Senin, 11 Februari 2013

PROF. DR. M. ATHIYAH AL-ABRASYI



PEMIKIRAN PENDIDIKAN PROF. DR. M. ATHIYAH AL-ABRASYI


A.       Biografi Muhammad Athiyah Al-AbrasyiSejarah Kehidupan dan Latar Belakang Pemikiran Muhammad Athiyah Al-Abrasyi

Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun 1954-1970. Beliau adalah satu dari sederetan nama yang tidak boleh dilupakan oleh para cendekiawan Arab dan muslimin. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April tahun 1897 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1981. Beliau memperoleh gelar diploma dari Universitas Darul Ulum tahun 1921, dan tahun 1924 beliau terbang ke Inggris, disana beliau mempelajari ilmu pendidikan, psikologi, sejarah pendidikan, kesehatan jiwa, bahasa Inggris berikut sastranya. Pada tahun 1927 beliau memperoleh gelar sarjana pendidikan dan psikologi dari universitas Ekstar, dan pada tahun 1930 beliau berhasil menggondol dua gelar sarjana bahasa, masing-masing adalah bahasa Suryani dari universitas kerajaan di London, dan bahasa Ibrani dari lembaga bahasa timur di London.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada fakultas Darul Ulum Cairo University, Cairo. Sebagai guru besar, beliau secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari zaman ke zaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat pada abad ke-20 ini.[2]
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang ulama’, cendekiawan yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing, seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis yang produktif dan seorang guru besar. Sebagai salah seorang dari sekian banyak ilmuwan muslim yang sangat produktif mencetuskan gagasan dan ide menuju perbaikan dan peningkatan kualitas umat Islam pada era sekarang ini dengan menawarkan konsep-konsep dasar bagi pendidikan Islam yang merupakan hasil dari sari pati dari nilai ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang digalinya.[3]
Sesuai dengan keahliannya, beliau telah menjelaskan tentang posisi Islam mengenai ilmu, pendidikan dan pengajaran berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta menjelaskan pula tentang fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga, perpustakaan, seminar, dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam dari zaman keemasannya sampai pada kita sekarang ini.[4]
Seperti diketahui pada zaman kejayaan Islam, Negeri Mesir dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di samping Baghdad, Damaskus, Cordova dan lain-lain. Tetapi kemudian ketika dunia Islam mengalami kemunduran, Mesirpun turut merasakannya, lebih-lebih setelah negeri ini berturut-turut di jajah Perancis dan Inggris. Akibatnya Mesir mengalami kemunduran di bidang pemikiran pada umumnya dan pendidikan pada khususnya. Di dorong kenyataan pahit inilah Muhammad Athiyah al-Abrasyi mencoba kembali menggali nilai-nilai dan unsur-unsur pembaharuan yang terpendam dalam khazanah perkembangan pendidikan Islam di masa jayanya. Ia mencoba mencari titik persamaan dasar pendidikan Islam dan pendidikan modern.
Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui beliau merupakan modal dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia Islam, mengingat umat dan masyarakat yang di hadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah kemajuan. Keberhasilan pendidikan Islam dari semula sampai dimasa jayanya menurut beliau dapat dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Khaldun dan Ibnu Maskawaih. Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi tentang pendidikan Islam banyak dipengaruhi oleh dan dari rangkuman, saduran, pemahaman, dan pemikiran serta pendidik muslim sebelumnya yang ditelusurinya dengan baik terutama pemahaman secara filosofis. Beliau cenderung menjadikan Ibnu Sina, al-Ghazali dan ibnu Khaldun sebagai nara sumber.

