kami menjawab; "Ya." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Kota apa ini?" Kami menjawab; "Allah dan Rasul-Nya lebih tau?" Mendengar hal itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termenung agak lama sehingga kami sempat berfikir bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memberinya nama lain. Lalu Nabi berkata: "Bukankah ini kota Makkah." Kami menjawab; "Ya" Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Hari apa ini?" Kami menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Nabi termenung agak lama sehingga kami sempat berfikir bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memberinya nama lain. Lalu Nabi berkata,: "Bukankah hari ini hari Nahr (kurban)?" kami menjawab; "Ya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Maka darahmu, hartamu, kehormatanmu adalah suci satu sama lain seperti sucinya hari milikmu ini, di kotamu ini, di bulanmu ini; dan sesungguhnya, kalian akan berjumpa dengan Tuhan kalian dan Dia akan menanyakan perbuatan-perbuatan kalian. Hati-hatilah! Jangan kembali menjadi orang-orang sesat sepeninggalku, saling memenggal leher satu sama lain. Sudah menjadi kewajiban mereka yang hadir (di sini hari ini) untuk menyampaikan pesanku ini kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin mereka yang tidak hadir akan lebih memahami (pesan ini) dari pada mereka yang hadir pada saat ini. -Muhammad (perawi) ketika menyebutkan Hadits ini selalu berkata; 'Sungguh benar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.- Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata dua kali: "Ketahuilah! Bukankah telah ku sampaikan (pesan Allah) kepadamu?"
Qotadah berkata, “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’alimut Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang Disyariatkan Puasa Asyura. Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. Sesuai hadits dari Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
صحيح البخاري ١٨٦٢: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Shahih Bukhari 1862: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan puasa pada hari 'Asyura' (10 Muharam). Setelah diwajibkan puasa Ramadhan, maka siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa yang tidak mau silakan berbuka (tidak berpuasa) ".

2. Keutamaan Bulan Syawal

Bulan Syawal menurut kalender Islam mempunyai keutamaan, antara lain dan di bulan tersebut diawali dengan Hari Raya Iedul Fitri dan disunnahkannya untuk mengikuti shalat Ied sebagaimana hadits dariUmmu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)
Selain dari itu dalam bulan Syawal terdapat pula anjuran untuk melakukan puasa Syawal selama 6 hari . Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda,
سنن الترمذي ٦٩٠: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَثَوْبَانَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ وَيُرْوَى فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ وَيُلْحَقُ هَذَا الصِّيَامُ بِرَمَضَانَ وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَنْ تَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ قَالَ وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ وَسَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا وَرَوَى شُعْبَةُ عَنْ وَرْقَاءَ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ هَذَا الْحَدِيثَ وَسَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ هُوَ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ حَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ قَالَ كَانَ إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ صِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ فَيَقُولُ وَاللَّهِ لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ بِصِيَامِ هَذَا الشَّهْرِ عَنْ السَّنَةِ كُلِّهَا
Sunan Tirmidzi 690: dari Abu Ayyub dia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Barang siapa yang berpuasa Ramadlan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka hal itu sama dengan puasa setahun penuh." Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Jabir, Abu Hurairah dan Tsauban. Abu 'Isa berkata, hadits Abu Ayyub adalah hadits hasan shahih. Sebagian ulama menyukai untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal berdasarkan hadits ini. Ibnu Al Mubarak berkata, pendapat itu baik seperti halnya berpuasa tiga hari di pertengahan tiap bulan, Ibnu Al Mubarak melanjutkan, telah diriwayatkan di sebagian hadits, bahwa puasa ini lanjutan dari puasa Ramadlan, Ibnu Mubarak memilih dan lebih menyukai berpuasa enam hari di awal bulan berturut-turut namun tidak mengapa jika ingin berpuasa enam hari tidak berurutan. (perawi) berkata, 'Abdul Aziz bin Muhammad telah meriwayatkan hadits ini dari Shafwan bin Sulaim, sedangkan Sa'ad bin Sa'id meriwayatkannya dari Umar bin Tsabit dari Abu 'Ayyub dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam. Begitu juga Syu'bah meriwayatkan hadits ini dari Warqa' bin Umar dari Sa'ad bin Sa'id dan Sa'ad bin Sa'id ialah saudaranya Yahya bin Sa'id Al Anshari, para ahlul hadits mencela Sa'ad bin Sa'id dari segi hafalannya. Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al Ju'fi dari Isra'il Abu Musa dari Hasan Al Bashri beliau berkata, jika disebutkan padanya puasa enam hari di bulan Syawwal dia berkata, demi Allah, sungguh Allah telah ridla kepada puasa enam hari di bulan Syawwal sebanding dengan puasa setahun penuh.
Bulan Syawal juga dilaksanakan i’tikaf.Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)
Keutamaan lain dalam bulan Syawal adalah  membangun rumah tangga (campur antara suami-istri), karena menikah di bulan syawal itu sunnahnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena beliau menikah dengan Aisyah radhyallaahu’anha dibulan Syawal, sehingga sebagian ulama menyarankan seyogyanya pernikahan itu dilaksanakan dalam bulan syawal, karena Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhyallaahu’anha di dalam bulan Syawwal, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist dari Aisyah :
مسند أحمد ٢٣١٣٧: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَأُدْخِلْتُ عَلَيْهِ فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي فَكَانَتْ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ
 Musnad Ahmad 23137: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Sufyan dari Ismai'l bin Umayah berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah berkata; "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku di bulan syawwal, maka istri beliau mana yang lebih beruntung di sisi beliau dariku?, Adalah beliau senang untuk memulai kehidupan berumahtangga dari istri-istrinya pada bulan Syawwal."
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.”
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaan dan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan dan hari tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bulan dan hari yang lain merupakan bulan atau hari yang buruk. Jika ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan atau hari, itu bukan berarti bulan dan hari atau tanggal tersebut merupakan bulan, hari, dan tanggal musibah atau yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Fatawa Al-Hadistiyyah pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.

Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.

Sedangkan jika ada riwayat, lanjut beliau, yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah batil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini.

Pada hakikatnya yang ada hanyalah hari yang lebih utama daripada hari-hari yang lain atau bulan-bulan yang lain contohnya hari Jum‘at adalah ‘penghulu’ bagi hari-hari dalam satu minggu. Hari Isnin, hari Khamis, hari ‘Arafah dan hari ‘Asyura mempunyai keistemewaannya tersendiri sehingga disunatkan umat Islam melebihkan ibadat atau amal pada hari-hari tersebut dengan berpuasa. Begitu juga dengan kelebihan bulan Ramadhan daripada bulan-bulan yang lain. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang maksudnya :
“Sesungguhnya hari Jum‘at adalah penghulu segala hari dan hari yang paling besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta ‘ala iaitu hari yang lebih besar daripada hari raya Adha dan hari raya Fitrah, pada hari Jum‘at itu terdapat lima kejadian iaitu hari yang dijadikan Adam ‘alaihissalam dan Baginda di turunkan daripada syurga ke muka bumi, dan pada hari itu juga wafatnya Adam ‘alaihissalam, dan Allah mengurniakan satu saat di mana doa-doa dikabulkan kecuali doa-doa maksiat, dan hari Jum‘at juga akan terjadinya hari Kiamat”.
(Hadis riwayat Ibnu Majah)
Ibnu Abbas menceritakan dalam sebuah hadith, katanya yang bermaksud:
صحيح البخاري ١٨٦٧: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Shahih Bukhari 1867: Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Musa dari Ibnu 'Uyainah dari 'Ubaidullah bin Abu YAzid dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sengaja berpuasa pada suatu hari yang Beliau istimewakan dibanding hari-hari lainnya kecuali hari 'Asyura' dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan".
Beranggapan Sial Termasuk Thiyaroh Atau Tathoyyur
Beranggapan sial ini dalam bahasan akidah diistilahkan dengan thiyaroh atau tathoyyur. Thiyaroh berasal dari kata burung, artinya dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar, mereka memutuskan dengan melihat pergerakan burung. Jika burung tersebut bergerak ke kanan, maka itu tanda perjalanannya akan baik. Jika burung tersebut bergerak ke kiri, maka itu tanda mereka harus mengurungkan melakukan safar karena bisa jadi terjadi musibah ketika di jalan.
Namun maksud thiyaroh di sini adalah umum, bukan hanya dengan burung saja. Thiyaroh adalah beranggapan sial ketika tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)

عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ

“Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)

Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Menganggap angka 13, hari Jum’at , Hari Rabu,bulan Syawal serta bulan Safar bulan sial dan bulan  Muharram (Suro)atau adalah bulan keramat sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan atau acara besar lainnya termasuk bagian thiyaroh
Beranggapan sial atau thiyaroh termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum Islam. Lihatlah bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).