B.     Prinsip dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. M. Athiyah Al-Abrasyi
1. Prinsip pendidikan
  1. Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan
Metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip kebebasan dan demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang. Pintu masjid dan institut terbuka bagi anak didik yang ada dalam masyarakat tanpa adanya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin serta tinggi rendahnya kedudukan sosial anak didik dalam masyarakat. Oleh karena itu, didalam Islam tidak ada kelebihan antara orang Arab dengan yang bukan Arab, kecuali ketakwaannya. Sebagaimana firman allah SWT. yang berbunyi;
يأيها الناس انا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا, ان اكرمكم عند الله
اتقاكم, ان الله عليم خبير (الحجرات:  ١٣  )
Artinya: “Hai manusia! Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan.[5] Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Yang teramat mulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)[6]
Dari ayat di atas, sangatlah jelas bahwa Islam ternyata menyamaratakan antara anak orang kaya dengan orang miskin dalam segala hal terutama dalam  bidang pendidikan dan memberikan kesempatan sama pada anak didik untuk belajar tanpa diskriminasi. Tidak seorangpun kaum muslimin yang mengatakan bahwa orang-orang miskin diciptakan untuk bekerja di kebun, ladang dan pabrik, sedangkan yang kaya menguasai mereka dengan kekayaan. Akan tetapi, kepintaran tidak hanya bisa diperoleh orang kaya saja, melainkan juga oleh orang miskin. Kepintaran dan kecerdasan diberikan Allah SWT. kepada hambanya dengan sama rata yang membedakan hanya ketakwaannya.
Maka dari itu, untuk belajar pendidikan Islam, anak didik tidak terikat pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka dalam ujian atau peraturan khusus untuk penerimaan siswa baru.
  1. Pembicaraan sesuai dengan tingkat intelektual
Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam pendidikan Islam dan termasuk prinsip terbaru dalam pendidikan modern, Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengutarakan bahwa:
“Seorang pendidik hendaknya membatasi dirinya dalam berbicara dengan anak didik sesuai dengan daya pengertiannya, dan jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh akalnya, karena akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya memberontak terhadapnya”.[7]
Di abad modern yang serba canggih sekarang, permasalahan kehidupan semakin rumit dan memerlukan pemecahan yang tepat dan cepat, padahal al-Qur’an dan al-Hadits tidak memuat pemecahan persoalan-persoalan itu secara rinci. Al-Qur’an hanya bersifat global sedangkan Nabi dan wahyu tidak akan datang lagi. Banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, sekarang muncul dan menuntut pemecahannya seperti nikah via telepon, bayi tabung dan lain sebagainya. Semua itu menuntut pemecahan hukum yang akurat agar umat Islam tidak bingung menghadapinya.
Terkait dengan pendidikan, maka seorang pendidik menyajikan kepada anak didik suatu hakekat bila diketahui bahwa anak didik sanggup memahami sendiri hakekat tersebut, yaitu dengan penetapan setiap anak didik pada tempat yang wajar, harus memilihkan mata pelajaran yang dapat diterimanya agar dengan demikian berbicara dengan anak didik bisa disesuaikan dengan akalnya, gaya yang dimengerti dan dengan bahasa yang serasi.
  1. Pengaruh pembawaan dan instink terhadap pilihan
Setiap orang yang meneliti buku-buku yang ditinggalkan oleh sarjana-sarjana Islam, akan menyaksikan pendapat mereka mengenai instink dan cara-cara pendidikannya mengenai studi atas kemampuan-kemampuan manusia dan hubungan dengan pendidikan akhlak dan moral. Sarjana muslim itu berkata bahwa dalam diri manusia terdapat:
1)      Kemampuan untuk membedakan dan memikirkan
2)      Unsur-unsur kemarahan yang mencakup sifat-sifat marah, membantu kawan, agresif, gila kekuasaan dan penonjolan diri.
3)      Unsur-unsur syahwat (hawa nafsu) yang mencakup nafsu-nafsu mencari makan dan berbagai kelezatan –kelezatan panca indera.
Para intelektual Islam telah lama menganjurkan agar pembawaan, instink, dan seseorang diperhatikan dalam menuntut ke arah bidang pekerjaan yang dipilihnya demi masa depan kehidupannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyarankan agar menekankan kemampuan instink anak-anak harus diperhatikan yang merupakan landasan dalam pendidikannya. Tidak semua pekerjaan yang dicita-citakan akan terpenuhi secara keseluruhan, hanya pekerjaan yang sesuai dengan instink dan pembawaannya. Karena itu, kewajiban seorang juru didik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan untuk anak harus memilih dahulu dan menguji, sehingga bakatnya bisa terpenuhi sesuai dengan bidangnya.
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa Islam sangat memperhatikan perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak yaitu perbedaan yang timbul akibat perbedaan keturunan, pembawaan dan bakat dari si kecil. Hal ini terbukti dalam penyelidikan-penyelidikan ilmu jiwa, bahwa pengekangan terhadap kemarahan, penindasan atas hawa nafsu, ataupun penggecetan atas instink seorang anak, akan membahayakan terhadap dirinya. Jalan yang terbaik adalah kita tuntun ia dengan petunjuk-petunjuk, nasehat-nasehat, pendidikan serta daya upaya lainnya sehingga nafsu kemarahan, hawa nafsu atau instinknya yang liar itu dapat dijinakkan dan ditundukkan.
  1. Kecintaan terhadap pengetahuan
Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar dan menggunakan seluruh waktunya untuk melakukan penelitian, membaca studi memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu, bergairah dalam menggali ilmu pengetahuan dan masalah-masalah ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan pelajaran mereka buat keesokan harinya. Mereka menyerahkan seluruh kekuatan masa muda dan hidupnya untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Dengan cara demikian, dikalangan muslim terdapat ulama-ulama dan sarjana kenamaan, ahli fiqih, sastrawan, penyair dan ahli bahasa yang telah menghasilkan karya-karya agung dan berharga dibidang tafsir, hadits, fiqih, tauhid, balaghah, syari’at dan ensiklopedi-ensiklopedi bahasa, yaitu buku-buku yang merupakan referensi yang tidak seorangpun sarjana-sarjana di Timur maupun Barat yang sanggup menandinginya.[8]
2. Tujuan Pendidikan Islam
Muhammad Athiyah al-Abrasyi membagi lima (5) azas yang menjadi sasaran tujuan pendidikan Islam, antara lain:
  1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia
  2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat
  3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan atau tujuan vokasional dan profesional
  4. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific sprint) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan peserta didik mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu
  5. Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu

C.    Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Pendidik
Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyebut pendidik adalah sebagai spiritual father atau bapak rohani dari seorang peserta didik, dialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya atau meluruskan perilaku peserta didik yang buruk.
[9] Maka menghormati pendidik berarti penghormatan terhadap anak-anak kita, dengan pendidik itulah mereka hidup dan berkembang sekiranya setiap pendidik itu menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul, sebagaimana syair al-Syawki yang dikutip oleh Muhammad Athiyah al-Abrasyi:[10]
قم للمعلم وفه التجيلا   #    كاد المعلم ان يكون رسولا
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.”
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi[11] kode etik pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1)      Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.
2)      Adanya komunikasi yang aktif  antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar.
3)      Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus di ukur dengan kadar kemampuannya.
4)      Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi.
5)      Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6)      Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar kewajibannya.
7)      Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya (menggunakan pola integrited curriculum).
8)      Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang di alami oleh pendidiknya.
9)      Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
  1. Peserta didik
Berbicara tentang konsep murid/peserta didik dalam Islam, Muhammad Athiyah al-Abrasyi menegaskan bahwa peserta didik dalam menuntut ilmu pengetahuan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap peserta didik dan di kerjakannya adalah sebagai berikut:[12]
1)      Sebelum belajar, harus membersihkan diri dari segala sifat yang buruk karena belajar adalah juga ibadah.
2)      Belajar dengan maksud mengisi jiwa dan rasa fadlilah, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3)      Bersedia menuntut ilmu walaupun sampai meninggalkan keluarga dan tanah air.
4)      Menekuni ilmu sampai selesai artinya jangan terlalu sering berganti guru, jika berganti juga harus dipikir matang-matang terlebih dahulu.
5)      Hendaknya ia memiliki guru dan menghormatinya karena Allah dan berupaya menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
6)      Jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya dan jangan mulai berbicara kecuali sudah ada izinnya.
7)      Saling mencintai dan berjiwa persaudaraan antara sesama murid.
8)      Bertekad belajar sampai akhir hayat dan jangan meremehkan suatu bidang ilmu.
Selain yang telah disebutkan di atas, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi masih ada prinsip-prinsip penting mengenai pendidik dan peserta didik adalah sebagai berikut:[13]
  1. Akhlak dan moral yang sempurna lebih berharga dari ilmu
  2. Pengagungan ilmu, ulama’ dan sarjana
  3. Perhatian yang cukup dalam mempererat hubungan pribadi dan saling