Kesialan yang dianggap sesungguhnya tidaklah benar. Yang shahih, Musa dan orang beriman sebagai pengikutnya adalah sebab datangnya kebaikan dan barokah. Karena para Rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam membuat perbaikan di muka bumi dengan ketaatan yang mereka perbuat, sehingga turunlah barokah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96).
 Dan sebenarnya sebab datangnya musibah adalah karena pembakangan ahli maksiat, orang musyrik dan kafir, bukan dari orang beriman.
Kesialan dan bencana sebenarnya karena kekurang ajaran orang kafir itu sendiri. Sebagaimana hal ini dapat kita ambil pelajaran dari surat Yasin tentang kisah penduduk negeri yang mendustakan dua sampai tiga utusan Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19)
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang diutus kepadamu”. Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”. Mereka berkata: “Rabb kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu”. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas“.” (QS. Yasin: 13-19).
Penduduk negeri tersebut menganggap nasib sial menimpa mereka karena kedatangan para utusan tersebut. Namun hal itu dibantah oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala nyatakan sendiri bahwa kesialan itu karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.
Begitu pula orang-orang musyrik pernah menganggap datangnya nasib malang, itu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”.” (QS. An Nisa’: 78).
Larangan Thiyaroh Atau Beranggapan Sial
Thiyaroh atau beranggapan sial termasuk kesyirikan sebagaimana karena anggapan sial itu secara umum termasuk ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi Shallallahu Alaihi wassallam pada sabda beliau :
صحيح البخاري ٥٣٢٩: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَحَمْزَةُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ إِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ
Shahih Bukhari 5329: Telah menceritaka kepada kami Sa'id bin 'Ufair dia berkata; telah menceritaka kepadaku Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah dan Hamzah bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ad ndaraan, isteri dan tempat tinggal."
Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي ١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ سُلَيْمَانُ هَذَا عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Abu Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits ini derajatnya hasah shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Salamah bin Kuhail. Syu'bah juga meriwayatkan dari Salamah dengan hadits yang sama. Ia berkata, "Aku mendengar Muhammad bin Isma'il berkata, "Sulaiman bin Harb berkata tentang hadits ini, 'dan bukan dari kita, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan bertawakkal kepada-Nya', Sulaiman berkata, "Ini menurut pendapatku, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud "dan tidaklah (thiyarah) dari ajaran kami."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).
Dalam hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang terkenal adalah beranggapan sial dengan bulan Suro, maka itu pun sama terlarangnya.
Di Hadits lain diriwayatkan dari Annas :
صحيح البخاري ٥٣٣١: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Shahih Bukhari 5331: dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap sial pada sesuatu sehingga tidak jadi beramal) dan yang menakjubkanku adalah al fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab: "Kalimat yang baik."
Apa beda al fa’lu dan thiyaroh? Al fa’lu adalah berangan kebaikan. Sedangkan thiyaroh adalah berperasaan akan datangnya keburukan. Berangan datangnya kebaikan adalah suatu anjuran karena hal ini termasuk husnu zhon (berprasangka baik) pada Allah. Contoh fa’lu adalah ketika kita mendengar ucapan-ucapan yang baik, maka cerialah hati kita. Atau kita melihat seorang yang tampil menawan hati, kita pun menjadi tenang, tanda mengharap kebaikan dan husnu zhon pada Allah. Fa’lu termasuk perkara yang baik. Dari sinilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub. Ketika mendengar nama atau ucapan yang baik atau berlalu di tempat kebaikan, hati menjadi tenang, dan tanda husnu zhon pada Allah. Demikian penjelasan Syaikhuna, Dr. Sholeh Al Fauzan dalam I’anatul Mustafid.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan hadits secara marfu’ –sampai kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ ».
“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”. Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:
Jika menganggap bahwa yang mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.
Jika menganggap bahwa yang memberi manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk syirik ashgor.
Catatan: Tidak setiap anggapan jelek itu terlarang. Ada anggapan jelek yang masih dibolehkan selama ada sebab yang syar’i atau hissiy (inderawi). Seperti misalnya kita sudah mengetahui gerak-gerik si pencuri, dan kita berprasangka jelek padanya, maka ini ada bukti atau sebab, sehingga prasangka jelek ini tidak bermasalah.
Anggapan sial mengurangi tauhid seorang muslim dan dinilai syirik. Penilaian syirik ini dilihat dari beberapa sisi:
\(1) bergantung pada sesuatu yang bukan sebab secara hakiki,
 (2) memutuskan suatu kejadian seakan-akan menentang takdir Allah,
 (3) mengurangi tauhid.
P e n u t u p
Meskipun peradaban dunia sudah sedemikian maju dan modern, tetapi ternyata masih ada sebagian dari masyarakat muslim di negeri ini yang masih mempertahankan kepercayaan kepada sesuatu yang mendatangkan kesialan yang diwarisi dari kepercayaan orang-orang Arab jahiliyah diantaranya anggapan sial terhadap angka 13, sialya hari Jum’at , sialnya hari Rabu terakhir bulan Safar ( Rabu wakesan/.arba mustamir) dan sialnya bulan Syawal, Muharram dan Safar.
Para ulama menegaskan bahwa anggapan adanya kesialan terhadap sesuatu termasuk menganggap sialnya angka, hari dan bulan sepertoi bulan Syawal, Muharaam dan bulan Safar merupakan perbuatan bid’ah yang tidak ada dasarnya, bahkan sebagian ulama menyebutkan syiriknya keyakinan adanya kesialan’.Karena dalam Islam pada dasarnya semua angka, hari, dan bulan itu baik. Bahkan hari Juma’t disebut sebagai penghulunya hari. Begitu pula bulan Syawal dan bulan Muharram mempunyai keutamaan, antara lain dalam bulan-bulan  tersebut dianjurkan untuk berpuasa sunnah, seperti puasa 6 hari di bulan Syawal dan puasa  Syura pada tanggal 10 Muharram.( Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan,www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, www.lidwapusaka.com
3.Artikel 
www.KonsultasiSyariah.com
6.Artikel www.asysyariah.com
7.Artikel www. Muslim.Or.Id
8 Artikel www.Kompasiana
10. Artikel www. Hidayah.Com
Selesai disusun ba’da Ashar, Kamis 19 Syawal 1433 H / 6 September 2012 ( Musni Japrie )







Tidak ada komentar:

Posting Komentar