D.    Kurikulum / Materi Pendidikan Islam
Dalam pendidikan modern dewasa ini, pembawaan dan keinginan peserta didik sangat diperhatikan. Oleh karena itu, dalam pembuatan kurikulum, Muhammad Athiyah al-Abrasyi[14] mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Harus ada mata pelajaran yang ditujukan mendidik rohani atau hati. Ini berarti perlu diberikan mata pelajaran ketuhanan (aqidah). Maka dari itu, peserta didik diberikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ke-Tuhanan karena ilmu termulia ialah mengenai Tuhan serta sifat-sifat yang pantas pada Tuhan.
  2. Mata pelajaran harus ada yang berisi petunjuk dan tuntunan untuk menjalani cara hidup yang mulia, sempurna, seperti ilmu akhlak, hadits, fiqih, dan lain sebagainya.
  3. Mata pelajaran yang dipelajari oleh orang-orang Islam karena mata pelajaran tersebut mengandung kelezatan ilmiah dan kelezatan ideologi, yaitu apa oleh ahli-ahli pendidikan utama dewasa ini dinamakan menuntut ilmu karena ilmu itu sendiri. Ilmu dipelajari untuk memenuhi rasa ingin tahu yang ada pada setiap manusia.
  4. Mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Dengan kata lain, ilmu itu harus terpakai.
  5. Pendidikan kejuruan, tekhnik dan industrialisasi untuk mencari penghidupan. Selain mengutamakan segi-segi kerohanian, keagamaan dan moral, pendidikan Islam tidak mengesampingkan pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk mempelajari subyek atau latihan-latihan kejuruan mengenai beberapa bidang pekerjaan, teknik, dan perindustrian setelah peserta didik selesai menghafal al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran agama dengan maksud mempersiapkan peserta didik untuk mencari kebutuhan hidup.
  6. Mata pelajaran yang diberikan berguna dalam mempelajari ilmu lain, yang dimaksud adalah ilmu alat seperti bahasa dan semua cabangnya.

E.     Metode Pendidikan
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi metode adalah jalan yang dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik tentang segala macam pelajaran dalam segala mata pelajaran.[15] Metode merupakan rencana yang dibuat oleh pendidik sebelum memasuki kelas, dan menerapkannya di dalam kelas.
Adapun metode pendidikan Islam yang relevan dan efektif dalam pengajaran Islam menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:[16]
  1. Metode Induktif (al-Istiqraiyah aw Al-Istinbathiyah)
  2. Metode Deduktif (Al-Qiyasiyah)
  3. Metode Periklanan (Al-Ikhbariyah) dan Metode Pertemuan (Al-Muhadharah)
Metode ini dilakukan dengan cara memasang iklan, pemberitahuan, pengumuman,brosur-brosur, berita-berita baik melalui televisi, radio maupun surat kabar, jurnal atau majalah. Metode ini dapat direalisasikan dengan menggunakan model-model sebagai berikut:
  1. Ceramah (Lecturing/al-mawidhah)
  2. Tulisan (Al-Kitabah)
  3. Metode Dialog (Hiwar)
Untuk merealisasikan metode dialog dapat digunakan model-model sebagai berikut:
  1. Tanya jawab (Al-As’ilah wa Ajwibah)
  2. Diskusi (Al-Niqasy)
  3. Bantah-bantahan (Al-Mujadalah)
  4. Brainstorming (Sumbang saran)
  5. Metode Koreksi dan Kritik (Al-Tanqibiyah)
  6. Metode Metafora (Al-Amtsal)
  7. Metode Permainan (Al-La’bu / Game)
  8. Metode Drill (Al-Tadrib wa Al-Muronah)
  9. Metode Kuliah (Muhadharah)


    F. Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi

Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah:
[17]
  1. Ruh al-Islam, Isa al- Babiel Halabi bi Sayidina Husaini, Cairo.
  2. Uzmat al- Islam, jilid I dan II, Mesir, Cairo.
  3. At-Tarbiyah Islamiyah,Dar al-Qoumiyah li al-Tiba’ati wa al-Nashir,Cairo.
  4. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
  5. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
  6. Uzmat al-Rasul Muhammad SAW, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
  7. Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, Isa al-Babiel Halabi, Mesir.
  8. Al-Thuruq al-Khassat al-Haditsah fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat al-Arabiyah Wadiin, Mesir.
  9. At-Tufalah Sani’atul Mustaqbal au Kaifa Nurabbi at-Falana, Mesir.
  10. Al-Ilmu Shi’ar al-Surah Thaqofyah, Al-Anglo, Mesir.
  11. Ushul al-Tarbiyah Misaliah fi Emile li J. J. Rosseau, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
  12. J. J. Rosseau wa Waarauhu fi al-Ishlah Ijtima’, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
  13. Ilmu Nafsi Tarbawi, tiga jilid, Shirqatul Qaumiyah.
  14. Al-Syakhsiyah, Darul Ma’arif, Cairo.
  15. Ushul Tarbiyah wa Qawaid al-Tadris, Mesir.
  16. Lughat al-Araby wa Kaifa Nahdlat al-Misriyah, Cairo.
  17. Al-Tarbiyah wa al-Hayat.
  18. Ilmu Nafsi li al-Jami’.
  19. Muskhilatu Al-Ta’limin Ula bi Misri.


  1. Min Wahyi al-Taurat, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
  2. Qassasa Insaniyah li Charles Dickens, Dar al-Katib al-Araby, Cairo.
  3. Al-Mufassil fi Lughati Suryaniyah wa Adabuha.
  4. Al-Asasu fi al-Lughat al-Arabiyah.
  5. Al-Adabu as-Shamiyah.

Daftar Pustaka

Abrasyi, Athiyah, Dasar-Dasar Pokok-Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A.
            Ghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Abrasyi, Athiyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Beirut
Abrasyi, Athiyah, Ruh al-Tarbiyah wa al-ta’lim, Saudi Arabia: Dar al-ahya’
Kasim, Abu, Konsep Pendidikan Islam, JIPTIAIN. 2008
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006
Surin, Bachtiar, Terjemah Tafsir Al-Qur’an, Bandung: Fa Sumatra, 1978
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia.             1998
*Penulis: Ahmad Ihwanul Muttaqin

   [2] M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A.                     Ghani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VII. 1987. 20-21
[3] Abu Kasim, , Konsep Pendidikan Islam (Tela’ah pemikiran Muhammad athiyah al-Abrasyi), , JIPTIAIN (Knowledge Management Research Group), 2008. 22
[4] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok…………,  . x.
[5] Adam dan Hawa
[6] Bachtiar Surin, Terjemah Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Bandung: Fa. Sumatra, 1978. 118
[7] Bachtiar Surin, Terjemah…,. 12
[8] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2006. 19-20
[9] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu …136
[10] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu... 136, Lihat juga di Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan………,. 89
[11] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah…………..,. 129-131. lihat juga Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan………..,. 100-101, M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar…….., terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahri. 137-139, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa pemikiran………, terj. Syamsuddin Asyrofi.
[12] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok……….,. 147-148, lihat juga di Abu Kasim, Konsep Pendidikan Islam, 2008, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan……………., hal. 142-144
[13] Ibid, hal. 148-149
[14] Ibid, hal. 173-185. lihat juga Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 66-67., lihat juga di Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka setia, 1998, hal. 138-139.
[15] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Saudi Arabia: Dar al-Ahya’, tth. 243.
[16] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh …. 246-281
[17] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh….. 410. lihat juga di Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah………….., 293-295